Tuesday, May 31, 2016

Lima Alasan Bertandang ke Jembatan Siti Nurbaya di Padang









Saat bertandang ke Padang, Sumatera Barat, seorang teman menyarankan saya untuk mampir ke Jembatan Siti Nurbaya di malam hari jika cerah. Saya belum tahu alasan teman saya menyuruh saya mampir ke sana. Tapi begitu browsing, ternyata lokasinya sangat dekat dengan hotel menginap, saya pun memutuskan ke sana.


Akhirnya, saya menemukan kesimpulan lima alasan jembatan sepanjang 165 meter ini pantas dikunjungi.


Latar Novel

Jembatan ini membentang di atas Sungai/Muara Batang Arau yang menghubungkan kota Padang dan wilayah Seberang Padang. Jika dilanjutkan belok ke kanan bisa menuju Gunung Padang yang merupakan latar cerita kisah Siti Nurbaya karangan Marah Rusli.

Teman saya tahu bahwa saya merupakan penggemar sastra, sehingga bisa merasakan setting berlangsungnya cerita Siti Nurbaya. Bahkan terdapat makan Siti Nurbaya di dekat area tersebut. Bukankah Siti Nurbaya karya fiksi?


Jadi begini, kebetulan tempat saya bekerja menerbitkan buku kedua karya Marah Rusli, bertajuk Memang Jodoh. Dalam wasiat kepada ank-anaknya, Marah Rusli hanya mengizinkan karyanya itu diterbitkan jika semua tokoh di dalam karyanya meninggal. Banyak yang berpendapat Siti Nurbaya pun ditulis berdasarkan kisah nyata.  Mungkin iya atau tidak.


Kuliner


Saya datang dua kali ke jembatan ini, malam hari dan pagi. Pada malam hari jembantan ini sesak oleh motor dan mobil yang parkir, tidak hanya dari Padang, tapi juga provinsi lain. Sambil melihat lampu-lampu perahu, pengunjung bisa makan kuliner setempat, mulai dari jagung bakar sampai pisang bakar.

Saya memilih pisang bakar. Pisang yang digunakan pisang kepok, dan dibakar memakai arang tempurung. Aromanya membuat saya lapar mendadak. Setelah dibakar, pisang dipipihkan dan ditaburi meisis dan keju. Rasanya cocok dengan suasana malam di jembatan.

Latar Foto


Beberapa orang saya lihat juga berfoto bersama ataupun memoto keadaan sekitar.  Waktu terbaik sebenarnya saat sore yang cerah dan matahari akan tenggelam. Sayangnya saya tidak mendapat momen ini karena kota Padang sepanjang sore terus diguyur hujan.

Perpaduan bukit, jembatan, kehidupan muara memang sangat menarik untuk ditangkap kamera. 


Kota Tua

Pesona kawasan sekitar Jembatan Siti Nurbaya adalahbangunan-bangunan tua zaman Belanda. Mulai dari Jalan Pondok, Niaga, Kelenteng hingga jalan Batang Arau di dekat jembatan merupakan kawasan kota tua Padang. Di kawasan ini saya melihat kelenteng dan masjid yang umurnya sudah sangat tua.

Kaum pendatang seperti Tionghoa, Nias, Mentawai dan Batak banyak bermukim di sini.


Oleh-oleh


Di turunan Jembatan Siti Nurbaya kita akan melihat sebuah pusat oleh-oleh terkenal, yakni keripik balado Christine Hakim. Tentu saja kios oleh-oleh lainnya bertebaran. Bagi yang ingin oleh-oleh lain juga tersedia di sini.

^_^






Monday, May 30, 2016

Es Krim Tempurung Cantik Ini Bikin Betah di Pantai Pariaman







Duduk di pinggir Pantai Gandoriah, Pariaman, Sumatera Barat, belum lengkap tanpa menikmati kuliner satu ini. Namanya Es Krim Tempurung. Penampilannya sangat cantik. Rasanya juga cocok di lidah sambil memanjakan mata melihat keindahan pantai.

Saya menemukan kedai es krim ini di antara barisan kuliner di Pantai Gandoriah saat haus-hausnya karena terus bejalan menelusuri pantai. Saya lagsung tertarik melihat standing banner yang terpampang di depan kedai, dan segera memesannya.


Bu Tini yang menerima saya langsung membuatkan pesanan kami. Pertama, dipilih satu butir kelapa muda, lalu dibelah dua. Daging kelapa kemudian diserut dan dipisahkan. Barulah tempurungnya digunakan sebagai cawan es krim vanilla. Tidak cuman es krim, daging kelapa yang tadi dicampurkan dengan kolang-kaling, potongan pudding, meisis warna-warni, dan wafer cokelat.


Saya menyukai penampilannya. Dan begitu mencicipi es krimnya saya langsung suka suka. Pasalnya, es krim yang disajikan rasa manisnya pas buat ukuran saya. Tidak terlalu manis. Kolang-kaling membuat tekstur sendiri dalam mengunyah es krim. Sementara rasa wafer dan meisis cokelat memeprkaya rasa es krim ini.

Sungguh saya menyukainya seingga mampu menghabiskan sajian nikmat ini. Padahal biasanya saya kurang begitu suka daging kelapa serut. Tapi karna kelapa muda dan teksturnya lembut, saya malah nyaris ingin memesannya untuk dibawa ke Bandung. Tapi nggak mungkin sepertinya.

Bu Tini menjelaskan, varian es krimnya sudah dijualnya selama satu tahun. Dia berani mengklain sebagai penjual es krim pertama di Sumatera Barat. "Kami pernah lihat juga di televisi ada yang membuat seperti ini di Surabaya. Tapi dia memulainya baru tiga bulan," jelas Bu Tini.


Ada lagi yang bikin istimewa kuliner ini, air kelapanya tidak dibuang. Melainkan disajikan kepada pelanggan disebuah gelas dengan es batu. Rasanya ... bikin nagih.

Saat saya meningalkan dan membayar, harganya pun relatif murah Rp.12.000. Siapa yang nggak pengen borong buat oleh-oleh coba?




Sunday, May 29, 2016

Serasa Punya Kebun Jambu Biji Sendiri di Padang Pariaman





Rumah saya di Bandung tidak punya halaman luas. Terkadang saya membayangkan memiliki kebun luas dengan tanaman buah-buahan dan saya bisa menikmati buah-buahan itu dengan memetik langsung. Impian itu terwujud saat saya mengunjungi Ariza Farm di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat.

Kebun itu bernama Ariza Farm, khusus menanam pohon jambu biji. Agak menantang untuk mencapai kebun ini. Dari jalan raya masuk ke jalan yang makin menyempit naik dan turun. Tapi saya senang karena bisa melihat rumah-rumah perkampungan dan masjid kembar yang eksotik. ampai akhirnya mendapatkan sebuah gerbang bertuliskan nama perkebunan itu.

Setelah membayar tiket masuk Rp.5000 per orang (dewasa) saya langsung diizinkan untuk mengelilingi kebun jambu biji meraha seluas 8 hektar ini. Saya boleh memetik sendiri jambu yang diinginkan. Karena jumlah pohon yang banyak dan bercabang rendah, agak sulit juga mencari jambu yang layak dipetik.


\Apalagi, petugas setempat baru saja memanen. Jadi baru lima belas menit saja saya sudah nyerah. Apalagi sepatu saya mulai sering menginjak jambu-jambu yang berjatuhan. Tapi setidaknya saya sudah bisa merasakan punya kebun jambu biji merah walaupun sebentar.


Jambu-jambu di kebun ini tidak hanya untuk wisatawan yang biasanya rombongan sekolah dari sekitar Sumatera Barat, tapi juga dipanen dan dijual ke beberapa kota di Sumatera Barat, bahkan hingga provinsi sekitar Sumatera Barat.



 

Setelah dipetik, jambu akan melalui proses penyortiran, dicuci barulah kemudian dikemas untuk dijual. Pengunjung juga bisa membawa pulang jambu biji dengan membayar Rp10.000/kg. Ya lumayanlah, karena harga jambu biji merah sekarang juga sudah mahal. Apalagi saat wabah demam berdarah menjangkit. Bagi yang tahu manfaat jambu biji merah, tentu sekali datang ke kebun ini tak akan tanggung-tanggung memborong buah bermanfaat ini.


 Pemilik kebun ini juga memiliki pesantren di sebelah timur. Sehingga pengunjung yang ingin ikut wisata ruhani sekaligus wisata kebun bisa melakukannya. Pengunjung bisa menginap di Pesantren Darul Amal sekaligus wisata alam dan benar-benar merasakan alam dan perkampungan yang tenang. Saya malah berpikir menjadikan tempat ini untuk menulis buku, soalnya tenang dan asri.

 Menarik juga kombinasi wisata yang ditawarkan. Tidak hanya makan jambu, aneka pelatihan juga disediakan jika ingin bermalam, mulai dari bisnis, agama, berkebun, hingga konsultasi keluarga.






Monday, May 23, 2016

Kisah Pilu di Balik Pantai Gandoriah nan Cantik



Perjalanan di Sumatera Barat, mempertemukan saya dengan sebuah pantai cantik bernama Gandoriah di  Pariaman. Hamparan pasir bertemu ombak Samudera Hindia menciptakan pemandangan indah. Tenda-tenda kecil berdiri di garis pantai, menghadap ke pulau-pulau kecil nan elok.

Di balik kecantikan Pantai Gandoriah, ternyata tersimpan kisah menyedihkan. Konon, Gandoriah adalah seorang puteri cantik yang mencintai seorang pria bernama Anggun Nan Tonga. Namun kisah kasih Gandoriah tak kesampaian. Meskipun dia sudah bersemedi dan Anggun Nan Tonga berkelana mencari tiga pamannya, namun terhalang kenyataan bahwa mereka adalah saudara sepupu.

Untuk mengabadikan kisah tersebut, maka nama putri cantik itu disematkan ke pantai yang terletak 100 meter dari kota Pariaman. Nama Anggun Nan Tonga sendiri diabadikan di sebuah hotel di dekat pantai.

  


Cara  mencapai Pantai Gandoriah dari kota Padang tidak terlalu sulit. Baik menggunakan kendaraan pribadi maupun angkot. Bahkan sebuah jalur kereta api dari Padang ke Pariaman berakhir di sebuah stasiun yang letaknya relatif dekat dengan gerbang obyek wisata pantai ini. Sungguh sebuah lokasi wisata yang strategis. Jadi tidak heran pantai ini selalu ramai, terutama di akhir pekan.

Dari pantai ini pula, wisatawan bisa mengakses ke gugusan enam pulau kecil di dekatnya, yakni Pulau Kasiak, Pulau Angso, Pulau Tangah, Pulau Ujung, Pulau Gosong dan Pulau Bando. Waktu tempuh ke pulau-pulau tersebut kurang dari setengah jam. Tapi jika budget maupun waktu kunjungan terbatas, cukuplah bersantai di Gandoriah. Bahkan dari tenda-tenda kecil di pantai kita bisa melihat dengan mata telanjang gugusan pulau tersebut.

Seperti yang saya lihat sendiri, aktivitas di pantai cukup padat. Mulai dari yang bersepeda bersadel tiga, mengemudi ATV, bermain layangan, berenang, berselancar atau sekadar duduk manis menikmati kuliner setempat.

Pantai Gandoriah menurut saya sangat cocok untuk liburan keluarga, karena banyak permainan yang bisa dilalukan bersama anak-anak. Pasir pantainya pun relatif bersih dari sampah. saya juga tak kesulitan memarkirkan mobil karena tempat parkir yang luas.

Menurut Bu Tini, penjual kuliner di sisi pantai, puncak kunjungan wisatawan ke pantai ini adalah saat digelarnya Festival Tabuik. Hampir semua warga Sumatera Barat tumplek ke pantai melihat pelarungan tabuik.

Saran saya, jika hendak ke sini datanglah sepagi mungkin biar bisa memuaskan hati. Jangan lupa mengabadikan sunset yang indah :)

(Foto dan tulisan: Benny Rhamdani)


Sunday, May 22, 2016

Dalam Islam, Dianjurkan Bicara Saat Makan Bersama

Ajeng Raviando, Psikolog Anak dan Keluarga,mengangkat
tema
 Ciptakan Kembali Tradisi Bersantap di Rumah


Saya dulu paling takut bicara di meja makan saat makan bersama nenek saya. Kata Nenek, bicara di meja makan itu pamali. Ibu saya meluruskan, sebaiknya memang tidak bicara saat mulut mengunyah makanan karena khawatir menyembur. Kalau mau bicara boleh saja, tapi tunggu mulut tidak terisi makanan.

Kenangan di  meja makan punya cerita pada masa lalu itu terlintas saat saya datang ke acara peluncuran produk Petite Blossom dari Tupperware di South Quarter Tower A, Jakarta, Jumat, 20 Mei 2016. Di acara ini, Ajeng Raviando, Psikolog Anak dan Keluarga,mengangkat tema Ciptakan Kembali Tradisi Bersantap di Rumah. Tentu saja bersantap bersama keluarga di meja makan.

Menurut Mbak Ajeng ini, tradisi makan bersama di rumah sembari mendengarkan cerita anggota keluarga lainnya sudah menghilang lambat laun karena masing-masing anggota keluarga memiliki kesibukan masing-masing. 

Psikolog Ajeng juga melihat gejala budaya media sosial yang orang membuat malas makan di rumah karena tampilan makanan yang kurang menarik sehingga tak bisa diunggah ke Instagram, misalnya. "Bahkan sekarang kalau pun makan bersama, masing-masing sibuk dengan gadgetnya," ujar  Mbak Ajeng yang langsung bikin saya merasa disindir.

Kadang di meja makan malah sibuk dengan gadget.

Hilangnya tradisi makan bersama di rumah ini, imbuh Ajeng,  punya pengaruh buruk bagi perkembangan hubungan antar anggota keluarga. Pasalnya, bersantap di meja makan bisa jadi ajang komunikasi antar anggota keluarga. "Soalnya kan bersantap di rumah lebih santai ketimbang di ruang publik. Komunikasi bisa lebih erat dan setiap anggota bisa mengekspresikan pikirannya," tambah Ajeng.

Di sinilah saya mulai teringat masa kecil saya dulu yang takut bicara di meja makan karena Nenek menganggap pamali. Jika melihat manfaatnya, mengapa hal itu jadi pamali ya? Apakah makan di meja makan melanggar syariat agama Islam sehingga pamali?

Menurut hadits riwayat Muslim, Sahabat Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhuma menceritakan, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminta istrinya untuk diambilkan lauk. Namun isterinya berkata, "Kami tidak punya lauk apapun selain cuka."

Beliau tetap minta diambilkan cuka, dan makan dengan lauk cuka dan mengatakan, "Sebaik-baik lauk adalah cuka… sebaik-baik lauk adalah cuka… " (HR. Muslim 2052)

Dianjurkan bicara ketika makan agar suasana akrab.

Lantas, An Nawawi menjelaskan, di dalam hadis ini terdapat anjuran untuk berbicara ketika makan, untuk membuat suasana akrab bagi orang-orang yang ikut makan. (Syarh Shahih Muslim, 7/14).

Dalam al-Adzkar, Imam Nawawi mengatakan, “Dianjurkan berbicara ketika makan. Berkenaan dengan ini terdapat sebuah hadits yang dibawakan oleh Jabir radhiyallahu ‘anhu sebagaimana yang telah kami kemukakan dalam  bab memuji makanan”. Imam Abu Hamid al-Ghazali dalam kitab al-Ihya mengatakan bahwa termasuk etika makan ialah membicarakan hal-hal yang baik sambil makan, membicarakan kisah orang-orang yang shalih saat makan.” (al-Adzkar hal 602)

Orangtua saya pun tidak pernah melarang dengan tegas bicara saat makan. Malah biasanya orangtua saya menjelaskan manfaat dan kandungan vitamin yang ada di dalam hidangan di atas meja makan. Biasanya juga, usai makan kami ditanya soal nilai ulangan sekolah.

Saya termasuk senang dengan acara makan bersama keluarga di rumah terutama saat makan malam. Soalnya Ayah saya seorang tentara, dan sering tidak sempat makan di rumah karena kesibukannya. Dan biasanya, kalau Ayah saya ikut malam bersama, Ibu saya memasak lebih spesial. Maklum deh anak tentara jaman dulu, masih jarang ketemu daging ayam.

Petite Blossom 


Agar keluarga tetap tertarik makan di rumah, tentunya harus disiapkan trik khusus, kan? Terutama anak-anak. Selain menunya, yang bisa memengaruhi adalah peralatan makan yang dipakai.

Rina Sudiana, Product Manager Marketing Department, Tupperware Indonesia, menjelaskan tentang produk baru berlabel Petite Blossom. Rangkaian produk saji terbaru dari Tupperware ini cocok digunakan untuk sajian harian. "Produk ini akan menjadikan setiap momen makan bersama kelurga di rumah makin ceria dan hangat," ujar Mbak Rina.

Menurut saya, peralatan makan yang lengkap ini layak saya miliki di rumah untuk menyambut bulan Ramadan.  Selain warnanya yang membuat makanan tampak lebih segar di meja makan, juga ukurannya yang pas untuk keluarga kecil kami yang hanya bertiga.

Tampilan cantik produk baru Tupperware Indonesia yang
diberi nama 'Petite Blossom'
Foto-foto: Benny Rhamdani

referensi: 
muslim.or.id/49-adab-adab-makan-seorang-muslim-6.html
konsultasisyariah.com/24088-hukum-makan-sambil-bicara.html


Thursday, May 19, 2016

Tebus Rp10.000 Bisa Bebaskan Tukik di Pariaman



Perjalanan saya di Pariaman, Sumatera Barat, mengantar saya ke UPT Pusat Konservasi Penyu Pariaman. Lokasi tepatnya di Jalan Syeh Abdul Arif, Desa Apar, Kecamatan Pariaman Utara. Untuk mencapainya dari  pusat kota  Pariaman hanya memerlukan waktu 10 menit.

Sebuah patung penyu langsung menyambut saya tak jauh dari tempat parkir. Saya lihat juga beberpa rombongan keluarga yang sudah berada di lokasi karena memang konservasi penyu ini merupakan ekowisata yang dapat diakses publik.

Hanya membayar tiket masuk Rp.5.000 per orang, saya bisa melihat  langsung ruang terbuka penangkaran penyu berupa hamparan pasir yang dibatasi tembok. Terdapat puluhan gundukan pasir berisi telur penyu dengan tanda meliputi jenis dan usianya.




Telur-telur tersebut kebanyakan merupakan hasil kiriman para warga sekitar pantai Pariaman. "Kami membelinya Rp3.000 per butir," jelas Irfan, petugas konservasi yang kami jumpai. Memang, jika dinilai dari sisi rupiah tak seberapa bagi warga. Di pasar, harga telur penyu bisa mencapai Rp15.000 sebutir.  

Selain penangkaran telur penyu, saya juga melihat ruang karantina yang berisi beberapa penyu dewasa. Terdapat tiga jenis penyu, yakni  penyu lekang (Lepidochelys olivacea)), penyu sisik (Eretmochelys imbrata) dan penyu hijau (Chelonia mydas). Penyu hijau termasuk penyu langka, dan biasanya hanya mau bertelur di pantai berpasir putih.




Ruang lain yang saya lihat adalah ruang hatchery, yang berisi anak-anak penyu alias tukik yang masih sangat belia. Saya langsung terpesona melihat tumpukan tukik-tukik yang berada di bak dan jolang. Sedikit iba juga karena sepertinya tukik-tukik itu ingin segera menuju pantai.

Akhirnya saya tanyakan cara agar bsa melepaskan tukik ke pantai. Ternyata pengunjung boleh juga ikut membebaskan tukik itu, caranya ya membayar 'tebusan' sebesar Rp10.000 per tukik. Saya langsung memutuskan untuk menebus dua tukik.

Petugas kemudian membawa tukik ke baskom ke pantai. Lalu saya mengangkat dua tukik itu ke pasir, dan betapa serunya melihat dua tukik itu berjuang mencapai air laut. Tampak insting meraka sangat kuat, sehingga tahu arah mereka harus berjalan.




Lega rasanya melihat dua tukik itu tiba di laut dan kemudian hilang bersama tarikan ombak. Entah mengapa beberapa pengunjung lainnya tidak tertarik melakukan hal serupa dengan saya. Mereka hanya memotret dan melihat saya melepaskan tukik.

Ya, tentu saja ditebus atau tidak oleh pengunjung, petugas konservasi tetap akan melepaskan tukik-tukik itu ke laut. Cuman kan sensasi mengunjungi konservasi penyu itu nggak akan lengkap kalau tak sampai mencoba melepas tukik. Iya nggak sih?



Wednesday, May 18, 2016

Sebelum Punah, Mari Kita Cicipi Kue Mangkuk Sayak






Pagi itu saya terdampar di Pasar pagi di Pasiakandang, Pasia Nantigo, Kototangah, Padang, Sumatera Barat. Niat saya melihat kehidupan nelayan, tapi rupanya harus melewati pasar tradisional ini. Dan rupanya saya beruntung karena menemukan sebuah kedai penjual kuliner tradisional yang belum saya kenal sebelumnya, yakni kue mangkuk sayak (kue mangkuk tempurung).

Di benak saya, Padang hanya jago dengan kuliner berat. Makanan ringan yang saya kenal hanya terbatas keripik balado atau sarikaya. Melihat kue mangkuk yang unik itu saya langsung menemui  pemilik lapak, Bu Mailiniar, yang sedang sibuk melayani pembeli.

“Bu, ini harganya berapa?” tunjuk saya melihat penganan kecoklatan dilingkari putih yang tersaji di atas tempurung kelapa.

“Seribu,” katanya agak malu-malu.



Saya agak kaget karena hari gini masih ada jajanan seharga seribu rupiah. Saya pun memesannya. Bu Mai dibantu seorang perempuan memenuhi pesanan saya dan pembeli lainnya. Tempurung berisi  tepung beras dicampur gula saka di atas meja kemudian disiram santan. Dibiarkan di atas kukusan beberapa menit, kemudian disajikan di depan saya. Bagi yang membeli untuk dibawa pulang, kue mangkuk dilepaskan dari tempurung dialasi kertas dan daun.

Saya mencicipi bagian pinggirnya yang putih, rasanya gurih seperti umumnya santan. Kemudian kebagian tengah yang cokelat, rasanya manis. Perpaduan dua rasa itu terasa nikmat ketika masuk bersamaan ke mulut.


Aroma makin di tempat juga makin eksoktis karena wangi kukusan kue mangkuk terus menguar. Saya merasa tak cukup menghabiskan satu dan langsung memesan lima.


Menurut Bu Mai, dia menyediakan 250 porsi kue  setiap hari dan selalu habis terjual. Mengapa bisa begitu laris? Pertama, kue mangkuk ini memang sudah sulit ditemukan. Kalah saing dengan penganan modern.  Padahal penggemarnya masih banyak. Tentu saja selain juga harganya yang relatif murah.

Harga yang murah dan dijual terbatas rupanya juga menjadi daya tarik untuk membeli. Mungkin jika Bu Mai berjualan ribuan mangkuk pun akan sanggup, tapi lama-lama orang akan bosan.


Bu Mai mengaku baru sekitar lima tahun membuka usahanya. Resep kue mangkuk itu dibuatnya sendiri berdasarkan pengalamannya memakan kue itu di tempat lain. “Bahannya itu saja, tidak sulit dicari. Tepung diaduk dengan gula saka, kemudian dikukus dalam sayak. Proses pengukusan pun tidak membutuhkan waktu lama, hanya sekitar lima hingga sepuluh menit." Setelah adonan tepung yang dikukus matang, ditambahkan dengan santan kelapa. Setelah mengeras, hidangan kue mangkuk sayak pun siap dinikmati. 

Buat saya pribadi, kue mangkuk sayak ini layak dinikmati siapapun yang bertandang ke Padang.

Maya Lestari GF seorang penulis dan pengamat kuliner Minang mengatakan,"Sebenarnya kue mangkuk sayak itu masih banyak ditemui di daerah kabupaten. Kalau di kota masih bisa ditemukan sih di toko-toko kue, tapi rasanya nggak seori di daerah. Kue mangkuk sayak paling enak itu ada di sekitaran wilayah Bukittinggi, Agam dan 50 Kota. Mungkin karena mereka memakai gula nira yang masih asli, yang nggak dicampur dengan gula pasir."


Tuesday, May 17, 2016

Kontroversi, Monumen Merpati Perdamaian di Padang Malah Makin Ramai



"Pantai ini dulu tak secantik begini," demikian ucap Bu Dewi, warga Padang yang mengantar saya menelusuri Pantai Muaro  Lasak di sisi kota Padang, Sumatera Barat.




Kami berhenti sejenak di Monumen Merpati Perdamaian bulan April lalu. Saya memandangi sejenak monumen yang menjulang setinggi delapan meter. Konon keberadaan monumen merpati itu hingga kini mengundang kontroversi karena dianggap sebagai misi kristen di tanah Minang yang dominan umat Muslim.

Setahu saya, merpati dalam mitologi Yunani merupakan simbol cinta. Dan merpati yang ada di monumen juga lebih mirip merpati origami Jepang. Bangsa Tiongkok juga menggunakan merpati sebagai simbol perdamaian dan panjang usia. Sedangkan di Mesir, merpati merupakan lambang ketenangan.


Bu Dewi menjelaskan lingkungan monumen yang sebelumnya tak beraturan. Bahkan dari sisi jalan kita tidak bisa melihat pantai karena tertutup warung-warung dan bangunan liar. Tapi dengan kerja arif Walikota Padang H. Mahyeldi Ansharullah, warga pemilik bangunan di sekitar pantai mau pindah dengan sukarela.

Seperti yang  saya saksikan, lingkungan sekitarnya kini tampak lengang dan asri. Beberapa pengunjung tampak menikmati keindahan pantai atau berfoto di dekat monumen. Tampak juga pedagang mainan mulai berdatangan. Sepanjang tertib dan dibatasi jumlahnya, kehadiran pedagang ini tidak akan menjadi masalah.

Debur ombak Samudra Hindia yang menepi menjadi musik pengiring saat berada di sekitar monumen yang kabarnya selalu diserbu ribuan pengunjung. Bahkan di akhir pekan, sejak dini hari di sekitarnya sudah banyak warga yang jogging.


Di seberang monumen merpati terdapat kios-kios kuliner yang beberapa juga sudah buka di pagi hari. Dan akan lebih ramai lagi di sore hari, karena kedai-kedai itu memiliki balkon agar pengunjung bisa menikmati keindahan matahri tenggelam sambil mengisi perut.

Ya, semoga saja dengan adanya Monumen Merpati Perdamaian yang digagas oleh TNI Angkatan Laut ini semoga kawasan pantai Padang bisa semakin damai.



Monday, May 16, 2016

Terinspirasi Jupe, Pembaca Berita Ganteng Semangat Hadapi Alopesia



Ternyata aksi membotaki kepala Julia Perez banyak menyita perhatian khalayak. Salah satunya adalah Amin Hayat Abdul Rahim seorang pembaca berita dan produser di TV 9 Malaysia. Cowok yang mengaku lajang ini mengaku membotaki kepala setelah membaca kisah Jupe.

"Kebetulan saya juga punya masalah rambut rontok (Alopesia) terus langsung depression. Waktu itu ada terbaca kisah Jupe yang diduga Kanker. Dia langsung kuat. Semangat itu, saya gunakan untuk saya motivasikan diri. Kerana masalah saya kecil berbanding Jupe. Saya cuma rontok rambut serius sehingga botak namun ada obatnya dan inshallah bisa ada rambut kembali. Justeru, saya jadikan Jupe sebagai idola pembakar semangat saya. Sebagai seorang TV Personaliti di Malaysia, pada mulanya memang saya sedih kerna kondisi saya yang agak serius. Ada yang anggap saya diserang kanker tetapi bukan. Apapun saya respect Jupe dan admire her. Dia seorang wanita yang kuat dari segi mental dan fizikalnya. Bisa dijadikan idol," tutur lulusan University of Technology (UTM), Johor Baru, Malaysia ini saat ditanya.



Pria berusia 34 tahun ini mengaku belum pernah bertemu Jupe sama sekali. "Saya tidak mengenalinya secara peribadi tetapi  tahu dia seorang selebriti terkenal Indonesia. Cuma Jupe ada juga beri komentar di foto saya di instagram. She's cool. Saya suka lagu barunya #gakjaman," ujar pria yang gemar ngegym ini.

Memiliki rambut botak, ternyata memang butuh perjuangan juga untuk tampil percaya diri. Apalagi Amin terbiasa tampil di layar kaca dengan tatnan rambut yang keren. "Saya mulai Alopesia sejak dua tahun lalu. The problem come and go. Cuma semakin serius awal Januari tahun ini.  Saya sampai depresi selama dua bulan. I share the problem with my bosses and get some advise. My bosses cool with it. support saya and  let me read news again. So, saya bikin special report on Alopesia. Dan bust pertama kali on air di TV dalam keadaan botak," jelasnya.

Tentang Jupe sendiri, Amin berharap bisa bertemu  Jupe. "Inshallah kalau diizinkan. Saya menyukainya," harap  pria yang mencari sosok wanita yang indah dipandang mata, baik luar dan dalam, serta hormat kepada orangtua. 




Lima Pertanyaan yang Sering Dilontarkan Penulis Pemula; Catatan Festival Sastra Anak dan Remaja Sumatera Barat 2016



Sebagai seorang editor in chief saya kerap memberikan materi penulisan kepada masyarakat, baik penulis baru maupun yang sudah mapan. Seperti yang  saya lakukan di acara Festival Sastra Anak dan Remaja Sumatera Barat, Padang, Sabtu, 14 mei 2016. Dan khusus penulis pemula, biasanya ada lima pertanyaan yang sering dilontarkan.

Mengambil tempat di Perpustakaan Provisi Sumatera Barat, saya begitu senang melihat antusias peserta yang hadir hingga tigaratusan itu. Mereka terdiri dari siswa SD hingga SMA, mahasiswa, guru, dan ibu rumahtangga. Setelah saya menyampaikan materi, mereka pun antusias bertanya.
Nah, beberapa pertanyaan sebenarnya sering dilontarkan saat bertemu penulis pemula di acara sejenis di lain kota.




Tergantung Mood

Banyak penulis pemula yang mengeluh soal mood menulis mereka yang surut. Menurut saya mood berkait erat dengan motivasi. Jika motivasi menulis lemah, maka dia akan membiarkan mood menghantuinya. Motivasi yang tinggi dapat menghalau mood.

Memiliki motivasi dalam melakukan apapun perlu. Juga jika ingin menulis. Apakah motivasi menulis? Ingin dikenal? Ingin mendapat honor? Ingin berkespresi? Apapun itu harus terus dijaga. Motivasi juga akan meningkatkan kedisplinan. Semisal, orang yang disiplin menulis sejam saja sehari, maka dia akan merasa ada yang hilang ketika tidak menulis sejam sehari. Dia tidak butuh mood.

Tulisan Tidak Jelas

Penulis pemula juga kerap bermasalah dengan tulisan yang tidak jelas arahnya, hingga akhirnya tak pernah tuntas menulis. Saya selalu memberikan saran kepada penulis pemula agar membuat kerangka plot atau rencana plot cerita yang akan ditulisnya. 


Menulis rencana cerita seperti seorang traveler membuat itinerary. Dengan adanya rencana plot, penulis akan mudah menulis bahkan hingga penutupnya. Jika sudah mahir menulis dan memainkan plot kelak, mungkin dia bisa mengabikan kerangka atau rencana atau plot.

Untuk penulis pemula, membuat rencana plot cerita akan lebih menghemat waktu dan tenaga.

Judul

Ada dua hal yang sering ditanyakan terkait judul. Satu, cerita sudah selesai, tapi judulnya belum tahu. Atau sudah bikin judul tapi nggak mulai menulis ceritanya.

Jika yang sudah selesai ceritanya tapi kesulitan bikin judul, cukup dengan memeras dari plot ceitanya. Bisa juga dari temanya jika memang menarik. Kadang dengan menyebutkan nama tokoh dan apa yang dilakukan di ceritanya juga bisa menarik. Nanti, bila sudah mahir bisa dengan mudah mencari judul yang benar-benar nendang banget.

Amati judul-judul buku di toko buku, lihat katalog penerbitan, atau bisa juga melihat judul-judul lagu. Di sana kita bisa mengambil banyak juduluntuk cerita kita. Tentunya dengan sedikit menambah atau mengubah kata.

Memilih Ide

Sebagai penulis pemula, kadang mereka kebanjiran ide. Hal itu membuat penulis pemula kebingungan memilih ide yang akan ditulisnya. Saya biasanya memberi solusi dengan cara memilih ide yang memenuhi tiga kriteria:

1. Ide yang paling kita kuasai untuk ditulis. Plotnya kita benar-benar siap.

2. Ide yang jarang atau belum ditulis orang lain. Agar kita tahu mana yang jarang ditulis penulis lain ya kita harus rajin membaca.

3. Ide yang menarik perhatian pembaca. Sebab tidak semua ide walaupun bisa ditulis akan menarik pembaca. Biasanya pembaca tertarik jika idenya orisinil, tidak mudah ditebak ceritanya, dan dapat mendapatkan sesuatu dari ide tersebut.

Jika ada beberapa ide yang terpilih, susunlah mana yang akan ditulis lebih dulu agar fokus. Atau jika memungkinkan beberapa ide digabung menjadi satu cerita.

Membagi Waktu Menulis dan Belajar

Penulis pemula juga kebingungan membagi waktu menulis dan belajar. Saya selalu sarankan agar waktu belajar jangan dikurangi. Yang bisa dikurangi adalah waktu bermain, nonton teve dan sejenisnya, dan dijadikan waktu menulis. Mungkin ada yang tidak rela mengurangi waktu bermain, tetapi namanya memiliki keinginan tentu harus ada pengrobanan.

Jangan pernah berpikir mengurangi waktu belajar. Sebab tugas utama siswa memang belajar.



Acara ini melibatkan beberapa komunitas di Suamtera Barat, yakni Komunitas Kreatif Indonesia, Forum Lingkar pena Sumbar, FAM dan Rumah Kayu.

Foto-foto: Maya Lestari GF