Perjalanan saya di Pariaman, Sumatera Barat, mengantar saya ke UPT Pusat Konservasi Penyu Pariaman. Lokasi tepatnya di Jalan Syeh Abdul Arif, Desa Apar, Kecamatan Pariaman Utara. Untuk mencapainya dari pusat kota Pariaman hanya memerlukan waktu 10 menit.
Sebuah patung penyu langsung menyambut saya tak jauh dari tempat parkir. Saya lihat juga beberpa rombongan keluarga yang sudah berada di lokasi karena memang konservasi penyu ini merupakan ekowisata yang dapat diakses publik.
Hanya membayar tiket masuk Rp.5.000 per orang, saya bisa melihat langsung ruang terbuka penangkaran penyu berupa hamparan pasir yang dibatasi tembok. Terdapat puluhan gundukan pasir berisi telur penyu dengan tanda meliputi jenis dan usianya.
Telur-telur tersebut kebanyakan merupakan hasil kiriman para warga sekitar pantai Pariaman. "Kami membelinya Rp3.000 per butir," jelas Irfan, petugas konservasi yang kami jumpai. Memang, jika dinilai dari sisi rupiah tak seberapa bagi warga. Di pasar, harga telur penyu bisa mencapai Rp15.000 sebutir.
Selain penangkaran telur penyu, saya juga melihat ruang karantina yang berisi beberapa penyu dewasa. Terdapat tiga jenis penyu, yakni penyu lekang (Lepidochelys olivacea)), penyu sisik (Eretmochelys imbrata) dan penyu hijau (Chelonia mydas). Penyu hijau termasuk penyu langka, dan biasanya hanya mau bertelur di pantai berpasir putih.
Ruang lain yang saya lihat adalah ruang hatchery, yang berisi anak-anak penyu alias tukik yang masih sangat belia. Saya langsung terpesona melihat tumpukan tukik-tukik yang berada di bak dan jolang. Sedikit iba juga karena sepertinya tukik-tukik itu ingin segera menuju pantai.
Akhirnya saya tanyakan cara agar bsa melepaskan tukik ke pantai. Ternyata pengunjung boleh juga ikut membebaskan tukik itu, caranya ya membayar 'tebusan' sebesar Rp10.000 per tukik. Saya langsung memutuskan untuk menebus dua tukik.
Petugas kemudian membawa tukik ke baskom ke pantai. Lalu saya mengangkat dua tukik itu ke pasir, dan betapa serunya melihat dua tukik itu berjuang mencapai air laut. Tampak insting meraka sangat kuat, sehingga tahu arah mereka harus berjalan.
Lega rasanya melihat dua tukik itu tiba di laut dan kemudian hilang bersama tarikan ombak. Entah mengapa beberapa pengunjung lainnya tidak tertarik melakukan hal serupa dengan saya. Mereka hanya memotret dan melihat saya melepaskan tukik.
Ya, tentu saja ditebus atau tidak oleh pengunjung, petugas konservasi tetap akan melepaskan tukik-tukik itu ke laut. Cuman kan sensasi mengunjungi konservasi penyu itu nggak akan lengkap kalau tak sampai mencoba melepas tukik. Iya nggak sih?
0 komentar:
Post a Comment