Monday, April 22, 2013

Neilson Hays Library: Perpustakaan Tanda Cinta

Neilson Hays Library yang Nyaman.

Jika di India ada Taj Mahal sebagai tanda cinta Shah Jahan atas wafatnya sang isteri tercinta Mumtaz Mahal, lain lagi dengan di Bangkok, Thailand.  Pria berkulit putih Heywood Hays membangun sebuah perpustakaan atas kepergian isterinya karena Kolera.

Bangunan itu sangat mudah dicapai  karena berdekatan dengan stasiun MRT  Silom atau  stasiun BTS Saladang.  Cukup berjalan kaki melewati gedung-gedung bertingkat sampailah di salah satu tempat yang teduh di Sarawong Road. Jika melihat sebuah bangunan bergaya Neo-klasik, itulah Neilson Hays Library.

Berawal ketika  pada  1869 sekumpulan wanita  kulit putih yang senang membaca buku membentuk  The Bangkok Ladies Library Association.  Kemudian. Bergabunglah seorang missionari bernama  Jennie Neilson pada 1881. Dia senang dengan klab buku tersebut karena bisa saling menukar buku dan diakusi buku.
Lambang Cinta.

Jennie menikah dengan Dr Thomas Heywood Hays yang begitu mendukung kegiatannya membuat perpustakaan. Sayangnya Jennie meninggal tiba-tiba pada tahun 1920 – diduga  akibat kolera.  Dr Hays  pun membangun sebuah gadung perpustakaan baru sebagai tanda cinta untuk isterinya.


Perpustakaan baru  dibuka pada  26 Juni 1922. Dirancang oleh arsitek Italia Mario Tamagno,  bangunan baru menampilkan kekayaan fitur klasik seperti plesteran bermotif dan lantai kayu jati. Fokus arsitekturnya  adalah kubah Italianate yang indah. Bangunan ini digambarkan oleh Bangkok Times, pada saat pembukaan sebagai “… sebuah istana besar dalam skala kecil”.  Perpustakaan Nielsen Hays diberi status “Historic Landmark” pada tahun 1986 oleh Asosiasi Arsitek Siam.

Kini, Neilson Hays Library menjadi perpustakaan umum dengan sistem keanggotaan. Meskipun demikian, perpusatakaan ini lebih dikenal sebagai perpustakaan untuk anak. Apalagi diediakan sudut koleksi untuk anak-anak. Sementara, setelah pintu masuk bagian ini, dijadikan galeri untuk ruang pameran lukisan dan karya seni lainnya.
Ruang baca anak.



Jika merasa lapar, pengunjung tidak perlu khawatir. Disini, disediakan pula kafe untuk menyantap hidangan bersama keluarga. Kafe yang terang ini mengombinasikan konsep dalam dan luar ruangan. Kafe yang didominasi dengan warna hijau, menjadikannya sebagai lokasi sempurna untuk beristirahat sejenak. Bahkan, kadang kala di sini diadakan kegiatan-kegiatan khusus, misalnya acara untuk anak-anak, pertemuan pengarang buku atau para seniman.

Secara pribadi saya senang berkunjung ke perpustakaan. Apalagi yang menyimpan koleksi buku-buku kuno seperti Neilson Hays Library. Saya membayangkan suatu hari buku saya berada di perpustakaan tersebut dan dibaca banyak orang.

(br)

Kunjungan ke Bangkok, Ibukota Buku Dunia 2013

Promosi Hingga ke Monore
Penetapan UNESCO kepada  Bangkok sebagai Ibukota Buku Dunia  untuk tahun 2013 di Paris, 27 Juni 2011, membuat saya penasaran ingin mengunjungi ibukota Thailand tersebut. Seberapa hebatnya dunia perbukuan di sana.
Keinginan saya terwujud, ketika Mizan Publishing mengutus saya mengunjungi Bangkok International Book Fair yang digelar 29 Maret-8 April 2013. Acara yang diselenggarakan Asosiasi Penerbit dan Penjual Buku Thailand (Pubat) ini menampilkan 950 stand dengan melibatkan 400 penerbit lokal dan puluhan penerbit dari Taiwan, Singapura dan Korea Selatan.

Dari tempat saya menginap di kawasan Lumphini, saya cukup naik MRT selama 10 menit menuju lokasi pameran di Queen Sirikit National Conventional Centre. Dari stasiun MRT Queen Sirikit, akses menuju tempat pameran hanya 50 meter. Sehingga calon pengunjung yang menggunakan kendaraan umum amat nyaman.  Sangat berbeda dengan pameran buku di Jakarta. Dari halte busway harus naik ojek atau berjalan kaki lebih dari seratus meter.

Masuk ke selasar arena pameran yang telah memasuki tahun ke-45 untuk skala nasional, dan ke-11 untuk skala internasional, saya langsung disambut dengan jajaran komik-komik Asia yang mencolok warna sampulnya. Namun karena saya datang awal, stand-stand di luar itu belum dibuka. Saya pun masuk ke dalam hall tanpa tiket, yang di depannya merupakan food court. Setelah melewati lorong, sampailah ke dalam hall luas yang sangat ramai.
Serunya Stand Buku Anak. (foto Beny Rhamdani)

Ruangan pameran yang sejuk membuat saya  lupa suhu di Bangkok saat itu mencapai 40 derajat Celsius. Saya pun mulai memerhatikan sudut-sudut ruang pameran buku yang tahun ini bertema “Read for Life”. Meskipun ukuran stan  mirip dengan pameran di Jakarta, namun tampilannya lebih aktratif. Buku tidak berjejal begitu banyak sehingga pengunjung masih leluasa memilih-milih buku.

Budaya membaca di generasi muda sangat kuat. (foto Benny Rhamdani)
Kedatangan saya ke pameran kali ini, selain melihat perkembangan buku di Thailand, juga menawarkan right buku Indonesia untuk diterbitkan di Thailand. Orang-orang penerbitan di Thailand relatif lebih terbuka dan ramah untuk diajak kerjasama di industri perbukuan. Demikian halnya dengan mitra agen yang saya temui, bisa diajak diskusi panjang lebar tentan rencana penerbitan. Walaupun menurut saya, ruang untuk pertemuan dengan agen ini sangat sempit dibandingkan di Frankfurt, Jerman.


Hal yang sangat saya kagumi di arena pameran, pengunjung malah didominasi kalangan pelajar dan mahasiswa. Mereka antusias berebut buku-buku yang dijual, mulai dan novel, komik sampai buku-buku non fiksi, buku asing, buku akademik dan buku-buku tua berkelas. Acara-acara yang melibatkan kaum muda pun berlimpah, mulai dari workshop penulisan, festival komik, dan sebaginya.

Selain pameran buku, juga digelar pameran foto HM Raja dan karya terjemahan HRH Princess Maha Chakri Sirindhorn, serta sejumlah stand e-book oleh penerbit online.

Layak


Mengutip situs BBC Travel, General Director UNESCO Irina Bokova mengatakan, Bangkok dicanangkan sebagai World Book Capital 2013 karena fokus kepada komunitas dan pro terhadap perkembangan kultur membaca.

Saya yang berangkat bersama enam penulis DAR! Mizan saat menyusuri Kota Bangkok mendapati banyak toko dengan rak-rak penuh buku. Toko-toko ini menjual aneka novel, majalah, sampai komik manga. Beberapa mal besar seperti Siam Paragon sudah dilengkapi jaringan toko buku asal Jepang yakni Kinokuniya, dan perusahaan buku berbahasa Inggris terbesar di Thailand yakni Asia Books.

Ada pula jaringan toko buku Barnes & Noble asal AS, dan Waterstones asal Britania Raya. Toko-toko buku ini punya atmosfer yang nyaman untuk pengunjung bersantai sambil membaca. Ada sofa, pendingin udara, lantai kayu, dan komputer yang bisa digunakan untuk selancar dunia maya.

Para penggemar buku bekas bisa menemukan ‘harta karun’ di Dasa Books, Jalan Sukhumvit. Ada lebih dari 16.000 buku bekas dalam berbagai bahasa untuk dijual maupun dibaca di tempat. Di sini, wisatawan bisa membaca buku di kafe sambil menyeruput kopi dan mengunyah brownies cokelat.

Untuk sekadar membaca, sempatkanlah mengunjungi Library Cafe yang masih berlokasi di Jalan Sukhumvit. Toko buku mungil ini punya atmosfer yang sangat nyaman, dengan interior ala tahun 1950-an. Kita bisa membaca buku sepuasnya sambil memesan kopi panas.


(br)

Monday, April 15, 2013

Sunday, April 14, 2013