Saat saya tiba di dermaga Marina Jaya Ancol , Jakarta, waktu
masih menunjukkan pukul 09.00. Saya masih punya satu jam untuk keliling sekitar
dermaga sambil menunggu keberangkatan ke tempat acara outing perusahaan kali
ini, yakni Pulau Bidadari.
Ini adalah kepergian pertama saya ke Pulau Bidadari. Tak
banyak hal yang saya tahu tentang Pulau Bidadari. Bahkan saya sengaja tak
browsing lebih dulu lewat Internet, bagaimana dan seperti apa di Pulau Bidadari
itu. Biarlah semua menjadi kejutan, agar saya tak memasang harapan yang tinggi
outing kali ini.
Pukul sepuluh lebih beberapa menit saya bersama rombongan
mulai diminta masuk ke kapal di dermaga 17. Saya senang ketika perahu mulai
lepas dari dermaga Marina Jaya Ancol, karena tak ada lagi aroma tak sedap yang
mampir ke hidung saya. Saya berusaha menikmati angin laut menerpa wajah lewat jendela kapal yang
terbuka. Dan ternyata dalam waktu kurang dari 20 menit, kami sudah tiba dermaga
kecil Pulau Bidadari!
Rupanya, Pulau Bidadari adalah pulau yang paling dekat dengan
Teluk Jakarta di bandingkan pulau-pulau lain di Kepulauan Seribu. Bahkan dari
pantainya, saya masih bisa melihat
gedung-gedung tinggi di pesisir Teluk Jakarta.
Tiba di Pulau Bidadari saya melewati patung perempuan sebelum
masuk lobi resort. Inikah ‘bidadari’ itu? Saya pernah mendengar, nama Pulau
Bidadari diberikan karena para nelayan sering melihat gadis belanda yang cantik
di pulau ini. Tentu saja gadis itu sekarang sudah tiada. Tidak pula dikutuk
menjadi patung tadi. Alasan lain dinamakan Pulau Bidadari, karena biar seirama dengan pulau-pulau lain yang bernama Pulau Khayangan ataupun Pulau Putri. Sebab dulu, pulau ini pernah dinamakan Pulau Sakit lantaran dijadikan rumah sakit warga Jakarta yang sakit lepra.
Segelas minuman selamat datang saya habiskan sembari menikmati
embusan angin laut Jawa. Apa saja yang bisa saya lakukan di pulau ini?
Kecil Tapi Komplet
Ada beberapa jenis cottage yang saya lihat ketika menapaki
Pulau Bidadari. Ada cottage standar, ada yang untuk keluarga, ada yang suite
berbentuk rumah panggung, sampai cottage terapung. Silakan pilih tergantung
selera dan budget. Saya sendiri menempati cottage standar di sebelah barat
pulau yang bisa ditempati empat orang. Dan pantai di depannya dilarang keras
untuk berenang.
Setelah menyimpan ransel di kamar, saya pun mulai
mengeksplorasi sekitar pulau. Tepat di depan cottage, saya melihat dermaga kayu
sederhana yang menjorok ke pantai hingga 50 meter. Lima orang sedang asyik
memancing, ada pula yang memegang jala.
Sayangnya, pantai di sekitarnya sedang diserbu sampah.
Menurut petugas kebersihan yang sedang bekerja, sebelumnya dua hari
berturut-turut Jakarta diguyur hujan. Biasanya sampah yang hanyut di sungai,
bisa terbawa hingga pantai di Kepulauan Seribu. Dengan kondisi seperti ini, tak
heran jika para pemancing sering bersungut kesal karena kailnya nyangkut di
sampah plastik.
Saya kemudian menyusuri pantai mengelilingi Pulau Bidadari.
Selain hutan bakau, saya melihat beberapa pohon tua yang tumbuh tinggi di pulau
ini. Tidak terbayangkan betapa panasnya siang ini jika tak ada pepohonan. Salah
satu pohon besar itu bernama Pohon Jodoh. Konon, pasangan yang berada di pantai
bawah Pohon Jodoh akan langgeng hubungannya. Tak heran jika banyak pasangan calon pengantin terlihat pemotretan pre-wedding di
bawah Pohon Jodoh.
|
Pohon Jodoh |
Sekitar 50 meter dari Pohon Jodoh, saya menemukan reruntuhan
bangunan tua yang tinggi. Seperti dugaan saya, bangunan itu dulunya adalah
sebuah menara bernama Menara Martello. Bukti sejarah peninggalan zaman VOC ini
dibangun pada tahun 1850, dan hancur karena gelombang Tidal letusan Gunung
Kraktau pada 1883. Anehnya, sampai sekarang belum ditemukan letak pintu
masuknya. Tapi jika kita ingin melihat dalamnya dan foto-foto disediakan tangga
kayu.
Saya menaiki tangga ke menara itu, melihat dari ketinggian ke
dalam menara, lalu menuruni tangga berkeliling menara. Saya berusaha
membayangkan kegiatan yang dilakukan orang-orang Belanda ketika menara ini
masih berdiri utuh. Cukup membuat bulu kuduk berdiri.
Setelah puas mengambil foto, saya kembali melanjutkan
keliling pulau. Tak jauh dari menara, saya melihat seekor biawak berjalan di
antara rerumputan. Wow! Menarik sekali bisa melihat biawak berukuran besar. Sekilas, saya seperti melihat
seekor komodo.
Saat meneruskan
kembali keliling, saya melihat pula sebuah ruangan setengah tertutup di pinggir
pantai khusus untuk atraksi lumba-lumba. Bahkan, tamu bisa berenang dengan
lumba-lumba. Tapi karena sedang tidak dibuka, saya hanya bisa mengintip lumba-lumba
dari balik pagar penutup, lalu berjalan hingga akhirnya sampai ke cottage
tempat saya menginap.
Ternyata tidak sampai 30 menit untuk mengelilingi Pulau
Bidadari. Relatif kecil, tapi komplet fasilitasnya. Sore harinya saya main
volley pantai, tenis meja, bersepeda, dan aneka permainan lain sampai tak terasa
senja tiba. Namun saya kurang beruntung, panorama alam matahari terbenam yang
ingin saya abadikan tidak seindah yang saya bayangkan, karena mendung di garis
cakrawala.
Pulau Kolor, eh Kelor
Pagi-pagi sekali saya kembali ke pantai sebelah timur. Sasarannya
adalah mencegat matahari terbit dan memotretnya. Tapi lagi-lagi mendung
menghalangi cahaya mentari. Akhirnya, saya dan teman-teman hanya bermain di
pantai yang masih bersih dari sampah.
Matahari meninggi perlahan, saya lihat teman-teman mulai bersiap main atraksi pantai seperti banana boat dan donut boat. Karena harus antre, saya mencoba alternatif lain mengisi liburan di Pulau Bidadari ini.
Saya kemudian ingat percakapan dengan seorang penjaga toilet
di dermaga Marina. Biaya naik speed boat ke Pulau Bidadari per orang adalah Rp
300.000 PP tanpa menginap (termasuk makan siang, minuman selamat datang, dan pajak). Tapi Dedi, petugas toilet itu mengatakan, kalau mau mengirit bisa
saja naik kapal kayu. Harganya bisa setengah dari naik speed boat.
Karena penasaran, akhirnya saya memutuskan menjajal naik
kapal kayu. Bukan kembali ke dermaga Marina, tapi keliling ke pulau-pulau
terdekat dengan Pulau Bidadari. Ternyata untuk paket keliling ke tiga pulau,
harganya relatif murah per orang Rp.50.000. Meski tidak semodern speed boat,
karena ombak sekitar Pulau Bidadari tak seberapa tinggi, tetap terasa nyaman.
Sayang banget jika sudah sampai Pulau Bidadari, tapi tidak
mengunjungi pulau-pulau lainnya. Dan tujuan pertama jelajah kapal kayu adalah
ke Pulau Kelor yang hanya sekitar 15 menit dari Pulau Bidadari. Perjalanannya
sih sebentar, tapi ketika hendak lompat ke dermaga pulau yang agak sulit karena
air sedang surut.
Pulau Kelor ini benar-benar membuat dunia selebar daun kelor.
Dari ujung pulau, kita bisa melihat ujung lainnya. Yang menarik, dari laut kita
bisa melihat sebuah bangunan tua yang berdiri tinggi di Pulau Kelor. Lebih
tinggi dari Menara Martello.
Sepanjang sisi pulau berjajar pemancing, baik nelayan maupun
wistawan. Bahkan saya melihat rombongan remaja yang mendirikan tenda dengan
kotoran bekas memasak mie instan bekas semalam di depannya. Duh, sayang banget,
pulau cantik begini dikotori.
Padahal Pulau kelor memiliki obyek wisata sejarah yang menarik,
yakni benteng Martello yang dibangun VOC pada abad 17. Benteng ini terbuat dari batu merah dan
berbentuk silinder agar senjata bisa bermanuver 360 derajat. Benteng ini masih
berhubungan dengan Menara Martello di Pulau Bidadari.
Yang patut disesalkan, benteng ini banyak sekali dikotori
para nelayan dan wistawan yang singgah. Bahkan saya melihat beberapa kolor
digantung ditembok yang dipaku. Ini Pulau Kelor atau Pulau Kolor ya?
Saya merasa beruntung masih bisa melihat dan merasakan
sedikit keindahan Pulau Kelor dengan
bentengnya. Mungkin tak berapa lama lagi benteng ini akan benar-benar runtuh
dan pulaunya akan tenggelam karena kurang dirawat dan juga abrasi.
Merinding di
Pulau Onrust
Setiap kali berada di obyek wisata sejarah peninggalan Hindia Belanda, sering kali saya merasakan suasana mistis. Mungkin bagi orang lain ini
berlebihan. Tapi begitulah yang saya alami, termasuk ketika berikutnya menginjak
Pulau Onrust.
Begitu menginjak dermaga kecil di Pulau Onrust lalu berjalan
melewati bangunan menara pengawas yang juga berfungsi sebagai loket masuk, saya
merasa angin yang bertiup menerpa wajah saya berbeda dengan saat mengunjungi
pulau-pulau di sekitarnya.
|
Maket Onrust Tempo Doeloe |
Sebuah monumen batu besar tak membuat saya tertarik
berfoto-foto seperti teman-teman saya lainnya. Saya malah ingin terus berjalan,
melihat puing-puing di sela-sela pepohonan yang tumbuh di depan saya. Bau
getah, angin laut siang hari yang lembap, serta daun-daun yang berguguran
menemani saya masuk ke sebuah museum kecil. Saat melihat pecahan puing,
koin-koin tua, serta diorama Pulau Onrust tempo doeloe saya merasa Deja Vu.
Rasanya pernah melihat semuanya.
Lalu, desau angin yang masuk ke ruangan seolah meminta saya
kembali melanjutkan perjalanan. Saya pun meneruskan menapaki jalan setapak yang
dihiasi dedaunan yang mulai membusuk, juga lelehan getah dari pepohonan tua.
Saya terdiam sebentar ketika melihat tonggak-tonggak tua,
serta dinding penangkal tikus. Pada 1911-1930 Pulau Onrust dijadikan tempat
karantina haji oleh pemerintah Hindia Belanda. Konon sekaligus cuci otak agar
mereka tidak bersatu melawan Hindia Belanda. Saya membayangkan ribuan orang berdesakan
di sana, menunggu waktu pemberangkatan haji yang memakan waktu berbulan-bulan
dengan kapal laut. Berapa persenkah yang akhirnya kembali?
|
BIkin Merinding |
Lepas dari sisa-sisa bangsal karantina haji, saya melihat
sebuah bangunan, yang konon dipakai untuk mengadu tahanan. Terbayang
badan-badan kurus dan korengan diadu . Sungguh, saya tak tertarik
berlama-lama di sana.
Langkah saya pun menuju komplek pemakaman dengan kuburan
berukuran besar, bahkan nisan-nisannya pun membuat saya tercengang. Makam yang
mulai lapuk di makan usia, masih menyisakan batu-batu nisan pemilik kuburan
itu. Jika saya mau diam 5 menit saja di antara kuburan itu, saya biasanya bisa
mendengar suara-suara samar. Tapi teman-teman saya mulai mengikuti saya,
membuat susah konsentrasi.
Akhirnya saya melihat pemakaman lain. Pemakaman muslim, yang
ukurannya lebih kecil. Beberapa di antaranya adalah makam para pemberontak yang
terlibat dalam Peristiwa Kapal Tujuh pada 1940. Lalu, saya menemukan sebuah
bangunan kayu yang menaungi makam keramat pemberontak DI/TII. Tidak dijelaskan
namanya. Konon, di sanalah Karto Suwiryo dimakamkan. Ada beberapa sesajen
tergeletak di dekatnya. Aura mistis makin kental saat melongok ke dalamnya.
Saya kembali berjalan memutar. Melihat sisa-sisa reruntuhan
rumah sakit karantina yang didirikan setelah Indonesia merdeka hingga 1960.
Saya membayangkan penderitaan pasien di rumah sakit itu. Terasing. Jauh dari
keluarganya, lebih berat beban ketimbang penyakitnya sendiri.
Rasanya saya tak ingin memotret apapun di sana. Saya tak
ingin menyimpan kenangan mistis dari Pulau Onrust yang cocok untuk penyuka
wisata sejarah ini.
Dan hari semakin siang, saya dan teman-teman memutuskan
kembali ke Pulau Bidadari yang asri dan nyaman. Tawaran tukang perahu untuk
mampir ke Pulau Khayangan kami tolak bersama. Bukan apa-apa, kami harus segera
cek-out kembali menuju dermaga Marina Ancol.
Habis Berapa?
Kira-kira habis berapa untuk menginap di Pulau Bidadari? Karena saya dibayari perusahaan, saya tak tahu menahu soal bayaran. Sebaiknya langsung kunjungi website resminya. Khawatir berubah-ubah.
Jika ingin membeli oleh-oleh, di Pulau Bidadari dijual beberapa cendera mata, mulai dari hiasan dari dari kerang, topi, kaos, sampai celana berlogo Pulau Bidadari. Harganya rata-rata masih di bawah Rp100.000. Saya sengaja membeli celana pantai untuk anak saya.