Para Bloggers Filipina. (foto: blognapinoy.com) |
Sudah lama saya sering
menggunakan frasa ‘kebebasan informasi’ dalam keseharian. Namun, saya baru faham
definisinya begitu mencarinya (lagi-lagi) di Wikipedia. Kebebasan informasi,
menurut Wikipedia, merupakan hak asasi manusia yang diakui oleh hukum
internasional dalam mendapatkan informasi dengan bebas, yang mencakup bukan
hanya dalam teks dan gambar, tetapi juga
pada sarana berekspresi itu sendiri terutama dalam pemanfaatan teknologi
informasi.
Kebebasan informasi terutama
dalam mendapatkan hak akses informasi dari Internet serta media massa lainnya
seperti televisi, radio, surat kabar, buku dan lain sebagainya, juga merupakan
nilai dasar dalam kehidupan berdemokrasi. Oleh karena itu kebebasan memperoleh
informasi bagi masyarakat dapat menjadi dasar dalam meningkatan partisipasi
dari masyarakat itu sendiri, mengingat ketersediaan informasi yang memadai
tentunya akan dapat mendorong masyarakat untuk lebih mampu berpartisipasi dalam
proses pembuatan kebijakan secara efektif dan berarti.
Pada kenyataannya, tidak semua
negara mengecap kebebasan informasi. Di beberapa negara ASEAN saja, seperti
Laos, Myanmar, dan Kamboja, informasi masih dikendalikan pemerintah. Tidak cuma
mendapatkan akses informasi, bahkan kebebasan berekpresi menyampaikan informasi
melalui blog saja sulit sekali.
Guru pemasaran Hermawan Kartajaya
mengungkapkan di Pre-Conference ASEAN
Blogger Festival 2013, Jakarta (20/4/2013), di ASEAN hanya di negara Indonesia dan Filipina
saja yang memiliki kebebasan berekspresi.
Thailand (135) meskipun index
kebebasan press-nya dinilai Reporter Without Border lebih baik dari Indonesia
(139), namun nyatanya di sana orang tidak bisa seenaknya mengritik keluarga kerajaan,
termasuk di sosial media. Sementara di Indonesia seperti juga di Filipina, orang bisa sehari tiga
kali mencaci pemerintah lewat Twitter. Di Vietnam, pemerintah langsung
menyatakan akan menghukum berat blogger yang mengkritik pemerintah.
Mirip di Indonesia
Dalam beberapa hal, soal
kebebasan informasi dan kebebasan berekspresi di Filipina memiliki sejumlah
kesamaan. Di Indonesia dua kebebasan tersebut tidak bisa diumbar sebebas-bebasnya.
Pemerintah RI tetap mengaturnya di dalam UU RI no. 11 tahun 2008.
Di Filipina pada 12 september
2012, telah dibuat UU antikejahatan internet atau biasa disebut Cybercrime
Prevention Act of 2012. UU tersebut dibuat bertujuan untuk mengatasi masalah
hukum yang menyangkut interaksi secara online
di Filipina. Di antara pelanggaran cybercrime adalah cybersquatting, cybersex, pornografi anak, pencurian identitas,
akses ilegal ke data dan pencemaran nama baik.
Dengan UU itu maka kejahatan di
dunia maya diancam dengan ganjaran hukuman maksimal 12 tahun penjara selain
hukuman denda.
Pose alay ABG Filipina pun mirip ABG Indonesia. (foto:google) |
UU tersebut ternyata mengundang
reaksi dari para jurnalis dan sejumlah blogger di Filipina. Setali tiga uang
dengan di Indonesia. Bahkan ada beberapa
hacker yang kemudian meretas situs
pemerintahan. Lembaga hak asasi yang berkantor di Amerika Serikat, Human Right
Watch, juga berkomentarmenyebut undang-undang itu akan menghambat kebebasan
berbicara.
Sepekan kemudian, Mahkamah Agung
di Filipina melarang pemberlakukan undang-undang baru tentang kejahatan
internet tersebut, yang oleh para pengamat dikatakan menghalangi kebebasan
berpendapat. Setelah melewati beberapa sidang dan penundaan keputusan, akhirnya
pada 24 Mei 2013, kementerian hukum setempat menghapus aturan tentang
pencemaran nama baik secara online.
Yang berbeda dengan di Indonesia, pemerintah Filipina mau mendengar masukan dari jurnalis, blogger dan sejumlah aktivis HAM agar menunda pelaksanaan UU antikejahatan internet itu. Nasib Undang-undang ini selanjutnya akan
diurus oleh rapat senat Filipina nanti.
Mengapa Mirip?
Mengapa kondisi kebebasan
informasi dan kebebsan berekspresi di Filipina nyarisa sama dengan di Indonesia. Karena ternyata banyak kesamaan
yang bisa dilihat dari dua negara ASEAN ini. Keduanya sama-sama masuk dalam euphoria
demokrasi yang hampir bersamaan, setelah satu era pemerintahan yang berlangsung
lama. Secara demografis, keduanya sama-sama negara kepulauan, walaupun Filipina
lebih kecil. Keduanya juga memiiki tingkat korupsi yang tinggi, sehingga
masyarakat ingin mengkritik system yang ada sebanyak mungkin.
Entah dengan undang-undang atau tidak, saya merasa Filipina dan Indonesia tetap harus memiliki aturan untuk kebebasan informasi dan kebebasan berekspresi agar tidak kebabablasan. Pendidikan dan sosialisasi etika begaul di dunia maya harus terus dilakukan.
Apabila Filipina (juga Indonesia) berhasil menumbuhkan kesadaran agar masyarakatnya memakai internet untuk hal-hal positif, tidak mustahil negara-negara ASEAN lainnya akan lebih terbuka pula dalam kebebasan informasi dan kebebasan berekspresi, meniru Filipina. Apalagi saat mulai diberlakukannya Komunitas ASEAN 2015, setiap blogger di masing-masing negara saya harapkan dapat menulis apa saja tentang negara ASEAN lainnya, untuk masyarakat ASEAN yang lebih kondusif.
Saya pikir unuk Komunitas Blogger ASEAN, blogger Indonesia bisa lebih banyak melakukan kerja sama dengan blogger Filipina. Ada yang nggak setuju?
OOooOO
referensi: wikipedia dan BBC.
Tulisan ini diikutsertakan dalam
#10daysforASEAN
referensi: wikipedia dan BBC.
Tulisan ini diikutsertakan dalam
#10daysforASEAN
0 komentar:
Post a Comment