Dari semua negara ASEAN,
satu-satunya negara yang tidak begitu saya kenal adalah Laos. Di kepala saya
sendiri, setiap disebut ‘laos’ maka muncul
visual bumbu dapur yang biasa juga
disebut lengkuas.
Saya baru tahu jika Laos ternyata
bernama lengkap Republik Demokratik Rakyat Laos. Saya pikir Laos masih
berbentuk kerajaan. Karena saya pernah
membaca sejarah, setelah penjajahan Jepang selama Perang Dunia II, negara ini
memerdekakan diri pada 1949 dengan nama Kerajaan Laos di bawah pemerintahan
Raja Sisavang Vong.
Rupanya, pada 1975 kaum komunis yang
didukung Uni Soviet dan komunis Vietnam menyingkirkan pemerintahan Raja Savang
Vatthana dukungan Amerika Serikat dan Perancis. Kemudian, mereka mengganti
namanya menjadi Republik Demokratik Rakyat Laos hingga saat ini dan bergabung
dengan ASEAN pada 1997.
Sejak menjadi anggota ASEAN, Laos
mengakui mengalami pertumbuhan yang siginifikan dalam perdagangan, investasi,
dan kedatangan wisatawan asing . Laos
banyak mendapat dukungan teknis dan bantuan dalam pengembangan sumber daya manusia dari
negara-negara anggota ASEAN, juga mitra dialog dan mitra eksternal lainnya. Seperti
negara berkembang umumnya, kota-kota besar di Laos seperti Vientiane, Luang Prabang, Pakxe, dan
Savannakhet, mengalami pertumbuhan signifikan beberapa tahun terakhir.
Laos pernah sukses memimpin ASEAN pada tahun 2004-2005. Selanjutnya, Laos
dipercayakan ke kursi dan tuan rumah berbagai pertemuan regional dan
internasional yang penting. Laos menjadi tuan rumah ke-9 Asia-Europe Meeting (ASEM) Summit tahun ini dan pada 2016, Laos akan menjadi pimpinan
ASEAN untuk kedua kalinya.
Tiga untuk Laos
Menjelang Komunitas ASEAN 2015,
saya rasa hal yang tepat menempatkan Laos menjadi pemimpin ASEAN. Dengan
demikian, Laos akan meningkatkan kinerjanya bagi ASEAN dengan optimal. Paling
tidak, Laos bisa menyamai kontribusinya seperti halnya Kamboja yang masuk ASEAN
pada tahun yang sama. Setidaknya, saya mencatat tiga langkah utama yang bisa dilakukan
Laos agar setara kontribusinya di ASEAN.
Pertama, dengan segala potensi
yang dimiliki Laos, harus lebih
berpartisipasi penuh dalam pergaulan dengan ASEAN. Hubungan diplomatik dengan negara-negara
ASEAN dilakukan lebih intensif, terutama dengan negara yang menyimpan potensi
risiko konflik perbatasan maupun sejarah masa lalu, misalnya dengan Thailand,
Vietnam dan Kamboja. Selanjutnya, bisa meluas dengan negara ASEAN lainnya. Saya
bersyukur Thailand sudah mau memulainya dengan rencana membangun rel yang
menghubungkan Vientiane dengan Thailand yang dikenal dengan Jembatan
Persahabatan Thailand-Laos
Kedua, rendahnya tingkat
pembangunan ekonomi Laos bisa ditingkatkan dengan kesadaran prioritas kerjasama
–jangka panjang dan pendek- dalam tingkat regional, yakni ASEAN. Bukan bantuan
dari negara-negara yang jauh darinya. Seperti yang saya baca, ekonomi Laos banyak menerima bantuan dari IMF. Padahal jika
berkaca kepada Indonesia, betapa IMF kelak malah akan mencekik negerinya
sendiri. Bentuk kerja sama yang dapat ditingkatkan dengan mudah di ASEAN
adalah sektor pariwisata.
Ketiga, karena masih ada konflik
internal, seperti bentrok senjata dari kelompok tertentu masih terjadi secara
kecil-kecilan di seluruh negeri, sebaiknya coba melakukan pertemuan-pertemuan
atau diskusi berdasarkan pengalaman negara ASEAN mentelesaikan masalah internal. Memang, ASEAN selalu berusaha menegakkan
prinsip non - intervensi , namun tidak
menutup kemungkinan untuk mendukung stabilitas nasional Laos. Sebab, konfilk
kecil di dalam satu negara bisa berimbas ke negara lain, secara masih dalam
satu regional.
Sekali lagi, agar begitu masuk Komunitas ASEAN 2015 nanti tidak terjadi
negara yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin, setiap negara harus memberi
konstribusi seoptimal mungkin. Sehingga hasil yang dicapipun bias semaksimal
mungkin.
OOooOO
OOooOO
tulisan ini untuk lomba #10daysforASEAN