Tulisan menjadi HL di kompasiana.com |
Seseorang yang tidak saya kenal, tiba-tiba mengirim pesan melalui inbox, “Mas, di sana menerbitkan buku kumpulan puisi nggak?”
Saya tersenyum. Ini untuk ke sekian kalinya menerima pertanyaan sejenis. Lalu, saya jawab,”Untuk saat ini belum. Coba ke penerbit lain saja.”
Lalu saya menerima jawaban yang cepat pula,”Naskah kumpulan puisi saya sudah ditolak sama 10 penerbit, Mas.”
Saya pun berusaha menguatkan hatinya agar terus berusaha mencari penerbit, juga memotivasinya agar terus menulis puisi.
Mengapa Ditolak?
Di internet kita dengan mudah menemukan kisah-kisah penolakan naskah oleh penerbit yang akhirnya berujung kesuksesan pada diri si penulis. Di balik itu, banyak penulis sukses tanpa melalui penolakan lebih dulu yang kisahnya tidak diungkapkan di internet. Nah, kemudian tergantung pada kita sendiri, mau masuk kelompok mana? Melewati sekian penolakan oleh penerbit dulu sebelum bisa menerbitkan buku ataukah langsung sukses menerbitkan begitu pada naskah kiriman pertama.
Agar bisa menerbitkan buku tanpa melalui penolakan, seorang penulis harus tahu betul celah yang harus dimasuki. Ini saya bocorkan beberapa syarat yang harus dipenuhi sebuah naskah sehingga dianggap layak terbit oleh penerbit. Perlu saya tekankan, penerbit yang saya maksud adalah yang memiliki skala industri, bukan lembaga pemerintah atau yayasan nirlaba.
Pertama, naskah yang dikirim harus memiliki nilai jual. Sebab penerbit tidak ingin menanggung rugi telah mengeluarkan biaya redaksi, lalu biaya cetak sekian ribu eksemplar. Bukan hanya tidak mau rugi, tapi juga menginginkan untung yang besar. Naskah yang memiliki nilai jual umumnya berisi hal yang menarik perhatian masyarakat. Tidak harus mengikuti tren, tapi tetap menarik. Karenanya penulis harus yakin betul, bahwa dia menulis untuk dibaca banyak orang, mudah dimengerti pembaca dan pasti bermanfaat untuk pembaca.
Kedua, penulisnya memiliki nilai jual. Umumnya penulis yang high profile, entah karena karya tulisnya atau karya lainnya di luar karya tulis, bisa menerbitkan naskahnya dengan mudah. Karena umumnya penerbit yakin, nama besarnya bisa menjual buku yang ditulisnya.
Jika dua unsur di atas terpenuhi, akan sangat bagus. Jika tidak, minimal salah satunya. Maka, ketika kita mengukur diri kita bukan sebagai high profile, cobalah untuk membuat naskah yang memiliki banyak kekuatan. Namun, jika kita masih ragu-ragu dengan kekuatan naskah kita, cobalah untuk mendongkrak brand diri kita sehingga dikenal banyak orang. Paling tidak di satu komunitas tertentu yang anggotanya banyak seperti Kompasiana.
Saya kembali ke soal naskah kumpulan puisi. Saya harus ungkapkan, bahwa buku kumpulan puisi kurang mendapat tempat di pasar buku. Penjualannya jauh di bawah penjualan novel, komik, buku pelajaran, dan lainnya. Buku kumpulan puisi yang lumayan bisa dijual adalah karya penyair ternama, atau bisa juga ditulis oleh orang ternama.
Seorang teman editor yang juga penyair, malah menerbitkan kumpulan puisinya di penerbit indie dengan modal sendiri. Sebab penerbit tempatnya bekerja menolak menerbitkannya.
Cara lain adalah tetap bergerilya mencari penerbit yang masih punya idealisme tinggi menerbitkan buku kumpulan puisi. Agak susah saat ini. Tapi namanya usaha, harus tetap dicoba.
Tentang mengapa buku kumpulan puisi sangat sedikit peminatnya di pasar, saya tidak akan membahasnya. Tapi akibat kurang peminat ini, penerbit buku jadi cenderung menolak untuk menerbitkan buku kumpulan puisi. Kecuali ada proyek khusus yang membiayai proses penerbitan bukunya atau melakukan pembelian dalam jumlah besar.
Dalam sejarah saya sebagai editor, saya baru sekali menangani buku kumpulan puisi. Tentang alasan saya bisa menerbitkan naskah kumpulan puisi itu, nanti saya bisiki.
Antalogi Puisi Kompasianer
Jangan berkecil hati wahai kompasianer yang suka menulis puisi. Keinginan menerbitkan buku kumpulan puisi itu bukan hal yang mustahil. Kompasianer bisa melalui jalur alternatif, seperti self publishing dengan cara print on demand. Untuk lengkapnya, silakan klik di sini.
Cara lain adalah membuat antologi puisi bersama Kompasianer, tetap harus diseleksi naskah yang diikutsertakan. Lalu, mencari sponsor untuk biaya produksi (redaksi dan cetak). Dengan mendanai sendiri biaya produksi, biasanya penerbit besar mau diajak kerjasama untuk kemudian memasarkannya. Syukur-syukur bila para penulis puisi ikut melakukan pembelian, juga ikut melakukan mempromosikan dan memasarkan.
Carilah tema kuat agar antalogi puisi itu tidak berdiri masing-masing, ada benang merahnya. Misalnya, bertema Jakarta, Jokowi, dan Ahok. Jangan lupa, gaet selebritis, politikus, dan high profile yang juga kompasianer untuk berpartisipasi.
Jika buku antalogi puisi kompaianer ini terjual baik di pasar buku, jalan terbuka untuk buku kumpulan puisi lainnya. So, jangan terlalu lama untuk menyiapkan sekuelnya atau buku kumpulan puisi soliter untuk menyusul diterbitkan.
Ada yang mau jadi komandannya?
0 komentar:
Post a Comment