Sunday, March 30, 2014

Inspirasi Kesetiaan bersama Cap Kaki Tiga



Apakah setia itu?

Setia yang pertama kali kukenal adalah dari ayahku. Setia seorang prajurit. Aku ingat sekali ketika pertama membaca butir-butir sumpah prajurit  dari sebuah buku kecil. Kucoba mengerti kalimat demi kalimat di sana. Ya, aku tahu ayahku adalah orang yang amat setia dengan sumpah prajurit itu.

Betapa tidak. Begitu Ayah mendapat tugas untuk berjuang ke Vietnam dan Kongo bergabung dengan Pasukan Garuda, maka Ayah pun langsung menunaikan tugasnya. Padahal Ayah harus meninggalkan aku dan kakakku yang masih kecil. Begitu juga Ibu. Bukan hanya satu atau dua hari, tapi berbulan-bulan.

Aku membayangkan Ibu yang harus menanggung rindu. Masa itu belum ada SMS atau e-mail. Sehingga kabar Ayah tidak bisa diterima setiap saat. Jangankan semenit, bahkan kadang berminggu-minggu tiada kabar. Tapi Ibu percaya sepenuhnya dengan kesetiaan Ayah. Kesetiaan terhadap cinta dan kesetiaan kepada Negara.

Peluh dan keluh senantiasa Ibu sembunyikan dari kami. Sebagai isteri parajurit, Ibu mengasuh kami dengan penuh cinta kasih. Itulah salah satu tanda kesetiaan isteri prajurit kepada suaminya.

Aku pun masih ingat beberapa tugas Ayah sebagai prajurit yang tidak harus melulu berhubungan dengan peperangan. Beberapa kali, Ayah kulihat tidak pulang berhari-hari karena harus apel siaga jika berlangsung kegiatan besar nasional. Kadang Ayah juga harus terjun ke lapangan saat terjadi demonstrasi atau kerusuhan. Itu semua sering membuat saya was-was.

Bahkan ketika Ayah kemudian mengikuti pendidikan miiliter lanjutan, lalu … tidak pernah kembali lagi ke rumah, aku tahu itulah bukti kesetiaan Ayah sebagai prajurit.

Dari sanalah aku banyak mendapat inspirasi kesetiaan. Bahwa setia itu luas. Setia kepada Negara, setia kepada pekerjaan, terlbih kepada keluarga. Meskipun aku bukanlah seorang prajurit Tentara Nasional Indonesia, tetapi inspirasi kesetiaan itu terus melekat dalam langkahku.

Menemani Isteri Belanja Bulanan

Menurutku, kesetiaan bukan hanya pada hal-hal besar, seperti menjaga perdamaian dunia. Kesetiaan adalah menjaga janji-janji kita, sekecil apapun janji itu.  Apalagi janji tersebut punya manfaat baik untuk keharmonisan keluargaku.


Sejak awal pernikahan, aku pernah berjanji dalam hati sendiri akan mengantar isteri belanja bulanan setiap bulan. Dan itu terus kujaga hingga kini. Tradisi ini tidak aku ambil secara langsung dari inspirasi kesetiaan Ayah. Aku hanya ingat, Ayah pernah janji akan mengajak kami sekeluarga nonton ke bioskop sebulan sekali. Dan itu terus dilakukan. Walaupun kami harus berdesakan berempat naik motor.

Mulanya, memang mengantar isteri belanja bulanan asyik-asyik saja. Lama kelamaan, aku merasakan hal tersebut agak membosankan. Terutama ketika isteri merasa perlu bolak-balik membandingkan harga merk satu dan lainnya. Cuman kalau memilih larutan penyegar saja isteri  tidak pernah tergoda merk lain selain Cap Kaki Tiga Asli. Soalnya, Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga yang paling setia dan memiliki manfaat memerangi panas dalam.


Terkadang aku tergoda untuk menghindari acara mengantar isteri belanja bulanan ini. Beberapa teman di kantor, malah sudah bisa lepas dari ritual tersebut. Namun setelah dipikir-pikir, manfaat mengantar isteri belanja bulanan sangat besar selain karena memegang janji, saat belanja kita akan banyak berdialog untuk menentukan satu pilihan. Bukankah itu suatu bentuk komunikasi yang diusung-usung sebagai kunci sukses pernikahan? Lagi pula, hampir sebagian besar yang dibelanjakan isteri adalah untuk kepentinganku juga. Jadi sebenarnya tidak ada alasan untuk menghindari rutinitas mengantar isteri belanja bulanan.

Berdasarkan garis hidup Ayah yang hidup dalam waktu singkat itu,  kupikir, selagi aku masih hidup akan sangat bermakna jika diisi waktu aku dengan banyak mendampingi isteri. Jika waktu hidupku sudah berakhir, tidak mungkin lagi, kan?

Untuk yang ingin lebih jelas tentang Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga yang 75 tahun setia memberi manfaat, silakan masuk ke:



Pengalaman Menginap di Villa Kembar Dago Bandung

Setiap kali melakukan rapat produksi, saya bersama tim selalu berusaha menghindari tempat yang kaku. Ruang rapat di kantor jelas bukan pilihan. Juga ruang rapat di hotel. Untunglah di Bandung banyak pilihan, sehingga tidak begitu sulit mencari tempat rapat dan juga menginap. Salah satunya adalah Villa Kembar di daerah Dago Resort.

Saya dan tim memilih ruang rapat yang lebih casual, terutama untuk rapat perencanaan produksi yang biasanya butuh tempat yg lebih casual. Agar rapat kami lebih informal dan ide-ide pun berdatangan dengan lancar.

Villa Kembar merupakan dua buah villa berwarna putih yang bersisian. Keduanya memiliki bentuk yang mirip dari luar. Bedanya, salah satunya terdapat kolam renang. Kami pun memilih villa tersebut.






Letaknya yang berada di daerah perbukitan utara kota Bandung sendiri sebenarnya sudah sangat membuat kami nyaman. Apalagi begitu masuk ke dalam villa tersebut. Setelah memarkir mobil, kami harus naik tangga menuju ruang utama. Begitu regol kayu  saya buka langsung terlihat kolam renang dan ruang keluarga yang luas. Lengkap dengan dapur kering dan ruang makan. Terdapat satu kamar utama yang luas lengkap dengan kamar mandi.

Di loteng, masih ada dua kamar berukuran sedang dan satu kamar besar lainnya.  Untuk peserta rapat di bawah 10 orang, tempat ini cukup representatif.

Karena villa, makanan tentu saja kami harus pesan sendiri. Tidak usah khawatir karena jaraknya yang tak begitu jauh dari kota Bandung, kita bisa memesan makanan apapun untuk diantar.Malam harinya kita bisa memanggil  organ tunggal (tanpa penyanyi) untuk mengiringi kami refreshing setelah berkutat rapat.








Monday, March 24, 2014

REVIEW: The Book Thief, Gadis Cilik Pencuri Buku



Saya penggemar buku dan film. Karenanya,  saya paling suka nonton film tentang pecinta buku. Salah satunya adalah film The Book Thief (2013) yang diadaptasi dari novel karya Markus Zusak. Beruntung saya belum membaca novelnya, sehingga saya tidak sibuk membanding-bandingkan anatar novel dan filmnya.

Cerita dimulai  April 1938 yang bersalju (saya sampai mikir, kok bulan April masih bersalju ya?), gadis kecil Liesel Meminger (Sophie Nelisse) dengan ibunya (Heike Makatsch) dan adiknya bepergian naik kereta. Adiknya diceritakan meninggal dalam perjalanan. Pada pemakaman adiknya, Liesel mengambil sebuah buku yang terjatuh milik penggali kubur.

Liesel kemudian diangkat oleh pasangan  Hans (Geoffrey Rush) dan Rose (Emily Watson) Hubermann, karena ibunya  seorang komunis yang berada dalam bahaya. Kedatangan Liesel  langsung membuat anak tetangga, Rudy Steiner ( Nico Liersch ) kepincut.

Rudy menyertai Liesel di hari pertama sekolah. Ketika guru di kelas meminta Liesel untuk menulis namanya di papan tulis, dia hanya mampu menulis tiga  huruf X.  Barulah ketahuan ternyata Liesel buta huruf.

Hans pun menyadari anak angkatnya tidak bisa membaca. Dia segera mengajari Liesel membaca memanfaatkan buku yang diambil Liesel dari pemakaman. Liesel kian terobsesi dengan membaca.

Pada upacara pembakaran buku oleh Nazi, Liesel dan Rudy harus melempar buku ke api unggun. Tapi Liesel marah melihat buku-buku yang dibakar. Ketika api unggun berakhir dan semua orang pergi, dia meraih sebuah buku yang belum  terbakar.  Aksi Lesel terlihat Ilsa Hermann ( Barbara Auer ),  istri walikota. Hans pun mengetahui ulah Liesel  dan menyarankan  Liesel harus merahasiakannya dari semua orang.

Suatu hari, Rosa meminta Liesel untuk mengambil cucian ke rumah walikota.  Ilsa malah mengajak Liesel ke perpustakaan mereka  dan memberitahu Liesel bisa datang kapan saja dan membaca sebanyak-banyaknya. Namun sayang, Pak walikota tak suka dengan Liesel. Liesel tidak pernah diizinkan ke rumah itu lagi. Tapi Liesel sering datang menyelinap ke perpustakaan untuk ‘mencuri’ buku.

Cerita berlanjut ketika Hans kedatangan  Max Vandenburg ( Ben Schnetzer ) seorang Yahudi yang menjadi buruan.  Mulanya, Max diperbolehkan untuk tinggal di kamar Liesel. Mereka mulai berteman karena merasa sama-sama korban kekejaman Hitler. Max kemudian pindah ke ruang bawah tanah, tetapi dingin di ruang bawah tanah membuatnya jatuh sakit. Liesel membantu memulihkan Max dengan membacakan buku.

Cerita semakin lama kian menegangkan. Sehingga saya sendiri menikmatinya tanpa sempat memencet remote untuk mempercepat atau pause ke kamar mandi sebentar.

Film ini saya rekomendasikan kepada Kompasianer yang suka buku, baik membaca ataupun menulis. Buang jauh-jauh anggapan film ini merupakan propaganda Yahudi atau bukan. Karena nilai-nilai humanisme-nya begitu universal.

Adegan paling saya suka adalah ketika Max meminta Liesel menceritakan keadaan di luar rumah dengan kalimat yang indah. Juga saat Liesel berusaha menenangkan warga di ruang persembunyiandari hujan bom dengan menceritakan kisah yang pernah dibacanya.