Friday, August 30, 2013

Soal Laos


Dari semua negara ASEAN, satu-satunya negara yang tidak begitu saya kenal adalah Laos. Di kepala saya sendiri, setiap disebut ‘laos’ maka  muncul  visual bumbu dapur yang biasa juga disebut lengkuas.

Saya baru tahu jika Laos ternyata bernama lengkap Republik Demokratik Rakyat Laos. Saya pikir Laos masih berbentuk kerajaan.  Karena saya pernah membaca sejarah, setelah penjajahan Jepang selama Perang Dunia II, negara ini memerdekakan diri pada 1949 dengan nama Kerajaan Laos di bawah pemerintahan Raja Sisavang Vong.

Rupanya, pada 1975 kaum komunis yang didukung Uni Soviet dan komunis Vietnam menyingkirkan pemerintahan Raja Savang Vatthana dukungan Amerika Serikat dan Perancis. Kemudian, mereka mengganti namanya menjadi Republik Demokratik Rakyat Laos hingga saat ini dan bergabung dengan ASEAN pada 1997.

Sejak menjadi anggota ASEAN, Laos mengakui mengalami pertumbuhan yang siginifikan dalam perdagangan, investasi, dan kedatangan wisatawan asing .  Laos banyak mendapat dukungan teknis dan bantuan  dalam pengembangan sumber daya manusia dari negara-negara anggota ASEAN, juga mitra dialog dan mitra eksternal lainnya. Seperti negara berkembang umumnya, kota-kota besar di Laos  seperti  Vientiane, Luang Prabang, Pakxe, dan Savannakhet, mengalami pertumbuhan signifikan beberapa tahun terakhir.

Laos pernah sukses memimpin  ASEAN pada tahun 2004-2005. Selanjutnya, Laos dipercayakan ke kursi dan tuan rumah berbagai pertemuan regional dan internasional yang penting. Laos menjadi tuan rumah ke-9  Asia-Europe Meeting (ASEM) Summit tahun ini  dan pada 2016, Laos akan menjadi pimpinan ASEAN untuk kedua kalinya.

Tiga untuk Laos

Menjelang Komunitas ASEAN 2015, saya rasa hal yang tepat menempatkan Laos menjadi pemimpin ASEAN. Dengan demikian, Laos akan meningkatkan kinerjanya bagi ASEAN dengan optimal. Paling tidak, Laos bisa menyamai kontribusinya seperti halnya Kamboja yang masuk ASEAN pada tahun yang sama. Setidaknya, saya mencatat tiga langkah utama yang bisa dilakukan Laos  agar setara kontribusinya di ASEAN.

Pertama, dengan segala potensi yang dimiliki  Laos, harus lebih berpartisipasi penuh  dalam pergaulan  dengan ASEAN. Hubungan diplomatik dengan negara-negara ASEAN dilakukan lebih intensif, terutama dengan negara yang menyimpan potensi risiko konflik perbatasan maupun sejarah masa lalu, misalnya dengan Thailand, Vietnam dan Kamboja. Selanjutnya, bisa meluas dengan negara ASEAN lainnya. Saya bersyukur Thailand sudah mau memulainya dengan rencana membangun rel yang menghubungkan Vientiane dengan Thailand yang dikenal dengan Jembatan Persahabatan Thailand-Laos

Kedua, rendahnya tingkat pembangunan ekonomi Laos bisa ditingkatkan dengan kesadaran prioritas kerjasama –jangka panjang dan pendek- dalam tingkat regional, yakni ASEAN. Bukan bantuan dari negara-negara yang jauh darinya.  Seperti yang saya baca, ekonomi Laos  banyak menerima bantuan dari IMF. Padahal jika berkaca kepada Indonesia, betapa IMF kelak malah akan mencekik negerinya sendiri.  Bentuk kerja sama yang  dapat ditingkatkan dengan mudah di ASEAN adalah sektor pariwisata. 

Ketiga, karena masih ada konflik internal, seperti bentrok senjata dari kelompok tertentu masih terjadi secara kecil-kecilan di seluruh negeri, sebaiknya coba melakukan pertemuan-pertemuan atau diskusi berdasarkan pengalaman negara ASEAN mentelesaikan masalah internal.  Memang, ASEAN selalu berusaha menegakkan prinsip  non - intervensi , namun tidak menutup kemungkinan untuk mendukung stabilitas nasional Laos. Sebab, konfilk kecil di dalam satu negara bisa berimbas ke negara lain, secara masih dalam satu regional.

Sekali lagi, agar begitu masuk  Komunitas ASEAN 2015 nanti tidak terjadi negara yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin, setiap negara harus memberi konstribusi seoptimal mungkin. Sehingga hasil yang dicapipun bias semaksimal mungkin.

OOooOO

referensi: wikipedia

tulisan ini untuk lomba #10daysforASEAN

Thursday, August 29, 2013

Kopi Vietnesia Akan Saingi Industri Kopi Brasil

Ngopi yuuuk (foto: dabboo r)


Beberapa kali saya diajak teman saya ngopi bareng di kedai kopi Phoenam di sudut kota Bandung. Teman saya itu pecandu kopi, dan dia dengan yakinnya mengatakan kopi  Vietnam itu paling nikmat dari sekian jenis kopi yang pernah dicicipinya.

Saya yang bukan penggemar kopi hanya manggut-manggut. Mau menepis persepsinya pun percuma. Data menyatakan bahwa kopi Phoenam memang sangat sohor, dan Vietnam adalah penghasil kopi terbesar nomor dua setelah Brasil. Sementara Indonesia berada di peringkat ke tiga.

Hari Gini Masih Pakai Visa



Kepergian saya ke luar negeri  yang pertama hingga ketiga adalah ke Malaysia. Semua tanpa visa. Namun kepergian saya ke luar negeri yang ke empat adalah ke Italia, sempat membuat saya pontang-panting. Pasalnya saya harus membuat visa agar bisa masuk melewati imigrasi di bandara Milan.

Saya sempat browsing ke beberapa blog menemukan cara mengurus visa schengen, lalu memberanikan diri mengurus sendiri, walau harus bolak-balik  Bandung – Jakarta. Ada beberapa hal yang bikin saya bertanya-tanya, kenapa sih harus ngurus Visa? Kenapa sebuah negara harus memberlakukan visa dengan ketat, padahal dia akan mendapat pendapatan dari turis yang datang ke negaranya?

Ternyata visa berperan sekali sebagai tanda bukti ‘boleh berkunjung’ yang diberikan pada penduduk suatu negara jika memasuki wilayah negara lain. Bisa berbentuk stiker visa yang dapat diapply di kedutaan negara yang akan dikunjungi atau berbentuk stempel pada paspor pada negara tertentu.

Visa diperlukan karena Visa dikenakan kepada orang yang datang ke suatu negara karena berbagai alasan. Pertama, Tidak ada pembicaraan kedua negara untuk saling memberikan fasilitas bebas visa. Hal itu mungkin karena kurang baiknya hubungan diplomatik, jauhnya jarak antara kedua negara sehingga tidak banyak kunjungan masyarakat antar dua negara.

Kedua, faktor keamanan. Negara maju seringkali hanya mempersyaratkan bebas visa untuk sesama negara maju. Tingginya angka imigran gelap membuat negara asal imigran gelap bahkan dipersulit untuk membuat visa. Visa juga menjadi screening agar hanya orang-orang terpilih dan mempunyai tujuan baik saja yang dapat masuk ke suatu negara.

Ketiga, faktor ekonomi: suatu negara dengan banyak obyek wisata namun tidak mampu mengelola pariwisatanya seringkali mempersyaratkan visa untuk mendapatkan tambahan pemasukan negara dari setoran aplikasi visa.

Terkadang ada faktor lainnya yang membuat sebuah negara menyaratkan visa. Semisal, negara yang perekonomiannya dianggap tidak memenuhi standart. Lihatlah Malaysia dan Singapura yang warganya bisa masuk ke negara-negara eropa tanpa visa karena sudah dianggap perekonomiannya baik. Agak berbau diskriminasi, tapi itulah PR untuk bangsa Indonesia agar memajukan perekonomiannya, hingga setara dengan Malaysia dan Singapura.

Faktor lainnya adalah pengalaman penyelewengan visa. Misalnya, Indonesia yang hingga kini masih harus memakai visa untuk ke Jepang. Padahal hubungan Indonesia dan Jepang sangat erat. Alasan pemerintah Jepang, WNI tidak disiplin. Dengan adanya visa saja, sering menyalahgunakan izin tinggal di Jepang (overstay), apalagi bebas visa. Ada juga warga Indonesia yang memakai visa turis, tapi akhirnya memanfaatkan untuk bekerja di luar negeri.

Myanmar Rugi

Jika Myanmar masih bertahan tidak memberikan bebas visa ke sesame negara ASEAN, itu adalah haknya. Tapi menurut saya sungguh merugi. Saat ini, dengan hadirnya maskapai penerbangan murah, traffic wisatawan antar sesama negara ASEAN sangat tinggi. Sudah pasti pendapatan negara dari sektor wisata meningkat.

Mungkin Myanmar masih mempertimbangkan karena alas an-alasan internal, seperti belum kondusifnya kinerja imigrasi mereka, atau kondisi politik yang belum stabil.

Namun, menurut kabar yang beredar, Myanmar telah menjalin kerjasama khusus dengan Indonesia, Filipina, dan Kamboja  agar bisa membuat bebas visa tahun depan. Jika semakin banyak negara ASEAN yang menerapkan system bebas visa antara sesama negara ASEAN, maka saat resminya Komunitas ASEAN 2015 kelak, tidak ada lagi halangan-halangan untuk bersinergi dalam bidang apapun.


Semoga Komunitas ASEAN 2015 juga disambut negara-negara lain, agar tidak hanya Malaysia, Singapura dan Thailand saja yang mendapat keistimewaan bebas visa di beberapa negara maju, tapi menular ke negara lainnya, termasuk Indonesia. Sebab, waktu dan biaya mengurus visa cukup bikin ribet, terutama bagi blogger yang juga traveler. Termasuk biayanya, yang bisa dipakai untuk menambah waktu perjalanan.

ooOOoo

refensi: www.imigrasi.go.id, kemlu.go.idilustrasi: http://travel.state.gov

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba:

#10daysforASEAN

Wednesday, August 28, 2013

Perlukah Mengganti Semboyan 'Wonderful Indonesia'?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, marilah kita membandingkan semboyan pariwisata negara-negara ASEAN.
  1.        Brunei - Brunei, The Green Heart of Borneo
  2.        Kamboja - Cambodia, Kingdom of Wonder
  3.        Laos - Laos, Simply Beautiful
  4.        Malaysia - Malaysia Truly Asia
  5.        Myanmar - Mystical Myanmar
  6.        Philippines - It's More Fun in The Philippines
  7.        Singapore - Your Singapore
  8.        Thailand - Amazing Thailand, Always Amazes You
  9.        Vietnam - Vietnam, Timeless Charm
  10.     Indonesia - Wonderful Indonesia


Dari sepuluh semboyan tersebut, Malaysia Truly Asia merupakan salah satu branding slogan pariwisata paling sukses di Asia. Negara serumpun Melayu itu menggaet 24 juta wisatawan asing dan menjadi yang tertinggi di kawasan Asia Tenggara.  Kerajaan ini bahkan memperoleh beberapa penghargaan untuk semboyan wisatanya,  termasuk Best Long Term Marketing and Branding Campaign Gold Awards pada Asian Marketing Effectiveness Awards 2008.

Berikutnya adalah Amazing Thailand  yang juga menjadi semboyan wisata tersukses di dunia. Thailand memasang tagline  ini sejak 1997 hingga kemudian diikuti negara-negara lain di Asia Tenggara. Berkat konsistensinya dalam memasarkan pariwisata, kerajaan ini menjadi salah satu destinasi wisata favorit di Asia Tenggara. Sub semboyan  Always Amazes You merupakan penguat slogan utama dan mulai dipakai sejak 2010.

Semboyan Wonderful Indonesia  diperkenalkan awal 2011 menggantikan Visit Indonesia. Ada 5 pilar di dalamnya, yakni  Wonderful Nature, Wonderful Culture, Wonderful People, Wonderful Food, Wonderful  dan Value for Money.

Menurut saya  frasa  Wonderful Indonesia sudah merefleksikan Indonesia secara keseluruhan. Selain itu, kata Wonderful  mudah dimengerti oleh masyarakat luas yang tidak berbahasa Inggris sekalipun. Syarat sederhana dan mudah diingat pun terpenuhi. Mungkin hanya orang Sunda saja nanti yang membacanya jadi ‘wonderpul Indonesia’  seperti halnya ‘pisit Indonesia’ (kidding).

Permasalahannya adalah bagaimana semua pihak di Indonesia, baik yang terkait dengan sektor wisata maupun tidak terus mengkampanyekannya sehingga benar-benar menjadi brand nation. Lihat saja Malaysia dengan semboyan Truly Asia secara konsisten ditayangkan di mana-mana sehingga pemirsa internasional pun semakin lama semakin terpengaruhi dengan konsep tersebut. Terpaan pesan terhadap target perlu direpetisi untuk membentuk suatu mindset. Kalau bisa jangan diubah-ubah lagi meniru dua negara ASEAN yang sukses, kecuali menambahkan sub-semboyan.

Peran masyarakat umum Indonesia, termasuk Blogger sangat penting  untuk mengibarkan semboyan Wonderful Indonesia. Lepas dari setuju atau tidaknya, keputusan pemerintah tentunya sudah dipikir matang-matang memilih semboyan tersebut.


Menyambut Komunitas ASEAN 2015, Indonesia juga tidak perlu menempelkan kata ASEAN, ASTENG, atau ASIA di dalam slogannya. Toh,  sudah ada organisasi Asean Tourism dengan semboyannya ‘Southeast Asia, Feel The Warmth’. Artinya, jika sektor wisata maju bersama-sama dengan negara ASEAN lainnya, pakai saja semboyan itu. Namun, kadang kala Indonesia masih harus bergerak juga secara soliter, tidak dalam komunitas ASEAN.


Di Uni Eropa pun, setiap negaranya masih mengusung semboyan negara masing-masing, karena itu merupakan brand nation yang seyogyanya dimiliki setiap negara.

OOooOO

Tulisan ini diikutsertakan:

#10daysforASEAN

Tuesday, August 27, 2013

Siem Reap dan Magelang Jadilah Sister Cities Demi Komunitas ASEAN 2015


.
Relief di Angkor Wat, dinyatakan mirip dengan yang ada
di Borobudur. (foto: travelsense.asia)


Dalam seminar mengenai penelitan Candi Borobudur dan Angkor Wat di kota Siem Reap, Kamboja, 5-6 Desember 2009,  terungkap kedua candi tersebut memiliki kesamaan model relief. Hal ini sekaligus membuktikan hubungan bangsa Indonesia dan Kamboja ternyata sudah  terjalin sejak sebelum masa Raja Jayawarman II di Kamboja, yaitu sebelum abad ke-9.  

Seharusnya, dengan latar belakang budaya yang sama tersebut, tidak sulit jika dua negara yang sama-sama anggota ASEAN ini menjalin hubungan kerjasama. Apalagi menjelang diberlakukannya Komunitas ASEAN 2015. Bahkan, saya berharap antara (Kabupaten) Magelang dan Siem Reap menjalin ikatan sebagai  Kota Bersaudara (Sister Cities) atau Kota kembar (Twin Cities)



Konsep Kota Bersaudara

Kota bersaudara adalah konsep penggandengan dua kota yang berbeda lokasi (negara)  dan administrasi politik dengan tujuan menjalin hubungan budaya dan kontak sosial antarpenduduk.

Kota bersaudara  umumnya memiliki persamaan keadaan demografi dan masalah-masalah yang dihadapi. Konsep ini bisa diumpamakan sebagai sahabat pena antara dua kota. Hubungan kota kembar sangat bermanfaat bagi program pertukaran pelajar dan kerjasama di bidang budaya dan perdagangan.

Dalam konteks Magelang dan Siem Reap, keduanya sama-sama memiliki sebuah komplek candi yang besar dan kebetulan mirip. Dari sinilah kemudian jenis kerjasama bisa dikembangkan. Semisal kerjasama promosi wisata agar jumlah kunjungan turis keduanya bisa meningkat.

Salah satu cara misalnya, di Angkor Wat disediakan informasi lengkap tentang Candi Borobudur, sehingga wisatawan yang datang ke Angkor Wat juga tertarik ke Borobudur. Sebaliknya, di candi Borobudur juga disediakan informasi komplet tentang Angkor Wat, agar turis yang ke Borobudur juga tertarik berkunjung ke Angkor Wat.

Tidak hanya informasi, keduanya bisa saling tukar atraksi kebudayaan. Hal-hal yang terkait dengan atraksi budaya di magelang, bisa digelar di Siem Reap. Sedangkan atraksi budaya dari Siem Reap juga bisa ditampilkan di setiap perhelatan di kota Magelang. Para pemuda, pelajar, blogger, peneliti sejarah, budayawan, dan segala unsur masyarakat di dua kota tersebut bisa melakukan aneka program pertukaran. 

Mungkin banyak yang belum tahu jika Siem Reap  memiliki gedung pertunjukan yang menggelar pagelaran tari tradisional Apsara, pusat cindera mata, pengrajin kain sutra, sawah pedesaan, desa nelayan, dan suaka burung di dekat danau Tonle Sap. Di sana juga  terdapat bandar udara di kota ini ialah Bandar Udara Internasional Angkor-Siem Reap.

 Magelang sendiri memiliki beberapa sentra kerajinan rakyat, masyarakat bertani dan berkebun, serta bisa ditemukannya beberapa kesenian seperti Kubro Siswo, Badui, Dayakan, Jathilan.

Jika konsep kota bersaudara antara Magelang dan Siem Reap terwujud, dan kerjasama terjalin dengan harmonis, maka bisa dilebarkan dengan daerah-daerah lain yang memiliki latar budaya sama. Tidak hanya Magelang dan Siemm Reap, tapi mungkin juga kota di Thailand, Burma atau Vietnam yang bisa saja memiliki kemiripan. Begitu pula kemiripan antar kota bukan berdasarkan kesamaan relief candi, tapi aneka artefak budaya lainnya.

Ujung-ujungnya akan lebih mudah mewujudkan integrasi perdagangan, pelayanan dan  wilayah investasi yang merupakan  3 hal penting dalam era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015.


Mari kita tunggu  partisipasi dua pemimpin wilayah Siem Reap dan Magelang sebagai lokomotif gerakan siter cities ini..

00OO00

Referensi: wikipedia.com
tulisan ini diikutsertakan dalam:

Lomba Blog #10daysforASEAN

Wednesday, August 21, 2013

Tak Ada Kontribusi Pemuda Indonesia di ASEAN?

Percepatan pembentukan Komunitas ASEAN dari 2020 menjadi 2015, telah disepakati oleh para Kepala Negara ASEAN pada KTT ke- 12 ASEAN. Komunitas ASEAN 2015 dibangun di atas 3 pilar, yaitu: ASEAN Political-Security Community, ASEAN Economic Community dan ASEAN Socio-Culture Community baik dalam skala regional maupun global.

Saya amat tertarik dengan pilar ke-3, karena kerjasama di bidang sosial- budaya menjadi salah satu titik tolak utama untuk meningkatkan integrasi ASEAN melalui terciptanya “a caring and sharing community”, yaitu sebuah masyarakat ASEAN yang saling peduli dan berbagi. Tanpa adanya kerjasama dan sinergi antar masyarakat ASEAN rasanya sulit membayangkan sebuah integrasi konstruktif di wilayah ASEAN. Dan bidang sosial-budaya sebagai akar kemasyarakatan adalah paling potensial untuk diangkat sebagai modal integrasi berdasarkan kerakyatan. Apalagi sebagai organisasi teritori ASEAN memiliki konsep social-budaya yang sama yakni menjunjung nilai-nilai ketimuran.

Kerjasama sosial-budaya mencakup kerjasama di banyak bidang, salah satunya adalah kepemudaan.  Terus terang, saya jarang sekali mendengar kiprah pemuda Indonesia di ASEAN. Entah karena memang tidak ada aktivitas pemuda Indonesia di ASEAN, ataukah jarang sekali yang memberitakannya, atau saya yang kurang peduli dengan kontribusi pemuda Indonesia di ASEAN?


Bidang Kepemudaan

Walaupun sudah tidak dalam koridor usia muda, namun saya selalu tertarik dengan bidang kepemudaan. Karena menurut saya, sebuah usaha integrasi kontruktif harus melibatkan generasi mudanya. Dengan adanya lomba penulisan blog yang diprakrasai  Komunitas Blogger ASEAN ini, saya jadi browsing berjam-jam dan baru terbuka mata tentang betapa besarnya kiprah pemuda Indonesia di ASEAN.

Salah satunya  informasi tentang kegiatan pemuda Indonesia di tingkat ASEAN adalah melalui wadah ASEAN Youth Friendship Network (AYFN). AYFN adalah sebuah organisasi yang bergerak di bidang persahabatan dan pertukaran kebudayaan antara negara-negara ASEAN. Organisasi ini membawa misi persahabatan, memperkenalkan kebudayaan Indonesia ke negara host, serta tentu saja, mengenal lebih jauh tentang negara yang dikunjungi.

AYFN sendiri didirikan oleh mahasiswa-mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Gajah Mada yang saat ini sudah beranggotakan lebih dari 90 alumni, dan telah menjalankan lebih dari 5 program dalam kurun waktu 2 tahun didirikan. Program unggulan AYFN adalah  IVYFP (Indonesia Vietnam Youth Friendship Program), ILFRIP (Inter-cultural Learning and Friendship Program), dan IPYCEP (Indonesia Philippine Youth Cultural Exchange Program). 




AYFN bukan satu-satunya wadah kiprah kepemudaan ASEAN. Masih ada lagi seperti ASEAN Student Leader Forum (ASLF), yakni sebuah  forum mahasiswa  yang merumuskan permasalahan-permasalahan di perguruan tinggi di seluruh ASEAN, nantinya rumusan masalah yang didapatkan ini akan disikapi dan diselesaikan bersama. Beberapa permasalahan yang muncul adalah letak geografis yang jauh, perbedaan bahasa, perbedaan budaya, sulitnya melakukan pergerakan pemuda, krisis kreativitas, sikap individualis yang berkembang dikalangan pemuda, kesulitan keuangan dan perbedaan pemikiran.

Untuk generasi muda yang ingin berkiprah sebagai relawan bisa juga aktif di The ASEAN Youth Volunteer Programme (AYVP). Organisasi yang diprakarsai Kementrian Pemuda dan Olahraga Malaysia, terbilang aktif mengundang partispasi pemuda  ASEAN. Belum lama ini, AYVP melakukan aktivitas konservasi alam dengan mengundang 100 relawan dari negara-negara ASEAN.


Masih ada sederet lagi wadah bagi aktivitas pemuda ASEAN, seperti ASA (ASEAN Alliance), ASEAN Student Exchange Program, ASEAN Youth Movement, ASEAN Centralized Framework for Youth Cooperation, termasuk ASEAN's Youth Council. Hebatnya, hampir dari semua kegiatan tersebut, saya membaca informasi pemuda Indonesia sangat berperan penting dalam mengambil langkah-langkah dan keputusan.

Pentingnya Informasi

Lantas, mengapa kiprah pemuda Indonesia itu tidak diinformasikan secara luas? Bahkan saya harus memasukkan beberapa kata kunci di mesin pencari Google untuk menemukan informasi ihwal aktivitas pemuda Indonesia di ASEAN. Kebanyakan dalam bahasa Inggris. Kalaupun ada dalam Bahasa Indonesia, sangat sedikit sekali portal berita ataupun blog yang memuatnya.

Dalam ilmu komunikasi, jika sebuah informasi penting tidak sampai ke masyarakat, maka bisa dipastikan kesalahan utama adalah pada penyampai informasi, proses penyampain informasi, muatan informasi itu sendiri, serta frekuensi terpaan informasinya . Penerima informasi akan berada di urutan jauh di paling belakang.

Di era jurnalistik warga seperti sekarang ini, rasanya heran jika sebuah informasi masih menjadi hambatan pada komunikator (penyampai) dan medianya. Jumlah blogger Indonesia yang lebih dari 5 juta orang, ditambah akses Internet yang semakin mudah mestinya bukan hambatan dalam menyampaikan informasi penting.

Jika media massa mainstream serta portal berita tidak tertarik memberitakan kiprah pemuda Indonesia di ASEAN, saatnya para blogger yang bicara. Lahirnya Komunitas Blogger ASEAN bisa menjadi lokomotif bagi blogger lainnya agar mendukung terus integritas konstruktif berdasarkan kemasyarakatan akan eksistensi Komunitas ASEAN 2015.

Selain menyebarluaskan informasi dari portal resmi ASEAN, para blogger sebaiknya juga mengolah  lagi ke dalam muatan blog yang lebih mudah dimengerti masyarakat banyak.

Langkah lain yang bisa dilakukan Komunitas Blogger ASEAN adalah menggugah kesadaran berbagi informasi para anggota yang terlibat dalam lembaga kepemudaan ASEAN. Mungkin melalui kerja sama dengan lembaga-lembaga pemuda ASEAN di atas, memberikan bekal motivasi ngeblog dan pelatihan ngeblog yang efektif. Sehingga, sebagai pelaku langsung mereka bisa menyampaikan kegiatan mereka melalui blog.

Niscaya, jika informasi kiprah pemuda Indonesia di ASEAN dibagi kepada masyarakat luas dan berkesinambungan agar terjaga frekuensi terpaannya, tidak akan ada lagi orang seperti saya yang menyangsikan kontribusi pemuda Indonesia di ASEAN.

OO00OO

Mengoptimalkan Peran Blogger Indonesia di Komunitas ASEAN 2015


Indonesia dengan populasi penduduknya yang menjadi peringkat ke-4 di dunia, ternyata juga mencatat jumlah blogger yang relatif tinggi. Seperti diungkap Wakil Presiden ASEAN Blogger Chapter Indonesia Amril Taufik Gobel, jika pada 2008 tercatat hanya ada 500 ribu blogger aktif, maka per akhir 2011 melonjak menjadi 5 juta blogger.  Bahkan pada 2014-2015 direncanakan Indonesia sudah memiliki tol broadband yang akan memperlancar akses internet. Bisa dipastikan jumlah blogger akan semakin meningkat.

Jumlah tersebut sangat efektif bila diberdayakan dengan optimal untuk kepentingan banyak orang. Saya lihat beberapa blogger Indonesia sudah tak lagi bermain di wacana lokal, tapi sudah di tingkat nasional kendati berada di daerah-daerah terpencil. Sebagian lagi bahkan sudah beranjak ke teritorial Asia, bahkan mendunia. Tentu semua akan terkait dengan minat masing-masing blogger, keterampilan berbahasa dan kemampuan mengisi konten blognya.

Kiprah ASEAN

Sejak didirikan  pada 8 Agustus 1976, Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) terus mengalami perkembangaan yang signifikan. Bahkan, ASEAN dianggap sebagai organisasi kerja sama regional yang paling terintegrasi setelah Uni Eropa.  Prioritas awal berdirinya ASEAN menciptakan perdamaian kawasan telah tercapai  melalui pendekatan diplomatik ketika konflik antarnegara muncul. Politik tidak ikut campur sesama negara ASEAN yang mengalami konflik internal  juga terbukti ampuh. Pada akhirnya, ASEAN bisa beralih menyiapkan diri menjadi kekuatan ekonomi dunia.


Data pertumbuhan ekonomi membuat ASEAN menjadi kawasan yang tidak bisa dipandang sebelah mata lagi. Pada 2011 GDP (Gross Domestic product) keseluruhan negara ASEAN lebih dari US$ 2.178 triliun atau 4,2 persen dari GWP (Gross World Product) dan pendapatan perkapita (PPP/Purchasing Power Parity) US$ 3.334.

Tak heran jika tiga negara kuat di Asia, yakni China, Jepang, dan Korea Selatan terus  melakukan pendekatan forum ASEAN Plus Three sejak 1997.  Bahkan China China bertindak agresif dengan membangun zona perdagangan bebas bersama ASEAN melalui ACFTA yang dimulai sejak 1 Januari 2010.

Akhirnya, para pemimpin negara anggota ASEAN kemudian membentuk ASEAN Community pada saat Deklarasi Bali Concord II Tahun 2003. Rencana awalnya, pembentukan ASEAN Community akan dimulai pada tahun 2020 tetapi kemudian dipercepat lima tahun. Terbentuknya ASEAN Community ditopang oleh tiga pilar utama: ASEAN Political-Security Community (APSC), ASEAN Economic Community (AEC), dan ASEAN Socio-Cultural Community (APSC).

Dengan adanya pilar keamanan (ASPC), penerapan prinsip-prinsip non-interference tidak lagi secara kaku seperti  sebelumnya  mengingat adanya kesamaan persepsi ancaman, baik ancaman. Komunitas Keamanan ASEAN bertujuan memperkuat ketahanan kawasan dan mendukung penyelesaian konflik secara damai melalui forum konsultasi bersama.  Semoga nantinya tak ada lagi konflik muncul karena masalah perbatasan.

Bagaimana  dengan Pilar ekonomi (AEC)? Tentunya akan mengarah ke penciptaaan integrasi perekonomian seluruh negara anggota ASEAN sebagai sebuah pasar tunggal dan basis produksi yang memiliki iklim ekonomi kompetitif, pembangunan ekonomi merata, dan berintegrasi dengan perekonomian global.  Satu kekhawatiran saya bahwa nanti ASEAN tidak mengalamai krisi ekonomi seperti yang dialami Uni Eropa akibat terjadinya kesenjangan kemajuan ekonomi anggota negaranya

Sedangkan pilar sosial-budaya (ASPC) akan focus untuk  terciptanya pemberdayaan  kerjasa di masyarakat ASEAN. Kerjasam ini mencakup bidang kepemudaan, wanita, kepegawaian, penerangan, kebudayaan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, lingkungan hidup, penganggulangan bencana alam, kesehatan, pembangunan sosial, pengentasan kemiskinan, dan ketenagakerjaan.

Blogger Indonesia sebagai  Panutan ASEAN

Posisi Indonesia di mata ASEAN Community sangatlah penting. Luas wilayah dan jumlah penduduk di atas negara lainnya. Populasi terbesar ini membuat bahasa Indonesia akan menjadi bahasa resmi ASEAN yang mulai berlaku pada saat ASEAN Community 2015.


Indonesia  juga tercatat sebagai negara dengan kekuatan militer yang disegani di dunia, bahkan tahun ini Indonesia menduduki peringkat ke-15 dunia.  Posisinya di atas negara ASEAN lainnya atau bahkan Jepang dan Australia.

Jika negara Indonesia sudah menampati posisi penting, selayaknya blogger Indonesia yang jumlahnya mencapai 5 juta orang itu mengambil posisi penting pula di kiprah ASEAN.  Bersyukurlah blogger Indonesia telah menggagas  satu wadah bernama ASEAN Blogger Community yang telah menggelar ASEAN Blogger Festival Indonesia (ABFI) 2013 pada Mei lalu di Solo, Jawa Tengah.

Perhelatan tersebut membuktikan bahwa blogger Indonesia merupakan bagian masyarakat ASEAN yang bisa diandalkan untuk mendukung eksistensi Komunitas ASEAN 2015. Blogger Indonesia juga bisa menjadi panutan blogger lainnya di ASEAN.  Walaupun saya tidak bisa hadir, tapi saya bersyukur  ajang besar  tersebut tidak sebagai kongkow-kongkow semata, tapi menghasilkan program kerja selama tiga tahun untuk kepentingan ASEAN kendati masih normatif.

Tentunya, saya berharap bisa melihat rencana langkah-langkah kerja yang lebih nyata, sehingga walaupun bukan peserta  ABFI 2013 saya dan banyak lagi blogger di Indonesia bisa berpartisipasi dengan optimal mendukung kiprah Komunitas ASEAN 2015. Karena saya yakin, masih banyak yang bisa dilakukan blogger Indonesia untuk ASEAN sebelum 2015, di luar mengikuti lomba ngeblog yang digelar ASEAN BloggerCommunity. Sehingga gaung menuju masyarakat ASEAN yang lebih baik dapat diinformasikan secara berkesinambungan.


OOooOO


Tuesday, August 20, 2013

Blogger ASEAN Menjadikan Asia Tenggara Wilayah Paling Damai di Dunia, Mimpikah?



Saya masih ingat ketika masih SMP pernah diminta menghafal tujuan didirikannya ASEAN.  Waktu itu saya hafal seluruh teksnya walaupun belum mengerti kandungannya.  Sekarang, saya hanya bisa mengingat salah satunya, yakni  memajukan perdamaian dan stabilitas di tingkat regional. Mengapa saya mengingatnya?

Soal perdamaian ini selalu menghantui pikiran saya. Dari fakta yang saya baca, tidak sedikit negara di dunia selalu bersitegang dengan tetangganya. Iran dan Irak, India dan Pakistan, Korea Utara dan Korea Selatan, dan masih banyak lagi yang terlalu panjang untuk dituliskan.



Tidak usah jauh-jauh, saya pernah membaca di surat kabar pertikaian Singapura dan Malaysia  tentang perbatasan. Konflik  Indonesia dan Malaysia? Sengketa Pulau Sipadan, Ligitan sampai Ambalat  hanyalah sedikit dari sekian banyak konflik yang pernah tercatat. Malaysia dengan Brunei pun sempat bersitegang soal Sabah. Belum lagi masalah Rohingya yang melukai hati umat Muslim di Asia tenggara. Sampai-sampai saya berpikir, jangan-jangan tinggal menunggu bom waktu saja perang di Asia tenggara.

Lantas, bagaimana kita bisa bersinergi di bidang lain seperti politik, ekonomi, atau sosial-budaya jika sebentar-bentar terjadi konflik antar anggota ASEAN? Bagaimana pula ASEAN bisa menjadi organisasi sektoral terdepan di dunia?

Gaungkan Semangat ASEAN

Sebagian orang seolah apatis bila ditanya peran ASEAN dalam memajukan perdamaian. Organisasi ini sepertinya tunduk dengan organisasi besar lain seperti IMF dan PBB. Menurut mereka ASEAN hanya untuk urusan pemerintah lobi-lobi bisnis sektoral.

Pada kenyataannya peran ASEAN cukup berpengaruh dalam proses perdamaian kawasan Asia Tenggara. Sebagaimana dipaparkan, Asia Tenggara memiliki banyak konflik, baik konflik antarnegara ataupun konflik internal di dalam masing-masing negara. Tanpa ASEAN sangat sulit untuk menghapus titik-titik konflik di antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara ini. Tapi hidup tanpa konflik juga mustahil, karena sudah hukum alam jika terjadi interaksi sosial maka akan timbul konflik.

Pada 2015, ASEAN akan bermertamorfosis menjadi  Komunitas ASEAN 2015. Untuk mewujudkannya ASEAN menempuh 3 langkah, yakni  Peace, Prosperity dan People.

Peace
adalah kondisi kondusif kawasan Asia Tenggara agar memudahkan proses perdamaian dan resolusi konflik yang terjadi. Saya setuju urusan perdamaian ini diletakkan pertama karena tanpa perdamaian kita tidak akan bisa apa-apa.  

Prosperity
(kemakmuran) dengan komitmen mengentaskan kemiskinan di kawasan Asia Tenggara melalui pemerataaan pembangunan dan penguatan pasar agar selisih pendapat per kapita yang tinggi dapat teratasi. Karena perbedaan kemakmuran, menurut saya bisa menimbulkan konflik kecemburuan yang akhirnya mengusik perdamaian.

People
adalah masyarakat sebagai landasan utama dalam terciptanya komunitas politik yang kuat. Dan tentu saja masyarakat harus banyak diinformasikan, dilibatkan dan ikut merasakan manfaatnya.

Tiga langkah tersebut kemudian diwujudkan dengan 3 cetak biru Komunitas ASEAN  yakni ASEAN Political-Security Community (APSC), ASEAN Economic Community (AEC) dan ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC).  Tentunya kita berharap ASEAN yang baru akan berdampak signifikan terhadap perdamaian kawasan. Proses perdamaian di ASEAN seperti kita ketahui berprinsipnya yang tidak akan mengintervensi konflik sesama anggotanya dan menghormati kedaulatan dari negara anggotanya  harus terus dipertahankan.

Mengingat pentingnya tiga pilar ini, alangkah baiknya jika sejak saat ini digaungkan lebih luas ke masyarakat. Bukankah ASEAN adalah organisasi kawasan dengan orientasi masyarakat sebagai acuan dasar utama. Gaungnya harus sampai ke pelosok. Tidak Cuma di Indonesia, tapi juga negara-negara anggota ASEAN. Sebab, ketika pelajaran tentang ASEAN di sekolah, saya sempat bertanya-tanya, apakah hanya anak Indonesia saja yang diharuskan menghafal sejarah ASEAN?

Peran ASEAN Blogger




Sebagai pelaku media modern, sudah sepantasnya blogger turut aktif memasyarakatkan perdamaian di kawasan ASEAN. Sejauh ini, saya justru sering membaca tulisan blogger yang cenderung menyerang dan melecehkan negara anggota ASEAN lainnya. Bahkan tak jarang adu mulut dengan bahasa-bahasa kasar padahal mereka tak saling kenal.

Bila terjadi konflik di negara tetangga satu kawasan, tak perlu ikut menyulut konflik agar semakin besar karena sesungguhnya akan merugikan kawasan. Jika ‘gatal’ ingin menulis, tulislah sesuatu yang bisa menyejukan dan mendamaikan keadaan.

Terus terang saya berharap banyak  kiprah Komunitas Blogger ASEAN menuju 2015. Salah satu program yang saya harap bisa memberi sumbangsih terhadap perdamaian di kawasan ASEAN adalah pertukaran blogger negara-negara ASEAN. Para blogger homestay selama sebulan atau lebih sebagai duta dari negaranya, lalu menjelaskan kepada masyarakat di sana tentang negara asalnya. Lalu, dia juga melihat sosial-budaya homestay untuk diceritakan kepada negara asalnya melalui blog. Jika program ini dijalankan terus menerus, niscaya penyebaran informasi kiprah ASEAN akan lebih meluas dan mengana ke lapisan masyarakat. Pesan-pesan perdamaian pun akan lebih terasa. Tidak mustahil bila kelak Asia Tenggara menjadi teritorial paling damai di dunia.


Lalu, bagaimana blogger yang tidak bisa ikutan program itu? Ya menulislah tentang ASEAN yang damai. Saya pribadi beberapa kali menulis tentang pariwisata negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand. Menuliskan kehidupan masyarakat dengan sosial budayanya di sana. Lagi pula damai itu indah kok. Ngapain nulis yang berkonflik?

***

Sunday, August 18, 2013

[Review] Tas Minmie Untuk Anak Cowok, Tidak Bikin Cedera Punggung

Terus terang, setiap kali anak saya, Akhtar, akan berangkat sekolah saya sering miris melihat beban tas sekolahnya yang berat. Berbeda dengan saya waktu SD dulu, buku yang harus dibawa ke sekolah oleh anak saya memang lebih banyak.  Untuk satu pelajaran saja bisa empat buku. Padahal dulu, saya paling banyak membawa dua buku setiap pelajaran. Buku paket dan ulangan di simpan di lemari guru.


Saya semakin prihatin dengan kondisi ini, apalagi mulai tahun ajaran baru ini Akhtar masuk pukul 10 pagi. Artinya, saya tidak bisa mengantarnya dengan mobil ke sekolah. Sehingga, Akhtar harus menggendong tasnya itu dari rumah ke sekolah yang relatif jauh. Bisa 60 menit dengan angkutan umum.

Saturday, August 3, 2013

Naskah Kumpulan Puisi Saya Ditolak 10 Penerbit

Tulisan menjadi HL di kompasiana.com




Seseorang yang tidak saya kenal, tiba-tiba mengirim pesan melalui inbox, “Mas, di sana menerbitkan buku kumpulan puisi nggak?”

Saya tersenyum. Ini untuk ke sekian kalinya menerima pertanyaan sejenis. Lalu, saya jawab,”Untuk saat ini belum. Coba ke penerbit lain saja.”

Lalu saya menerima jawaban yang cepat pula,”Naskah kumpulan puisi saya sudah ditolak sama 10 penerbit, Mas.”

Saya pun berusaha menguatkan hatinya agar terus berusaha mencari penerbit, juga memotivasinya agar terus menulis puisi.

Mengapa  Ditolak?

Di  internet kita dengan mudah menemukan kisah-kisah penolakan naskah oleh penerbit yang akhirnya berujung kesuksesan pada diri si penulis. Di balik itu, banyak penulis sukses tanpa melalui penolakan lebih dulu yang kisahnya tidak diungkapkan di internet. Nah, kemudian tergantung pada kita sendiri, mau masuk kelompok mana? Melewati sekian penolakan oleh penerbit dulu sebelum bisa menerbitkan buku ataukah langsung  sukses menerbitkan begitu pada naskah kiriman pertama.

Kompasiana, Lautan Penulis Hebat

Tulisan ini menjadi HL di kompasiana.com


Sebuah komentar dari Kang Pepih Nugraha mampir di postingan saya tentang Serunya Berburu Lisensi Naskah Asing. Saya kutip di sini:
“Kang Benny, jangan jauh-jauh berburu buku asing atuh, calon buku dari para penulis Indonesia saja masih banyak. Mau kerjasama dengan Kompasiana, kang?  Saya punya catatan para Kompasianer yang tulisannya bagus-bagus  dan saya telah menjalin kerjasama dengan beberapa penerbit mainstream ternama, antara lain Bentang, Grassindo, Elexmedia, GPU dll.”

Saya belum menjawab komentar Kang Pepih di kolom balas.  Tapi saya akan menjawab untuk Kang Pepih dan Kompasianer lainnya, di postingan ini.

Mengapa menerjemahkan buku asing?

Mungkin banyak orang yang mengira, penerbit lokal yang menerbitkan buku terjemahan itu demi gengsi semata. Saya tidak akan menampik juga tidak mengiyakan. Nanti dulu jawabannya.

Serunya Berburu Lisensi Buku Asing



Sewaktu kecil, saya kira menerbitkan buku (fiksi dan nonfiksi) asing ke dalam versi bahasa Indonesia tinggal menerjemahkan saja. Ternyata ada proses yang kadang sangat panjang dan berdarah-darah sebelum sebuah buku asing bisa diterjemahkan. Pastinya, penerbit di Indonesia harus mendapatkan lisensi dari penerbit asal buku tersebut, jika tak ingin dicap pembajak atau kemudian hari dituntut secara hukum. Tapi ketentuan ini tidak berlaku bagi naskah asing klasik yang sudah masuk public domain.
Proses berburu lisensi buku asing dimulai dari pihak penerbit yang biasanya menjadi tanggung jawab editor akuisisi. Seorang editor akuisisi (buku asing) harus selalu mengikuti perkembangan perbukuan internasional. Dia harus memantau buku-buku yang akan terbit dari penulis-penulis ternama sekelas Dan Brown, JK Rowling atau Stephenie Meyer. Dia juga harus meng-up-date daftar best-sellers Internasional. Dan tentunya dia punya kepekaan mencium tren buku  yang akan datang di Indonesia.



Setelah browsing daftar sejumlah buku, editor akuisisi selanjutnya meminta kepastian isi dari buku yang ditaksirnya. Dia bisa menghubungi penerbitnya langsung, maupun melalui agen-agen lisensi yang terpercaya. Tentunya, seorang editor akuisi harus memiliki jaringan yang kuat dengan pemasar lisensi dari penerbit asing maupun agen lisensi. Dari merekalah, seorang editor akusisi bisa mngetahui izin untuk menerjemahkan ke Bahasa Indonesia masih tersedia atau tidak, juga meminta reading copy (contoh buku).

Bila izin menerjemahkan buku asing itu masih belum diambil penerbit lokal lainnya (available), editor akusisi bisa meminta reading copy sebagai bahan evaluasi. Baik berupa fisik asli buku maupun PDF. Demi kecepatan kerja redaksi, PDF adalah yang terbaik.

Tidak semua buku best-sellers di luar negeri akan laku dijual di Indonesia. Sebaliknya, buku-buku tidak terkenal di luar negeri ada pula yang akhirnya meledak di Indonesia. Itulah  fakta di dunia penerbitan yang penuh spekulasi.  Itu sebabnya editor akuisisi bersama tim penerbit harus mengevaluasi dengan seksama namun dalam tempo yang tak terlalu lama. Pengalaman di dunia perbukuan kerap kali menjadi kunci sukses memilih sebuah buku asing diterbitkan atau tidak.

1375164782682976654
Perlu skill khusus, berburu lisensi naskah asing. (foto: Benny Rhamdani)

Jika sudah muncul hasil akan menerbitkan buku tersebut, langkah selanjutnya adalah mengajukan penawaran. Untuk beberapa penerbit asing yang punya nama besar, biasanya proses penawaran harus disertai company profile dan langkah-langkah strategis pemasaran. Apalagi jika buku itu karya penulis papan atas.
Repotnya, jika lisensi buku asing itu ternyata diperebutkan banyak penerbit lokal. Biasanya akan ada proses bidding alias penawaran dengan harga tertinggi. Di sinilah kadang terjadi perang berdarah-darah karena terjadi perebutan lisensi.  Kehati-hatian tetap harus dipegang, agar penawaran tidak terlalu rendah sehingga lepas diambil penerbit lokal lainnya, juga jangan sampai telalu tinggi sehingga merusak pasar lisensi buku asing serta merugi karena bukunya tak selaku uang advance yang dikeluarkan.

Jadi, jangan heran jika melihat novel terbaru karya penulis ‘D’ tiba-tiba diterbitkan Penerbit M, padahal buku pertamanya diterbitkan Penerbit S. Bisa ditebak, kalah sewaktu penawaran. Apa saja yang ditawarkan?  Uang muka royalty dan besar royalti.

Jika dalam penawaran kemudian dinyatakan ‘deal’, maka selanjutnya  masuk ke proses perjanjian kerja sama. Setiap penerbit asing punya kebijakan berbeda dengan penerjemahan bukunya. Ada penerbit asing yang  tak banyak permintaan, artinya penerbit lokal bisa memperlakukan buku terjemahan itu sesuai pasar setempat (mengubah cover, mengganti judul, dan sebagainya).  Ada juga penerbit asing yang rewel yang melarang ini-itu saat menerbitkan bukunya dalam Bahasa Indonesia. Yang pasti, peraturan itu harus dibaca dan dipatuhi agar tak mendapat masalah di kemudian hari.

Pentingnya ke Pameran Buku Internasional

Meskipun sekarang sudah memasuki era internet, sehingga mudah berhubungan dengan orang lain yang jauh jaraknya, tapi dalam hal berburu lisensi naskah asing kita harus melakukan pertemuan langsung. Itulah sebabnya, seorang editor akuisisi sebuah penerbitan harus berusaha bisa mengunjungi pameran buku tingkat internasional seperti Frankfurt Book Fair.

Di sana kita bisa berkenalan secara tatap muka langsung (tentu dengan janji sebelumnya) dengan pemasar lisensi dari penerbit maupun para  agen lisensi internasional. Kehadiran sang editor akuisisi akan menambah kredibilitas penerbitnya. Bagaimana mereka tidak mengapresiasi kita, saat mereka akhirnya bisa melihat seseorang dari ‘random country’ hadir di sebuah pameran berskala internasional. Sehingga ketika suatu hari nanti terjadi kompetisi penawaran, kita memiliki poin lebih yang sifatnya non-material.

13751645541090432893

Dengan berkenalan dan menjalin hubungan dengan meraka, seorang editor akuisisi biasanya mendapatkan prioritas ketika mereka hendak meluncurkan buku-buku baru. Tidak kah ini sangat bermanfaat, bisa mengetahui sebuah judul buku baru dari penulis beken, sebelum diketahui publik.

Di pameran internasional, seorang editor akuisisi juga bisa dengan leluasa browsing buku-buku asing dengan membacanya langsung, sehingga bisa mencium aroma ‘best sellers’ atau ‘flop’ untuk pasar nasional.
Saya sendiri kadang mendapat bocoran buku-buku yang diambil oleh penerbit lain di Indonesia, ataupun penerbit dari negara yang pembacanya mirip di Indonesia. Obrolan informal dengan mereka kadang amat berharga untuk menambah wawasan perbukuan seorang editor akuisisi. Tak jarang pula saya mendapat peluang untuk mempromosikan buku-buku karya anak bangsa kepada mereka.

Sayangnya, saya masih sering sekali bertemu dengan teman-teman dari tanah air yang mendapat peluang ke pameran buku internasional hanya sebatas sebagai pengamat dan jalan-jalan. Hal lainnya, saya jarang melihat penerbit di Indonesia yang meregenerasi  editor akusisi yang datang ke pameran buku internasional. Rasanya dia lagi-dia lagi. Padahal, hubungan dengan para agen dan pemasar lisensi di penerbit asing kadang bersifat personal, sehingga ketika seorang editor akuisisi meninggal, belum tentunya penggantinya siap menangani semua jaringan editor akuisisi tersebut. Akhirnya penerbit itu malah kehilangan kesempatan untuk berkompetesi berburu lisensi naskah asing.

000

Sampah Jakarta Kotori Kepulauan Seribu

Tulisan ini menjadi HL di kompasiana.com





Harapan saya melihat bibir pantai yang cantik pupus sudah saat tiba di dermaga kecil Pulau Bidadari, Kepulauan Seribu, Sabtu (6/7). Ombak mengantar aneka sampah, terutama plastik, mengotori pantai yang semestinya bersih karena merupakan obyek wisata. Dari manakah rombongan sampah itu?

Setelah cek-in dan istirahat sejenak, saya keluar dari kamar tempat menginap di bagian barat Pulau Bidadari. Seorang pria tampak tengah mati-matian menghalau sampah yang terus mendesak ke pantai. Setelah mengangkut dua gerobak sampah, pria bernama Tahmid itu akhirnya hanya bisa menghalau sampah-sampah itu ke tengah laut agar kembali terbawa ombak.

Friday, August 2, 2013

Jelang Frankfurt Book Fair 2015 - Repost



Tanpa banyak diketahui publik Indonesia, ternyata pihak pemerintah Indonesia telah resmi  menandatangani kesepakatan menjadi tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair  (FBF) 2015. Penandatanganan diwakili Mentri Pendidikan dan Kebudayaan pada awal Juni 2013. Pengumuman dari pemerintah Indonesia belum resmi terdengar, namun laman resmi  dari FBF sudah merilisnya pada 1 Juli 2013.

Tahun lalu ketika saya mengunjungi Frankfurt Book  Fair 2012, wacana Indonesia menjadi tamu kehormatan tersebut sudah tersiar.   Ada perasaan bangga karena di kawasan Asia Tenggara  menjadi negara pertama yang bisa menjadi tamu kehormatan di FBF. Bahkan seorang teman-teman editor di Malaysia bertanya sambil bercanda,” Indonesia bayar berapa hingga  jadi guest of honour di Frankfurt?”

Kebanggaan itu sedikit menyusut karena bulan demi bulan setelahnya, saya nyaris tak mendengar respon pemerintah atas undangan FBF. Saya pun mulai pesimis terhadap pemerintah seolah tak peduli dengan perkembangan perbukuan nasional kita. Dan kini, rasa pesimis itu berubah menjadi optimis, sekaligus bertanya-tanya siapkah Indonesia menjadi Guest of Honour di FBF 2015? Apa saja yang sudah dilakukan?



13744674681926795168
Saya dan penulis Negeri 5 Menara, A. Fuadi di paviliun Indonesia, Frankfurt Book Fair 2012. (foto Benny Rhamdani)

Di manakah Indonesia?

Setiap kali menyebut nama Indonesia di kancah internasional, sering sekali saya mendengar orang-orang keheranan. Indonesia? Where is it? Bahkan Direktur FBF, Juergen Boos menyebut Indonesia sebagai negara dengan jumlah populasi penduduk yang tinggi namun hanya sedikit orang Jerman yang tahu.

Faktanya, dunia perbukuan Indonesia belum bicara banyak di kancah international. Kalaupun mau disebut, jelas Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) adalah penulis Indonesia yang paling mendunia. Pram pernah dianugerahi PEN Freedom Award, dan lebih dari 30 karyanya dipublish setidaknya ke dalam 20 bahasa . Pramoedya Ananta Toer adalah juga  kandidat kuat  penerima Nobel Prize untuk Literature. Di generasi muda, ada Ayu Utami penulis novel Saman yang diterbitkan Horlemann Verlag  (2007). Bintang barunya adalah Andrea Hirata yang karyanya Laskar Pelangi (Rainbow Troops) sudah diterbitkan Hanser Berlin (2013) dan peraih ITB Book Award pada  International Tourism Exhibition di Berlin.

Dengan jumlah penerbit aktif mencapai 1000 perusahaan di Indonesia mestinya tidak sulit untuk menembus dunia internasional. Apalagi beberapa penerbit sudah dengan inisiatif sendiri menerjemahkan buku-bukunya ke dalam Bahasa Inggris dan menjualnya lewat agen-agen literasi Indternasional.  Termasuk yang dilakukan Yayasan Lontar yang aktif melakukan penerjemahan buku nasional ke bahasa Inggris.

Saat bincang-bincang dengan beberapa pengunjung FBF  yang mengenal Indonesia, umumnya di benak mereka,  Indonesia merupakan negara yang memiliki beragam seni budaya, kaya literasi lisan, serta  generasi mudanya yang sangat digital minded.

Usulan Program

Saya yakin dana yang akan dikucurkan pemerintah di FBF 2015 tidak akan sedikit. Karenanya perlu strategi yang matang agar seusai  acara akbar tersebut, kita benar-benar memetik hasilnya.

Sekedar perbandingan, pada FBF 2012, Selandia Baru melakukan promosi besar-besaran di hampir semua penjuru lokasi.  Setidaknya 300 agenda acara digelar mereka. Tidak hanya memanfaatkan satu paviliun yang dipenuhi penerbit buku negarany.  Negara beribukota di Wellington ini juga melakukan promosi wisata outdoor seperti demonstrasi pemahatan kayu khas suku Maori.  Dengan cerdasnya, negara yang belum punya penulis dan produk buku yang mendunia ini, mengaitkan industri buku mereka dengan karya J.R.R Tolkiens berjudul The Hobbit dan Lord of The Rings. Padahal kaitannya hanya karena Selandia Baru menjadi lokasi syuting film berdasarkan dua buku fenomenal tersebut.

Selandia Baru pun tak tanggung-tanggung memboyong 67 penulis dan 69 senimannya untuk memeriahkan  FBF ini.  Tentunya upaya besar ini tidak akan menjadi sia-sia, dengan jumlah pengunjung puluhan ribu per hari.

Catatan prestasi Selandia Baru yang  mengedepankan tema while you were sleeping di FBF antara lain  kunjungan 67.500 orang ke paviliun mereka selama lima hari (25.000 orang saat dibuka untuk umum).
 Dari sisi promosi melalui media juga terbilang sukses, karena selama bulan Oktober 2012 telah terdokumentasi 9.000 kliping siaran pers. Tentu saja yang paling menggembirakan adalah bagi industri perbukuan mereka sendiri, yakni terjualnya hak penerjemahan 83 judul buku ke Bahasa Jerman.

Tahun ini, Brasil akan menjadi tamu kehormatan, disusul Finlandia pada 2014. Keduanya bisa pula dijadikan acuan agar kita bisa tampil maksimal.

Untuk persiapan, saya harapkan IKAPI sebagai ujung tombak di FBF kelak, melakukan beberapa hal:

1.  Memfasilitasi penerjemahan buku-buku nasional ke dalam bahasa Inggris (atau bahasa asing lainnya). Alangkah baiknya pemerintah bisa mendukung dari sisi pembiayaan. Sebab saya lihat, pemerintah Malaysia sangat getol dengan hal ini di setiap pameran buku International. Tentunya, buku yang difasilitasi adalah buku-buku yang memenuhi standart dan selera pasar Internasional.

2. Membentuk wadah agen literasi yang kemudian bertugas memasarkan judul-judul buku yang sudah diterjemahkan. Meskipun sebagian penerbit (besar) sudah memiliki, tapi masih banyak penerbit yang belum menemukan celah untuk memasarkan hak terjemahnya ke internasional. Padahal dengan semakin banyaknya buku nasional yang dipasarkan, akan makin banyak yang mengenal Indonesia. Dan ini akan berimbas ke sektor lain, seperti pariwisata.

3. Menunjuk orang-orang yang tepat menjadi duta literasi di FBF, baik penulis, desainer buku, illustrator, komikus, termasuk kritikus perbukuan.

4. Jika memang terbatas dengan sumber daya manusia yang mendukung, libatkan oraganisasi dan komunitas perbukuan nasional. Umumnya mereka sangat militan untuk mendukung kegiatan perbukuan Indonesia. Jangan sampai hanya karena  ‘kekuarangan orang’ akhirnya perencanaan program jadi kurang matang.

5. Beritakan program-progam yang akan diusung, agar masyarakat bisa ikut memberi masukan.

6. Ikapi juga harus menegaskan kepada pelaku industri perbukuan Indonesia, bahwa event ini bukan hanya untuk kepentingan satu-dua penerbit buku, tapi bermanfaat untuk seluruh insan perbukuan. Sehingga harus didukung oleh semua pelaku industri perbukuan nasional.

Sebagai insan perbukuan nasional, saya sungguh berharap kesempatan Indonesia di FBF 2015 dimanfaatkan semaksimal mungkin. Jika tidak, entah harus menunggu berapa lama lagi kita akan mendapat kesempatan ini.
OOO