Sewaktu kecil, saya kira menerbitkan buku (fiksi dan nonfiksi) asing ke dalam versi bahasa Indonesia tinggal menerjemahkan saja. Ternyata ada proses yang kadang sangat panjang dan berdarah-darah sebelum sebuah buku asing bisa diterjemahkan. Pastinya, penerbit di Indonesia harus mendapatkan lisensi dari penerbit asal buku tersebut, jika tak ingin dicap pembajak atau kemudian hari dituntut secara hukum. Tapi ketentuan ini tidak berlaku bagi naskah asing klasik yang sudah masuk public domain.
Proses berburu lisensi buku asing dimulai dari
pihak penerbit yang biasanya menjadi tanggung jawab editor akuisisi.
Seorang editor akuisisi (buku asing) harus selalu mengikuti perkembangan
perbukuan internasional. Dia harus memantau buku-buku yang akan terbit
dari penulis-penulis ternama sekelas Dan Brown, JK Rowling atau
Stephenie Meyer. Dia juga harus meng-up-date daftar best-sellers
Internasional. Dan tentunya dia punya kepekaan mencium tren buku yang
akan datang di Indonesia.
Setelah browsing daftar sejumlah buku, editor akuisisi selanjutnya meminta kepastian isi dari buku yang ditaksirnya. Dia bisa menghubungi penerbitnya langsung, maupun melalui agen-agen lisensi yang terpercaya. Tentunya, seorang editor akuisi harus memiliki jaringan yang kuat dengan pemasar lisensi dari penerbit asing maupun agen lisensi. Dari merekalah, seorang editor akusisi bisa mngetahui izin untuk menerjemahkan ke Bahasa Indonesia masih tersedia atau tidak, juga meminta reading copy (contoh buku).
Bila izin menerjemahkan buku asing itu masih belum diambil penerbit lokal lainnya (available), editor akusisi bisa meminta reading copy sebagai bahan evaluasi. Baik berupa fisik asli buku maupun PDF. Demi kecepatan kerja redaksi, PDF adalah yang terbaik.
Tidak semua buku best-sellers di luar negeri akan laku dijual di Indonesia. Sebaliknya, buku-buku tidak terkenal di luar negeri ada pula yang akhirnya meledak di Indonesia. Itulah fakta di dunia penerbitan yang penuh spekulasi. Itu sebabnya editor akuisisi bersama tim penerbit harus mengevaluasi dengan seksama namun dalam tempo yang tak terlalu lama. Pengalaman di dunia perbukuan kerap kali menjadi kunci sukses memilih sebuah buku asing diterbitkan atau tidak.
Jika sudah muncul hasil akan menerbitkan buku tersebut, langkah selanjutnya adalah mengajukan penawaran. Untuk beberapa penerbit asing yang punya nama besar, biasanya proses penawaran harus disertai company profile dan langkah-langkah strategis pemasaran. Apalagi jika buku itu karya penulis papan atas.
Repotnya, jika lisensi buku asing itu ternyata diperebutkan banyak penerbit lokal. Biasanya akan ada proses bidding
alias penawaran dengan harga tertinggi. Di sinilah kadang terjadi
perang berdarah-darah karena terjadi perebutan lisensi. Kehati-hatian
tetap harus dipegang, agar penawaran tidak terlalu rendah sehingga lepas
diambil penerbit lokal lainnya, juga jangan sampai telalu tinggi
sehingga merusak pasar lisensi buku asing serta merugi karena bukunya
tak selaku uang advance yang dikeluarkan.
Jadi, jangan heran jika melihat novel terbaru karya penulis ‘D’ tiba-tiba diterbitkan Penerbit M, padahal buku pertamanya diterbitkan Penerbit S. Bisa ditebak, kalah sewaktu penawaran. Apa saja yang ditawarkan? Uang muka royalty dan besar royalti.
Jika dalam penawaran kemudian dinyatakan ‘deal’, maka selanjutnya masuk ke proses perjanjian kerja sama. Setiap penerbit asing punya kebijakan berbeda dengan penerjemahan bukunya. Ada penerbit asing yang tak banyak permintaan, artinya penerbit lokal bisa memperlakukan buku terjemahan itu sesuai pasar setempat (mengubah cover, mengganti judul, dan sebagainya). Ada juga penerbit asing yang rewel yang melarang ini-itu saat menerbitkan bukunya dalam Bahasa Indonesia. Yang pasti, peraturan itu harus dibaca dan dipatuhi agar tak mendapat masalah di kemudian hari.
Pentingnya ke Pameran Buku Internasional
Meskipun sekarang sudah memasuki era internet, sehingga mudah berhubungan dengan orang lain yang jauh jaraknya, tapi dalam hal berburu lisensi naskah asing kita harus melakukan pertemuan langsung. Itulah sebabnya, seorang editor akuisisi sebuah penerbitan harus berusaha bisa mengunjungi pameran buku tingkat internasional seperti Frankfurt Book Fair.
Di sana kita bisa berkenalan secara tatap muka langsung (tentu dengan janji sebelumnya) dengan pemasar lisensi dari penerbit maupun para agen lisensi internasional. Kehadiran sang editor akuisisi akan menambah kredibilitas penerbitnya. Bagaimana mereka tidak mengapresiasi kita, saat mereka akhirnya bisa melihat seseorang dari ‘random country’ hadir di sebuah pameran berskala internasional. Sehingga ketika suatu hari nanti terjadi kompetisi penawaran, kita memiliki poin lebih yang sifatnya non-material.
Dengan berkenalan dan menjalin hubungan dengan meraka, seorang editor akuisisi biasanya mendapatkan prioritas ketika mereka hendak meluncurkan buku-buku baru. Tidak kah ini sangat bermanfaat, bisa mengetahui sebuah judul buku baru dari penulis beken, sebelum diketahui publik.
Di pameran internasional, seorang editor akuisisi juga bisa dengan leluasa browsing buku-buku asing dengan membacanya langsung, sehingga bisa mencium aroma ‘best sellers’ atau ‘flop’ untuk pasar nasional.
Saya sendiri kadang mendapat bocoran buku-buku yang
diambil oleh penerbit lain di Indonesia, ataupun penerbit dari negara
yang pembacanya mirip di Indonesia. Obrolan informal dengan mereka
kadang amat berharga untuk menambah wawasan perbukuan seorang editor
akuisisi. Tak jarang pula saya mendapat peluang untuk mempromosikan
buku-buku karya anak bangsa kepada mereka.
Sayangnya, saya masih sering sekali bertemu dengan teman-teman dari tanah air yang mendapat peluang ke pameran buku internasional hanya sebatas sebagai pengamat dan jalan-jalan. Hal lainnya, saya jarang melihat penerbit di Indonesia yang meregenerasi editor akusisi yang datang ke pameran buku internasional. Rasanya dia lagi-dia lagi. Padahal, hubungan dengan para agen dan pemasar lisensi di penerbit asing kadang bersifat personal, sehingga ketika seorang editor akuisisi meninggal, belum tentunya penggantinya siap menangani semua jaringan editor akuisisi tersebut. Akhirnya penerbit itu malah kehilangan kesempatan untuk berkompetesi berburu lisensi naskah asing.
000
0 komentar:
Post a Comment