Monday, March 30, 2015

Jangan Jadi Penulis Dekil



Dalam sebuah acara jumpa penulis yang meluncurkan bukunya, seorang teman saya datang mengeluh. “Penampilannya kok dekil begitu, sih? Nggak seperti tulisannya yang romantis dan berkesan indah,” ucap teman saya.

Saya hanya tersenyum. Sebenarnya sih nggak dekil-dekil amat. Cuman memang bajunya rada kumal … dan bau tak sedap. Bukan satu dua kali saya menemukan komentar miring seorang pembaca buku tentang penampilan penulis yang ternyatajauh dari bayangannya.

Penulis memang seperti seniman umumnya. Senantiasa ingin terlihat unik dan bersahaja. Tapi penampilan unik dan bersahaja sering kali diartikan sebagai urakan dan semau gue. Bahkan ada yang cenderung dekil. Saya juga beberapa kali bertemu dengan penulis yang seperti belum mandi tiga hari dengan bau yang menyengat.

Tidak semua penulis demikian. Saya melihat juga beberapa penulis yang selalu berpenampilan rapi dan bersahaja. Tengoklah Dewi Lestari, Habibburahman Elshyrazi, Asma Nadia, Ahmad Fuadi, Clara Ng dan beberapa nama lainnya. Keindahan dalam karyanya tercermin pula dalam penampilannya.

Kita memang selalu dicekoki nilai agar tidak menilai buku dari sampulnya. Namun nasihat ini kadang tidak praktis saat hendak menilai kepribadian seeorang dalam waktu singkat. Jangan salahkan jika seseorang yang hanya sempat bertemu beberapa menit kemudian menilai kita buruk  gara-gara terlihat kumal. Dan begitu kesan buruk itu tercipta, akan sulit mengubahnya.

Perlu diingat, bahwa pakaian saat ini bukan sekadar penutup aurat. Pakaian adalah cermin kepribadian pemakainya.

Saya masih ingat cerita tentang penulis terkenal yang dicegat petugas satpam sebuah departemen karena tampil semaunya. Padahal saat itu dia akan menjadi pembicara di dalam aulanya.

Tentu menyalahkan satpam itu bukan suatu tindakan bijak. Sebaiknya penulis itulah yang lebih memerhatikan penampilannya. Tapi nyatanya, penulis itu tidak beranjak mengubah penampilannya, tetap tampil ambradul.

Salah satu penyebab penulis bertahan tampil urakan adalah mereka tidak percaya diri bahwa mereka bisa tampil lebih baik. Penulis pria, penulis yang sudah berusia lanjut, penulis bertubuh tidak proposional, penulis emak-emak, dan berbagai jenis penulis lainnya bisa jadi tidak percaya bahwa mereka punya kesempatan bermain-main di dunia fashion, seperti layaknya pegawai kantoran, selebritis, ataupun eksekutif muda.

Beberapa penulis ketika saya sarankan menolak untuk tampil lebih rapi. Alasannya, “Saya nggak kepengen jadi orang lain?”


Lagi, ini salah kaprah. Berpakaian lebih rapi tidak perlu menjadi orang lain. Kalaupun mengikuti gaya orang lain dalam berpenampilan, tapi hasilnya lebih baik, apa salahnya coba?



Saya melihat beberapa penulis di Indonesia menunjukkan karakternya berpakaian yang khas. Mereka tidak mengikuti gaya selebritis, namun sangat rapi. Salah satunya adalah penulis Kurnia Effendi yang senantiasa tampil dengan kain batik tulisnya.

Cobalah minta pendapat orang yang dekat untuk mengetahui penampilan kita. Sudah keren? Jelek? Biasa saja?

Beberapa teman penulis yang mau mengikuti saran saya untuk berpenampilan lebih baik, mengakui hasilnya sangat positif. Ketika penampilan mereka dikatakan ‘keren’ oleh orang terdekat, mereka tampil lebih percaya diri. Di forum-forum umum, teman-teman penulis ini jadi lebih terbuka dan ekspresif. Apalagi saat selfie atau foto bareng dengan pembaca karya mereka.

Persiapan


Hal yang terbaik saat hendak tampil di forum, saya sebagai sebagai penulis, adalah mempersipkan yang akan dipakai. Biasanya saya akan melihat forumnya lebih dulu. Apakah roadshow kepenulisan di sekolah dasar atau menengah? Apakah di kampus? Atau di hotel?

Saya biasanya akan menyesuaikan dengan audiens dan tempatnya ber-AC atau tidak. Jika lokasi dan tepat belum familiar, saya akan tanyakan kepada pengundangnya. Hal lain yang menentukan adalah tema acaranya formal atau casual. Jika santai-santai saja saya akan pilih pakaian casual, baik kemeja maupun kaos berkerah. Saya kurang percaya diri menggunakan t-shir tanpa kerah. Kecuali panitia menyiapkannya kusus untuk acara, biasanya saya pakai dengan rangkapan kemeja, baik di dalam maupun di luarnya.

Di acara formal, jika tempatnya ber-AC saya lebih suka memakai jas, jasket atau blaser. Tapi kalau sedikit santai cukup memakai batik.

Pakaian yang hendak dipakai sebaiknya sudah disiapkan malam harinya. Alangkah baiknya lagi jika disterika ulang dan digantung agar tak ada lipatannya. Biar kainnya lembut dan harum, bisa pakai Kispray saat menyetrika. Cairan Kispray sangat berguna bagi penulis yang gampang berkeringat tapi tidak suka pakai parfum. Dijamin bau badan bisa tertutupi.

Kadang kala saya harus mendatangi forum di Jakarta, sementara saya tinggal di Bandung. Tiga jam perjalanan kadang membuat baju kita kusut lagi. Nah, sebaiknya pilihlah baju dengan bahan yang tidak mudah kusut, atau gantunglah dulu di dalam mobil. Pakailah baju saat mendekati lokasi acara di pom bensin atau masjid.

Hal yang mungkin agak menyulitkan adalah ketika kita harus mendatangi acara di luar kota nun jauh selama beberapa hari.  Seperti belum lama ini, saya harus mengikuti workshop bacaan anak untuk pemula di Sanur, Bali, selama lima hari. Pakaian yang sudah disetrika dimasukkan ke koper dengan dilapisi koran agar tak kusut. Begitu sampai hotel, langsung saya gantung dengan kapstok. Alhamdulillah, wangi dan kelembutan baju yang telah disetrika isteri saya dengan Kispray, tetap bertahan sampai hari terakhir.

Mengapa Kispray



Beruntung saya memiliki isteri yang baik hati dan cerdas. Untuk kepentingan penampilan saya, isteri saya senantiasa menyiapkan pakaian dengan baik. Tidak hanya rapi, pakaian pun dibuatnya menjadi wangi. Kuncinya adalah Kispray saat menyetrika pakaian.

Kispray adalah produk Ironing Aid yang memberikan keharuman tahan lama pada pakaian dan memudahkan proses menyetrika pakaian. Dengan formula 3 in 1-nya  (pelicin, pewangi, dan pelembut) pakaian jadi cepat licin saat setrika, memberikan keharuman yang tahan lama, dan membuat kain menjadi lembut/tidak kasar.

Pada musim hujan seperti sekarang ini Kispraysangat membantu lantaran mengandung bahan aktif antikuman yaitu alkyl dimethyl benzyl ammonium chloride, yang efektif membunuh kuman penyebab bau apek dan mencegah tumbuhnya jamur pada pakaian. Sayang kan kalau baju yang dibeli mahal sampai berjamur. Dan kadang pula ada orang yang nggak pernah bau badan tiba-tiba jadi bau karena baju yang dipakainya lembap.

Berdasarkan hitung-hitungan,    kispray lebih hemat, karena tersedia dalam kemasan sachet, hanya perlu ditambahkan air dan tinggal disemprot saat setrika sehingga parfum langsung terserap oleh kain. Bahkan saat menginap di rumah saudara kita bisa bawa Kispray.

Untuk varian aroma, saya dan isteri kebetulan punya selera berbeda. Untunglah Kispray menyediakan empat pilihan.  Amoris, mengandung wangi tumbuhan, mawar, dan bedak. Segeris, mengandung wangi tumbuhan hijau, jasmin, dan wangi parfum. Bluis, mengandung wangi tumbuhan, fresh, clean, dan wangi parfum. DanViolet, mengandung wangi harum bunga-bungaan, mawar, sedikit manis, dan segar.Ada yang bisa menak mana pilihan saya?

Bila tak terlalu suka dengan aroma yang menyengat, tipsnya sangat sederhana. Tambahkan saja air campurannya. Beres.

^_^

CATATAN:

Tulisan ini memenangkan lomba ngeblog KiSpray - Kompasiana






Sunday, March 29, 2015

Menyesal Nonton ‘Ada Surga Di Rumahmu’ Karena …



Pada hari Minggu itu, saya mengajak anak dan isteri saya nonton film Ada Surga Di Rumahmu (ASDR) karya sutradara Aditya Gumay. Namun, rupanya anak saya lebih tertarik nonton film lainnya karena diajak sepupunya. Ditambah kondisi studio yang disesaki  calon penonton, akhirnya hanya saya dan isteri yang menonton film bergenre drama reliji ini.

Film dibuka dengan adegan di lorong rumah sakit, kondisi perempuan sekarat, serta wajah-wajah cemas. Narasi kemudian mengantar penonton menuju ke flashback. Latar Bumi Sriwijaya langsung kita kenali lewat pengambilan gambar di sekitar Sungai Musi lengkap dengan Jembatan Ampera-nya.

Satu persatu tokoh-tokoh pun diperkenalkan kepada penonton.  Adalah Ramadan kecil  (Raihan Khan) yang langsung diketahui menjadi tokoh sentral film ini. Seperti kebanyakan anak lelaki, dia suka membaca komik dan berkelahi. Namun dia memiliki keistimewaan saat membawakan kisah-kisah penuh istimewa di mushola tempatnya mengaji. Semua yang mendengar penuturannya bisa terhanyut hatinya. Termasuk Nayla kecil.

Karena sebuah perkelahian, Ramadan harus menerima ‘hukuman’ yang kemudian membuat cerita film ini makin menarik. Ramadan dikirim orangtuanya ke sebuah pesantren yang dipimpin Ustadz Athar (Ustad Ahmad Al Habsy). Akankah Ramadan berubah drastis? Tentu tidak. Ramadan tetap menjadi anak lelaki yang nakal tapi kreatif.


Di pesantren ini pula, Ramadan mulai memupuk mimpinya ingin masuk televisi.

Kisah berlanjut ketika Ramadan beranjak dewasa (Husein Alatas). Bumbu percintaan pun mulai masuk, disertai konflik cinta segitiga. Penonton diajak menerka akankah Ramadan memilih cinta platoniknya dengan Nayla (Nina Septiani), ataukan jatuh hati dengan pesona Kirana (Zee Zee Shahab) yang hadir kemudian.

Namun yang jelas, impian Ramadan untuk masuk televisi terwujud.  Semua itu dirasakan Ramadan tak lepas dari doa dan keridhoan Abuya danUmi-nya.

Sarat Pesan dan Tangis



Karena bergenre drama, sudah bisa ditebak film ini akan berusaha mengguncang emosi penonton. Dan itu berhasil. Saya mendengar beberapa penonton terisak hampir di sepanjang film.

Kisah kasih sayang orangtua kepada anak memang formula paling mudah untuk menguras air mata. Apalagi ketika penonton dihadapkan adegan Umi (diperankan dengan baik oleh Ema Theana) dalam kondisi sakit ataupun menahan kerinduan. Belum lagi jika melihat tokoh Ramadan juga meneteskan airmata. Saya sendiri sontak teringat kondisi Ibu saya.

Film yang terinspirasi dari buku best seller Ada Surga Di Rumahmu karya Ustad Alhabsyi ini juga dipenuhi dialog-dialog bermakna, yang tadinya saya enggan berpikir apa-apa saat nonton film, mau tak mau mencernanya. Seperti, “Surga itu begitu dekat. Tapi, mengapa kita sibuk mengejar yang jauh?”

Lepas dari itu semua, saya paling menyukai bagian awal saat Ramadan menghabiskan masa kecilnya di pesantren. Penuh kelucuan dan memancing keingintahuan saya tentang kehidupan pesantren. Ketika kecil, imej pesantren memang selalu dirujuk sebagai tempat penggemblengan anak-anak yang nakal. Entah mengapa ceritanya justruterasa singkat. Sehingga saya nggak begitu rela ketika film kemudian menggambarkan sosok Ramadan dewasa.

Film ini memang tak lepas dari berbagai kekurangan. Misalnya, soal ending yang menggantung maupun akting beberapa pemain yang masih belum lepas, sampai sosok stereotype orang kaya yang sombong. Tapi saya tidak ingin terlalu banyak berpikir juga. Mengapa begini, mengapa begitu, biarlah. Yang penting saya merasakan manfaatnya setelah menonton ASDR.

Ketika film berakhir dan kembali ke rumah, saya menyesal menonton hanya berdua. Mengapa tadi membiarkan anak saya tidak jadi nonton film ini? Bukan apa-apa sih. Belakangan ini susah sekali mencari film yang mengajarkan tentang pentingnya seorang anak berbakti kepada orangtua.

^_^