Pedra Branca? Ya, saya ingat. Karena saya pernah punya kenangan dengan nama ini.
Pedra Branca atau orang Malaysia menyebutnya Pulau Batu Puteh
adalah nama sebuah pulau seluas 8.560 meter persegi di Selat Singapura. Pedra
Branca awalnya dalam wilayah Kesultanan Johor yang didirikan pada tahun 1528.
Sengketa Malaysia dan Singapura mengenai kepemilikan atas Pedra
Branca muncul pada tahun 1979 ketika
pemerintah Malaysia menerbitkan sebuah peta yang memasukkan pulau Pedra Branca
dalam wilayah kedaulatan Malaysia. Kemudian Malaysia berargumentasi pula bahwa
Kesultanan Johor sempat memiliki pulau itu pada abad ke16.
Singapura bereaksi dengan
menyampaikan protes resmi atas pengakuan Malaysia tersebut pada 15 Februari 1980 yang menolak klaim Malaysia
dan meminta untuk mengakui kedaulatan Singapura atas Pedra Branca.
Menurut Singapura, Inggris mendapatkan hak atas pulau itu
sejak tahun 1847 dengan bukti sejarah sudah membangun mercusuar Horsburgh di
Pedra Branca pada tahun 1847. Selanjutnya pada tahun 1852 hingga 1952, Singapura
mempunyai bukti surat menyurat antara Colonial Secretary of Singapore kepada
British Adviser to the Sultan of Johor tahun 1953, Acting Secretary of Johor
menyatakan bahwa “Johore Government does not claim ownership of Pedra
Branca.“
Malaysia dan Singapura berusaha menyelesaikan sengketa
melalui serangkaian negosiasi bilateral dari tahun 1993 sampai tahun 1994. Akhirnya
keduanya sepakat menandatangani Perjanjian Khusus pada tanggal 6 Februari 2003
(yang mulai berlaku pada tanggal 9 Mei 2003) dan menyerahkan sengketa kepada
Mahkamah Internasional atau International Court of Justice (ICJ) pada 24 Juli 2003, karena salah satu alternatif penyelesaian
sengketa secara hukum atau judicial settlement dalam hukum internasional adalah
penyelesaian melalui Mahkamah Internasional.
ICJ pada 23 Mei 2008, menetapkan Singapura sebagai pihak yang
berdaulat atas Pedra Branca. Malaysia memperoleh hak Batuan Tengah. Sementara
Karang Selatan yang masih satu gugusan masih belum jelas kepemilikannya.
Indonesia sebenarnya lebih berhak atas Karang Selatan karena wilayah itu lebih
dekat dengan Indonesia, yakni 7 Mil dari Pulau Bintan (Kepri), sedangkan
Malaysia (Johor) 10 Mil bahkan Singapura jaraknya lebih jauh lagi, 21 Mil .
Dampak Sengketa
Sengketa mengenai wilayah selalu menimbulkan ketegangan
antara pihak yang bersengketa dan memunculkan sentimen nasionalisme sesaat di
dalam negeri yang dapat membahayakan stabilitas dan ketegangan di kawasan,
dalam hal ini tentunya ASEAN.
Saya pernah merasakan ketegangan itu karena pada Mei 2008
saya sedang di Kuala Lumpur, Malaysia. Saya membaca di koran-koran setempat reaksi
warga Malaysia yang kecewa dengan keputusan itu. Bisa dibayangkan selama 29
tahun, sejak sengketa dimulai, warga dua negara itu diam-diam memendam percik
api permusuhan. Dan, saya kerap membaca itu di forum-forum diskusi politik di
Internet.
Saya sempat pula membayangkan terjadi perang antara Malaysia
dan Singapura, seperti yang terjadi di beberapa negara saat bersengketa soal
wilayah perbatasan, India dan Pakistan misalnya. Singapura, walaupun kecil
wilayahnya memiliki militer yang handal dan alutsita yang sangat modern. Dan Malaysia pun bukan negeri yang tak pernah
memperbaikin angkatan perangnya.
Jika Singapura dan Malaysia berperang, maka sudah pasti ASEAN
akan menjadi sorotan dunia. Bagaimana dua negara dalam satu organisasi teritorial
bisa dibiarkan perang? Bukan cuma itu. Dampak perang pun akan merembet ke mana-mana.
Dan Indonesia sebagai negara tetangga akan terkena getahnya.
Tapi untunglah, Singapura masih mengupayakan penyelesaian sengketa
secara damai. Inilah jalan terbaik untuk menghindari pengorbanan nyawa yang
tidak dibutuhkan. Padahal, percik bentrok senjata memungkinkan terjadi pada
1980-an. Saat itu Kapal Polisi Kelautan
Malaysia memasuki perairan sekitar Pedra Branca. Namun Singapura menahan
diri. Pemerintah Singapuran telah memberi instruksi ketat kepada angkatan
lautnya untuk tidak meningkatkan masalah.
Pada tahun 1989, Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad pernah
melakukan kunjungan mendadak ke sekitar Pedra Branca. Kapalnya dicegat oleh kapal
angkatan laut Singapura. Untuk menghindari
insiden internasional, angkatan laut Singapura hanya mengarahkan kapal yang
ditumpangi Mahathir Mohammad agar menjauh.
Memetik Pelajaran
Siapapun bisa memetik banyak pelajaran berharga dari kasus
ini. Apalagi negara-negara ASEAN yang masih dalam satu kawasan. Beberapa hal
yang bisa dipetik antara lain lebih mementingkan perdamaian di kawasan ASEAN
untuk setiap persengketaan antar negara yang muncul, dan melakukan upaya
diplomasi terlebih dahulu. Keterlibat diplomat
ulung serta pakar hukum internasional mutlak diperlukan.
ASEAN sendiri sudah ASEAN menelurkan berbagai traktat seperti
Asia Tenggara sebagai zona damai, bebas, dan netral (zone of peace, freedom,
and neutrality), zona bebas senjata nuklir, treaty of amity and co-operation
(TAC), dan berbagai persetujuan kerja sama lainnya.
Dan menjelang berlakunya Komunitas ASEAN 2015 salah satu
pilar telah pula diputuskan yakni Komunitas Politik Keamanan ASEAN (ASEAN
Political Security Community/APSC) ditujukan untuk mempercepat kerjasama
politik keamanan di ASEAN guna mewujudkan perdamaian, termasuk
dengan masyarakat internasional.Saya optimis pilar ini akan bermanfaat dan berjalan. Karena masyarakat ASEAN yang saya tahu, walaupun akan berjuang mati-matian demi wilayahnya, tapi akan menempatkan perang militer sebagai upaya paling terakhir. Sebisa mungkin tidak perlu malah.
OOooOO
Referensi: Wikipedia, kemlu.co.id
Tulisan ini diikutsertakan dalam:
#10daysforASEAN
0 komentar:
Post a Comment