Thursday, July 25, 2013

Mencicipi Ikan Asin Vegetarian di Resto Moey





Penasaran dengan makanan di resto vegetarian di Bandung, akhirnya saya berusaha mencarinya di Internet. Saya pikir hanya ada 1-2 resto, ternyata ada sekitar 10 resto vegetarian di Bandung. Akhirnya saya pilih satu resto vegetarian bernama Moey Snack & Resto.

Letak Moey di Jalan Pajagalan no.81 memang bukan daerah kuliner yang umum di kota Bandung. Orang Bandung sendiri belum tentu tahu letak jalan tersebut. Sekadar petunjuk, bila mengambil Jalan Pasir Koja, setelah perempatan Jalan Astana Anyar, ada belokan ke kiri menuju Jalan Pajagalan. Posisi resto yang baru berusia dua tahun ini berada di sebelah kanan jalan setelah belokan.

Saat sampai, eksterior restonya tampak seperti bekas sebuah toko guci  karena di etalasenya berjajar beberapa guci China. Begitu kami masuk, tampaklah interior ala rumah makan chinese food. Tapi karena tertulis ‘halal’ ya kami masuk tanpa ragu.

Kami memilih duduk di kursi sofa satu-satunya di antara meja-meja kayu seperti di warung bakmie. Pelayan Moey segera menyodorkan kami menu yang tersedia. Jangan kaget ya, walaupun resto ini berkategori vegetarian dan vegan, tapi di menunya kita bisa menemukan rendang, sate, sampai baso. Semua tetap bebeas dari daging. Tentu saja saya tak ingin berharap tinggi dengan hidangan vegetarian ini.



Tuesday, July 16, 2013

Pulau Bidadari, Gerbang Wisata Kepulauan Seribu








Saat saya tiba di dermaga Marina Jaya Ancol , Jakarta, waktu masih menunjukkan pukul 09.00. Saya masih punya satu jam untuk keliling sekitar dermaga sambil menunggu keberangkatan ke tempat acara outing perusahaan kali ini, yakni Pulau Bidadari.

Ini adalah kepergian pertama saya ke Pulau Bidadari. Tak banyak hal yang saya tahu tentang Pulau Bidadari. Bahkan saya sengaja tak browsing lebih dulu lewat Internet, bagaimana dan seperti apa di Pulau Bidadari itu. Biarlah semua menjadi kejutan, agar saya tak memasang harapan yang tinggi outing kali ini.






Pukul sepuluh lebih beberapa menit saya bersama rombongan mulai diminta masuk ke kapal di dermaga 17. Saya senang ketika perahu mulai lepas dari dermaga Marina Jaya Ancol, karena tak ada lagi aroma tak sedap yang mampir ke hidung saya. Saya berusaha menikmati angin laut  menerpa wajah lewat jendela kapal yang terbuka. Dan ternyata dalam waktu kurang dari 20 menit, kami sudah tiba dermaga kecil Pulau Bidadari!

Rupanya, Pulau Bidadari adalah pulau yang paling dekat dengan Teluk Jakarta di bandingkan pulau-pulau lain di Kepulauan Seribu. Bahkan dari pantainya, saya  masih bisa melihat gedung-gedung tinggi di pesisir Teluk  Jakarta.

Tiba di Pulau Bidadari saya melewati patung perempuan sebelum masuk lobi resort. Inikah ‘bidadari’ itu? Saya pernah mendengar, nama Pulau Bidadari diberikan karena para nelayan sering melihat gadis belanda yang cantik di pulau ini. Tentu saja gadis itu sekarang sudah tiada. Tidak pula dikutuk menjadi patung tadi. Alasan lain dinamakan Pulau Bidadari, karena biar seirama dengan pulau-pulau lain yang bernama Pulau Khayangan ataupun Pulau Putri. Sebab dulu, pulau ini pernah dinamakan Pulau Sakit lantaran dijadikan rumah sakit warga Jakarta yang sakit lepra.

Segelas minuman selamat datang saya habiskan sembari menikmati embusan angin laut Jawa. Apa saja yang bisa saya lakukan di pulau ini?
 

Kecil Tapi Komplet

Ada beberapa jenis cottage yang saya lihat ketika menapaki Pulau Bidadari. Ada cottage standar, ada yang untuk keluarga, ada yang suite berbentuk rumah panggung, sampai cottage terapung. Silakan pilih tergantung selera dan budget. Saya sendiri menempati cottage standar di sebelah barat pulau yang bisa ditempati empat orang. Dan pantai di depannya dilarang keras untuk berenang.



Setelah menyimpan ransel di kamar, saya pun mulai mengeksplorasi sekitar pulau. Tepat di depan cottage, saya melihat dermaga kayu sederhana yang menjorok ke pantai hingga 50 meter. Lima orang sedang asyik memancing, ada pula yang memegang jala. 

Sayangnya, pantai di sekitarnya sedang diserbu sampah. Menurut petugas kebersihan yang sedang bekerja, sebelumnya dua hari berturut-turut Jakarta diguyur hujan. Biasanya sampah yang hanyut di sungai, bisa terbawa hingga pantai di Kepulauan Seribu. Dengan kondisi seperti ini, tak heran jika para pemancing sering bersungut kesal karena kailnya nyangkut di sampah plastik.

Saya kemudian menyusuri pantai mengelilingi Pulau Bidadari. Selain hutan bakau, saya melihat beberapa pohon tua yang  tumbuh tinggi di pulau ini. Tidak terbayangkan betapa panasnya siang ini jika tak ada pepohonan. Salah satu pohon besar itu bernama Pohon Jodoh. Konon, pasangan yang berada di pantai bawah Pohon Jodoh akan langgeng hubungannya. Tak heran jika banyak pasangan calon  pengantin terlihat pemotretan pre-wedding di bawah Pohon Jodoh.

Pohon Jodoh

Sekitar 50 meter dari Pohon Jodoh, saya menemukan reruntuhan bangunan tua yang tinggi. Seperti dugaan saya, bangunan itu dulunya adalah sebuah menara bernama Menara Martello. Bukti sejarah peninggalan zaman VOC ini dibangun pada tahun 1850, dan hancur karena gelombang Tidal letusan Gunung Kraktau pada 1883. Anehnya, sampai sekarang belum ditemukan letak pintu masuknya. Tapi jika kita ingin melihat dalamnya dan foto-foto disediakan tangga kayu.

Saya menaiki tangga ke menara itu, melihat dari ketinggian ke dalam menara, lalu menuruni tangga berkeliling menara. Saya berusaha membayangkan kegiatan yang dilakukan orang-orang Belanda ketika menara ini masih berdiri utuh. Cukup membuat bulu kuduk berdiri.

 

Setelah puas mengambil foto, saya kembali melanjutkan keliling pulau. Tak jauh dari menara, saya melihat seekor biawak berjalan di antara rerumputan. Wow! Menarik sekali bisa melihat biawak  berukuran besar. Sekilas, saya seperti melihat seekor komodo.

 Saat meneruskan kembali keliling, saya melihat pula sebuah ruangan setengah tertutup di pinggir pantai khusus untuk atraksi lumba-lumba. Bahkan, tamu bisa berenang dengan lumba-lumba. Tapi karena sedang tidak dibuka, saya hanya bisa mengintip lumba-lumba dari balik pagar penutup, lalu berjalan hingga akhirnya sampai ke cottage tempat saya menginap.

Ternyata tidak sampai 30 menit untuk mengelilingi Pulau Bidadari. Relatif kecil, tapi komplet fasilitasnya. Sore harinya saya main volley pantai, tenis meja, bersepeda, dan aneka permainan lain sampai tak terasa senja tiba. Namun saya kurang beruntung, panorama alam matahari terbenam yang ingin saya abadikan tidak seindah yang saya bayangkan, karena mendung di garis cakrawala. 


Pulau Kolor, eh Kelor

Pagi-pagi sekali saya kembali ke pantai sebelah timur. Sasarannya adalah mencegat matahari terbit dan memotretnya. Tapi lagi-lagi mendung menghalangi cahaya mentari. Akhirnya, saya dan teman-teman hanya bermain di pantai yang masih bersih dari sampah.

Matahari meninggi perlahan, saya lihat teman-teman mulai bersiap main atraksi pantai seperti banana boat dan donut boat. Karena harus antre, saya mencoba alternatif lain mengisi liburan di Pulau Bidadari ini.





Saya kemudian ingat percakapan dengan seorang penjaga toilet di dermaga Marina. Biaya naik speed boat ke Pulau Bidadari per orang adalah Rp 300.000 PP tanpa menginap (termasuk makan siang, minuman selamat datang, dan pajak). Tapi Dedi, petugas toilet itu mengatakan, kalau mau mengirit bisa saja naik kapal kayu. Harganya bisa setengah dari naik speed boat.

Karena penasaran, akhirnya saya memutuskan menjajal naik kapal kayu. Bukan kembali ke dermaga Marina, tapi keliling ke pulau-pulau terdekat dengan Pulau Bidadari. Ternyata untuk paket keliling ke tiga pulau, harganya relatif murah per orang Rp.50.000. Meski tidak semodern speed boat, karena ombak sekitar Pulau Bidadari tak seberapa tinggi, tetap terasa nyaman.



Sayang banget jika sudah sampai Pulau Bidadari, tapi tidak mengunjungi pulau-pulau lainnya. Dan tujuan pertama jelajah kapal kayu adalah ke Pulau Kelor yang hanya sekitar 15 menit dari Pulau Bidadari. Perjalanannya sih sebentar, tapi ketika hendak lompat ke dermaga pulau yang agak sulit karena air sedang surut.

Pulau Kelor ini benar-benar membuat dunia selebar daun kelor. Dari ujung pulau, kita bisa melihat ujung lainnya. Yang menarik, dari laut kita bisa melihat sebuah bangunan tua yang berdiri tinggi di Pulau Kelor. Lebih tinggi dari Menara Martello.

Sepanjang sisi pulau berjajar pemancing, baik nelayan maupun wistawan. Bahkan saya melihat rombongan remaja yang mendirikan tenda dengan kotoran bekas memasak mie instan bekas semalam di depannya. Duh, sayang banget, pulau cantik begini dikotori.

Padahal Pulau kelor memiliki obyek wisata sejarah yang menarik, yakni benteng Martello yang dibangun VOC pada abad 17.  Benteng ini terbuat dari batu merah dan berbentuk silinder agar senjata bisa bermanuver 360 derajat. Benteng ini masih berhubungan dengan Menara Martello di Pulau Bidadari. 


Yang patut disesalkan, benteng ini banyak sekali dikotori para nelayan dan wistawan yang singgah. Bahkan saya melihat beberapa kolor digantung ditembok yang dipaku. Ini Pulau Kelor atau Pulau Kolor ya?

Saya merasa beruntung masih bisa melihat dan merasakan sedikit  keindahan Pulau Kelor dengan bentengnya. Mungkin tak berapa lama lagi benteng ini akan benar-benar runtuh dan pulaunya akan tenggelam karena kurang dirawat dan juga abrasi.

Merinding di Pulau Onrust

Setiap kali berada di obyek wisata sejarah peninggalan Hindia Belanda, sering kali saya merasakan suasana mistis. Mungkin bagi orang lain ini berlebihan. Tapi begitulah yang saya alami, termasuk ketika berikutnya menginjak Pulau Onrust.

Begitu menginjak dermaga kecil di Pulau Onrust lalu berjalan melewati bangunan menara pengawas yang juga berfungsi sebagai loket masuk, saya merasa angin yang bertiup menerpa wajah saya berbeda dengan saat mengunjungi pulau-pulau di sekitarnya.

Maket Onrust Tempo Doeloe
Sebuah monumen batu besar tak membuat saya tertarik berfoto-foto seperti teman-teman saya lainnya. Saya malah ingin terus berjalan, melihat puing-puing di sela-sela pepohonan yang tumbuh di depan saya. Bau getah, angin laut siang hari yang lembap, serta daun-daun yang berguguran menemani saya masuk ke sebuah museum kecil. Saat melihat pecahan puing, koin-koin tua, serta diorama Pulau Onrust tempo doeloe saya merasa Deja Vu. Rasanya pernah melihat semuanya.

Lalu, desau angin yang masuk ke ruangan seolah meminta saya kembali melanjutkan perjalanan. Saya pun meneruskan menapaki jalan setapak yang dihiasi dedaunan yang mulai membusuk, juga lelehan getah dari pepohonan tua.


Saya terdiam sebentar ketika melihat tonggak-tonggak tua, serta dinding penangkal tikus. Pada 1911-1930 Pulau Onrust dijadikan tempat karantina haji oleh pemerintah Hindia Belanda. Konon sekaligus cuci otak agar mereka tidak bersatu melawan Hindia Belanda. Saya membayangkan ribuan orang berdesakan di sana, menunggu waktu pemberangkatan haji yang memakan waktu berbulan-bulan dengan kapal laut. Berapa persenkah yang akhirnya kembali?

BIkin Merinding


Lepas dari sisa-sisa bangsal karantina haji, saya melihat sebuah bangunan, yang konon dipakai untuk mengadu tahanan. Terbayang badan-badan kurus dan korengan diadu . Sungguh, saya tak tertarik berlama-lama di sana.

Langkah saya pun menuju komplek pemakaman dengan kuburan berukuran besar, bahkan nisan-nisannya pun membuat saya tercengang. Makam yang mulai lapuk di makan usia, masih menyisakan batu-batu nisan pemilik kuburan itu. Jika saya mau diam 5 menit saja di antara kuburan itu, saya biasanya bisa mendengar suara-suara samar. Tapi teman-teman saya mulai mengikuti saya, membuat susah konsentrasi.

Akhirnya saya melihat pemakaman lain. Pemakaman muslim, yang ukurannya lebih kecil. Beberapa di antaranya adalah makam para pemberontak yang terlibat dalam Peristiwa Kapal Tujuh pada 1940. Lalu, saya menemukan sebuah bangunan kayu yang menaungi makam keramat pemberontak DI/TII. Tidak dijelaskan namanya. Konon, di sanalah Karto Suwiryo dimakamkan. Ada beberapa sesajen tergeletak di dekatnya. Aura mistis makin kental saat melongok ke dalamnya.

Saya kembali berjalan memutar. Melihat sisa-sisa reruntuhan rumah sakit karantina yang didirikan setelah Indonesia merdeka hingga 1960. Saya membayangkan penderitaan pasien di rumah sakit itu. Terasing. Jauh dari keluarganya, lebih berat beban ketimbang penyakitnya sendiri.

Rasanya saya tak ingin memotret apapun di sana. Saya tak ingin menyimpan kenangan mistis dari Pulau Onrust yang cocok untuk penyuka wisata sejarah ini.

Dan hari semakin siang, saya dan teman-teman memutuskan kembali ke Pulau Bidadari yang asri dan nyaman. Tawaran tukang perahu untuk mampir ke Pulau Khayangan kami tolak bersama. Bukan apa-apa, kami harus segera cek-out kembali menuju dermaga Marina Ancol.

Habis Berapa?

Kira-kira habis berapa untuk menginap di Pulau Bidadari? Karena saya dibayari perusahaan, saya tak tahu menahu soal bayaran. Sebaiknya langsung kunjungi website resminya. Khawatir berubah-ubah.




Jika ingin membeli oleh-oleh, di Pulau Bidadari dijual beberapa cendera mata, mulai dari hiasan dari dari kerang, topi, kaos, sampai celana berlogo Pulau Bidadari. Harganya rata-rata masih di bawah Rp100.000. Saya sengaja membeli celana pantai untuk anak saya.


Monday, July 15, 2013

Pesona Tersembunyi Pantai Sawarna




Pantai Sarwana yang masih asri. ( Foto: Rudyanto Arif Wibisono)

Cukup lama terpendam keinginan saya  untuk mengunjungi Pantai Sawarna, Banten. Sebagai pecinta fotografi, hati saya selalu terbakar setiap mendengar cerita tentang keindahan Sawarna, ditambah ‘racun ‘dari teman-teman yang memamerkan foto-foto Sawarna dari internet.


Hingga suatu senja, saya memutuskan berangkat dari Jakarta memakai mobil pribadi beserta isteri, anak dan dua teman sesama penyuka fotografi. Kemacetan akhir pekan di sekitar Bogor, membuat  waktu tempuh melar menjadi  7,5 jam. Padahal dari Bogor ke Sukabumi, kami  sudah melalui jalur alternatif dengan kondisi jalan yang agak sempit dan curam.  Pertama, melalui jalan tembus dari belakang Istana Bogor sampai ke Lido, kemudian lewat Cikidang. Jalur Cikidang ini agak riskan dilalui pada malam hari, karena harus melalui tanjakan dan turunan curam, belum lagi tikungan tajam. Harus dipastikan kondisi mobil dalam kondisi prima, terutama rem.

Selain lewat Cikidang,  jalan yang biasa dilalui dari Cibadak, Sukabumi,   adalah  lewat Pelabuhan Ratu. Sementara,  bagi yang ingin berangkat kota Serang, bisa menempuh jalur Malimping, Bayah, lalu sampai Sawarna. Alternatif kedua dari kota Serang adalah menuju Rangkasbitung, Gunung Kencana, Malimping, Bayah lalu ke Sawarna.


Waktu sudah melewati tengah malam ketika kami sampai kawasan Sawarna.  Bergegas kami masuk ke resort Little Hula-Hula, yang menyewakan bungalow. Alasan kami memilih karena ukuran bungalownya yang dapat menampung 8-10 orang hanya  tariff Rp800.000 per malam. Ada alternatif penginapan lain disekitarnya  dengan tariff yang bervariasi. Apapun yang dipilih, lebih baik menyewa penginapan yg ber-AC, karena udara siang hari yang amat panas.


Lagoon Pari dan Karang Taraje


Letak Pantai Sawarna berada di desa Sawarna, kecamatan Bayah, provinsi Banten. Sawarna memiliki bentang alam yang lengkap serta kondisinya yang belum rusak oleh sentuhan industri wisata secara serampangan. Sebagian besar penduduknya tinggal di di kaki perbukitan.


Wisatawan begitu masuk Desa Sawarna langsung bisa menikmati lokasi pantai Pulau Manuk. Hamparan karang yang tersebar di Pantai Manuk ini sangat disukai wisatawan. Pulau Manuk dikelilingi hutan tropis hijau memberikan kesegaran alam udara pegunungan. Wisatawan bisa menyaksikan sunset yang merupakan pemandangan alam menakjubkan.


Di Sawarna banyak tersedia guide dan kendaran ojek yang bisa mengantarkan ke obyek wisata. Kami memutuskan memakai jasa guide dengan tarif Rp150.000 untuk mengantar ke Lagoon Pari dan Karang Taraje.



Perjalanan ke Lagoon Pari dan Karang Taraje menggunakan mobil sekitar 3 km. Sampai kemudian kami harus melanjutkan dengan berjalan kaki, melalui jalan setapak selama 30 menit. Yang merasa tidak kuat bisa naik ojek dengan membayar Rp25.000. Jalanan berupa batu-batu lepas yang tidak masalah dilewati motor ojek bila kering. Tapi sehabis hujan akan sangat licin. Menurut guide kami, beberapa kali supir ojek dan penumpangnya terjatuh.


Tantangan lainnya adalah menyebrangi jembatan gantung. Asal berani dan berhati-hati, kita bisa melewatinya dengan mudah. Tantangan lainnya adalah jalanan mendaki yang seperti tak ada hentinya.  Semua terbayar begitu  setelah melihat pemandangan yang indah,  yakni Pantai Lagoon Pari.
Pantai Lagoon Pari yang memancarkan sejuta pesona
kala pagi (foto: Rudyanto Arif Wibisono)

Lagoon Pari berpasir putih, padat,  dan membentang panjang hingga Karang Taraje. Kami bisa melihat kehidupan sehari-hari masyarakat pantai. Untuk yang beriwisata dengan anak-anaknya, banyak spot untuk bermain di pantai yang masih bersih. Bermain pasir sangat baik untuk menegmbangan kecerdasan motorik serta imajinasi yang memancing kreativitas. Tapi tetap harus diawasi, karena karakter ombak di pantai selatan yang cukup besar dan bisa tiba-tiba tinggi.

Dari Lagoon Pari, kami menuju ke Karang Taraje yang tak seberapa jauh.  Di pantai ini kami melihat bebatuan karang yang berundak-undak menyerupai tangga. Mungkin itulah sebabnya dinamakan karang Taraje karena dalam bahasa Sunda taraje berarti tangga.

Bentuk yang tak lazim Karang Taraje inilah yang membuat kami bersemangat berfoto-foto. Namun waktu yang terbaik untuk berfoto di kawasan ini adalah saat matahari terbenam.  Sebab di siang hari, cuaca yang terik malah membuat kehilangan pesonanya. Alternatif lain adalah di saat matahri terbit. Jadi, harus berangkat dari penginapan sesubuh mungkin. Kemudian, cari spot yangg menarik, siapkan kamera dan tripod. Sabarlah menunggu. Saat melihat matahari terbit perlahan-lahan segala kelelahan akan terbayar.
Deburan ombak nan indah di Karang taraje.
(foto: Rudyanto Arif Wibisono)

Sayang waktu kami terbatas di Sawarna. Padahal saya ingin sekali berkunjung ke Tanjung Layar. Di dekat Tanjung Layar terdapat bongkahan karang yang berdiri menjulang dengan tegak berbentuk layar. Bongkahan karang ini dikelilingi gugus karang yang melindungi kawasan yang menjulang ini dari hempasan ombak.
Mudah-mudahan ada kesempatan kedua untuk saya berkunjung kembali ke Sawarna.

(
Benny/Arif)

Terapi Bekicot Ngetop di Jepang

Terapi bekicot agar awet muda. (foto: AFP)



Moluska berlendir satu ini banyak ditemui di Indonesia. Bahkan di halaman rumah saya, sering menjadi hama bagi tanaman tertentu. Itulah si bekicot yang sering saya usir dengan menaburkan garam dapur. Tapi rupanya untuk para pencari formula awet muda, bekicot adalah teman baik.
Mungkin terdengar jijik, tapi begitulah yang sekarang sedang ngetren di Jepang. Mereka membiarkan tiga bekicot berjalan di wajah mereka selama 60 menit. Mereka bisa merasakan berjalan sesukanya mulai dari pipi dan dahi, kemudian mereka harus membayar sekitar Rp2,5 juta kepada kasir klinik perawatan wajah. Perawatan sudah termasuk pijat wajah dan masker wajah.

Kabarnya, lendir bekicot mengandung protein, antioksidan dan asam hyularonic, yang berguna sekali mempertahankan kelembapan kulit, meredakan peradangan dan menyingkirkan kulit mati. “Lendir bekicot dapat membantu pemulihan sel-sel kulit pada wajah, jadi kami berharap bekicot itu membantu menyembuhkan kulit wajah yang rusak,” kata Yoko Miniami, manajer penjualan di klinik kecantikan Tokyo kepada Sunday Telegraph.

Lendir bekicot juga diyakini dapat membantu mengatasi kerusakan akibat sinar matahari. Miniami menambahkan,” Kami tertarik pada fakta bahwa bekicot memiliki fungsi yang dapat membantu menyembuhkan kulit yang rusak akibat sinar ultraviolet.”

Tak puas dengan perawatan di klinik kecantikan itu? Tenang, karena klinik kecantikan juga menyediakan krim lendir bekicot. Dan saat ini lendir bekicot untuk kecantikan tidak hanya heboh di Jepang, tapi juga sampai ke Korea selatan.

Apakah akan sampai ke Indonesia seperti halnya terapi-terapi kecantikan asing lainnya? Tenang saja, bekicot sangat mudah ditemukan di pekarangan rumah kita. Kalau pun nanti menjadi tren, nggak perlu keluar uang sampai jutaan rupiah seperti di Jepang.

Thursday, July 4, 2013

5 Cara Berburu Ide Tulisan



Mau nulis tapi masih suka bingung yang hendak ditulis? Selamat! Kamu berarti masih tergolong penulis MBIK alias Minat Besar Ide Kurang. Padahal, ide bisa kita ditemukan di mana saja. Tinggal pintar-pintarnya kita menangkapnya dengan jeli.
Oke, buat kamu yang bergelar penulis MBIK, jangan gelisah, galau, resah, gulana karena saya akan berikan tips 5 Cara Berburu Ide Tulisan. Entah menulis fiksi, blog, atau lainnya.

#1.  Media massa adalah sumber ide yang tak ada habisnya. Cobalah membaca media cetak (apapun bentuknya) bila merasa gersang ide.  Biasakan membaca dengan kritis untuk merangsang otak kita berburu ide. Jika tak bisa mengakses media cetak, bisa juga mendengar media audio seperti siaran radio. Saya beberapa kali mendapat ide setelah mendengar percakapan seru penyiar di pagi hari atau acara curhat-curhat di malam hari. Jika radionya rusak, nyalakan TV, carilah acara sehat yang memberi vitamin untuk pikiran kita biar bisa menangkap ide. Bawalah notes, karena terpaan di TV biasanya sangat cepat, membuat ide bisa segera datang bertumpuk. Tulislah sementara di notessegera sebelum lupa. Jika TV-nya rusak, bukan Internet. Disana jutaan informasi bisa kita peroleh untuk memancing ide. Pasang alarm, agar kita tidak kelamaan berselancar di dunia Internet, yang akhirnya membuat kita lupa menangkap ide untuk menulis.

#2.  Pasang panca indera kita dengan sungguh dan perhatikan lingkungan di sekitar kita. Baik yang dekat maupun yang jauh dan sengaja kita sambangi. Obrolan tukang sayur dan ibu-ibu, benda-benda di kamar, udara yang tak seperti biasanya, kegaduhan dari tetangga sebelah bisa saja jadi ide untuk kita tuliskan. Biasakan berpikir lateral, tidak konvensional. Malah berakrobatik dengan campuran imajinasi membuat lingkungan sekitar jadi ladang ide untuk kita tulis. Cara ini membuat ide sangat murah, tapi empirik karena kita bersentuhan langsung dengan sumber idenya.

#3.  Saya orang yang paling malas ngobrol, karena merasa omongan saya mahal, nggak diobral. Tapi kalau urusan cari ide, saya getol mengajak ngobrol seseorang (bahkan yang tidak dikenal). Kadang ringan, kadang diskusi serius. Bila tidak mungkin mencatatnya, saya merekamnya.  Jika tidak mungkin merekamnya, saya mengingatnya. Kadang saya hanya mendengar obrolan orang, ataupun ucapan seorang penulis, pembicara, trainer. Betapa komunikasi, baik perorangan maupun publik adalah sumur ide yang tak pernah kering. Tinggal saya yang harus menimbanya menjadi bahan tulisan.

#4.  Diam sambil berpikir adalah cara lain berburu ide. Mengevaluasi hal-hal yang pernah kita lalui, lewati, pahit, manis, asam lalu merefleksikan lewat sebuah tulisan. Pada tahap ini, bisa kita libatkan segenap kemampuan diri kita secara iternal; berpikir bisa juga melibatkan imajinasi dan hati.

#5. Jika 4 langkah di atas belum bisa juga membantu kita untuk mendapatkan ide tulisan, maka segeralah tutup komputer, lalu tidurlah. Berharap saja ada ide mampir di mimpi kita, lalu kita mengingatnya di saat bangun.


by Benny Rhamdani