Sunday, June 29, 2014

Tanpa Newmont, Pantai Maluk Kian Sunyi

Pantai Maluk Menanti Wisatawan





Gradasi warna biru terlihat dari tepi laut hingga ke langit ketika kaki saya menginjak Pantai Maluk di Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat. Keindahan alam pulau madu ini membuat keletihan saya sirna setelah perjalanan dari Batu Hijau. Namun, saya bingung karena pantai ini terlalu sepi untuk sebuah tujuan wisata yang sudah terkenal. Bahkan hanya tiga warung makan yang buka di siang hari.  
“Sejak Newmont berhenti operasi 6 Juni lalu, pengunjung Pantai Maluk terus turun. Karena kebanyakan pengunjung memang dari keluarga karyawan Newmont,” jelas Arie Burhanudin, salah seorang warga setempat yang ditemui sedang berada di Pantai Maluk.

Seperti diketahui, perusahaan tambang PT Newmont Nusa Tenggara telah menyatakan kondisi kahar awal Juni lalu.  Sebanyak 80% dari 4.000 karyawannya terpaksa dirumahkan. Padahal, mereka adalah pasar potensial pariwisata di Sumbawa Barat, termasuk Pantai Maluk.

Pantai Maluk sendiri  terkenal  karena memiliki ombak yang dijuluki Super Suck. Ombak dari Samudera Indonesia itu terpecah saat menuju daratan oleh sebuah tanjung yang oleh penduduk setempat di beri nama Tanjung Ahmad. Pecahnya ombak ini menggulung hingga ketinggian di atas dua meter, sehingga ombak di pantai Maluk masuk ke dalam daftar ombak terbaik bagi para peselancar.

Pada saat pengunjung masih ramai, sekitar pantai banyak disewakan  papan selancar serta kano dengan tarif relatif terjangkau. Untuk kano cukup merogoh Rp5.000 per jam. Namun saat saya berkunjung, para penyewa papan selancar dan kano tidak tampak satu pun. Juga ombak yang saya lihat tampak tenang mengayun beberapa perahu kecil di sisi timur pantai.

Pasirnya yang putih dan lembut menjadikan wisatawan betah berlama-lama di pantai ini untuk sekedar berjemur atau malah berenang. Tak jarang pengunjung sengaja datang menjelang senja untuk berburu matahari tenggelam.


Untuk menujukkan kepedulian lingkungan,  di Pantai Maluk juga terdapat terdapat tempat penangkaran penyu yang berada tepat di tepi pantai. Di pantai ini juga disediakan area voli serta area bermain anak-anak di Pantai Maluk namun kapasitas untuk fasilitas tersebut masih minim. 

Yang tak kalah asyik berada di Pantai Maluk adalah kulinernya. Jangan sesekali ke pantai ini tanpa sempat menikmati kelapa muda yang ditetesi jeruk limau, serta menyantap nasi dengan kuliner khas sepat dan raret. Sepat adalah sajian ikan yang dimakan bersama kuah sayur yang rasanya kecut, sedangkan raret adalah dendeng sapi yang dicacah kecil-kecil serta renyah rasanya. 

Raret, dendeng khas Sumbawa.
Untuk menuju Pantai Maluk sesungguhnya lumayan butuh perjuangan, apalagi saya berangkat dari Bandung. Saya mengawalinya dengan pergi ke Bandara Soekarno Hatta lebih dulu, kemudian naik pesawat menuju Bandara Internasional Lombok sekitar 90 menit. Perjalanan kemudian dilanjutkan lewat darat, dan karena harus mengejar jadwal keberangkatan feri, maka harus naik mobil sewaan travel. Harga sewa per mobil antara Rp300.000 – Rp400.000 tergantung jenis mobilnya. 

Perjalanan darat menuju Pelabuhan Kahyangan di Lombok Timur memakan waktu sekitar 90 menit. Itu juga tergantung lamanya istirahat di perjalanan, untuk makan siang dan mencicipikuliner khas Lombok seperti ayam Taliwang. Dari Pelabuhan Kahyangan, saya naik boat menuju pelabuhan milik PT Newmont sekitar 90 menit. Tapi pelabuhan ini tidak bisa sembarangan diakses.  Dari  dermaga harus ditambah lagi dengan jalan darat sekitar 45 menit.

Perjalanan saya terbilang cepat tapi mahal. Untuk yang memiliki budget rendah bisa naik bus maupun kapal feri yang lebih murah. Harap diingat pula jadwal keberangkatan feri tidak setiap saat. Jadi sebelum berangkat harus dicek jadwalnya. Juga upayakan agar tidak terlalu gelap sampai Sumbawa, karena pasti akan menemukan kesulitan mencari kendaraan umum.

Dari Mataram Lombok, bisa naik bus Damri  jurusan Mataram – Taliwang – Maluk. Sampai di Maluk akan disambut keramaian sebuah kota kecil, untuk sampai di pantainya cukup naik ojek Rp. 15.000

Di Pantai Maluk tersedia hotel untuk menginap. Selain Pantai Maluk, wisatawan juga bisa berkunjung ke pantai-pantai lainnya yang indah tak  seberapa jauh, seperti Pantai Lawar dan Pantai Rantung. Cuman, karena masalah transportasi dan akses yang belum diperhatikan oleh pemerintah setempat, perlu waktu dan biaya lebih yang harus disiapkan. 

Tge bloggers are Me, Harris Maulana, Griska and  Silly.

Semestinya, di tengah kebingungan masyarakat setempat yang banyak bergantung kepada denyut nadi Newmont, pemerintah daerah sudah saatnya segera turun tangan. Bukankah jika pariwisata pantai Maluk terus terangkat akan baik untuk pendapatan daerah dan masyarakatnya? 

(Benny Rhamdani, traveler tinggal di Bandung)

Foto2: Benny Rhamdani




TULISAN ini dimuat di PIKIRAN RAKYAT 28 Juni 2014



Tuesday, June 24, 2014

Menikmati Ayam Rarang, Kuliner Khas Lombok Timur




Pernah mendengar kuliner ayam rarang? Pasti belum, kan? Sebab untuk mencicipi ayam bakar satu ini harus datang langsung ke Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.

Dalam perjalanan darat saya bersama teman-teman dari Pelabuhan Kahyangan menuju Bandara Internasional Lombok,  supir travel menghentikan mobilnya di Desa Rarang, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Kami pun masuk ke halaman parkir  sebuah rumah makan yang menyajikan khas kuliner setempat. Tepatnya di samping SPBU Rarang. Ya, makan siang telah tiba!

Rumah makan ini menyediakan saung-saung khusus untuk tamu yang ingin makan sambil lesehan,  di belakang warung mereka di pinggir jalan. Meskipun saungnya tak terlalu istimewa dibandingkan saung lesehan di tempat saya tinggal (Bandung) namun saya tetap penasaran mencicipi salah satu unggulan rumah makan ini, yakni ayam rarang.

Sambil menunggu pesanan datang saya mampir ke dapurnya. Dan bertanya-tanya kepada pelayan warung. Ayam rarang merupakan ayam bakar  berlumur bumbu cabai merah yang mengkilat dengan tambahan jeruk limau di atasnya. Air liur saya langsung menetes melihatnya. Saya membayangkan rasanya sepedas ayam taliwang.


Proses membuat ayam rarang dimulai dengan membakar ayam di tungku menggunakan kayu bakar. Kalau melihat bentuknya, tampak ayamnya adalah ayam kampung yang masih sangat muda. Ayam tidak disajikan utuh seperti ayam taliwang, tapi potongan kecil-kecil. Setelah itu dibumbui seperti halnya bumbu pelecing,  yakni ulekan cabe merah besar, kemiri, bumbu besar, ketumbar, dan merica.

Cara penyajiannya unik karena bebeda dengan penyajian ayam taliwang.  Ayam rarang disajikan dengan kacang kedelai goreng, sayur bening, ati empela goreng yang ditusuk seperti sate.  Kalau ada yang tidak suka boleh disingkirkan kok. Saya sih suka dengan sayur beningnya karena hitung-hitung pengganti lalab sebagai makanan wajib saya.

Mau tahu rasanya? Rasa pedas langsung membakar mulut. Tapi tenang, pedasnya bisa dinetralisir dengan nasi putih.  Jadi, setelahnya tidak terasa mulas. Bumbunya juga terasa gurih, dan bagi lidah saya aroma kemiri sangat terasa. Yang paling nikmat adalah daging ayamnya yang tidak kenyal dengan aroma sangit kayu bakar. Maklum, ayam ABG. Dan kemungkinan besar jenis ayam inilah yang membedakan dengan ayam taliwang.

Saya merasa puas dengan ayam rarang ini. Bahkan habis beberapa potong. Hanya sedikit kekurangan dalam penyajian hidangan, yakni tidak ada buah-buahan pencuci mulut.  Tapi tak apalah. Yang penting sudah bisa mencicipi makanan khas Lombok Timur.

Sampai saat saya dan teman-teman meneruskan perjalanan menuju Bandara Internasional Lombok, rasa bumbu ayam rarang masih terasa di lidah. Nggak percaya. Coba sendiri deh.

Foto-foto: Benny Rhamdani

Wednesday, June 11, 2014

Tokyo Banana Asal Bandung






Bagi penggemar kuliner Jepang, tentu tidak asing dengan nama Tokyo Banana. Bahkan banyak yang menjadikannya oleh-oleh saat ke Jepang dan kembali ke Indonesia. Tapi belakangan, orang membeli Banana Tokyo tak perlu lagi jauh-jauh ke Jepang lantaran di Bandung sudah ada yang menekuni bisnis kuliner ini.

Bagi yang belum kenal, Tokyo Banana adalah cake sponge berbentuk seperti  pisang yang di dalamnya berisi fla pisang. Tapi belakangan isi dan warna pun berkembang mengikuti selera, seperti strawberry, cokelat, keju, melon, dan lainnya. Tapi bentuknya tetap pisang.

Saya sendiri baru mengetahuinya belum lama ini. Lantaran kian banyak penggemar kuliner yang membicarakannya, saya pun menyambangi Tokyo Banana di Bandung. Kebetulan sekali letak Tokyo Banana di Bandung sangat dekat dengan tempat tinggal saya.

Tidak sulit untuk menemuka tempat penjualan Tokyo Banana di kawasan Margahyu ini. Begitu masuk komplek tersebut tinggal lurus terus, sampai nanti akan melihat rumah dengan spanduk Tokyo Banana di sisi kanan.

Rumah itu masih tampak baru ditempati karena segalanya masih kosong. Seorang pria kemudian keluar dan menyambut kami ramah. Setelah saya bertanya informasi seputar produk Tokyo Banana, saya diizinkan untuk masuk dapur. Ternyata ada beberapa anak muda tengah berkresi membuat Tokyo Banana. Beberapa tampak sibuk mengantar pesanan.

Akhirnya saya memutuskan untuk membeli satu box dulu yang berisi campuran rasa. Begitu saya merasakannya, akhirnya saya bisa memutuskan, rasa original dan melon adalah favorit saya.

Dari Pisang Ijo
Saya pun mencari-cari siapa pemilik usaha ini. Ternyata seorang entrepreuneur muda bernama Riezka Rahmatiana yang sebelumnya berkecimpung dalam bisnis penganan, yakni pisang ijo. Selama ini, orang sudah mengenal pisang ijo. Banyak pelanggannya yang meminta dibuatkan kudapan yang lebih praktis tanpa es seperti pisang ijo itu. Oleh karena itu, Riezka pun membuat Tokyo Banana.

Riezka memulai usahany sejak Oktober 2013 dengan modal  Rp500.000. untuk kebutuhan bahan baku. Agar lebih unggul dari produk sejenis lainya Rizka menciptakan enam varian rasa, yaitu melon, stroberi, durian, cokelat, vanila, dan pisang ambon. Keenam rasa ini dihasilkan dari fla dan pasta makanan.



Dalam waktu 3 bulan saja, produk Riezka bisa memikat konsumen. Jika awalnya Riezka hanya bisa menjual 20 kotak, pada awal 2014 dia berhasil menjual sekitar 100 kotak dalam sehari. Tokyo Banana dibanderol Rp40.000 per kotak berisi 6 cake. Harga stauan tentunya lebih mahal.

Tokyo Banana pun menggaet reseller untuk mendongkrak penjualannya. Ketika saya berkunjung pun saya ditawari. Sayangnya formulir sedang habis. Jadi saya menjajal saja dulu seadanya. Ketika di test di laman Facebook saya dan isteri saya, ternyata banyak orang yang tertarik dan ingin membeli. 

Hmm, boleh juga nih ikut bisnis Tokyo Banana. Tak hanya lezat rasanya, tapi juga omsetnya :)

Monday, June 9, 2014

Belanja Habis-habisan di Milan




 

Saat mendapatkan kesempatan berkunjung ke Milan, Italia, yang pertama ada di kepala ketika hendak berangkat adalah barang-barang fashion dengan brand ternama dan harga yang gila-gilaan. Terbayang pula lalu lalang warga Milan dengan busana trendi dan wangi parfum yang semerbak. Ternyata, tidak semua bayangan saya benar.

Sebelum berangkat ke Italia, saya dikenalkan oleh seorang teman dengan seorang  reseller tas branded di Jakarta. Dia mengajak saya bisnis sebagai kurir tas branded. Saya pun dititipkan sejumlah uang dan kartu kredit. Di Milan saya bertemu dengan orang Indonesia yang sudah menjadi warga Milan bernama Dian. Dialah yang akan membeli tas-tas mahal itu sesuai orderan yang masuk.


Karena tidak punya rencana lain, akhirnya saya memilih ikut  belanja di kota Milan. Jarang-jarang kan bisa keluar masuk toko tas ternama dan belanja dengan uang puluhan hingga ratusan juta rupiah untuk sebuah tas. Ya, walaupun uang dan barangnya punya orang lain.

Saya pun dibawa ke kawasan Duomo.  Dian bercerita tentang bisnis tas branded ini. Caranya, temannya di Jakarta yang mencari pembeli, lalu mereka kasak-kusuk mencari orang Indonesia yang akan mampir di Milan. Terkadang, Dian sendiri merangkap kurir kalau sekalian pulang kampung.


Menurut Dian, meskipun di Indonesia bisa ditemukan outlet-outlet tas branded, tapi belum tentu koleksinya sekomplet di Milan. Harganya pun berlipat karena sudah kena biaya distribusi, pajak, dan tentu saja display toko. Keuntungan yang diambil Dian dan patner diambil dari selisih harga jual, juga diskon turis saat pembelian dengan menunjukkan paspor, termasuk kartu diskon tertentu. Belum lagi pengembalian pajak pembelian di bandara yang jumlahnya cukup lumayan.

Bisnis ini memang tergantung orang yang mau dititipkan tas. Sementara soal order tas dari Jakarta, tidak pernah kesulitan mencarinya. ” Orang Indonesia memang gila belanja. Setiap musim mereka selalu ganti tas bermerk. Padahal orang Milan sendiri belum tentu punya tas branded itu. Kalaupun mereka beli, hanya satu untuk seumur hidup,” ucap seorang teman di Italia.

Saya yang akhirnya jadi kurir freelance ini pun kebagian fee yang lumayan. Cukup untuk akomodasi saya jalan-jalan ke Venesia di akhir petualangan saya di Italia.

Trip Belanja


Agar tak kelimpungan saat belanja di Milan, sebaiknya sudah mengetahui betul barang yang hendak dibeli, karena harus disesuaikan dengan lokasi belanjanya.

Bagi penggemar Armani, bisa mengunjungi butiknya yang elegan di Via Manzoni, yakni Spazio Armani No.31. Selain bisa berbelanja koleksi terbaru seluruh lini Armani, mulai dari Giorgio, Emporio hingga Casa dan Fiori, kita  bisa  juga menikmati suasana santai di Armani Cafe atau restoran Nobu, yang dimiliki oleh aktor Robert de Niro.  Program sale di butik ini berlangsung pada Januari dan Juli.

Tempat belanja yang saya suka adalah di  Corso Vittorio Emanuele  karena menyajikan berbagai  merek busana siap pakai, seperti Max Mara, Moreschi, Bruno Magli dan Pollini. Ingin yang lebih murah? Di sini terdapat berbagai butik yang juga ada di Indonesia seperti  H&M, Zara dan Furla. Ironisnya, saya melihat sejumlah pengemis berkeliaran di antara butik-butik itu.

Saya juga diajak melihat gerai-gerai busana sporty yang mengutamakan kenyamanan di  Via Torino yang menghubungkan Duomo dan Corso di Porta Ticinese. Sesungguhnya, ada satu kawasan yang cocok untuk orang yang suka produk dengan harga miring seperti saya, yakni Fidenza Village Factory Outlet. Sayangnya, waktu saya tak cukup karena harus memakan waktu satu jam perjalanan ke luar Milan. Di tempat tersebut terdapat 50 outlet besar dari produk busana hingga perabotan rumah tangga.

Pastinya, di Milan saja saya  sudah cukup merasakan suasana belanja yang benar-benar diperlakukan sebagai raja oleh para pelayan. Mereka tidak terlihat kesal ketika kita minta dilihat barang seri-seri tertentu yang tidak ada di display. Kita bisa menunggu proses  ditemani minuman yang mereka sediakan. Satu kali, ketika saya kebelet ke toilet di sebuah butik … wow, saya diminta masuk ke sebuah ruangan yang serba Kristal. Benar-benar bikin saya enggan mengotori ruangan tersebut.


Wisata Arsitektur

Jangan bilang saya hanya buang waktu ke luar masuk toko saja saat di Milan. Sambil belanja, saya
menikmati wisata arsitektur karena lokasi belanja berdekatan dengan banguna-bangunan tua yang megah.
Sebut saja gereja San Carlo al Corso yang merupakan bangunan neoklasik di pusat Milan. Gereja yang dibangun pada 1847 ini berdiri di tengah pusat perbelanjaan. Di  kanan kiri  gereja dan seberang jalan berderet  butik-butik terkenal. Padahal, gereja ini dulunya dikaitkan dengan wabah kolera dan pes di Milan pada abad 16.

Yang menakjubkan di ujung jalan setelah melewati gereja San Carlo al Corso, saya melihat gereja Katedral Milan yang kabarnya gereja katedral terbesar ke empat di dunia. Katedral Milan dibangun berdasarkan ide bangsawan Milan bernama Gian Galeazzo Visconti, pengusaha marmer. Dia bertekad membuat katedral  yang seluruhnya terbuat dari marmer. Pembangunan dimulai pada 1368. Marmernya diambil dari tambang marmer milik Visconti di Gunung Candoglia yang berjarak 50 km dari Milan. Karena sulit diangkut lewat darat, maka digunakanlah kanal-kanal di Milan untuk mengangkut marmer.

Ketika melihat gereja yang memiliki ornamen menarik, langsung terbayang kehebetan orang-orang Italia di masa lalu. Entah arsiteknya maupun kuli-kuli bangunan yang mengerjakannya. Betapa mereka merancang sebuah bangunan yang kokoh agar bisa dinikmati orang hingga ratusan tahun kemudian.

Di depan gereja ini terbentang alun-alun yang biasanya dipakai wisatawan berfoto-foto atau bercanda dengan sekumpulan merpati. Mirisnya, di alun-alun depan gereja inilah kita harus waspada dengan para pencopet. Tidak hanya pencopet, juga sejumlah orang yang berusaha memeras. Caranya, mereka menawarkan turis memakai gelang persaudaraan, tapi kemudian kita harus membayar gelang dari benang itu dengan harga tak wajar. Yang saya saksikan sendiri ada turis yang harus membayar 10 euro.

Masih di sekitar gereja Katedral, kita bisa menikmati keindahan arsitektur Galleria Vittorio Emanuele II salah satu pusat perbelanjaan tertua di dunia. Nama Vittorio Emanuele II  merupakan raja pertama dari Kerajaan Italia. Bangunannya Ini dirancang Giuseppe Mengoni pada tahun 1861 dan dibangun antara 1865 dan 1877.
Struktur Galleria terdiri dari dua arcade kaca berkubah di oktagon (segi delapan), menghubungkan jalan Piazza del Duomo ke Piazza della Scala. Jalan ini ditutup atapnya dengan lengkungan kaca dan baja seperti Burlington Arcade di London , yang merupakan prototipe untuk pusat perbelanjaan.

Di tengah segi delapan, terlukis empat mosaik menggambarkan Lambang dari tiga Ibukota dari Kerajaan Italia (Turin, Florence dan Roma ) ditambah Milan. Tradisi mengatakan jika seseorang  berputar dengan tumit kanan pada gambar testikel banteng (Turin Coat of Arms), ini akan membawa keberuntungan. Ada yang mengatakan, jika bisa berhasil berputar di atas testikel banteng itu tanpa jatuh dan menghadap ke arah yang sama akan kembali ke Milan tahun berikutnya. Percaya? Tentu saja tidak.


Di ujung senja saya tiba di Castello Sforzesco. Sebenanya saya ingin masuk ke kastil tua yang kini menjadi museum itu. Namun pintu masuk baru saja ditutup. Akhirnya saya hanya duduk beristirahat di fountain besar di depannya. Saya pikir hanya di Roma  terdapat air mancur yang indah. Di Milan pun ada, tapi tak memiliki mitos lempar koin terpenuhi keinginan.





Masjid Milan


Sebelum berbelanja, saya menyempatkan diri  ke destinasi wisata favorit saya setiap berkunjung ke kota di luar negeri, yakni masjid.

Berdasarkan informasi yang saya peroleh di Internet, akhirnya saya  mengunjungi sebuah masjid di Segrate, Milan. Hampir setengah jam perjalanan ke luar pusat kota. Masjid bernama Al Rahman ini merupakan mesjid dengan kubah dan menara pertama di itali setelah mesjid terakhir dirobohkan di Lucera pada abad ke14.  Masjid yang diresmikan 28 Mei 1988 ini sekaligus menjadi pusat kegiatan umat muslim di Milan.

Bahagia sekali ketika bisa wudhu dengan air keran superdingin dan shalat ashar di Al Rahman. Apalagi ketika bertemu belasan muslim belia Italia yang tengah belajar  di salah satu ruangan bangunan masjid. Al Rahman memang menjadi pusat belajar agama islam, dan bahasa Arab.

Menurut Ali Abu Syaima, Imam Al Rahman, jamaah masjid dari kota Milan berjumlah 200 orang. Tidak hanya imigran, tapi juga penduduk asli.  Jumlah ini terus meningkat karena di Italia selama tiga tahun terakhir saja sudah bertambah 2000 pemeluk baru agama Islam. Dan kebanyakan para mualaf adalah dari kaum muda yang ingin memeluk agama Islam karena kemauannya sendiri.

Dijelaskan pula, bahwa warga muslim, khususnya muslimah di Milan juga berpakaian mengikuti perkembangan mode di Milan. Mereka kebanyakan tidak mengeksklusifkan diri dengan  hijab warna serbagelap. “Yang pasti masih sesuai ajaran islam,” ucapnya.

Naik Apa?

Untuk berkeliling di Milan, jika hanya memiliki budget terbatas, bisa naik subway atau trem. Tak perlu bingung, cukup datang saja dari stasiun utama kereta Milan. Dari sana, sangat mudah menjangkau semua jurusan.

Jika bepergian sendiri dan tidak menguasai bahasa Italia, sebaiknya sudah browsing duluan di Internet kereta yang akan ditumpangi dan stasiun yang akan dituju.  Sebab, informasi dalam bahasa Inggris minim sekali. Juga tak mudah menemukan warga Milan yang pandai berbahasa Inggris. Jika tetap kebingungan, langsung datangi pusat informasi wisata yang ada di stasiun. Mereka akan memberi informasi yang sejelas-jelasnya dalam bahasa Inggris.

Bila pergi rombongan  dan memiliki uang saku lebih, sebaiknya menyewa mobil rental. Cari saja di Internet pasti mudah menemukannya. Cara ini lebih efektif untuk mengelilingi Milan sekehendak hati.

Soal makanan di Milan tidak usah khawatir. Restoran halal cukup mudah ditemukan karena di Milan banyak pendatang dari  negara mayoritas muslim. Jangan berspekulasi memesan pizza atau pasta, karena kebanyakan dicampur daging atau lemak babi. Mengapa babi? Karena harganya lebih murah ketimbang sapi.


Grazie.
foto2: Benny Rhamdani