Apakah setia itu?
Setia yang pertama kali kukenal adalah dari ayahku. Setia seorang prajurit. Aku ingat sekali ketika pertama membaca butir-butir sumpah prajurit dari sebuah buku kecil. Kucoba mengerti kalimat demi kalimat di sana. Ya, aku tahu ayahku adalah orang yang amat setia dengan sumpah prajurit itu.
Betapa tidak. Begitu Ayah mendapat tugas untuk berjuang ke Vietnam dan Kongo bergabung dengan Pasukan Garuda, maka Ayah pun langsung menunaikan tugasnya. Padahal Ayah harus meninggalkan aku dan kakakku yang masih kecil. Begitu juga Ibu. Bukan hanya satu atau dua hari, tapi berbulan-bulan.
Aku membayangkan Ibu yang harus menanggung rindu. Masa itu belum ada SMS atau e-mail. Sehingga kabar Ayah tidak bisa diterima setiap saat. Jangankan semenit, bahkan kadang berminggu-minggu tiada kabar. Tapi Ibu percaya sepenuhnya dengan kesetiaan Ayah. Kesetiaan terhadap cinta dan kesetiaan kepada Negara.
Peluh dan keluh senantiasa Ibu sembunyikan dari kami. Sebagai isteri parajurit, Ibu mengasuh kami dengan penuh cinta kasih. Itulah salah satu tanda kesetiaan isteri prajurit kepada suaminya.
Aku pun masih ingat beberapa tugas Ayah sebagai prajurit yang tidak harus melulu berhubungan dengan peperangan. Beberapa kali, Ayah kulihat tidak pulang berhari-hari karena harus apel siaga jika berlangsung kegiatan besar nasional. Kadang Ayah juga harus terjun ke lapangan saat terjadi demonstrasi atau kerusuhan. Itu semua sering membuat saya was-was.
Bahkan ketika Ayah kemudian mengikuti pendidikan miiliter lanjutan, lalu … tidak pernah kembali lagi ke rumah, aku tahu itulah bukti kesetiaan Ayah sebagai prajurit.
Dari sanalah aku banyak mendapat inspirasi kesetiaan. Bahwa setia itu luas. Setia kepada Negara, setia kepada pekerjaan, terlbih kepada keluarga. Meskipun aku bukanlah seorang prajurit Tentara Nasional Indonesia, tetapi inspirasi kesetiaan itu terus melekat dalam langkahku.
Menemani Isteri Belanja Bulanan
Menurutku, kesetiaan bukan hanya pada hal-hal besar, seperti menjaga perdamaian dunia. Kesetiaan adalah menjaga janji-janji kita, sekecil apapun janji itu. Apalagi janji tersebut punya manfaat baik untuk keharmonisan keluargaku.
Sejak awal pernikahan, aku pernah berjanji dalam hati sendiri akan mengantar isteri belanja bulanan setiap bulan. Dan itu terus kujaga hingga kini. Tradisi ini tidak aku ambil secara langsung dari inspirasi kesetiaan Ayah. Aku hanya ingat, Ayah pernah janji akan mengajak kami sekeluarga nonton ke bioskop sebulan sekali. Dan itu terus dilakukan. Walaupun kami harus berdesakan berempat naik motor.
Mulanya, memang mengantar isteri belanja bulanan asyik-asyik saja. Lama kelamaan, aku merasakan hal tersebut agak membosankan. Terutama ketika isteri merasa perlu bolak-balik membandingkan harga merk satu dan lainnya. Cuman kalau memilih larutan penyegar saja isteri tidak pernah tergoda merk lain selain Cap Kaki Tiga Asli. Soalnya, Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga yang paling setia dan memiliki manfaat memerangi panas dalam.
Terkadang aku tergoda untuk menghindari acara mengantar isteri belanja bulanan ini. Beberapa teman di kantor, malah sudah bisa lepas dari ritual tersebut. Namun setelah dipikir-pikir, manfaat mengantar isteri belanja bulanan sangat besar selain karena memegang janji, saat belanja kita akan banyak berdialog untuk menentukan satu pilihan. Bukankah itu suatu bentuk komunikasi yang diusung-usung sebagai kunci sukses pernikahan? Lagi pula, hampir sebagian besar yang dibelanjakan isteri adalah untuk kepentinganku juga. Jadi sebenarnya tidak ada alasan untuk menghindari rutinitas mengantar isteri belanja bulanan.
Berdasarkan garis hidup Ayah yang hidup dalam waktu singkat itu, kupikir, selagi aku masih hidup akan sangat bermakna jika diisi waktu aku dengan banyak mendampingi isteri. Jika waktu hidupku sudah berakhir, tidak mungkin lagi, kan?
Untuk yang ingin lebih jelas tentang Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga yang 75 tahun setia memberi manfaat, silakan masuk ke: