Wednesday, April 29, 2015

Inilah Foto-Foto yang Membuat Walikota Bandung Geram


Walikota Bandung Ridwan Kamil geram melihat ulah warga yang merusak lingkungan  di jalan Asia Afrika Bandung. Alih-alih menjaga, mereka malah menginjak pot kembang, berdiri di atas bangku, dan mencopot aksen nama negara.

Inilah foto yang beredar luas di socmed. tentu saja foto-foto ini mengundang kecaman warga bandung. 








Inilah Menteri yang Paling Digandrungi di Malaysia





Tinggi dan gagah membuat sosok menteri ini banyak disukai di Malaysia, terutama kaum hawa.  Dialah Khairy Jamaludin yang saat ini menjabat Menteri Pemuda dan Olahraga kerajaan Malaysia. Sepak terjangnya di media sosial selalu menjadi perbincangan.

Sebelum masuk ke dunia politik,  penggemar Dave Matthews Band, Counting Crows, U2 bekerja sebagai seorang jurnalis dan investment banker. Lepas kuliah Khairy menajadi host acara talk show politik bertajuk Dateline Malaysia. Karirnya melaju  menjadi deputi dikantor perdana menteri.

Khairy kemudian  bekerja di sebuah bank sesuai dengan pendidikan yang diperolehnya di bidang filsafat, politik dan ekonomi Universitas Oxford. Pria ini  juga menyandang gelar master di bidang  Legal and Political Theory dari University College London.

The World Economic Forum di  Davos telah memilihnya sebagai Young Global Leader pada tahun 2005. Dia juga terpilih sebagai Visiting Fellow  di Oxford Centre for Islamic Studies pada tahun  2002  lewat program beasiswa Chevening scholarship dengan penelitian The Rise of Political Islam in Southeast Asia.

Pria yang biasa disapa KJ ini juga seorang komandan Resimen 508 Malaysian  dengan pangkat Kolonel dan berhak menyematkan wings penerbang  pada tahun 2011.

Seperti kebanyakan kaum Adam, Khairy juga pecinta sepkbola dan terlibat penuh dalam kepengurusan Football Association of Malaysia (FAM).


Pria kelahiran 10 Januari 1976 ini sudah menikah dengan Nori Abdullah serta memiliki dua putra bernama  Jibreil "Cougar" Ali dan Timor "Puma" Abdullah. Masih berminat?
Sumber: 
https://www.facebook.com/Khairykj

Monday, April 27, 2015

Misteri Lezat Ikan Tude Bakar Manado

Ikan tude bakar ala Manado nan lezat.



Tiba-tiba saja saya diajak meeting oleh Bu Jenni dari P Newmont. Rencananya, Newmont akan menerbitkan buku kumpulan tulisan para peserta Mining Bootcamp, yang sebagian besar adalah kompasianer. Yang membuat saya begitu ingin bergegas meeting adalah lokasinya di Restoran Ikan Tude Manado di Jalan Blora, Jakarta. Pertama, saya belum pernah makan masakan Manado. Kedua, Masakan ikan tudenya berkali-kali diulas oleh food blogger dengan hasil memuaskan.

Restoran Ikan Tude di Jl. Blora Jakarta


Saya tiba di lokasi paling awal. Di luar dugaan, arus lalu lintas Bandung ke Jakarta begitu lancar hingga ke kawasan Sudirman. Padahal saya ketar-ketir takut ketinggalan. Letak rumah makannya  di belokan Jalan Blora, begitu familiar lantaran dekat sebuah travel yang sering saya tumpangi, Sekilas penampilan bangunannya biasa saja.

Tidak lama kemudian muncul kompasianer yang juga fotografer profesional Raiyani dari Bogor. Posisi resto ikan tude yang strategis memang bisa jadi andalan, karena dari manapun bisa dijangkau mudah dengan naik commuter line, turun di stasiun Sudirman.

Berikutnya barulah berturut-turut Bu Jenni, mantan admin Kompasiana Imah, kompasianer Unggul, dan kompasianer Harris Maulana yang sudah menjadi seleblogger itu.

Sebagai pembuka saya mencicipi dulu panada yang tampak seperti roti bakar isi. Tekstur dan warnanya mengingatkan makanan terkenal di Bandung, yakni odading. Saya sendiri sudah akrab dengan panada karena di kantin SMA dulu dijual, meskipun isinya bukan ikan, melainkan abon.

Jatuh Cinta

Ini dia Kompasianer Penggila Kuliner cabang Bootcamp.


Lantaran saya minim referensi soal masakan Manado, saya serahkan kepada Bu Jenni untuk memberi rekomendasi. Setelah menelusuri menu ono-ini, akhirnya saya sepakat memesan ikan tude bakar, urab daun pepaya campur kangkung, dan minuman gula aren berkelapa.

Kompasianer lain memesan makanan lainnya, seperti perkedel jagung, cumi wuku, cakalang rabe, dan beberapa nama yang saya susah mengingatnya.

Coba tebak namanya apa?
Ikan tude yang saya pesan datang tak lama kemudian. Aromanya tidak seperti ikan bakar, melainkan ikan asap.  Saya pun mencoel sedikit daging ikan tude. Hmmm, rasanya ternyata enak. Sejenis ikan-ikan berdaging tebal seperti kembung . Ditemani nasi dan sambal khas Manado, saya pun melahapnya.



Sayuran kangkung dan daun pepaya kian melengkapi kelezatan ikan tude. Tak ada rasa pahit dari daun pepaya yang dihidangkan. Ditambah lagi perkedel jagung yang kerenyahannya terjaga. Membuat saya benar-benar jatuh cinta dengan masakan Manado.

Panada, satu-satunya jajanan Manado yang pernah saya cicipi.
Tak cukup dengan seekor, saya menambah satu porsi ikan tude karena rasanya yang benar-benar membuat membuat rongga mulut saya ketagihan. Dan kesempurnaan makan siang ditutup dengan menyeruput minuman gula aren dingin. Serius deh mantapnya.

Tak puas, saya pun membungkus penganan Manado, balapis dan panada. Sebenarnya saya ingin juga membungkus klapper tartnya, namun berhubung tak ada pilihan yang tanpa rum, saya membatalkannya.

Beres makan barulah kami bersemangat membahas rencana penerbitan buku. Kapan terbitnya? Tunggu saja ya. Yang jelas saya masih penasaran dengan rahasia kelezatan masakan Manado, terutama ikan tude bakar tadi.

^_^

Foto: Raiyani dan Benny

Thursday, April 23, 2015

Inilah 'Monas'nya Orang India

Warna-warni di India gate. (Foto: Benny)


Sejak berencana ke New Delhi, India, saya sudah menargetkan mengunjungi bangunan bernama India Gate ini. Sebab saya sering melihatnya di film-film Bollywood ketika lokasi cerita mengambil latar kota New Delhi.  Hal ini untuk membedakan dengan latar tempat film Bollywood yang kebanyakan berlokasi di Mumbai.

Letak India Gate tak seberapa jauh dari tempat saya tinggal di Wisma KBRI, Chanakyapuri. Nyaris setiap bepergian saya melewatinya. Bahkan ketika pertama melewatinya pada pagi hari, saya sudah ingin turun dari mobil. Tapi karena ini rombongan, saya tidak bisa melakukannya. Barulah pada saat senggang, saya diantar ke India Gate.

India Gate  merupakan monumen nasional India yang terletak di jantung kota New Delhi, India.  Sekilas bentuknya, menyerupai Arc de Triomphe di Paris, Prancis. Apalagi yang pernah ke Eropa, langsung berpikir ini tiruannya.

Dibangun pada tahun 1931, India Gate sengaja dibuat untuk mengenang 90.000 prajurit Angkatan Darat India yang kehilangan nyawa saat Perang Dunia I ketika membantu Inggris. Juga perang Afghanistan pada tahun 1919. Nama-nama para prajurit itu terpahat di permukaan monumen yang memiliki tinggi 42 meter tyersebut.

Peletak dasar India Gate adalah  Duke of Connaught pada tahun 1921, hasil rancangan Edwin Lutyens. Jadi wajarlah kalau seperti gerbang di Eropa karena perancangnya bukan dari India.  Setelah India merdeka, di bagian  tengah bangunan yang menyerupai gerbang itu  terdapat Amar Jawan Jyoti yang artinya Api Prajurit Abadi. Api abadi itu untuk  menghormati tentara yang menyerahkan nyawa mereka dalam perang Desember 1971.

Api Abadi di bagian bawah India gate.
 (Foto: Benny)

Saya bisa melihat tiga bendera yang dipasang di berbagai sudut,mewakili Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Seorang prajurit dari angkatan masing-masing menjaga pintu gerbang dan makam selama 24 jam. Mereka terlihat gagah dan keren, melebihi aktor Bollywood.

Memang  India Gate serba berbau militer dan perjuangan. Dulu monument ini bernama All India War Memorial. Di film Bollywood yang saya saksikan, biasanya jika ada capture India Gate nggak salah lagi tema filmnya berbau patriotik, semisal film Dil Se (Film Shah Rukh Khan dan Manisha Koirala) atau Fanaa (Film Aamir Khan dan Kajol).

India Gate bisa dicapai dari stasiun kereta bawah tanah (Metro) Central Secretariat, lalu lurus berjalan kaki 1,6 km. Atau, Anda turun di halte bus Dr Zakir Hussain Marg dan berjalan 800 meter.
Gazebo




Perspektif India Gate jika diambil dari gedung pusat pemerintahan akan terlihat elok. Menampilkan bangunan gazebo 150 meter di dekatnya. Bangunan ini terinspirasi dari  sebuah paviliun abad keenam dari Mahabalipuram. Di Gazebo ini didirikan patung Raja George V setinggi 15 meter.  Tapai patung itu kemudian digeser. Pada tahun 1981 pernah dicetuskan akan menggantikannya dengan mendirikan patung Mahatma Gandhi. Tapi hingga saya datang, patung itu belum juga berdiri.

Dulu, ada Patung Raja George di sini. ( Foto: Benny)

Pada bulan Juli 2014, pemerintah India  mengumumkan rencana untuk membangun National War Memorial di sekitar gazebo tersebut, dan Museum Perang Nasional di sebelah Princes Park.  Tapi saya juga belum melihat tanda-tandanya aka nada bangunan itu.

Di sekitarnya saya menemukan air mancur yang dipenuhi turis lokal berjoget-joget sambil basah-basahan. Saya tersenyum melihatnya. India banget, soalnya. Kabarnya, di malam hari air mancur itu terlihat spektakuler karena permainan cahaya dan air mancurnya sendiri bisa menari-nari. Di siang hari, saya tak begitu tertarik melihatnya, lantaran kolam di bawahnya terlihat kotor oleh sampah.

Turis lokal berjoget-joget. (Foto: Benny)

Banyak penjual jajanan khas India seperti kacang-kacangan dan buah-buahan di sekitar India Gate. Tapi lagi-lagi, saya tidak tertarik karena melihat penampilanya. Hahaha, saya bukan jenis pecinta kuliner ekstrim. Bearabe juga kalau saya sakit perut setelahnya.

Berani coba? (foto: Benny)



Turis di sekitar India Gate bukan hanya dari luar negeri. Banyak di antaranya dari luar New delhi. Mungkin memang mereka ingin melihatnya. Sama seperti kalau saya  di Jakarta lalu mengantar teman dari luar Jakarta, pasti ingin diajak ke Monas. Dan biasanya mereka mengabadikan diri di depan Monas. Begitu juga di India Gate.

Asal mau mencoba mengambil foto dari beberapa sudut, kita bisa mendapatkan foto yang menarik. Apalagi kalau lebih berusaha, kita bisa membuatya seolah berada di Eropa, bukan di India.

Ngomong-ngomong soal Monas, saya jadi lebih bangga jadi warga Indonesia. Pasalnya, dari sisi apapun, Monas jauh lebih menarik dibandingkan monumen kebanggan orang India ini.

Uji Nyali di Babu Market, India







Selamat datang di Babu Market. (Foto: Benny)



Biarpun sedang dinas, mampir ke tempat belanja oleh-oleh merupakan agenda yang tak boleh terlewatkan saat ke luar negeri. Apalagi ke negeri seperti India. Beruntunglah saya diantar staf Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di New Delhi ke pasar tradisional di kawasan Sarojini.
Pesan pertama yang diingatkan kepada saya adalah agar selalu menawar di bawah 50%. Bahkan barang dengan label fixed price pun tetap bisa ditawar. Wuah! Ini benar-benar uji nyali buat saya yang tidak bisa menawar sadis. Untunglah, saya gabung dengan rombongan ibu-ibu yang tentunya lihai menawar.
Harus berani nawar. (Foto: Benny)




Sarojini berada di barat daya  kota New Delhi. Wilayah ini begitu terkenal karena kejadian bom Delhi pada 29 Oktober 2005.  Dulu kawasan ini dikenal dengan nama Vinay Nagarand, namun kemudian diganti dengan nama pahlawan wanita India, Sarojini Naidu.
Ada beberapa bagian di area Sarojini, salah satunya adalah Babu Market yang terletak di bagian barat laut. Di sisi inilah saya masuk. Mata saya langsung terbelalak melihat beberapa lapak menjajakan pakaian, aksesoris dan bagian fashion lainnya dengan warna-warni terang.

Teliri sebelum membeli. (Foto: Benny)




Pengunjung saat itu sangat ramai karena hari Minggu. Di kota New Delhi, jumlah mall sangat sedikit dan letaknya jauh di pinggir kota. Pemerintah setempat berusaha menumbuhkan ekonomi rakyat dengan mempertahakan keberadaan pasar tradisional. Keren. Kan? Setahu saya, di beberapa kota di eropa letak mall dan pasar grosir banyak diletakkan di pinggir kota. Biar nggak macet.

Saya berusaha menguji nyali dengan menawar gelang kroncong (kangna) yang tadinya seharga Rp100.000-an menjadi Rp.20.000-an saja. Hore saya lolos. Setelah itu saya menawar tas jinjing. Berhasil juga. Tapi ketika menawar pasmina, mati-matian saya menawar, harga tak juga turun. Saya menyerah. Ujung-ujungnya saya mengekor saja dari ibu-ibu di rombongan yang jauh lebih lihai.

Menurut saya, harga-harga di sini memang terbilang murah. Karena saya juga pernah blusukan ke Pasar Baru, Mangga Dua dan Tanah Abang jadi bisa membandingkan. Bahan untuk baju kurtha (kain luar, kain dalam dan salwar/selendang) yang biasanya di atas Rp500.000 di sini bisa jatuh Rp.300.000-an. Apalagi kalau belinya lusinan. Cuman tetap, jangan kalap mata main asal pilih. Karena ada beberapa bagian dari kain yang tidak mulus.


Di toko-toko kain ini saya tidak bisa berlama-lama karena saya sadar betul dengan kondisi dompet saya dan juga bagasi. Saya tahu diri, di rombongan ini pangkat saya adalah yang terendah, sementara yang lain adalah para owner penerbitan yang uang sakunya tentu lebih banyak. Untuk menghibur diri, saya keliling memotret situasi pasar.


Icip-icip Choley Bhature



Kios jajanan yang padat pembeli. (foto: Benny)


Sebenarnya saya memang sudah diwanti-wanti dengan jajanan di India. Tapi ketika melihat sejumlah orang belanja dan makan di sebuah pojokan, air liur saya pun menetes.  Akhirnya saya mengabaikan kerisauan soal sakit perut dan ikut antre di Mahendra Sweet House.

Dapurnya di luar bikin penasaran icip-icip. (Foto: Benny)



Saya memutuskan untuk memesan Choley Bhature karena bentuknya yang menggoda. Harganya di bawah Rp15.000 yang jika dibeli di restoran di Jakarta mungkin bisa lima kali lipat. Sempat juga untuk membeli jajanan lainnya. Tapi saya tahan dulu karena nanti malah nggak kemakan. Karena antre, saya harus menunggu beberapa menit sebelum akhirnya disodorkan ke muka saya.


Sedapnya choley bhature. (Foto: Benny)

Sebelum ini, saya sudah biasa makan berbagai jenis roti India yang pipih. Baru kali ini menggelembung. Rasanya? Coba sendiri ya. Kalau saya sih, karena memang suka masakan India, langsung angkat dua jempol. Tapi untuk menikmatinya agak repot. Tempat duduk di sekitar toko sudah penuh, sehingga saya harus standing party dengan pembeli lainya. Oh, iya karena paling enak memang makan tanpa sendok, jangan lupa cuci tangan dong.

Berbagai usia makan dengan santai. (foto: Benny)



Sesudah makan saya sempat melirik ke tempat pencucian alas makan.  Hmm, airnya sudah hitam. Begitu pula lapnya. Hahaha, untung saja saya sudah beres makan. Dan selama beberapa hari di India, perut saya masih baik-baik saja ternyata.

Ya, setidaknya saya sudah membuktikan uji nyali di sini, mulai dari menawar harga sampai mencicipi jajanannya.


^_^

Tuesday, April 14, 2015

Mengintip New Delhi World Book Fair 2015






Pembukaan New Delhi World Book Fair 2015. (foto: Benny)


Kantor menugaskan saya ke New Delhi, India, untuk mengikuti pameran buku yang diberi nama New Delhi World Book Fair (NDWBF) 2015. Seperti di banyak bidang, India memang layak dijadikan tempat belajar dan bercermin, termasuk soal buku. Bayangkan, ketika pecinta buku Indonesia gegap gempita karena menjadi guest of honour di Frankfurt Book Fair tahun ini, India sudah dua kali jadi tamu kehormatan di sana pada tahun 1986 dan 2006.

Pagi pertama di New Delhi, saya bangun terlampau dini. Selain karena tak bisa tidur saking senangnya bisa berada di India,  saya juga lupa mengatur waktu di arloji  jadi lebih awal 1,5 jam. Saya pun mencoba mengintip ke luar. Dan Brrrr … udara menjelang akhir musim dingin membuat saya kembali ke dalam wisma. Kurang lebih seperti udara dingin di Pangalengan atau Lembang, Jawa Barat.

Alhamdulillah, senang bisa diundang
di acara perbukuan bergengsi seperti ini. (foto: Benny)


Saya pun bersiap karena pagi ini ada jadwal mengunjungi pembukaan NDWBF. Asyiknya, pihak KBRI menyediakan menu sarapan nasi uduk ala Indonesia. Mengapa? Ternyata staf kedutaan menyadari bahwa tidak semua tamunya berselera dengan masakan India. Malah ada rumor, tamu-tamu dari Indonesia baru diberikan masakan India di hari terakhir. Biar kalau sakit perut sudah kembali ke Indonesia.

Gajah di  Jalan Raya

Saat keluar komplek KBRI saya melihat tata kota yang apik di kawasan Chanakyapuri. Kendati pohon-pohon rindang bertebaran, tapi saya tidak benar-benar melihat hijau seperti di Indonesia. Apakah tingkat polusi di New Delhi tinggi? Ternyata bukan itu. Menurut keterangan, letak New Delhi  yang dekat gurun menyebabkan debu gurun kerap terbawa bersama angin ke sekitar New Delhi.

Tak jauh dari gerbang KBRI kami melewati beberapa kantor kedutaan negara lainnya. Kedutaan Thailand terlihat lebih mentereng. Lalu mobil KBRI melewati pusat pemerintahan dan perkantoran militer. Semua tertata rapi. Di jalanan kami juga sempat melihat tupai, monyet dan anjing berkeliaran di jalan. Bahkan burung gagak dan elang berseliweran bebas di langit New Delhi lengkap dengan teriakannya.

Agak mengejutkan adalah ketika dekat stasiun metro, saya melihat gajah berjalan di tengah jalan raya. Walaupun saya pernah melihat hal seperti ini di film-film berbahasa Hindi, tetap saja takjub. Entah bagaimana jika ada gajah melenggang  di tengah Jalan Sudirman Jakarta.


Perjalanan menuju ke pamera buku. (foto: Benny)

Semakin menjauh dari KBRI, saya mulai melihat potret kehidupan masyarakat Delhi seperti yang sering dipajang di media cetak maupun internet, ketidakteraturan.  Sebanarnya hal-hal seperti itu juga ada di Indonesia. Cuman kuman di seberang lautan kerap lebih terlihat. Dan jauh di hati yang terdalam, saya juga ingin turun dari mobil, memotret lebih dekat masyarakat India di New Delhi. Tapi tidak memungkinkan.

Oh iya, satu kekhasan yang mungkin sudah diketahui banyak orang, jalanan di India selalu berisik oleh klakson. Begitu pula di New Delhi. Kabarnya, justru orang lebih suka diberi klakson sebagai penghormatan. Maklum, cara mengemudi di New Delhi bagi saya terbilang mengerikan. Lebih parah dari supir kopaja di Jakarta.


Shod Yatri

Dua pelajar India cuek selfie saat pembukaan.
(foto: Benny)
Akhirnya saya dan rombongan sampai di kawasan Pragati Maidan, area pameran semacam yang ada di Kemayoran Jakarta.  Bergegas kami ke lokasi pembukaan yang sesungguhnya tempat terbuka namun ditutupi parasut.  Matahari pagi musim dingin menghangat tamu-tamu dari jajaran kedutaan besar, pemerintah, masyarakat buku, serta pelajar dan mahasiswa yang jumlahnya ratusan.


Menteri  Sumber Daya Manusia Ms. Smriti Zubin Irani memberikan pidatonya tentang keberadaan NDWBF yang sudah 40 tahun berlangsung. “Itu atinya sudah melahirkan banyak penulis baru yang sebisa mungkin menulis banyak hal dengan baik,” katanya.

Menteri Irani juga menjelaskan rencananya meluncurkan program Shod Yatri dengan melibatkan anak-anak muda, penulis dan sejarahwan untuk melakukan perjalanan. “Mereka kemudian akan menulis hasil perjalanan, dan pemerintah akan menerbitkan bukunya,” kata Menteri Irani.

Penulis senior India Shri Narendra Kohli pada kesempatan berpidato mengatakan hal yang menarik menurut saya.  “Saya tidak cemas dengan orang-orang yang tidak bisa membaca karena Tuhan tidak menciptakan semua orang  bisa membaca. Saya lebih cemas dengan orang yang suka membaca tapi tidak bisa mengakses buku,” katanya. Karenanya Kohli berharap semua stasiun metro di Delhi terdapat kios buku.


Pada kesempatan acara pembukaan juga secara resmi diumumkan negara Republik Korea Selatan sebagai Focus Country dan Singapura sebagai Guest of Honour. Saya berharap suatu hari nanti Indonesia bisa menjadi salah satunya .

Berkarakter

Stand Indonesia, disukai pengunjung pameran. (Foto: Benny)

Usai acara pembukaan saya menuju ke stand Indonesia. Asal tahu saja, pada akhir pameran, stand Indonesia berhasil mendapat juara 3 terbaik kategori display khusus peserta negara asing. Bravo ya buat timnya Prof. Iwan  Pranoto dari Atase Pendidikan KBRI India.

Saya juga menjelajah semua stand di pameran yang jelas lebih luas dari pameran buku di Jakarta, sekalipun bersakala nasional. India berani mengklaim pameran bukunya merupakan yang terbesar di Asia. Ya iyalah jelas saja. Jumlah penerbit di India saja menurut informasi yang saya dapat ada 18.000 penerbit. Dan bukunya yang terbit lebih dari 100.000 judul per tahun.

Kebersihan dijaga sepanjang hall pameran.
(foto: Benny)

India juga memiliki pangsa pasar nomor tiga buku berbahasa Inggris di dunia. Itu sebabnya saya bisa menemukan dengan mudah novel-novel berbahasa Inggris dari penulis kelas dunia di pameran ini. Dan yang membuat saya langsung meneteskan liur adalah beberapa novel tebal dijual dengan harga sekitar Rp.5.000-an. Kalau tidak ingat kapasitas bagasi mungkin saya sudah memborong banyak.

Buku-buku baru pun di India terbilang murah. Hal tersebut disebabkan dengan oplah pertama mereka yang relatif besar, di atas 10.000 eksemplar. Bandingkan dengan di Indonesia yang standar cetak pertama 3.000 eksemplar.  Besarnya oplah cetak pertama bisa disebabkan banyak hal, diantaranya adalah jumlah penduduk India yang lebih dari 1,2 milyar jiwa dan minat baca yang tinggi.


Diskusi ilustrasi buku anak, juga menarik. (Foto: Benny)

Buku-buku anak India juga terlihat lebih variatif dengan adanya penerbit Amerik dan Eropa yang membuka cabang di India. Beberapa teman pernah mengatakan, kualitas ilustrasi buku anak di India jauh di bawah ilustrasi buku anak Indonesia. Kalau menurut saya, itu lebih disebabkan dengan selera visual di India. Walaupun terlihat agak kasar gaya ilustrasinya, tapi sebenarnya ilustrasi buku-buku anak India lebih berkarakter. Sehingga dengan mudah dikenali, buku anak-anak tersebut dari India.


Lapak buku di pinggir jalan diminati. (foto:Benny)
Asosiasi perbukuan di India juga tidak hanya satu seperti di Indonesia. Ada asosiasi khusus buku pendidikan, buku anak-anak, hingga buku akademik. Alhasil pengaturan kebijakan perbukuan dan kinerjanya lebih maksimal. Di Indonesia semua jenis buku bercampur di IKAPI. Ketika pengurus lebih dominan dari penerbit buku pelajaran, maka yang diurus ya hanya buku pelajaran. Terjadilah conflict of interest.

Secara garis besar saya menyukai kunjungan ke NDWBF 2015. Apalagi sepanjang hall tampak bersih, lebih bersih dari tempat pameran buku di Jakarta yang orang-orangnya kerap menilai orang India jorok.  Pengunjung juga padat. Bahkan di hari pertama yang belum dibuka untuk umum, dipenuhi undangan pelajar dari berbagai sekolah.

Kios-kios toko buku dekat kampus juga ramai.
(foto: Benny)
Selain buku cetak, industri buku digital di India pun mulai menggeliat. Apalagi dengan kehadiran negara Korea Selatan yang memiliki brand gadget paling laris di India, gempita buku digital semakin didukung pelaku industry.


Selain di pameran buku, saya juga sempat diajak ke tempat-tempat penjualan buku. Baik di mall maupun dekat universitas. Buku-buku yang dijual sangat menarik perhatian dengan harga yang murah. Saya jadi ingat ketika di Indonesia beberapa tahun lalu belum ada gadget, orang berjalan maupun nongkrong membawa majalah atau buku, bukan gadget. Di India, walaupun banyak yang menenteng gadget, yang menenteng buku pun masih ada.

^_^

Monday, April 13, 2015

Abidin Traveler (2): Chanakyapuri dan Chaseiro



Jadi tamu undangan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) India  adalah pengalaman pertama buat saya jadi tamu secara diplomatik. Ternyata menyenangkan. Hal itu terasa sejak mulai datang hingga kepulangan. Dan yang bikin saya terkejut, saya bertemu dengan personel band favorit saya dulu, Chasseiro.

Begitu sampai Indira Gandhi International Airport  saya  dijemput salah seorang staf KBRI yang warga India tapi mahir juga bebahasa Indonesia. Oh iya, perjalanan dinas ini saya masuk dalam rombongan utusan Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) dalam rangka New Delhi World Book Fair 2015, terdiri atas tujuh orang.

Saya bisa melenggang dari antrean panjang check out karena melintasi jalur diplomatik. Kecuali dua rekan saya yang memakai Visa on Arrival karena harus ke bagian Imigrasi terlebih dulu. Sambil menunggu, saya mulai menukar bekal uang dollar ke rupiah di money changer bandara.

Tak lama kemudian rombongan pun diajak bergegas ke luar bandara, dan rupanya rombongan kami sudah dinantikan. Bukan apa-apa, panitia pameran buku dari KBRI harus segera menyiapkan display pameran buku. Jadi terjadilah acara membongkar koper di pelataran bandara. Sejumlah buku yang dibawa harus segera dibawa ke pameran, sehingga langsung dipindahkan ke salah satu mobil.

Otomatis koper yang saya bawa pun turun bobot secara drastis. Lumayan buat tempat oleh-oleh nanti.


Chanakya Puri, Kawasan Menteng New Delhi

Serunya jadi tamu  KBRI India. (foto: Benny)




Kami tiba di Bandara sudah tengah malam. Tak ada waktu untuk berleha-leha karena harus segera istirahat. Tujuan kami adalah wisma KBRI India yang terletak di kawasan  Chanakyapuri. Kalau di Jakarta, seperti kawasan Menteng.  Sehubungan sudah malam, saya tidak begitu dapat melihat jelas bagaimana kawasan itu ketika datang.

Saat fajar menjelang, saya langsung kebelet melihat suasana di sekitar KBRI. Nggak seperti wajah India yang sering ditayangkan di media, kumuh dan jrorok.

Chanakyapuri dibangun oleh pemerintah India pada tahun 1950 memang khusus untuk kawasan diplomat. Letaknya hanya 14 km dari Bandara Internasional  Indira Gandhi. Sebagai kawasan khusus, tentu segalanya ditata khusus. Tak heran bila saya melihat keadaan sekitar tidak seperti di foto-foto teman-teman saya yang ke India.

Karena eratnya persahabatan Soekarno dengan Perdana Menteri kala itu yakni Nehru, letak kantor KBRI adalah yang paling dekat dengan rumah Nehru. Bahkan kabarnya adalah yang terluas areanya. Namun sayang, area tersebut tak terurus sehingga jadi merusak pemandangan. Alhasil, pemerintah India kemudian mengambil sebagain area untuk kantor militer.

Saya bisa membayangkan betapa luasnya area asli KBRI, karena saat ini pun area KBRI masih terbilang luas.

Banyak yang menyebutkan, pemerintah Indonesia kurang menghargai kebaikan pemerintah India. Bahkan di saat kantor kedutaan negara lain berlomba didesain menarik, kantor KBRI nyaris tampak dibiarkan begitu saja sejak berdiri tahun 1950. Baru dua tahun inilah mulai dibenahi, tapi belum juga selesai.

Jadi ketika saya menginap di wisma KBRI, terlihat pabalatak di sekitarnya. Bahkan suara tukang memalu terdengar hingga ke dalam ruangan.  Pastinya, saya merasa beruntung menjadi orang pertama yang menampati wisma KBRI setelah renovasi. Bau cat masih tercium. Seolah memang direnovasi untuk kedatangan saya dan rombongan.

Sepintas teringat komentar seorang teman yang pernah bercerita bahwa dia tak mau lagi menginap di wisma KBRI karena berkesan menyeramkan. Hmmm, ya mungkin dulu ketika belum dienovasi.

Kembali soal hubungan India dan Indonesia, sebenarnya tidak bisa dibilang baik, walaupun bukan berarti buruk.  Mengapa? Karena seharusnya kalau mengingat sejarah, semestinya India dan Indonesia benar-benar harus seperti bersaudara. Nyatanya tidak.

India pernah merasa kesal karena Indonesia yang katanya non-blok  ikut-ikutan mendukung Pakistan ketika terjadi konfrontasi dengan India.  Gara-gara ini pula, konon nama Soekarno tidak  dijadikan nama jalan di India. Tak ada satu pun. Sementara di Pakistan bisa ditemukan di dua kawasan.

Hubungan diplomatik pun sempat terganggu, ketika pemerintah Indonesia tidak mengutus dutabesarnya alias kosong selama dua tahun.



Personel Chaseiro

Foto bareng pejabat, siapa tahu menular sukses mereka. (foto: Benny)




Salah satu hal yang bikin saya senang tinggal di Wisma KBRI adalah dapat bertemu atasa pendidikan Prof. Iwan Pranoto.  Pria lulusan Institut Teknologi Bandung ini sangat banyak menjelaskan tentang kondisi India dengan gayanya yang santai. Pokoknya, saya nggak merasa ngobrol dengan seorang birokrat maupun profesor.

Dari professor ini pula saya tahu bahwa Indonesia masih memandang sebelah mata terhadap kekuatan India. Padahal menurutnya, dengan penduduk lebih dari satu milyar, Indonesia bisa membidik hubungan dagang dengan India. Di sektor pendidikan, Profesor Iwan juga menanggapi rendahnya minat mahasiswa di Indonesia belajar di sana.

“Jumlah mahasiswa Indonesia di India sekitar 90 orang  saja,” jelas Profesor Iwan. Padahal, menurutnya India memiliki beberapa universitas yang baik untuk dimasuki.  Bisa jadi lantaran masih banyak yang menganggap pendidikan di India tertinggal jauh.

Namun info yang sangat mencengangkan saya adalah ketika Prof. Iwan member informasi jika Duta Besar Indonesia di India adalah personel band Chaseiro. Lho, itu kan band yang dulu saya suka lagu-lagunya.  Tapi saya belum ‘ngeh’ yang mana, karena di Chaseiro nama yang paling saya ingat adalah Chandra Darusman. Sedangkan nama duta besar adalah Rizali Indrakesumah.

Akhirnya, ketika dijelaskan  Pak Dubes adalah juga personel Pancaran Sinar Petromaks dengan nama panggung Rojali, barulah saya ingat. Dan saya benar-benar ingat ketika bertemu langsung Pak Dubes dan beliau mengakuinya langsung. Wow, keren juga punya dubes yang seorang bassis dan vokalis.

Intinya sih, saya senang menjadi tamu di Wisma KBRI ini. Apalagi bisa bertemu orang-orang hebat di dalamnya.

^_^

Sunday, April 12, 2015

Abidin Traveler ke New Delhi (1)






Yeh duniya ek dulhan, dulhan ke mathe kee bindiya
Yeh mera india, i love my india

-- Pardes

Saya sering menyebut diri saya abidin traveler. Karena kebanyakan traveling yang saya lakukan memang atas biaya dinas alias abidin. Salah satu traveling yang juga juga abidin adalah ketika harus ke New Delhi, India.

Jujur saja, ini adalah tugas dari kantor yang membuat saya susah  tidur saking senangnya. Ke India? Semua yang kenal saya, tahu betul bahwa saya penggemar habis hindi movies alias bollywood. Walaupun dinas kali ini bukan Mumbai (markas besar Bollywood), tapi ke Delhi, tetap saja Indiahe.

Tadinya saya ingin extend. Biar saya merasakan juga traveling non abidin. Sekaligus menjelajah ke bagian tanah lain Hindustan yang saya impikan, seperti Simla, Kashmir ataupun Ladakh. Cuman, ya saya mesti menunda impian itu.  Karena ... ah sudahlah.

Kunjungan ke Delhi kali ini atas undangan pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) India. Jadi segala itinerary dan urusan-urusan lainnya saya tidak terlalu bisa mengatur. Namanya juga dinas. Jadi yang saya lakukan hanyalah mengurus visa.


Visa India



Nah, ini mungkin bisa buat catatan bagi siapapun yang mau ke India. Ada beberapa cara untuk mendapatkan visa. Cara pertama adalah regular seperti biasa. Isi formulir, serahkan semua berkas yang diminta, jadwal wawancara dan beres.

Seorang teman yang berangkat dalam waktu dekatan ada yang menggunakan cara ini. Mengurus langsung. Tapi dia sempat bolak-balik karena kelengkapan. Terutama ukuran foto yang persegi itu. Cara ini memang membutuhkan waktu tapi paling murah karena bayar sesuai tarif yang ditentukan.

Cara lain melalui biro perjalanan. Memang enak sih. Ke sana datang tinggal finger print. Semua sudah diurus, dan tahu beres. Bahkan dibuatkan itinerary oleh mereka. Cuman yang ini saya anggap mahal. Bahkan lebih mahal ketimbang saya mengurus visa di Kedutaan Italia dan Jerman. Ini cocok buat yang pergi mepet dan tinggal jauh dari Jakarta seingga tidak harus bolak-balik.

Cara lain adalah Visa kedatangan.  Kita bisa isi formulir dan kelengkapan secara on-line. Cuman masuknya usahakan jangan di bandara-bandara kecil di India. Paling aman masuk dari New Delhi. Bisa ribet seperti kasus teman saya yang masuk lewat Hyderabad. Karena di imigrasinya nanti harus urusan lagi. Belum lagi kalo antrean panjang. Untuk biaya, antara harga mengurus sendiri dan lewat travel biro. Jadi ya, lewat travel biro masih paling mahal sih.

Terserah pilih sendiri ya. Kalo saya sih, karena di luar kota dan susah bolak-balik karena makan waktu, ya lewat travel biro. Walaupun muahhhaaaal! Tapi di kedutaan India pun nggak harus ngantri panjang sebelum diambil sidik jari dan nggak ditanya-tanya lagi, apakah di sana mau ketemu Salman Khan dan Varun Dhawan nggak?

Yang keren, saya tuh kan cuman minta visa buat lima hari eh dikasihnya dua bulan. Hebat nggak tuh? Kayaknya baru kali ini saya dikasih visa sampai selama itu. Sayangnya … nggak bisa dipakai selama itu.

Pesawat Kagak Nyambung … aaargggh!



Sekali lagi ini penting banget buat yang mau perjalanan ke luar negeri, dan semuanya diurus orang lain. Pastikan bahwa tiket pesawat kita kalo yang pakai transit segala adalah tiket connected alias terbung alias terbang nyambung.

Nah, kejadian ini sudah saya khawatirkan ketika check in di Bandara Soeta. Si petugas langsung bilang bahwa tiket saya nggak connected. What? Saya minta diuruskan buat connected bisa nggak. Jawabnya nggak bisa.

Akhirnya, yang terjadi seperti yang saya bayangkan. Begitu sampai Kuala Lumpur International Airport, saya harus check out dulu, abis bagasi, lalu check in lagi. Alhasil, kena dua kali over bagasi. Dan semua yang pernah ke KLIA pasti tahu kan di sana tuh nggak ada eskalator datar biar nggak capek-capek jalan sambil gerek bagasi.

Yang bikin nggak astik adalah, semua proses check in – out itu butuh waktu lama. Jadi saya nggak sempat cari ganjal perut. Masa sih makan tongsis? Jadi, sisa waktu yang ada dipakai buat mengendurkan urat betis.

Untunglah di penerbangan ke New Delhi ada film-film Bollywood yang saya belum nonton. Salah satunya adalah film Raam Lela yang dimainkan Deepika Padukone. Maka saya pun tak begitu merasakan lama perjalanan lima jam di udara menuju Hindustan dari Kuala Lumpur.

Narsis pertama di India, di Bandara New Delhi. (fptp: Benny)


Begitu tiba di New Delhi Indira Gandhi International Airport, saya masih percaya dan nggak percaya bisa menginjak tanah India. Mimpikah?  Saya mimpi ke India sejak kecil. Bahkan saya merasa orang India yang terperangkap di tubuh orang Indonesia. Jadi ini seperti perjalanan menuju kampung halaman.

Terima kasih, ya Allah. Terima kasih alam semesta.