1
Calon Artis
Sudah lama Fira ingin jadi artis. Sayangnya, ia tidak punya suara bagus seperti Sarah yang kini jadi penyanyi cilik terkenal. Atau seperti Jodi yang main sinetron karena orangtuanya artis terkenal.
Setiap hari, Fira selalu membayangkan dia tampil di layar kaca. Bahkan, dia suka meniru gaya artis-artis terkenal di depan kaca kamarnya.
“Halooo, saya Fira Fantasya … eh Fira Sastrowardoyo … eh, enggak mau ah … Fira Spears. Huuuh, jelek. Nama asli saja, ya. Fira Fantasya! Wajah cantik, enggak kalah sama model-model iklan di teve. Suara juga merdu. Rambut keren banget. Pokoknya, sekarang Fira mau nyanyi, nih ….”
Sambil memegang bekas botol parfum Mama, Fira pun berteriak nyaring. Ia menyanyikan lagu yang dikarangnya sendiri, berjudul Aku Anak Cantik Sekali.
Aku anak cantik sekali
Mataku cantik sekali
Rambutku cantik sekali
Bibirku cantik sekali
Bajuku cantik sekali
Semuanya cantik sekali
Lalala … cantik sekali
“Aduh, Fira! Lama-lama kacanya bisa pecah, lho, kalau kamu setiap hari berdiri di depannya sambil nyanyi begitu,” ledek Bang Fadil, kakak Fira.
“Uuuh …, Bang Fadil! Kalau benar-benar sayang adiknya, bantu dong biar Fira bisa jadi artis. Bukannya ngeledek melulu!” balas Fira kesal.
“Memang apa, sih, enaknya jadi artis?” tanya Bang Fadil sambil mendekat.
“Ya, enak, dong. Bisa terkenal, banyak duit, sering jalan-jalan,” jawab Fira.
“Tapi kamu, kan, masih sekolah. Nanti sekolah kamu malah ketinggalan.”
“Itu gampang diatur. Syutingnya setelah jam sekolah atau saat liburan,” jawab Fira santai.
Bang Fadil tersenyum. “Jadi artis, tuh, harus kuat mental. Harus berani tampil di depan umum. Kamu berani, enggak?” tanya Bang Fadil.
“Siapa takut!?” timpal Fira.
“Berani diuji mental?” tantang Bang Fadil.
“Uji mental gimana? Uji nyanyi di kuburan? Itu kan, uji nyali.”
“Kamu berani enggak, nyanyi di depan umum, di dalam bis. Kayak pengamen gitu.”
Fira ternganga. “Kok, begitu tes mentalnya?”
“Iya, dong. Kamu harus berani tampil dulu di depan orang yang tidak kenal kamu dan menarik perhatian mereka."
Fira terdiam.
“Lagi pula, nanti kamu bisa dapat duit juga kalau nyanyi di dalam bis. Nah, nanti abang duduk di belakang bis ikut menilai,” lanjut Bang Fadil.
“Boleh juga. Fira berani! Kapan?” Fira balik menantang.
“Besok sore saja. Hari ini, abang ada tugas kuliah.”
Fira manggut-manggut.
Keesokan harinya, Fira berangkat bersama Bang Fadil ke jalan raya. Mereka memilih bis yang tak terlalu padat.
Dagdigdug. Fira merasa jantungnya berdegup saat naik bis. Fira langsung berjalan ke bagian depan bis, sementara Bang Fadil ke belakang.
“Aku harus berani!” tekad Fira dalam hati.
Bang Fadil langsung mengacungkan jempol tanda Fira harus segera memulai.
“Selamat siang, Bapak-Ibu, Kakak-kakak! Saya mau menyanyi buat menghibur Bapak-Ibu dan Kakak-kakak yang mungkin lagi ngantuk!” teriak Fira nyaring.
Tak ada yang melirik ke arah Fira. Ada yang tetap ngobrol, tidur, atau membuang muka ke jendela.
Fira tetap meneruskan aksinya. Ia melantunkan lagu Bunda semerdu mungkin. Tapi, para penumpang tetap tak acuh. Lagu kedua Fira menyanyikan lagu andalannya Aku Anak Cantik Sekali, kali ini dengan suara lebih nyaring.
Tiba-tiba … DOR! Terdengar bunyi letusan. Ban bis mendadak kempes. Bis pun dihentikan Pak Sopir.
“Pak,Bu, ban bisnya kempes! Pindah ke bis lain saja!” teriak Pak Sopir.
Serempak semua penumpang berdiri meninggalkan bis. Mereka tergesa-gesa mencari bis pengganti.
Fira ternganga. Ia sangat kecewa karena belum selesai menyanyi, para penumpang sudah turun. Untung Bang Fadil segera menghampirinya.
“Ayo, kita turun dan pulang. Abang senang dengan keberanianmu,” ajak Bang Fadil.
Fira mengikuti Bang Fadil. Padahal, tadi dia berencana setelah menyelesaikan lagu kedua akan menghampiri penumpang sambil mengedarkan topinya. Siapa tahu ada penumpang yang mau memberinya uang. Lalu, uang itu akan Fira sumbangkan pada pengamen lainnya.
Tiba di rumah, Bang Fadil langsung menceritakan kehebatan Fira pada mama. Walau sempat marah dengan ulah Fira dan Bang Fadil, mama akhirnya tertawa juga.
“Ya, sudah. Kalau kamu memang ingin jadi artis, Mama akan bantu. Kebetulan tadi ada teman Mama yang menelepon. Dia kerja di agensi iklan. Katanya, hari Minggu ada audisi untuk menyeleksi model iklan anak perempuan,” kata mama ikut semangat.
“Sungguh! Berarti besok ya, Ma!” Fira langsung kegirangan.
Tak sabar Fira menanti saat audisi tiba. Tiap menit, dia selalu mencoba beraneka gaya di depan kaca kamarnya.
***
Hari Minggu, Fira sudah sibuk bersiap diri sejak ayam jago tetangga berkokok. Sekitar pukul sepuluh, Fira berangkat ke sebuah kantor bersama mama.
Wah! Ternyata, anak-anak yang ikut audisi banyak juga. Mama mengantar Fira mengambil nomor tes. Mereka dapat nomor 230.
Hati Fira sedikit ciut ketika melihat peserta audisi lainnya berwajah sangat cantik. Mereka juga berpakaian seperti artis yang sudah terkenal.
“Ma, Fira kok, tidak dandan seperti mereka?” protes Fira.
“Tadi katanya kamu enggak mau Mama dandani,” timpal mama.
“Iya, Fira enggak mau didandanin Mama. Fira mau dandan sendiri.”
“Enggak bisa begitu. Kamu enggak tahu caranya. Ayo, kita cari tempat buat dandan,” ajak mama yang kini juga semangat melihat Fira akan jadi artis.
Mama mengajak Fira menjauh ke tempat agak sepi. Untung mama membawa perlengkapan riasnya. Meski agak lama, mama mendandani Fira. Fira diberi rias muka, sementara rambutnya tidak lagi dikepang. Mama menyemprotkan hairspray agar rambut Fira terlihat kaku.
Setelah merasa puas, mama dan Fira kembali ke ruang tunggu. Mereka masih harus menunggu 30 peserta lagi.
Srekkk! Sreeekkk!
“Mengapa kamu garuk-garuk melulu?” tanya mama pada Fira.
“Kepala Fira gatal, nih.”
Mama terkejut. Mama merasa bersalah. Ya, mestinya mama tadi agak hati-hati menyemprotkan hairspray. Tidak semua kulit kepala cocok disemprot cairan itu. Dan sepertinya, kulit kepala Fira alergi dengan hairspray.
Srekkk! Srekkkk! Fira terus menggaruk kepalanya.
Padahal, tinggal dua orang lagi giliran Fira.
“Ditahan saja dulu. Nanti setelah audisi, kamu harus segera keramas, ya!” ujar mama bingung.
Fira mengangguk. Ia berusaha menahan rasa gatal di kepalanya yang makin menjadi.
“Fira Fantasya!” panggil seorang wanita cantik tak lama kemudian.
Fira melangkah masuk ke ruangan audisi sambil menahan tangannya agar tak refleks menggaruk. Di dalam, ia bertemu tiga orang yang akan mengujinya. Sebuah kamera video juga siap merekamnya.
“Selamat siang, Fira. Siap ya. Kami ingin tahu akting Fira kalau kepala kamu lagi diserang kutu,” kata seorang pria klimis.
Hah! Fira tersentak Kebetulan sekali!
Fira langsung menggaruk kepalanya yang memang gatal bukan main. Srekkkk! Kesreekkk! Kesrekkk ….
“Stop! Bagus!” teriak ketiga juri yang kagum dengan akting Fira.
“Kamu betul-betul berakting seolah seperti yang banyak kutunya. Tapi, kamu tidak berkutu, kan?” tanya wanita bertubuh jangkung.
“Enggak, Tante. Boleh diperiksa kalau enggak percaya.”
“Enggak usah. Kami percaya. Nanti kami hubungi tiga hari lagi. Terima kasih!”
Fira ke luar ruangan. Sesekali, dia masih menggaruk kepalanya. Rambutnya sudah acak-acakan tak karuan.
“Fira, mengapa rambutmu? Pasti tadi kamu garuk-garuk terus, ya? Wah, kamu pasti gagal jadi bintang iklan,” sambut mama begitu Fira ke luar ruangan.
“Kita tunggu saja hasilnya tiga hari lagi. Begitu tadi pesan om dan tante di dalam,” kata Fira sambil garuk-garuk kepala.
Tiga hari kemudian, Fira mendapat kabar gembira dari agensi itu.
“Tadi, agensinya menelepon. Katanya, kamu sangat cocok dengan model iklan yang mereka butuhkan. Katanya, kamu akan jadi model iklan shampo khusus untuk anak-anak untuk membasmi kutu rambut. Mama sekarang jadi mengerti, alasan mereka menerimamu jadi bintang iklan,” ujar Mama begitu Fira pulang sekolah.
Fira ternganga, antara gembira dan kaget. Dia tak menyangka kalau jalannya menjadi artis harus dimulai dengan menjadi model iklan obat antikutu rambut.
“Yang penting keinginan kamu masuk teve dan terkenal bisa terkabul,” timpal Bang Fadil sambil tertawa.
^_^
2
Syuting
Senyum Fira terus mengembang sejak bangun tadi. Hari ini,
sangat dinanti-nantikannya karena dia akan syuting iklan. Ya, syuting untuk
pertama kalinya. Saking girangnya, semalam dia terus memelototi jam agar pagi
cepat datang.
Papa, mama, dan Bang Fadil juga ikut sibuk. Mereka akan
mengantar Fira ke lokasi syuting. Tapi, bencana terjadi saat mereka hendak
berangkat. Ban mobil papa baru ketahuan kempes!
“Wah, mesti ganti ban dulu, nih. Ma, kita punya waktu berapa
lama lagi?” tanya papa sambil mencari dongkrak.
“Satu jam lagi, Pa.”
Papa langsung menarik Bang Fadil agar membantunya. Sementara
Fira mulai cemas. Ia terus menggigiti bibir bawahnya. Untung papa dan Bang
Fadil bekerja cepat. Dalam waktu lima menit, ban cadangan sudah terpasang.
Mereka pun pergi ke sebuah studio di selatan kota. Namun, perjalanan tak
semulus harapan. Tiba-tiba mereka terhalang macet.
“Wah, kita bisa terlambat, nih,” Fira semakin cemas.
“Biar Mama telepon aja orang iklannya, ngasih tahu kalau
kita terlambat,” kata mama sambil menekan-nekan tombol HP. Tak lama kemudian,
mama bicara melalui HP.
Fira masih harap-harap cemas. Kenapa di saat-saat penting
begini selalu ada gangguan, pikirnya.
“Syuting belum dimulai. Sutradaranya juga belum berangkat ke
lokasi,” jelas mama kemudian.
Fira menarik napas lega. Uuuh, dia kembali sibuk memikirkan
syuting iklan yang akan dilakukannya nanti. Aduh, dia harus berlatih lagi
menggaruk-garuk kepalanya agar tampak seperti yang benar-benar berkutu. Tapi …
itu artinya mukanya bakal terlihat jelek. Ya, mana ada yang gatal-gatal
kepalanya sambil menebar senyum.
Setengah jam kemudian, mereka tiba di lokasi syuting. Ya,
ampun, banyak sekali yang kumpul. Kru pembuat iklan sih, tidak banyak. Tapi …
yang lain itu siapa, ya?
“Silakan menunggu sambil berias dengan model lainnya,”
sambut seorang wanita yang berpenampilan seperti lelaki.
“Kalau anak-anak yang lain itu bakal syuting iklan apa?”
tanya Fira berani bertanya, seperti biasanya.
“Itu juga bintang iklan shampo antikutu ini.”
“Oh, sebanyak itu? Jadi, bukan cuma Fira ya, bintang
iklannya?” tanya Fira lagi.
“Tentu bukan. Ada lima puluh anak. Maaf, silakan nunggu.”
Hah! Lima puluh anak! Fira jadi hilang semangat. Iklan di
teve paling lama juga setengah menit. Lantas bagaimana mukanya bisa kelihatan
di teve kalau model iklannya ada lima puluh anak?
Dan … benar saja! Satu jam kemudian, syuting iklan dimulai.
Lima puluh anak dibagi menjadi dua bagian. Satu kelompok anak-anak berkutu,
lalu satu kelompok lainnya anak-anak yang tidak berkutu karena memakai shampo
antikutu! Fira masuk kelompok yang berkutu. Syuting pun berjalan dua jam. Waktu yang lama bagi Fira
yang hanya kebagian garuk-garuk kepala karena gatal.
“Ini syuting iklan paling cepat. Biasanya kita syuting
seharian, lho,” kata seorang anak dengan gigi berkawat warna merah muda.
Fira berusaha menikmati syutingnya. Tapi, ia merasa lega
begitu syuting berakhir dan pulang ke rumah. Kepada teman-temannya, Fira tak
bercerita banyak soal syuting iklannya.
“Tapi kemarin, kamu benar-benar syuting iklan, kan?” tanya
Sasti.
“Ya, iyalah. Buat apa aku bohong. Nanti lihat aja di teve
iklannya. Katanya sih, sebulan lagi,” jawab Fira mantap.
“Wah, aku jadi penasaran!”
Jangankan orang lain, Fira juga enggak sabar menunggu iklan
itu ditayangkan di televisi. Ya, setidaknya, orang-orang akan tahu kalau di
sekolah ini ada selebritis baru bernama Fira Fantasya. Jadi, bukan Jodi dan
Sarah yang selebritis. Biasanya kalau jadi selebritis, gampang banget kalau
izin meninggalkan jam pelajaran. Ya, seperti Jodi dan Sarah itu. Katanya sih, mereka
sudah sering promosi nama sekolah setiap diwawancarai wartawan. Dan konon,
berkat Sarah dan Jodi, makin banyak yang mendaftar di sekolah ini.
Sebulan kemudian ….
Iklan shampo antikutu itu akhirnya ditayangkan di televisi.
Ternyata, wajah para model iklan yang satu kelompok dengan Fira tak terlihat di
kamera. Hanya kepalanya. Tapi, Fira mengenali kepalanya di televisi. Dia
berusaha mati-matian menjelaskan ke teman-temannya.
“Iya, itu yang kecil, paling kiri. Itu aku!” kata Fira
sengaja mengajak teman-temannya nonton iklan bareng di rumah.
“Masa, sih? Enggak jelas, tuh!” Teman-temannya hanya
mengernyitkan dahi. Muka Fira tak kelihatan, bagaimana mereka bisa percaya.
Akhirnya, Fira cuma bisa menggerutu. Sudah syutingnya lama,
yang nongol hanya kepalanya.
“Ma, Fira enggak mau jadi artis lagi! Enggak mau jadi
bintang iklan!” teriak Fira malam harinya.
“Iya. Mama mengerti. Kamu pasti kecewa, ya?” tanya mama
sabar.
“Bukan begitu. Fira pengin jadi sutradara aja. Biar enak
ngatur-ngatur artis, bisa datang terlambat ke lokasi syuting, dan duduk
dipayungin!”
Mata mama terbelalak kaget!
^__^
3
Tante Rebonding
Hari Minggu menjelang siang. Papa dan Bang Fadil latihan
tenis. Mama sudah siap berdandan hendak bepergian. Sambil tidur-tiduran Fira
melihat dengan saksama cara mamanya berdandan.
“Kenapa enggak pake lisptik warna merah, Ma?” tanya Fira.
“Husss, Mama ini dandan bukan mau ke pesta. Tapi, mau pergi
sama Tante Vena.”
“Pergi ke mana, Ma?”
“Tante Vena ngajak ke salon.”
”Ih, kalau ke salon ngapain dandan? Nanti aja sekalian di
salon,” sela Fira. Dulu Fira bingung untuk apa mamanya ke salon. Soalnya,
mamanya memakai jilbab. Jadi, dipotong model seperti apa pun tak ada yang tahu.
Tapi, rupanya di salon orang tak cuma potong rambut. Ada yag perawatan rambut
juga wajah, ada juga yang minta dirias.
“Mana enggak bisa begitu. Biar mau ke salon, tetap kita
harus berhias. Kan, nanti di salon harus nunggu dulu. Malu kalau sampai keliatan
tamu lainnya enggak dandan. Apalagi Tante Vena kalau ke salon selalu yang
elit.”
“Fira boleh ikut enggak, Ma?” tanya Fira sambil turun dari
tempat tidur.
“Tentu saja enggak boleh!” jawab mamanya buru-buru.
Beberapa waktu lalu, mama pernah mengajak Fira ke salon.
Tanpa sepengetahuan mamanya, Fira membawa hamster kesayangannya di saku. Begitu
di salon hamster itu lepas. Apa yang terjadi? Pegawai dan tamu salon semua
berebut naik ke kursi dan meja. Termasuk pegawai laki-lakinya. Suasana salon
jadi tak karuan. Padahal, ada yang baru dipotong setengahnya, ada yang sedang
dicat, sedang dikeringkan, termasuk dikeriting.
Sebagai hukumannya, Fira dilarang lagi memelihara hamster.
Fira juga tak pernah lagi diajak mamanya ke salon.
“Fira janji, deh, nanti enggak bakal nakal,” bujuk Fira.
“Sekali enggak, tetap enggak.”
Fira meruncingkan bibirnya. Kesal.
Tak lama kemudian, terdengar suara mobil masuk halaman
rumah. Tante Vena datang menjemput mama Fira, tapi tak sendirian. Tante Vena
membawa anaknya yang baru berumur tiga tahun bernama Andra.
“Fira, Tante Vena titip Andra, ya. Soalnya kalau diajak ke
salon takut rewel,” kata Tante Vena begitu bertemu Fira.
Sebenarnya, Fira ingin menolak. Fira pernah diminta menjaga
Andra beberapa waktu lalu. Walau cuma setengah jam, tapi rasanya seluruh rambut
Fira berdiri semua. Andra anak yang enggak mau diam. Sebentar dia
mengangkat-angkat vas bunga, lalu lari-lari di sofa, terus guling-gulingan di
meja makan. Uh, gimana Fira enggak pusing?
“Ini cokelat buatmu,” Tante Vena menyodorokan makanan
kesukaan Fira.
Nah, kalau sudah disogok cokelat, Fira tak mungkin lagi
menolak. Soal kebandelan Andra itu urusan nanti.
Tak lama kemudian, Tante Vena dan mama Fira berangkat. Tante
Vena meminta Fira menyetel kaset VCD musik yang dibawanya agar Andra tak rewel.
“Jangan lama-lama, ya!” pinta Fira.
“Enggak. Paling lama dua jam. Tante Vena mau rebonding
dulu,” kata mamanya.
Fira memonyongkan mulutnya. Ia jadi penasaran ingin tahu
perubahan penampilan Tante Vena nanti setelah rambutnya yang kriwil-kriwil itu
diluruskan.
Setelah Tante vena dan mamanya pergi, Fira segera menemui
Andra di ruang tengah.
“Cetel picidi, cetel picidi …,” Andra mulai merengek.
Fira menuruti permintaan Andra. Dipasangnya kaset VCD musik
yang tadi diberikan tante Vena. Rupanya, itu kaset VCD bajakan berisi video
klip lagu-lagu grup Peterpan.
Andra langsung duduk bersila di hamparan karpet di depan
teve. Fira berbaring di samping Andra ikut menikmati video musik itu meski pun
lagu-lagunya bukan yang terbaru.
Andra tampak menyukai seluruh video klip itu. Kadang ia
mengikuti sang vokalis menyanyi sambil berteriak lantang, ”AJAAAA APAAAAA
JENYANMUUUU ….”
Begitu seluruh video musik habis, Andra minta diputar lagi
dari pertama. Fira mulai bosan karena Andra tak pernah memindahkan pandangannya
dari teve. Fira jadi tak merasa sedang mengasuh anak kecil karena Andra tak
nakal seperti biasanya. Andra tak rewel minta minum, tak minta diantar pipis,
bahkan tak bangun dari duduknya. Permintaannya hanya memutar ulang video klip
itu dari awal bila habis.
Setelah menunggu hampir tiga jam, mama dan Tante Vena
kembali dari salon. Fira kaget ketika melihat perubahan penampilan Tante Vena.
Hampir Fira tak mengenali Kalau saja tak ingat baju yang dipakai Tante Vena
saat berangkat tadi.
“Tante Vena jadi lain. Rambutnya lurus jadi cantik.”
“Kalau gitu sebelumnya Tante Vena enggak cantik, ya?” balik
Tante Vena sambil tersenyum senang. “Andra di dalam?”
“Iya. Enggak bisa berhenti nonton tevenya.”
“Oh, gampang caranya.” Tante Vena menuju meteran listrik
lalu memadamkan aliran listrik di rumah.
Tiba-tiba, Andra berlari ke teras. “Pitelpennya cape.
Pitelpen mati …,” teriak Andra.
Tante Vena langsung menggendong Andra. “Yuk, kita pulang …,”
ajak Tante Vena.
Andra meronta-ronta. “Enggak mao … enggak mao ama Tante eyek
….”
“Siapa yang jelek?” tanya Tante Venta.
Andra memukul-mukul ibunya sendiri. “Tante eyek … Tante
eyek!”
“Lho, ini kan mama Andra, bukan Tante eyek.”
“Bucan ….” Andra mulai menangis. “Mama lambutnya iwil-iwil
….”
“Ini Mama …,” Fira ikut membantu membujuk.
“Bucan!”
“Iya, ini mama Andra,” giliran mama Fira membujuk.
“BUCAN!” Andra menjerit sambil minta diturunkan dari
gendongan Tante Vena.
“Ini Mama …. Lihat nih, cuma mama yang bisa gini.” Tante
Vena meniru gerakan ayam jago yang mengepakkan sayapnya lalu berkokok.
“Bucan. Ayam agonya enggak iwil-iwil ….”
Tante Vena akhirnya menyadari, Andra tak mengenalinya lagi
karena rambutnya yang diluruskan. Tate Vena garuk-garuk kepala karena bingung.
“Sebaiknya, Tante kembali ke salon aja lagi. Minta rambutnya
dikriwil-kriwil lagi. Kalau rambut tante direbonding, Andra malah jadi enggak
kenal.”
Ya, tak ada jalan lain. Tante Vena akhirnya kembali ke salon
ditemani mama Fira. Giliran Fira yang terkena batunya, harus menemani Andra
nonton VCD Peterpan. Saking bosannya, Fira langsung menutup kuping setiap Andra
berteriak lantang, “AJAAA APAAA JENYANMUUU …!!!”
***
Malam
harinya, Fira bermimpi ke Negeri Rebonding. Semua yang ada di negeri itu
direbonding. Semua rambut warganya tampak lurus. Pepohonan pun direbonding
hingga daunnya lurus semua. Bahkan, Fira melihat sekumpulan biri-biri dengan
bulu-bulunya yang lurus karena direbonding!!!
^__^
4
Rahasia Nenek Tomboi
Musim jambu air tiba. Fira paling suka jambu air. Entah yang
warnanya hijau, putih, cokelat, merah tua, atau merah muda. Sayang, papa tidak
menanam di halaman rumah. Sebabnya, mama lebih suka menanam tanaman berbunga
ketimbang yang berbuah. Satu-satunya tanaman berbuah hanya pohon pepaya di
samping rumah.
Karena itulah, belakangan ini Fira suka sekali bermain di
luar rumah. Ia bertandang ke rumah teman-temannya yang memiliki pohon jambu
air. Selain dimakan begitu saja, jambu air juga enak dirujak.
“Pokoknya, besok kamu jangan kelayapan dulu. Kita akan
jemput nenek di stasiun kereta Gambir,” kata papa saat makan malam.
“Aduh, Fira besok udah janjian mau rujakan di rumah Avin.”
“Acara kayak gitu, kan, bisa dibatalkan. Kamu tinggal
telepon aja sekarang,” jelas mama.
“Lagian, memang kamu enggak kangen sama nenek sendiri?”
tanya papa.
“Ya, kangen. Tapi yang datang memangnya nenek mana?” Fira
baru ingat. Dia punya enam nenek. Nenek kandung, sih, cuma dua dari mama dan
papa. Tapi, nenek kandung juga punya adik dan kakak yang harus dipanggil nenek
juga oleh Fira.
“Nenek Tomboi,” jawab papa dan mama serempak.
Fira membelalakkan mata. Hatinya bersorak senang. Nenek
Tomboi adalah sebutan untuk adik nenek dari papa atau tantenya papa atau …
(pusing juga jelasinnya. Pokoknya, ngerti, kan?). Sebelum pensiun, Nenek Tomboi
adalah seorang polisi wanita di bagian reserse. Tugasnya adalah menangkap
penjahat. Karena pekerjaannya itu, dia jadi seperti lelaki alias Tomboi.
Nenek Tomboi juga belum setua nenek Fira yang lain. Masih
gesit malah. Pernah Fira diajak keliling kota dibonceng motor oleh Nenek
Tomboi. Sepanjang jalan, Fira tak berani membuka mata lantaran motornya berlari
kencang. Nenek Tomboi juga paling asyik diajak bermain yang sebenarya dilarang
mama-papa, misalnya makan-makan di tempat tidur atau mengacak-acak isi lemari
pakaian.
“Kenapa senyum-senyum sendiri?” tanya Bang Fadil.
“Pasti sudah memikirkan rencana konyol bareng Nenek, ya?
Awas, kali ini Mama akan mengawasimu terus,” mama ikut melotot.
“Ih, kok jadi curiga gitu, sih? Enggak kok, Ma,” kilah Fira
sambil berkedip nakal.
Esok paginya, Fira dan keluarganya menjemput Nenek Tomboi di
Stasiun Gambir. Fira terkejut ketika melihat perubahan penampilan Nenek Tomboi
yang tak lagi memakai celana jins dan kaus. Celana jinsnya sekarang diganti
celana kulot.
“Wah, hebat! Nenek sekarang pakai jilbab!” puji Fira setelah
dicium Nenek Tomboi.
“Tahun depan, Nenek mau naik haji. Jadi, dari sekarang Nenek
harus biasakan pakai jilbab. Kan, aneh kalau ada nenek haji pakai jins,” timpal
Nenek Tomboi. “Tapi, jangan ganti nama nenek, ya. Tetap Nenek Tomboi!”
Ternyata, meski Nenek Tomboi berganti penampilan, sikapnya
belum berubah sepenuhnya. Ini terjadi di tempat parkir. Tiba-tiba saja …
seorang ibu berteriak dijambret. Lalu, Nenek Tomboi melihat si penjambret
berlari ke arahnya.
BUK! Tendangan keras Nenek Tomboi langsung menerjang perut
si penjambret sampai terpental jauh. Nenek Tomboi langsung menghampiri si
penjambret dan mengambil tas di tangannya. Beberapa petugas keamanan langsung
datang dan membawa si penjambret ke pos. Sementara itu, Nenek Tomboi mengembalikan
tas ke pemiliknya yang hanya bengong karena kagum melihat tendangan Nenek
Tomboi tadi.
Tapi, setelah itu Nenek Tomboi hanya duduk diam di belakang
mobil. Biasanya, Nenek Tomboi suka mengambil alih posisi sopir dari papa.
“Kenapa diam, Nek?” tanya Fira bingung.
Nenek Tomboi tersenyum penuh rahasia. Lalu, Nenek Tomboi
memejamkan mata sambil menarik napas seperti orang yang bersemedi.
Tiba di rumah, mama langsung mengeluarkan aneka petuah pada
Nenek Tomboi agar lebih banyak di rumah atau bahkan istirahat. “Sekarang, Tante
sudah enggak seperti dulu lagi. Tante sudah mulai ….”
Nenek Tomboi langsung menempelkan telunjuknya ke bibir.
“Jangan bilang siapa-siapa soal yang itu. Aku malu!” kata Nenek Tomboi setengah
membentak.
Aduh, kok begitu, ya? Nenek Tomboi sekarang punya rahasia
yang tidak boleh diketahui Fira. Apa ya, kira-kira?
Fira tak juga menemukan jawabannya. Tapi, selama seminggu di
rumah, Nenek Tomboi benar-benar mematuhi permintaan mama. Nenek Tomboi lebih
banyak istirahat atau menemani mama di dapur dan di taman. Kalau pun bermain
dengan Fira, Nenek Tomboi hanya menceritakan pengalamannya dulu mengejar aneka
jenis penjahat.
Rupaya, Nenek Tomboi hanya seminggu bertahan di rumah. Pada
hari Minggu berikutnya, Nenek Tomboi mulai membujuk Fira agar mengajaknya
bermain ke luar rumah.
“Mumpung papa-mama kamu enggak ada di rumah. Nenek boleh
ikut, ya?” bujuk Nenek Tomboi.
“Hari ini, Fira pengin ngerujak jambu air sama teman-teman
di rumah Delia. Kalau Nenek ikut, tentu mereka enggak akan keberatan. Tapi, Fira
takut diomelin mama.”
“Soal mama tenang aja. Itu urusan Nenek.”
Fira tak bisa menolak keinginan Nenek Tomboi. Apalagi Nenek
Tomboi berjanji akan mengajarkan jurus-jurus maut jika Fira mengajak bermain.
Tiba di halaman rumah Delia, sudah menunggu lima teman
lainnya. Ternyata, mereka masih harus menunggu kedatangan Agus yang akan
memanjat pohon jambu air milik Delia.
“Kalau masih belum jelas Agus mau datang atau enggak, biar
Nenek yang memanjat utuk memetik jambunya,” usul Nenek Tomboi.
“Jangan, Nek. Licin. Biar kita tunggu Agus saja.”
Tapi, Nenek Tomboi sudah keburu memanjat pohon jambu air
itu. Dengan cepat, Nenek Tomboi sudah mencapai cabang yang paling banyak
buahnya. Nenek Tomboi kemudian memetik jambu-jambu itu dan melemparnya ke
bawah. Fira dan teman-teman langsung menangkapi jambu-jambu yang dijatuhkan
Nenek Tomboi.
“Nek, sebelah sana juga banyak, tuh. Pindah, Nek!” teriak
Delia.
Nenek Tomboi mengikuti permintaan Delia. Nenek Tomboi pindah
ke cabang lainnya. Tapi, baru beberapa buah jambu yang dijatuhkannya, tiba-tiba
Nenek Tomboi terdiam. Lamaaa … sekali ….
“Nenek, kenapa?!” teriak Fira cemas.
“Ne … nek enggak bisa ber … ge … rak ….”
Hah! Bagaimana bisa?
“Bisa turun enggak?” teriak Delia.
“Eng … gak!”
“Nenek, enggak bercanda, kan?”
“Eng … gak!”
Gawat! Semua berpikir Nenek Tomboi dalam keadaan kritis.
Delia segera ke dalam rumah meminta tolong pada ayahnya. Tak lama kemudian,
ayah Delia langsung menuju halaman belakang rumah dan kaget melihat Nenek
Tomboi nangkring di pohon jambu air tanpa bergerak.
Ayah Delia langsung mengambil tangga dan menyandarkannya ke
salah satu cabang pohon yang kokoh. Ternyata, ayah Delia tak cukup kuat
menurunkan Nenek Tomboi. Akhirnya, Fira memanggil Pak RT, Pak RW, Pak Hansip,
dan lain-lainnya. Halaman belakang yang tadinya hanya dipenuhi anak-anak yang
ingin rujakan, jadi dipenuhi orang dewasa.
Setelah dibantu tiga orang, akhirnya Nenek Tomboi berhasil diturunkan dari pohon jambu dan
diobati sakitnya.
“Memangnya Ibu kenapa bisa sampai kram di pohon jambu?”
tanya Pak RT.
“Eng … anu …,” Nenek Tomboi melirik ke arah Fira. Tapi, Fira
sedang tak memerhatikan. “Saya terserang encok tadi!”
“Ooo … begitu. Lain kali kalau memang punya penyakit encok
jangan manjat pohon lagi,” saran Pak RT keras.
Encok? Fira yang mendengarnya langsung menahan tawa. Jadi,
rupanya selama ini rahasia Nenek Tomboi adalah mulai menderita penyakit encok.
Iiiih, pantas saja dirahasiakan …. Soalnya, dulu Nenek Tomboi sering pamer pada
Fira sebagai wanita dengan tulang dan otot yang kuat. Wah, ternyata Nenek
Tomboi bisa juga terserang encok di pinggangnya.
***
5
Mobil Centil
Nenek Tomboi mendapat kiriman paket. Fira ingin tahu tentang
paket itu.
“Dari siapa itu, Nek?” tanya Fira.
“Teman Nenek dulu. Ini isinya harta karun kami berdua yang
kami kumpulkan sejak masih kecil.”
“Harta karun? Dari kecil? Harta apaan?” Fira makin
penasaran.
Nenek Tomboi langsung membuka bungkusan paket itu. Kini yang
tampak adalah tiga kotak kaleng biskuit berukuran besar.
“Harta karunnya biskuit ya, Nek?” tanya Fira.
“Bukan.” Nenek lalu membuka penutup kaleng biskuit itu dan mengeluarkan isinya.
Fira terbelalak ketika mengetahui isinya ternyata stiker
alias gambar tempel berukuran kecil! Sekaleng penuh itu! “Wah, pasti
ngumpulinnya lama banget ya, Nek?!” seru Fira.
“Hehehe … lumayan lama. Lihat yang ini! Dulu, gambar ini
favorit Nenek gitu, lho,” ujar Nenek Tomboi sambil menunjuk stiker bergambar
puteri cantik bergaun pengantin. “Ini gambar tempel Cinderella saat mau menikah
dengan pangeran.”
Fira memerhatikan stiker itu. “Iya, bagus! Yang lainnya juga
bagus. Tapi, kok banyak gambar yang enggak Fira kenal, Nek? Ini siapa?”
“Itu Godam, Gundala, Gina, Darna, Pangeran Melar, dan
tokoh-tokoh fantasi Indonesia zaman dulu. Hebat, kan? Jadi, dari dulu di
Indonesia juga ada tokoh-tokoh sehebat Superman, Spiderman, dan Flash.”
“Sekarang, pada ke mana?”
Nenek Tomboi menggaruk kepalanya. Bingung menjawab. “Mungkin
sudah dikalahkan sama penjahat-penjahatnya, jadi mereka enggak muncul lagi,”
jawab Nenek Tomboi asal.
Fira lantas melihat-lihat stiker lainnya. Ada yang bergambar
bunga-bungaan, buah-buahan, ada juga makanan. Karuan perut Fira berbunyi karena
memang belum sempat makan siang. KRUBUK … KRUBUK!
“Ada cacing yang protes belum dikasih makan. Mendingan kita
makan dulu, yuk!” ajak Nenek Tomboi kemudian.
Fira tersipu malu. Uuh, padahal lagi asyik melihat koleksi
stiker! Fira bergumam kesal dalam hati.
Ketika makan siang, Nenek Tomboi menceritakan pengalaman
serunya dulu mengumpulkan stiker itu.
“Beberapa stiker harus Nenek dapatkan dari permen jahe. Rasa
permennya enggak enak. Tapi, dulu Nenek suka ngambil stikernya aja. Bahkan,
kadang Nenek sengaja mintain sama teman-teman yang beli permen itu.”
“Kalau gambarnya sama?”
“Nenek tinggal tukar sama teman-teman Nenek yang koleksi,
seperti Rahma dan Ela. Dua-duanya sama seperti Nenek, sampai mau menikah masih
suka ngumpulin stiker. Jadi, koleksinya tambah banyak. Cuma, Nenek sering
pindah rumah, jadinya kadang ada koleksi yang hilang. Nah, koleksi yang
dikirimkan lewat paket tadi itu adalah titipan Nenek sewaktu mulai sekolah
polisi. Seminggu yang lalu Nenek telepon dua sahabat Nenek itu, ternyata
titipan Nenek masih disimpan.”
Fira terkagum dengan persahabat Nenek Tomboi itu.
“Nah, sekarang Nenek mau memberi koleksi stiker Nenek itu
buat Fira. Biar Fira tambahin koleksinya.”
“Tapi, Fira suka gemes kalau lihat stiker. Maunya nempelin
di suatu tempat.”
“Itu terserah Fira saja. Tapi, sebaiknya pikirkan juga
tempat untuk menempelkan stiker itu. Jangan sembarangan, nanti dimarahin Mama.”
Sampai sore, Fira masih belum bisa memutuskan stiker itu
ditempelkan. Dia malah asyik mengamati gambar-gambar lucu stiker itu di kamar.
Baru ketika mendengar suara mobil van Papa masuk garasi, Fira beranjak menuju
ruang depan.
Tapi … ooopppsss! Wajah papa kok, kelihatan kusut?
“Assalamu `alaikum,” salam papa lesu.
“Wa `alaikum salam,” balas Fira sambil mencium lengan papa
dan membantu membawakan tas papa seperti biasa.
Papa tak banyak cerita seperti biasanya. Pasti ada sesuatu!
terka Fira dalam hati. Fira tak berani bertanya. Walau akhirnya, Fira
mengetahui juga penyebab muka kusut papa. Saat di ruang tengah bertemu Bang
Fadil, papa langsung menceritakan mobilnya yang catnya tergores di tempat
parkir. Entah siapa yang melakukannya papa tak tahu.
Fira dan Nenek Tomboi ikut bersama Bang Fadil melihat mobil
yang tergores itu. Hmmm … benar-benar panjang dan lebar. Ada goresan di sisi
kanan mobil yang membuat cat mobil terkelupas.
“Tinggal dicat lagi aja,” saran Fira pada Bang Fadil.
“Enggak semudah itu. Kalau mengecat mobil tidak bisa bagian
yang lecetnya saja. Malah jelek nantinya.”
“Terus, bagaimana?”
“Masalahnya, papa lagi enggak punya uang. Makanya kesal.
Sudahlah, mendingan kita jangan bikin tambah pusing papa.”
Fira menelan ludah. Padahal, dia ingin minta dibelikan novel
terbaru seri Kelas Ajaib pada papa. Wah, kalau begitu harus ditunda sampai papa
gajian, pikirnya.
Untuk menghibur papa, Fira seperti biasa memijat bahu papa.
Fira juga berusaha tidak membuat papa pusing saat nonton teve di ruang
keluarga. Biasanya, Fira suka berebut remote dengan Bang Fadil. Hal ini membuat
papa senang. Bahkan, ketika Fira mau tidur, papa menghampirinya.
“Fira malam ini benar-benar hebat. Papa senang kalau tiap
malam Fira seperti tadi,” puji papa.
Fira tersenyum, lalu tertidur setelah berdoa.
Entah pukul berapa Fira merasa bahunya diguncang-guncang.
Begitu membuka mata, Fira melihat Nenek Tomboi ada di sisi tempat tidurnya.
“Nenek, apa kita akan pesta tengah malam?” tanya Fira sambil
menggeliat.
“Tepatnya, kita akan pesta tempel stiker tengah malam!”
Fira menggaruk kepala bingung. Tapi, ia menurut saja ajakan
Nenek Tomboi meninggalkan kamar menuju garasi mobil. Tangan Nenek Tomboi
membawa kaleng koleksi stiker.
“Nah, sekarang kita tempel stiker di mobil papamu. Terutama
di bagian yang lecet catnya. Biar tidak kelihatan,” kata Nenek Tomboi sambil
membuka tutup kaleng.
Fira mulanya ragu, takut papa nanti marah. Tapi, ia kemudian
mengikuti jejak Nenek Tomboi menempelkan stiker itu. Fira tertawa geli ketika
melihat hasilnya.
“Hihihi … jadi kayak mobil balap!” ujar Fira.
Pada saat bersamaan, papa terbangun ketika mendengar suara
berisik dari garasi. Papa langsung berjalan mengendap-endap ke garasi. Papa
kaget ketika melihat Fira dan Nenek Tomboi tengah asyik menempeli mobil dengan
stiker.
“Aduh, mobil Papa diapain malam-malam begini?!”
“Wua!!!” Fira dan Nenek Tomboi menjerit kaget.
Nenek Tomboi kemudian cengengesan. “Agar lecet mobilnya
enggak kelihatan, dikasih stiker biar lucu!” kata Nenek Tomboi.
Papa membelalakkan mata. Fira jadi takut. Papa berjalan
mendekat. Kemudian, mengambil kaleng koleksi stiker yang sekarang jadi milik
Fira.
“Daripada sedikit, mendingan kita tempeli saja semuanya!”
kata papa sambil tersenyum. Papa buru-buru menempelkan stiker di bagian lain
luar mobil dengan semangat.
Melihat hal itu, Fira dan Nenek Tomboi jadi tambah semangat.
Nenek Tomboi malah balik ke kamar mengambil kaleng yang lain, lalu menempeli
semua stiker di kaleng hingga tak bersisa.
“Wah, pesta menempel stiker yang heboh!” seru Fira.
“Karena semua sudah ditempel, sekarang kita kembali tidur.
Besok, Papa harus kerja dan Fira ke sekolah,” ajak papa.
Fira mengangguk, lalu menuntun Nenek tomboi kembali ke
kamar.
Sementara, papa hanya menghela napas panjang. Sebenarnya,
papa tadi pengin marah melihat Fira dan Nenek Tomboi menempeli mobil dengan
stiker. Tapi, kalau papa marah, khawatir nanti Nenek Tomboi malah jauh lebih
marah. Atau malah kabur dari rumah. Akhirnya, papa berusaha meredakan amarahnya
dengan ikut menempeli stiker di mobil.
Esok paginya, Bang Fadil kaget melihat rupa mobil papa.
Begitu juga mama.
“Mobilnya kok, jadi centil begini, sih?” tanya mama.
Papa menjelaskan peristiwa semalam. Langsung saja mama
protes karena tidak diajak ikut pesta semalam.
“Pokoknya, lain kali, Mama pengin ikut!” teriak mama.
Papa kemudian pergi ke kantor dengan mobil yang kini
dipenuhi stiker. Sepanjang jalan, banyak pengendara mobil yang memerhatikan
mobil papa. Ketika papa parkir pun, banyak yang melihat heran. Papa sebenarnya
malu diperhatikan banyak orang, tapi berusaha menepis rasa malunya itu.
“Pokoknya, kalau gajian nanti, mobil itu harus dicat ulang
semuanya!” tekad papa.
Hmmm … tapi benarkah demikian?
Pasalnya, tiga hari kemudian, papa melihat banyak mobil di
jalan yang juga ditempeli stiker-stiker lucu. Benar-benar mengikuti mobil papa.
Rupanya, banyak yang malah menganggap stiker kecil-kecil yang menempel di mobil
papa itu bikin menarik. Bahkan, ketika papa mau parkir mobil di tempat biasa di
kantor, sudah ada lima mobil yang parkir penuh dengan tempelan stiker! Wah,
banyak yang pengin punya mobil centil!
^_^
6
Enggak Asal Pilih
Sebagian murid kelas empat sampai enam heboh. Pasalnya, di
papan pengumuman sekolah ditempel selembar kertas bertuliskan:
Audisi Paduan Suara
Kepada murid-murid kelas 4–kelas 6 wajib mengikuti audisi
vokal
di aula, Sabtu,15 September,
setelah pulang sekolah.
Sekolah akan memilih dua puluh murid untuk menjadi anggota
tim paduan suara. Rencananya, tim paduan suara
akan mengikuti lomba antar-SD
tingkat kotamadya bulan depan.
Tertanda,
Kepala Sekolah
Langsung saja mereka kasak-kusuk sibuk, seolah mau ikutan
audisi bintang sejagat.
“Nanti, aku mau nyanyi lagu Josh Grobak,” kata anak berpita
kuning.
“Mana ada penyanyi seperti itu. Ada juga Josh Groban. Yang
nyanyi You Rise Me Up!” timpal yang lain.
Anak berpita kuning itu tak mau kalah. “Iya, aku juga tahu
Kalau Josh Groban nyanyi lagu itu. Yang aku maksud, memang penyanyi Josh
Grobak. Dia penyanyi Indonesia yang nyanyiin lagu baru Cucak Rowo versi
seriosa. Belom pada tau, kan? Makanya gaul, dong!” kata anak berpita kuning itu
sambil melengos pergi sebelum ketahuan bohongnya.
Fira yang melihat pengumuman itu juga ingin ikut audisi.
Rasanya pasti bangga bisa terpilih dalam tim paduan suara dan berlomba membela
nama sekolah.
“Kamu mau ikutan audisi, ya?” tanya Sarah tiba-tiba.
Fira mengangguk malu-malu. “Iya. Dari dulu, aku pengin jadi
penyanyi terkenal kayak kamu,” kata Fira.
Sarah yang sudah membuat tiga album rekaman anak-anak itu
langsung mengangkat dagunya. “Makanya, harus rajin latihan. Ikut kursus vokal,
dong, sama Mbak Berthi atau Mas Melva. Biar suaramu enggak kayak kaleng
rombeng,” sindirnya.
“Iya, nanti aku mau les vokal. Kalau minta diajarin sama
kamu, boleh enggak?”
“Waduh, enggak ada waktu, tuh!” Sarah pergi meninggalkan
Fira sendirian termangu di depan papan pengumuman sekolah.
Sepulang sekolah, Fira langsung mengutarakan keinginannya
mengikuti audisi itu kepada mama dan Nenek Tomboi di meja makan.
“Fira ingin les vokal, biar lolos audisi nanti,” kata Fira
setelah bercerita.
“Les vokal itu gampang. Masalahnya, kamu serius apa enggak
mau les nyanyi? Jangan-jangan cuma senang sebentar, terus bosen. Padahal,
bayarannya mesti setahun dan sangat mahal,” jelas Mama.
“Iya. Ketimbang bayar mahal-mahal buat les sama orang lain,
mendingan les vokal gratis sama Nenek,” timpal Nenek Tomboi.
“Emang Nenek bisa nyanyi, gitu?”
“Jangan salah, ya. Gini-gini juga dulu Nenek juara lomba
nyanyi di tingkat kepolisian. Sayang aja, Nenek lebih suka ngejar penjahat
daripada nyanyi. Makanya, Nenek enggak jadi artis,” kata Nenek Tomboi.
Fira melemparkan pandangannya ke mama. Ternyata mama
mengangguk, memberi isyarat kata-kata Nenek Tomboi tadi memang benar.
“Kalau memang Nenek enggak keberatan, ya Fira mau aja.
Enggak pake bayaran, kan?,” kata Fira kemudian.
“Enggak. Cukup
pijitin Nenek aja setiap malam.”
“Iya, nanti kalau lolos audisi, baru Fira mau pijit Nenek.
Kalau mijitnya sekarang, nanti Fira bukannya jago nyanyi, malah jago pijit!”
“Siiippp!” Nenek Tomboi mengangkat jempol.
Esok harinya, Fira mulai latihan vokal dengan serius di
bawah bimbingan Nenek Tomboi. Fira sedikit heran karena Nenek Tomboi tidak
langsung mengajarnya menyanyi, tapi menyapu dan mengepel rumah.
“Ini namanya latihan pernapasan dulu. Biar kuat di nada-nada
tinggi,” jelas Nenek Tomboi ketika Fira protes.
Fira hanya bersungut dalam hati. Pikirnya, Nenek pasti
sengaja mengulur-ulur waktu, jadi Nenek Tomboi tak perlu melatih vokal. Uuuh,
sebenarnya Nenek Tomboi bisa melatih enggak, sih?
Begitu selesai membersihkan rumah, Nenek Tomboi mengambil
gitar dari kamar Bang Fadil.
“Nek, kalau Bang Fadil tahu gitarnya diambil enggak
bilang-bilang, bisa diomelin nanti,” kata Fira cemas.
“Enggak apa-apa. Kalau nanti Nenek diomelin, tinggal ngadu
sama mama.”
“Memangnya, kalau latihan vokal harus pake gitar?”
“Tentu saja. Biar pas nadanya, kalau latihan nyanyi
sebaiknya ada alat musik. Yang paling bagus piano. Tapi, gitar juga enggak
apa-apa,” jelas Nenek Tomboi.
Mereka kemudian berlatih di kamar Fira. Ketika Nenek Tomboi
mulai memainkan senar gitar, Fira khawatir nanti salah satu senar itu putus.
JRENG! JRENG! JRENG!
Waduh, ternyata Nenek Tomboi jago juga main gitarnya. Fira
jadi tambah semangat latihan. Nenek Tomboi memulai latihan dimulai dari
pengenalan jenis suara dan pencapaian nada suara Fira. Setelah itu, barulah
Fira dilatih melantunkan lagu dengan baik dan benar.
***
Audisi diselenggarakan di aula sekolah. Peminatnya cukup
banyak. Juri yang menguji terdiri atas Pak Purwa Carita selaku kepala sekolah,
Bu Pri Utama selaku guru kesenian, dan Pak Herry Muslih selaku calon pelatih
paduan suara.
Para peserta audisi dipanggil masuk bertiga-tiga secara
giliran. Mereka juga diminta menyanyi bertiga-tiga, lalu sendiri-sendiri.
Ternyata, tidak semua peserta audisi siap. Ada yang menyanyi sambil gemetaran
seperti kedinginan di kamar mandi, ada juga yang sama sekali tak keluar
suaranya meski mulutnya komat-kamit. Paling menggelikan, ada tiga murid yang
menyanyi bersama sambil memejamkan mata. Sampai-sampai tiga juri itu pergi ke
toilet pun mereka tidak tahu!
Acara audisi berakhir sore hari. Pak Purwa Carita akan
mengumumkan murid yang berhasil lolos menjadi tim paduan suara pada Senin pagi
saat upacara. Alhasil, banyak peserta yang gelisah menunggu hari Senin tiba.
“Dari tadi, kamu ngeliatin jam melulu, Fira. Kayak yang lagi
nunggu beduk buka puasa aja,” ledek Bang Fadil.
Fira menjulurkan lidah. “Wue, biarin aja! Jamnya aja enggak
protes diliatin melulu!” timpalnya.
Saat hari Senin tiba, lapangan upacara tak biasanya langsung
diserbu murid-murid sejak pagi. Mereka berebut tempat berbaris di paling depan.
Padahal biasanya, mereka lebih suka berdiri di barisan belakang bisa ngobrol
saat Pak Purwa Carita menyampaikan petuah yang panjang dan lebar.
Seperti biasa, setelah pengibaran bendera Merah-Putih, Pak
Purwa Carita langsung berdiri di podium. Semua murid gelisah menunggu Pak Purwa
Carita mengumumkan hasil audisi. Tapi, Pak Purwa Carita malah terus memberi
petuah. Pikirnya, selagi semua murid memusatkan perhatian padanya, jadi bisa
dimanfaatkan memberi petuah. Tentu saja banyak yang menggerutu pelan. Soalnya,
petuah Pak Purwa Carita kadang tidak berhubungan dengan mereka. Misalnya,
anak-anak diminta menjadi pembayar pajak bagi negara yang baik ataupun dilarang
ngebut di jalanan.
“PAAAK, KAPAN PENGUMUMANNYA?!”
Tiba-tiba, ada suara teriakan memotong kalimat Pak Purwa
Carita. Semua murid langsung menengok ke orang yang berteriak itu. Fira juga
kaget. Apalagi ketika semua teman menengok ke arahnya. Hah?! Jadi, tadi yang
teriak Fira?!
Aduh, Fira! Berani-beraninya memotong pidato Pak Purwa
Carita, pikir beberapa temannya. Padahal mendengar suara berisik saat pidato
saja, Pak Purwa Carita suka marah.
Di podium, wajah Pak Purwa Carita tampak tegang. Mulutnya
berhenti pidato. Sedangkan matanya menuju ke arah Fira.
“Hmmm … baiklah. Maaf, Bapak tadi terlalu banyak pidato.
Soalnya, Bapak lupa. Terima kasih sudah mau mengingatkan Bapak. Sekarang,
pengumuman hasil audisi untuk tim paduan suara sekolah kita ….” Pak Purwa
Carita lantas mengeluarkan secarik kertas dari saku celananya.
Fira bersyukur karena Pak Purwa Carita tidak marah padanya.
Sekarang, jantungnya berdebar menanti namanya disebut atau tidak. Ternyata .…
“Fira Fantasya kelas 5!”
“HOREEE!!! HOREEE!!!”
Lagi-lagi, semua mata tertuju pada Fira karena dia berteriak
nyaring sambil meloncat-locat dan berputar-putar. Fira baru berhenti ketika Pak
Purwa Carita berdehem mengingatkannya agar diam.
Akhirnya, Pak Purwa Carita pun berhenti setelah meyebutkan
sepuluh nama murid putra dan sepuluh nama murid putri yang berhasil lolos
audisi. Tapi, ada hal yang paling mengejutkan, karena nama Sarah tidak disebut
sama sekali.
Fira melihat wajah Sarah di sampingnya langsung mendung.
Bibir Sarah mengerucut panjang. “Pokoknya, aku mau protes!” gerutunya pelan.
Teryata, Sarah
benar-benar menjalankan protes. Dia melancarkan aksi demo jongkok di pintu
masuk ruang Pak Purwa Carita begitu upacara usai. Untung saja tidak ada
wartawan gosip yang tahu. Soalnya, aksi demo ini terbilang langka. Apalagi
dilakukan penyanyi cilik yang lagi naik daun.
Beberapa guru berusaha membujuk Sarah. “Sarah sudah
terkenal. Buat apa ikutan paduan suara?” kata guru matematika yang biasanya
galak.
“Sarah cuma mau ikutan tim paduan suara sekolah! Harus
masuk!” teriak Sarah.
Akhirnya, para guru rapat sebentar. Mereka membujuk kepada
para juri audisi agar menyisipkan nama Sarah di tim paduan suara.
“Sebenarnya, suara Sarah bagus. Tapi, sewaktu dites nyanyi
bertiga, dia selalu ingin menyanyi paling menonjol. Padahal, ini paduan suara.
Yang penting kekompakan,” jelas Bu Pri Utama.
“Tapi, Sarah itu artis terkenal. Dia membawa nama sekolah
kita juga jadi terkenal. Kalau dia ikut dalam tim paduan suara, kelompok kita
akan jadi sorotan,” kata guru matematika.
“Iya. Lagi pula, masih ada waktu untuk melatihnya biar
kompak dengan yang lain,” sahut guru lain.
Pak Purwa Carita kemudian membuat keputusan menerima Sarah
di tim paduan suara sekolah. Tapi, berdasarkan pertimbangan pelatih paduan
suara, Sarah tidak ditempatkan sebagai penyanyi, melainkan sebagai dirijen yang
memberi komando.
Tentu saja Sarah senang dengan keputusan itu. Ia tak
keberatan jadi dirijen yang menurutnya jauh lebih bergengsi. Dan lebih penting
lagi, dengan adanya keputusan itu, Sarah tak perlu lagi demo jongkok. Soalnya,
Sarah sudah tidak kuat lagi ingin ke WC karena kelamaan jongkok!
**
7
Hatsyih!
Hari pertama latihan paduan suara berlangsung kacau. Pak
Herry Muslih yang melatih mereka sampai berulang-ulang menggaruk kepala karena
bingung.
“Kalian harus konsisten dengan jenis vokal kalian. Agar
signifikan dengan output-nya!” teriak Pak Herry Muslih untuk kesekian kalinya.
Sebagian besar anggota paduan suara hanya manggut-manggut,
walau mereka tak mengerti.
“Maaf, Pak! Ngomongnya pake bahasa Indonesia aja. Biar kita
mengerti maksud Bapak,” protes Fira.
“Lho, dari tadi Bapak memang ngomong pake bahasa Indonesia,
kan?”
“Tapi, kami kok enggak ngerti? Konsisten apa? Signifikan
apa? Kami sering dengar, tapi enggak ngerti.”
Pak Herry Muslih nyengir. Dia memang terlalu banyak
mendengar acara diskusi politik di radio. Jadi, bahasa orang-orang pintar yang
disampaikan di radio tertular padanya. Tapi kan, tidak semua anak mengerti
bahasa orang-orang pintar itu.
Latihan pun
diteruskan dengan pengelompokkan penyanyi berdasarkan jenis suara. Fira yang
bersuara sopran kebagian kelompok suara satu, sedangkan yang bersuara lebih
rendah masuk dalam kelompok suara dua. Bagi yang tidak terbiasa ikut paduan
suara, sulit juga menyesuaikan diri harus bernyanyi dalam kelompoknya.
Terkadang, perhatian terpecah dan suara jadi mengikuti nada yang bukan
kelompoknya.
“Makanya, konsentrasi itu penting!” nasihat Pak Herry Muslih
saat mengakhiri latihan.
Fira yang tak menyangka betapa sulitnya latihan paduan suara
langsung mengadu ke Nenek Tomboi saat bersantai di kamar.
“Baru latihan sebentar diulang-ulang terus. Uuuh, cuma
gara-gara satu orang salah,” sungut Fira.
“Namanya juga paduan suara. Harus kompak. Sama seperti orang
berbaris dalam satu kelompok. Kalau saat jalan ada yang enggak kompak, langkah
kakinya, bakal ketahuan.”
“Tapi, kan, jadi sebal.”
“Kalau memang sebal, keluar aja. Menyanyi itu harus dalam
suasana hati yang senang ….”
“Keluar? Enggak, ah. Soalnya, tadi Pak kepala Sekolah udah
nunjukin kostum yang akan kami pakai di lomba nanti. Bagus, banget. Sayang,
kan, kalau enggak jadi pakai kostum itu.”
“Memang kostumnya gratis?’
“Hehehe … enggak. Fira tetap harus bayar.”
“Kalau begitu, beli aja. Kan, sama!”
“Ya, lain dong, Nek. Kalau beli kan, enggak pakai perjuangan
dulu.”
“Memangnya perang kemerdekaan pakai berjuang-juang segala?!
Aduh, pijitnya jangan keras-keras, dong!” tiba-tiba, Nenek Tomboi mengaduh.
“Katanya otot kawat tulang baja?!” Fira meledek sambil
melemaskan pijatannya. Dulu, Nenek Tomboi paling sering mengucapkan kalimat
itu. Ya, sebelum rahasia penyakit encoknya tersingkap.
***
Dua minggu latihan, tim paduan suara mulai membaik. Fira
bertambah senang karena Pak Herry Muslih tak lagi marah-marah kalau mengajar.
Malah saking semangatnya, Pak Herry bertepuk tangan setiap lima belas detik
sekali. Kumisnya yang panjang 10 cm dan lebar 1 cm itu pun terus bergerak-gerak
mirip ulet bulu. Tapi .…
“Hatsyihhh!”
Fira menoleh ke sebelahnya. Diana, murid kelas enam, bersin
dengan keras, mengalahkan suara tim yang sedang menyanyikan lagu “Kami
Anak-anak Paling Oke Sedunia”.
“Hatsyihhh! Hatsyihhh!” kali ini naik satu oktaf dari
sebelumnya.
“Diana, kamu flu, ya?” tanya Pak Herry Muslih.
“Hatsyihhh!” jawab Diana.
“Itu artinya ‘iya’, Pak!” timpal Fira berusaha
menerjemahkan.
“Kalau begitu, sebaiknya kamu jangan ikut latihan dulu.
Istirahat saja di rumah. Jika perlu tidak masuk sekolah juga. Biar cepat
sembuh. Kalau kamu sakit terus, tidak bisa latihan, maka kamu harus dikeluarkan
dari tim ini.”
“Hatsyihhh! Hatsyihhh!”
“Nah, Kalau itu artinya ….”
“Artinya, ‘Iya, Pak!’ begitu, kan?” potong Pak Herry Muslih.
“Bukan. Maksud saya, terima kasih, Pak, sudah mengizinkan
saya istirahat dulu. Sekarang, saya mau pulang dulu,” jelas Diana sambil
menahan bersinnya.
Pak Herry Muslih ingin protes. Masak sih, bersinnya dua
kali, artinya bisa panjang lebar begitu?! Tapi, Pak Herry Muslih hanya
tersenyum ke arah Diana sambil melirik Fira yang tukang protes.
Diana pulang sambil melambaikan tangan pada teman-temannya
dengan perasaan sedih. Malah, ada beberapa orang yang kemudian merangkulnya
sambil menangis.
“Diana cepat sembuh, ya! Hiks … hiks!” ucap Yuni sambil
terisak-isak.
“Iya. Nanti, kita kumpul lagi!”
Lho, kok?! Jadi, pada nangis dan sedih begini? Fira bingung.
Akhirnya, Pak Herry Muslih langsung memisahkan mereka, dan
meminta Diana segera meninggalkan aula. Sebelum menghilang, Diana sempat bersin
sembilan kali berturut-turut. Hmmm … bisa masuk Museum Rekor Indonesia enggak,
ya?
Rupanya, bersin Diana itu berbuntut panjang. Esok harinya,
dua anggota tim paduan suara juga terserang flu dan bersin-bersin. Pak Herry
Muslih meminta mereka pulang dan memberi resep sup ayam bawang putih penghilang
flu. Fira langsung khawatir terserang flu. Masalahnya, Fira tidak seperti anak-anak
lainnya yang hanya cukup waktu tiga hari untuk sembuh dari flu. Fira bisa
seminggu lebih bila terserang flu.
Tapi untunglah, resep sup yang diberikan Pak Herry Muslih
manjur. Hingga saat lomba, tak satu pun anggota tim padua suara yang terserang flu
lagi, termasuk Fira. Semua sehat dan siap tempur!
Pertandingan dilaksanakan di aula balai kota. Rencananya,
ada dua puluh sekolah dasar yang bertanding. Tapi … kok, aulanya sepi, ya? Fira
bertanya-tanya bingung.
Setelah ditanya ke sana-sini, barulah diketahui peyebabnya
aula itu sepi. Ternyata, sebagian besar peserta mengundurkan diri karena
terserang wabah flu. Jadi yang menyatakan siap bertanding hanya tujuh sekolah.
Namun, sekolah lain yang ikut ternyata itu pun memaksakan diri ikut karena
sebenarnya beberapa muridnya ada yang flu. Tidak heran jika saat mereka
beryanyi terdengar jenis suara yang aneh, bahkan ada yang bersin
berulang-ulang.
Sebelum pengumuman, Fira yakin sekolahnya bakal menang. Ya,
tentu saja. Karena hanya tim paduan suaranya yang bagus.
“Pemenangnya adalah … SD Cahaya Iman!” teriak ketua dewan
juri.
Fira dan teman-temanya langsung bersorak. Sarah sebagai
dirijen maju menerima piala dan hadiah lainnya. Begitu turun, Sarah langsung
menyerahkan pialanya kepada Pak Herry Muslih.
“Ini pialanya buat Bapak. Soalnya, tanpa Bapak kami belum
tentu menang!” kata Fira.
Pak Herry Muslih menerima piala itu dengan tersenyum bangga.
Lalu, tiba-tiba …. “HATSYIH! HATSYIH!”
Fira dan teman-temanya kaget bukan kepalang mendengar suara
bersin Pak Herry Muslih yang menggelegar di seluruh aula. Bersin? Hehehe …,
sekarang giliran Pak Herry Muslih yang harus makan sup ayam bawang putih!
*
8
Sahabat yang Pelupa
Nenek Tomboi mengajak Fira mengunjungi seorang sahabatnya.
Sebelum berangkat, Nenek Tomboi memberi satu pesan penting kepada Fira.
“Namanya Manisha. Tapi, dia paling tidak suka dipanggil
Nenek, jadi kamu bisa memanggilnya Tante Manis,” ucap Nenek Tomboi.
Fira mengangguk. Lalu, dengan mobil centil yang dipinjam
dari papa, mereka berangkat menuju kediaman Tante Manis. Sahabat Nenek Tomboi
itu tinggal di sebuah apartemen seorang diri.
“Sebenarnya, Tante Manis punya dua anak yang sudah
berkeluarga. Tapi, mereka tinggal di luar Jawa, sementara Tante Manis tak mau
meninggalkan Jakarta. Jadi, Tante Manis memilih tinggal di apartemen,” urai
Nenek Tomboi di perjalanan.
Fira hanya manggut-manggut. Dia sudah tak sabar ingin
melihat tempat tinggal Tante Manis. Selama ini, Fira belum pernah melihat
langsung isi apartemen. Paling-paling hanya bentuk bangunannya dari luar. Kata
mama, tinggal di apartemen itu enak. Tapi, papa bilang, enak tinggal di rumah
biasa yang punya halaman sehingga bisa menanam pepohonan. Lagi pula, kamar
apartemen sempit untuk ditinggali lebih dari tiga orang.
“Kalau untuk ditempati sendirian mungkin enak. Tapi, kita
kan tak selamanya hidup sendirian. Bagaimana kalau ada saudara dari luar kota
yang ingin menginap?” tambah papa.
Hmmm … benar juga ya, kata papa, pikir Fira. Kadang, di
rumah yang besar saja, kalau sedang kedatangan rombongan saudara dari luar kota
sudah penuh sesak. Apalagi di apartemen!
Mobil yang dikendarai Nenek Tomboi masuk ke pelataran sebuah
kompleks apartemen. Mereka melewati pos pemeriksaan terlebih dahulu. Dua orang
memeriksa bagasi sampai kolong mobil. Seorang berseragam kemudian menanyai
maksud kedatangan mereka. Setelah Nenek Tomboi menjelaskan, petugas itu
langsung memberi petunjuk tempat parkir.
Di kompleks itu ada dua gedung tinggi berlantai sepuluh.
Dari tempat parkir, Fira melihat lapangan tenis dan kolam renang. Nenek Tomboi
kemudian mengajak Fira ke salah satu gedung. Lagi-lagi, seorang petugas
apartemen di dalam menanyai Nenek Tomboi.
“Maaf, apa sudah ada janji berkunjung?” tanya petugas itu
sambil terseyum.
“Sudah,” jawab Nenek Tomboi singkat.
Kemudian, petugas itu meminta Nenek Tomboi mengisi buku
tamu. Fira menarik napas. Repot juga mau berkunjung ke apartemen.
“Tidak apa-apa. Ini demi keamanan,” bisik Nenek Tomboi
seolah mengerti kejengkelan Fira.
Fira kemudian diajak Nenek Tomboi naik lift menuju lantai
sembilan. Ke luar dari pintu lift, Fira masih harus menyusuri lorong apartemen
itu. Sampai akhirnya, di sebuah ruang yang pintunya sedikit terbuka.
“Assalamu `alaikum!” Nenek Tomboi mengucapkan salam sambil
membuka pintu itu.
Fira mengikuti Nenek Tomboi masuk. Seperti Nenek Tomboi,
Fira juga terkejut ketika melihat isi ruangan tamu yang berantakan. Lebih
berantakan dari kamar Bang Fadil. Pintu yang terbuka dan ruangan tamu yang
berantakan! Jangan-jangan … mungkinkah ada pencuri masuk?
“Ssst …!” Nenek Tomboi memberi kode kepada Fira agar tak
menimbulkan suara. Nenek Tomboi memasang posisi sigap. Ya, Nenek Tomboi juga
mencurigai ada yang tak beres di ruangan itu?
Bagaimana mungkin ada pencuri di tempat yang penjagaan
keamanannya sangat ketat begini? pikir Fira.
Tiba-tiba, terdegar suara yang mengejutkan mereka dari
satu-satunya kamar.
“Mmmbbbppp … aduhh …!”
BRUK!
Nenek Tomboi segera menerobos masuk kamar. Fira sudah
membayangkan Tante Manis yang tengah disumpal mulutnya dan diikat tangannya
oleh pencuri yang masuk. Tapi, begitu masuk ke kamar itu, Fira malah menemukan
Tante Manis sedang tengkurap di lantai berkarpet. Di dekat muka Tante Manis,
ada potongan donat yang terlempar dari mulut. Yang mengherankan, kamar itu pun
berantakan!
“Aduh, maaf! Sudah datang rupanya?!” kata Tante Manis sambil
berdiri. Tubuh Tante Manis lebih gendut ketimbang Nenek Tomboi. Bisa ditebak,
pasti Tante Manis doyan makan.
Nenek Tomboi memeluk hangat Tante Manis. Kemudian, giliran
Fira menyalami Tante Manis.
“Penyakit lupanya makin parah, ya? Itu pintu, kok, dibiarkan
terbuka?” tegur Nenek Tomboi.
“Astagfirullah! Iya, tadi ada tukang cuci yang mengambil
pakaian kotor. Karena aku sedang buru-buru, pintunya lupa kututup rapat.
Duduklah. Aku buatkan ….”
“Enggak usah repot-repot. Sekarang, jelaskan dulu kenapa
ruang di sini semuanya berantakan?” cegah Nenek Tomboi.
“Oh … ini karena kamu mau datang.”
Lho, mau kedatangan tamu kok, malah berantakan? Fira
bertanya heran dalam hati.
“Masih ingat enggak, dulu kamu pernah memberi hadiah jam
beker ayam?” lanjut Tante Manis.
“Hmmm … ya! Itu sudah lama sekali. Tiga puluh tahun lalu!”
“Nah, biar begitu aku masih menyimpan. Aku tuh, ingin
menunjukkan padamu lagi jam beker itu. Jadi, kamu senang karena sahabatmu itu
tetap merawat setiap benda yang kamu berikan,” kata Tante Manis.
“Lalu, apa hubungannya dengan ruangan yang berantakan ini?”
“Aku bingung mencari jam beker itu. Aku masih ingat tiga
hari lalu masih memainkannya, tapi lupa menyimpannya,” jelas Tante Manis.
“Oooh …,” Fira dan Nenek Tomboi memonyongkan mulutnya
kompak.
“Mumpung sekarang ada mantan polwan, aku bisa minta bantuan
sekalian mencarikan jam beker itu,” ujar Tante Manis.
Nenek Tomboi tersenyum. “Langkah pertama, kamu harus
mengingat benar saat-saat terakhir dengan jam beker itu. Biar jelas, jam itu
hilang atau dicuri .…”
“Justru itu! Aku lupa!” Tante Manis menggaruk-garuk
kepalanya yang ditumbuhi rambut putih.
“Aku sudah bilang, seharusnya kamu membuat catatan biar
enggak lupa. Ya, sudah, sekarang kita cari ulang dari kamar!” putus Nenek
Tomboi.
Mereka pun masuk ke kamar. Sementara itu, Fira mengitari
ruang tamu yang menyatu dengan dapur. Dia ikut mencari kalau-kalau ada tempat
yang terlewat. Sampai akhirnya, Fira melihat bagian tembok yang ditempeli
telepon. Tembok itu penuh coretan. Mungkin, karena buku catatannya habis, Tante
Manis suka mencatat hal-hal penting di tembok saat menelepon.
Fira terpaku ketika membaca tulisan tangan di tembok itu.
Pak Joko, Jam Beker, 13.00!
Wah, ini pasti ada hubungannya! pikir Fira. Dia buru-buru
menyusul ke kamar. “Aku tahu di mana jam beker itu sekarang!” teriak Fira
kemudian.
“O, iya? Di mana ketemunya?” tanya Nenek Tomboi.
“Di tembok.”
“Di tembok? Kok, bisa?”
“Aha!” teriak Tante Manis kemudian. “Tembok telepon, kan?”
Mereka kemudian pindah ke tembok telepon. Fira menunjuk
catatan di tembok. Menurut Nenek Tomboi, itu namanya petunjuk.
“Ya, sekarang aku ingat. Tiga hari lalu, ketika aku
melihat-lihat jam beker itu, tahu-tahu bagian jarum detiknya lepas. Aku lantas
menelepon Pak Joko, tukang servis jam, datang kemari. Kemudian, Pak Joko
memeriksa jam itu. Katanya, ia harus membawa pulang untuk membetulkannya. Lalu,
aku menelepon kemarin, katanya Pak joko akan mengantar jam, beker itu hari ini,
pukul satu siang! Ya, aku lupa hal itu
….”
Nenek Tomboi mendengus. cuma gara-gara pelupa, seluruh
ruangan bisa jadi berantakan!
“Kalau pukul satu siang, berarti semenit lagi, dong!” seru
Fira.
Benar saja. Tahu-tahu terdengar bunyi bel berbunyi. Ketika
Tante Manis membuka pintu, ternyata yang datang Pak Joko sambil membawa jam
beker yang sudah diperbaiki.
“Waduh, kok berantakan begini, ya?” Pak Joko juga heran
melihat ruangan yang acak-acakan.
Akhirnya, acara hari itu adalah merapikan ruangan apartemen
yang ditempati Tante Manis. Baru kemudian mereka pesta makan pizza. Hmmm …,
kalau urusan makanan sih, Tante Manis enggak akan pernah lupa!
*
9
Penghuni Rumah Hantu
Murid baru di kelas lima menarik perhatian Fira. Anak
perempuan bernama Winda itu nyaris tidak pernah berkata sedikit pun, kecuali
bila seseorang bertanya padanya. Itu pun dijawabnya hanya sepotong kata.
Selebihnya, cuma kepalanya yang menggeleng dan mengangguk.
“Sepertinya dia enggak suka sekolah di sini,” lapor Yuli
yang baru saja mencoba mengajak Winda bicara, tapi gagal.
“Pasti ada sesuatu yang membuatnya begitu. Aku jadi
penasaran, nih. Di mana anak baru itu sekarang?” tanya Fira.
“Di belakang. Dekat kebun sekolah,” jawab Yuli.
Fira langsung berjalan ke kebun belakang gedung sekolah.
Benar saja. Fira menemukan Winda tengah duduk sendirian di atas bangku kayu.
“Hei, ngapain bengong sendirian? Nanti digodain setan, lho!”
sapa Fira sambil mendekat.
Tiba-tiba, mata Winda membelalak kaget. Tapi, setelah
melihat sekelilingnya, ia tampak tenang. Apalagi yang datang hanyalah Fira.
“Gara-gara kamu menyendiri terus selama istirahat,
teman-teman jadi merasa bersalah, lho. Mereka khawatir ada perkataan mereka
yang membuatmu tersinggung,” lanjut Fira.
Winda memandangi Fira. “Teman-teman enggak ada yang salah,
kok. Maaf ya, kalau sikapku kurang menyenangkan kalian. Soalnya …,” Winda
memotong kalimatnya ragu.
“Kenapa? Rahasia, ya.
Tenang, aku enggak akan bilang ke siapa-siapa, kok,” desak Fira ingin tahu.
“Karena aku sangat ketakutan tinggal di rumah baru yang
ditempati keluarga kami. Di rumah itu … ada … hantunya!”
Fira melongo. “Hantu? Kayak apa hantunya?” tanyanya
kemudian.
“Hantu yang bisa menampakkan diri jadi manusia. Dia sangat
sering muncul menyerupai … aku,” jawab Winda.
Fira melongo lebih lebar. “Sudah berapa kali kamu
melihatnya?”
”Sering. Pokoknya, sejak aku mengisi rumah itu seminggu
lalu.”
“Dia mengganggumu?”
“Sebenarnya sih, enggak. Hantu itu hanya menampakkan diri.
Tapi, biar bagaimanapun, aku tetap saja takut.”
Fira berpikir sebentar.
“Pasti kamu enggak percaya. Kalau pengin bukti, nanti pulang
sore main saja ke rumahku.”
“Boleh, ya? Nanti, aku datang bersama teman-teman yang lain.
Winda buru-buru menggelengkan kepala. “Kamu tadi udah janji,
bakal menjaga rahasiaku ini!”
Bel berbunyi. Mereka segera masuk kelas. Penghuni kelas lima
berusaha mengorek keterangan dari Fira. Namun, Fira memegang teguh janjinya.
Setelah sekolah bubar, Winda memberika alamat rumahnya,
lengkap dengan nomor telepon. “Khawatir kalau kamu nyasar,” katanya.
“Aku datang pukul dua, ya! Setannya kalau siang mau nongol,
kan?’
“Iya. Mau!”
**
“Sebenarnya, setan itu ada apa enggak sih, Nek?”
Fika bertanya setelah makan siang kepada Nenek Tomboi.
“Dalam Al-Quran, kan, dijelaskan ada,” jawab Nenek Tomboi.
“Apa kita bisa melihatnya?”
“Dulu, waktu Nenek masih kecil diajari cara melihat setan.”
“Oya? Gimana caranya?”
“Ambil arang, lalu, kita coretin wajah kita dengan arang
itu. Kalau wajah kita udah tercoreng, kita tinggal menghadap ke cermin ….”
“Setannya kelihatan ya, Nek?”
“Hihihi … sebenarnya bukan setan. Tapi, bayangin kita
sendiri yang jelek karena dicoret arang. Konon, wajah setan seperti itu …
hihihi ….”
“Uuuh, Nenek. Fira tanya serius, jawabannya bercanda.”
“Habisnya, Fira nanya soal setan, sih. Nenek kan, bukan
temennya setan.”
“Idih, siapa yang bilang begitu …. Kalau memang Nenek enggak
tahu, kan, tinggal bilang aja enggak tahu.”
Nenek Tomboi bingung melihat Fira bersiap-siap hendak pergi.
“Mau pergi ke mana panas-panas begini?” tanya Nenek Tomboi.
“Mau ke rumah teman baru. Mau melihat hantu ….”
**
Letak rumah Winda lumayan jauh dari rumah Fira. Tapi, Fira
bisa mencapainya hanya dengan sekali naik angkot. Begitu tiba di teras rumah,
Fira langsung disambut Winda ramah.
Rumah Winda terbilang besar, dengan model seperti rumah
peninggalan Belanda. Pintu dan jendelanya lebar. Tangga menuju ke lantai dua
juga terbilang lebar.
“Duduk dulu, Fira. Aku ke dapur dulu bikin minuman buat
kamu,” pinta Winda di ruang tamu.
“Enggak usah repot-repot. Sirup jeruk pake es di gelas yang besar
aja, Win,” timpal Fira.
Winda meninggalkan Fira sambil tersenyum. Sementara Fira
duduk sambil memerhatikan isi ruangan. Mata Fira terbelalak ketika melihat
Winda menuruni tangga sambil memainkan biola.
“Lho, kamu kok, ada di atas? Bukannya tadi masuk dapur?
Cepat banget sih, kamu ganti baju?”
Winda tak menjawab. Dia malah kembali ke loteng sambil terus
memainkan biola. Sedetik kemudian, muncul Winda melalui pintu depan berjalan
sambil menunduk.
“Win … da?” Fira gemetar.
Winda tak menjawab. Ia masuk ke salah satu kamar. Belum
habis rasa heran Fira, Winda masuk sambil membawa gelas minuman untuk Fira.
“Kenapa mukamu pucat, Fira? Ah … pasti hantu itu sudah
menampakkan diri, ya?” tanya Winda.
Fira tak langsung menjawab. Benarkah itu hantu? Fira berdiri
sebentar melihat dinding, seolah hendak membuktikan hantu-hantu tadi tak akan
nongol dari dinding. Kemudian, ia berjalan ke jendela rumah dan memerhatikan
pemandangan di luar. Keningnya berkerut ketika melihat pakaian yang berjajar di
tali jemuran.
“Sekarang kamu percaya, kan, di rumah ini ada hantunya. Itu
sebabnya aku jadi takut. Hmmm … kira-kira bagaimana menangkap hantunya, ya?”
tanya Winda.
Fira tertawa kecil. “Hantu itu enggak perlu kamu usir,
karena memang enggak ada hantu di rumah ini. Aku tahu, kok, kamu pasti membuat
sandiwara seolah di rumah ini ada hantunya, kan? Sandiwara itu kamu buat dengan
saudara-saudaramu. Kalian pasti kembar tiga, kan?”
Winda tercengang. Dia tak menyangka permainan rahasianya
terbongkar dengan mudah oleh Fira. Dia lantas memberi isyarat dengan bertepuk
tangan. Dua saudara kembarnya muncul. Saat mereka berjajar bertiga, wajah
mereka tampak persis. Winda pun mengenalkan Fira dan dua saudara kembarnya,
Windi dan Wendi.
“Bagaimana kamu tahu kami kembar tiga?” tanya Winda
kemudian.
“Sebenarnya ada dua petunjuk, sih. Pertama, di tembok rumah
kalian enggak ada foto keluarga. Tapi, aku menemukan paku untuk mengaitkan
bingkai foto. Jadi aku mengira, kalian sengaja menyembunyikan anggota keluarga
kalian. Lalu, aku berjalan ke jendela dan melihat ke tiang jemuran. Di sana,
aku melihat tiga baju dengan model dan ukuran yang sama sedang dijemur.
Biasanya, cuma orang kembar yang demikian,” jelas Fira.
“Ooo …,” tiga saudara kembar itu memberi komentar kompak.
“Ngomong-ngomong, mengapa kalian tidak satu sekolah?” tanya
Fira kemudian.
“Ibu kami yang mau. Tapi, kami sih senang aja. Jadi, kami
bisa ngerjain teman-teman baru kami. Sejauh ini, udah ada tiga orang yang lari
terbirit-birit dari rumah ini,” jelas Winda.
“Untung aku enggak.”
“Tapi, kalau bisa jangan bocorkan pada teman-teman yang
lain. Soalnya, aku masih pengin ngerjain yang lain.”
“Oke. Itu urusan gampang. Cuma aku suka lupa menyimpan
rahasia kalau sehari saja enggak makan cokelat.”
“Huuuh, dasar!” ledek Winda dan dua kembarannya sambil
cekikikkan.
**
10
Teman Aneh
Dua minggu lagi, Fira akan merayakan ulang tahunnya yang
kesepuluh. Papa menawarkan Fira mengundang teman-temannya berpesta di rumah.
Tapi, Fira menolak.
“Enggak usah pesta, Pa. Gimana kalau kita sekeluarga
jalan-jalan saja?” kilah Fira sambil memberi usul.
Fira teringat beberapa temannya di kelas yang harus
membongkar tabungan untuk membeli kado jika diundang ke pesta ulang tahun.
Padahal, tabungan mereka tak seberapa. Sementara, kalau datang ke pesta ulang
tahun tanpa membawa kado atau hanya memberi kado yang murah, bisa-bisa diledek
teman-teman lainnya.
“Mama setuju. Sudah lama kita enggak piknik keluarga,”
timpal mama disusul anggukan Nenek Tomboi dan Bang Fadil.
Fira bersorak senang. Giliran Papa dan Mama yang sibuk
merancang acaranya. Akhirnya, diputuskan merayakan ulang tahun Fira dengan
menginap di sebuah vila di kawasan Puncak, Jawa Barat.
Manusia punya rencana, namun Allah Maha Berkehendak.
Sehari menjelang keberangkatan di Puncak, tiba-tiba Fira
sakit. Sakit yang aneh. Fira merasa kepalanya sakit, tubuhnya demam, dan
mukanya pucat. Mama malah kebingungan ketika mengetahui rambut Fira juga rontok
dan menipis. Karuan Fira langsung dibawa ke rumah sakit paling bagus.
Fira sendiri tak mengerti penyebab sakitnya. Yang diingat,
sebelum sakit ia mengikuti pelajaran olah raga bermain sepak bola di lapangan.
Matahari saat itu bersinar terik, tapi Fira tak peduli. Ia ikut main sepak bola
dengan anak-anak lelaki. Tapi, sepulang sekolah Fira merasa pusing, hingga
akhirnya bertambah parah.
Dalam keadaan tak sadar, Fira masuk dengan tempat tidur
dorong ke sebuah ruangan di rumah sakit. Ia sempat melihat wajah papa, mama,
Bang Fadil, dan Nenek Tomboi panik dan berduka. Setelah itu … GELAP!
Fira tak tahu berapa lama ia pingsan ataupun apa yang
terjadi selama pingsan. Tapi saat membuka mata, Fira melihat wajah orang-orang
yang disayanginya tampak gembira.
“Alhamdulillah ….”
“Subhanallah ….”
Fira ikut bersyukur karena dipertemukan kembali dengan
orang-orang yang mencintainya. “Apa yang terjadi, Pa? Fira sakit apa?” tanya
Fira kemudian.
“Fira baik-baik saja. Semua sudah diperiksa dokter. Kata
dokter, Fira tak boleh terlalu capek. Lalu, bagian kepala Fira sangat sensitif,
jadi tak boleh kena sinar matahari secara langsung ataupun racun-racun udara.
Makanya, sejak saat ini kepala Fira harus ditutup,” jelas papa.
Meski agak membingungkan, Fira berusaha mengerti keterangan
papa.
“Nah, ini sudah Nenek siapkan penutup kepalanya. Jilbab-jilbab
cantik yang pasti cocok denganmu,” lanjut Nenek Tomboi sambil memamerkan
setumpuk jilbab di atas lemari kecil di
samping tempat tidur Fira.
“Jadi mulai sekarang, Fira harus terus pakai jilbab, ya?”
“Kalau di rumah ya enggak usah. Tapi, kalau di luar rumah,
apalagi di tempat terbuka seharusnya dipakai. Ini juga berdasarkan saran
dokter,” jelas mama.
“Tenang aja, kamu tetap cantik, kok, biarpun pakai jilbab.
Tambah cantik malah. Lihat saja mama sama nenek, tambah cantik setelah pakai
jilbab, kan?” sela Bang Fadil.
Fira tersenyum sambil mengangguk. “Lalu, kapan Fira boleh
pulang? Bukankah besok Fira ulang tahun?”
Semua di depan Fira saling berpandang. Akhirnya, papa yang
bicara.
“Fira, kamu baru saja pingsan selama tiga hari ….”
“Hah!” Fira ternganga.
**
Fira masih harus berobat jalan ketika kembali ke rumah. Dia
masih belum boleh masuk sekolah karena harus istirahat dan menyesuaikan dengan
kondisi kesehatannya. Fira menghabiskan waktunya dengan membaca. Tapi kalau
sudah bosan, Fira sering duduk melamun di tepi jendela.
“Bagaimana aku nanti, ya? Apakah kesehatanku akan memburuk?
Apakah teman-temanku akan menjauhiku?” Begitu Fira melamun.
Lamunannya sering terlalu jauh. Ia membayangkan ada seorang
anak perempuan yang datang menemaninya. Anak perempuan yang lincah
sepertinya.
Fira baru berhenti melamun jika ada yang memergokinya. Atau
karena teman-teman sekelas dan juga anggota paduan suara datang menjenguknya.
“Gimana rasanya pingsan selama tiga hari?” tanya Winda yang
datang bersama dua kembarannya.
“Enggak terasa apa-apa. Cuma, rugi juga. Soalnya, aku enggak
tahu rasanya ulang tahun yang ke sepuluh. Mungkin akulah satu-satunya anak
termalang di dunia yang tidak tahu apa-apa yang terjadi pada hari ulang tahun
yang ke sepuluh.”
“Berarti kamu enggak dapat ucapan selamat dan kado tepat
pada hari ulang tahunmu, ya?” tanya Windi, kembaran Winda.
“Ssst … jangan bikin Fira sedih, dong. Kita ke sini, kan,
untuk menghibur dia,” tegur Wendi, kembaran Winda yang lain.
Fira tersenyum. “Enggak apa-apa, kok. Aku juga dapat hadiah
dan ucapan begitu sadar dari pingsanku. Bahkan, aku dapat hadiah jilbab-jilbab
cantik dari nenekku.”
**
Malam telah larut. Di tengah tidurnya, tiba-tiba Fira
terbangun. Telinganya menangkap suara yang memanggil namanya.
“Fira … Fira … aku datang!”
Siapa itu? Fira bingung sambil memandang sekeliling
kamarnya.
“Aku di sini!”
Fira langsung melihat ke sumber suara. Betapa terkejutnya ia
ketika melihat sesosok mahkluk asing tengah asyik duduk di atas lemari.
Wajahnya secantik boneka Barbie, dengan rambut pirang lurus panjang. Bajunya
seperti peri-peri di buku dongeng yang sering dibaca Fira. Umurnya … mungkin
sebaya dengan Fira.
“Sssi … siapa … kamu?” tanya Fira agak ketakutan.
“Aku temanmu. Namaku Fantasya.”
Fira gusar. “Jangan macam-macam, ya! Itu kan, nama
belakangku!”
“Memang begitu namaku dari dulu,” jawabnya santai sambil
loncat dengan enteng ke lantai.
“Jangan mendekat padaku! Bagaimana kamu bisa masuk ke
kamarku?”
“Mudah saja. Karena kamu yang menyuruhku masuk,” katanya
sambil duduk di meja belajar dan memainkan ujung rambutnya.
Fira makin kesal. “Kamu bohong! Aku teriak, nih! Biar kamu
ditangkap dan dibawa ke kantor polisi.”
“Silakan ….”
“MAMAAA! PAPAAA!” teriakan Fira yang khas langsung membangunkan
seisi rumah.
Mama, Papa, Nenek Tomboi, dan Bang Fadil langsung mendatangi
kamar Fira.
“Kenapa, Fir?” tanya mereka serempak.
“Ada orang aneh masuk kamar Fira …,” jawab Fira sambil
memeluk Mama.
“Di mana?” tanya Bang Fadil.
“Itu, di kursi belajar Fira!” tunjuk Fira, namun wajahnya
tetap tertelungkup di tubuh mama.
“Enggak ada siapa-siapa di sini,” kata Bang Fadil.
Fira mengarahkan kembali pandangannya ke sekeliling kamar.
Makhluk asing itu tengah duduk di atas lemari sambil mencibir ke arah Fira.
“Itu dia!” seru Fira.
Semua bingung karena tak melihat sesuatu yang aneh di tempat
yang ditunjuk Fira. Mama segera memeluk Fira.
“Pasti kamu tadi enggak baca doa dulu sebelum tidur, ya?
Jadinya kamu sekarang mimpi buruk. Ayo Mama temani baca doa,” ajak mama.
Fira masih memandang ke atas lemari. Makhluk itu turun dari
lemari lalu menghilang menembus tembok. Tringngng …!
Fira pun menuruti permintaan mama membaca doa sebelum tidur.
Setelah itu, semua kembali meninggalkan Fira sendirian di kamar. Fira tak bisa
langsung tertidur. Tiba-tiba … pintu kamar terbuka. Nenek Tomboi masuk ke kamar
Fira pelan-pelan.
“Ssst … Fira belum tidur, kan?” tanya Nenek Tomboi.
“Belum, Nek. Fira masih bingung ….”
“Jangan bingung. Nenek mengerti hal yang baru aja kamu
alami. Dulu, Nenek juga pernah mengalaminya. Nenek mendapat seorang teman aneh.
Teman fantasi. Dia bisa datang dan pergi kapan saja. Dia juga bisa melakukan
apa saja. Itu sebabnya Nenek namakan dia Fantasya. Lalu, ketika papa dan mama
Fira minta nama untuk bayi yang lahir, Nenek berikan nama Fantasya. Maka
jadilah, nama itu nama belakangmu, Fira ….”
Fira manggut-manggut. Dia pernah mendapat penjelasan tentang
nama anehnya itu dari mama. Nama belakang Fantasya bukan karena mama melahirkan
di Dunia Fantasi, lho. Tapi soal makhluk … apa tadi namanya? Teman fantasi?
“Kamu enggak usah takut karena dia adalah temanmu. Dan,
nanti dia akan pergi dengan sendirinya. Selama dia belum pergi berteman saja
dengannya. Nenek dulu banyak melalui saat-saat bahagia dengan teman fantasi
Nenek itu.”
“Tapi, mengapa hanya Fira yang bisa melihat?”
“Karena dia datang untuk memenuhi ajakanmu jadi temanmu.
Hmmm … coba diingat-ingat, Fira pernah melamunkan punya teman seperti dia enggak?”
Fira mengangguk. “Tapi … Fira masih takut ….”
“Kok, takut? Nah, sekarang harus memberanikan diri. Ada
Nenek. Nanti, Nenek ajarkan cara menaklukkan teman fantasimu itu kalau dia
macam-macam.”
“Janji ya, Nek,”
pinta Fira sambil mengacungkan dua jarinya.
Nenek Tomboi mengacungkan dua jarinya. “Insya Allah, Nenek
janji,” timpalnya.
Fira tersenyum lega.
**
11
Ulah Fantasya
Hari ini adalah hari pertama Fira kembali ke sekolah. Fira
mulai memakai jilbab pelangi ke sekolah. Jilbab pelangi? Ya, Fira menyebutnya
demikian, karena dari selusin jilbab pemberian Nenek Tomboi, tak ada satu pun
yang sama warnanya. Jadi, berwarna-warni kayak pelangi Kalau semua dideretkan
di tali jemuran. Jika ke sekolah, Fira lebih suka memakai yang warna putih.
“Fira, kamu cantik sekali pakai jilbab,” puji Bu Aisyah,
guru agama Islam.
“Terima kasih, Bu. Ibu juga cantik,” timpal Fira sambil
melempar senyum untuk Bu Aisyah yang pagi ini memakai jilbab ungu, baju ungu,
rok panjang ungu, sepatu ungu. Hah?! Untung saja warnanya ungu muda. Coba ungu
tua, pasti seperti terong panjang. Maaf lho, bukan mengejek. Habis, Bu Aisyah
kalau pakai baju suka aneh. Dari jilbab sampai sepatunya satu warna.
Di kelas, Fira masih disibuki pertanyaan teman-temannya
tentang penyakitnya. Hmmm … ternyata semua teman Fira sangat sayang padanya.
Fira jadi terharu. Apalagi Sasti, teman sebangkunya, dengan baik hati
menyodorkan setumpuk kertas fotokopi catatan pelajaran yang tidak diikuti Fira.
“Sasti, terima kasih banyak, ya. Kamu memang baik banget,”
kata Fira.
“Sama-sama. Itu di bagian atasnya ada kuintasi fotokopinya.
Aku kemarin pake uang kas kelas kita. Jadi, nanti kamu ganti saja ke bendahara
kelas, ya,” timpal Sasti.
Fira menelan ludah. Dikiranya, Sasti yang membayar semua
fotokopian itu. “Iya, nanti aku ganti. Kalau ada yang enggak aku mengerti,
boleh aku tanya kamu, ya?!” lanjutnya.
“Boleh. Satu pertanyaan seribu rupiah, ya ….”
Hah! Fira terbelalak. Kok, Sasti jadi perhitungan gitu, sih?
“Hehehe … enggak kok. Aku becanda. Kamu serius begitu
sekarang?!” Sasti tergelak nakal.
Iiih … Sasti norak, deh! Fira hampir saja menyangka Sasti
sudah berubah jadi anak pemungut pajak. Benar-benar pagi yang menjengkelkan.
Pelajaran pertama hari ini adalah matematika. Bu Fitri
mengajar seperti biasa. Tapi, kejadian tak terduga dialami Fira.
Saat Bu Fitri mengajar, tiba-tiba saja Fantasya muncul. Dia
berubah bentuk menjadi kembaran Bu Fitri. Hanya saja pakaiannya berbeda.
Fantasya berdandan seolah ibu-ibu yang mau pergi tidur.
“Fira, kenapa cekikikkan? Tidak ada yang lucu, bukan?” tegur
Bu Fitri.
“Maaf, Bu.”
“Seharusnya kamu lebih konsentrasi di kelas. Sudah sebulan
kamu tidak masuk,” tambah Bu Fitri.
“Baik, Bu.”
Fira berusaha tak melihat Fantasya. Tapi, Fantasya tak
menyerah. Dia terus berusaha menarik perhatian Fira.
“Ingat, untuk menghindari teman khayalanmu itu, kamu jangan
pernah meladeninya,” pesan Nenek Tomboi yang selalu diingat Fira.
Bu Fitri memberi soal ulangan mendadak lima belas menit
sebelum pelajarannya berakhir. Untung Fira tadi memerhatikan penjelasan Bu
Fitri. Maka, ketika Bu Fitri menulis lima soal di papan tulis, Fira hanya
tersenyum kecil.
“Salah, tuh!” tiba-tiba terdengar suara di samping Fira.
Fantasya berdiri sambil tersenyum.
Fira tak menanggapi. Dia terus mengerjakan soal ulangan.
“Aku bilang salah, malah enggak percaya. Coba periksa lagi!
Tuh, salah … juga.”
“Ssst … diammm!” hardik Fira.
“Fira, kenapa? Waktu mengerjakan hanya sebentar. Jangan
berisik,” tegur Bu Fitri.
“Maaf, Bu …,” Fira kesal karena hari ini terus kena tegur.
Dia pun melanjutkan menyelesaikan ulangannya.
Tepat bunyi bel berbunyi, semua murid diminta mengumpulkan
lembar jawaban. Fira pun mengumpulkan, meski soal terakhir belum terjawab
tuntas.
***
Bel istirahat berbunyi. Fira semula malas ke luar kelas.
Tapi begitu melihat Fantasya, buru-buru Fira bermain di teras kelas. Biasanya
teman-temannya duduk-duduk sambil membaca. Ada juga yang main teka-teki atau
sekadar ngobrol.
“Fira, kita main, yuk!”
Fira menoleh. Dilihatnya Fantasya berjalan di sampingnya.
“Kamu dulu yang minta aku datang. Sekarang, aku dicuekin …
hiks,” Fantasya bersedih.
Fira malah mendekati tiga temannya yang sedang main
teka-teki.
“Tikus apa yang kakinya dua?”
“Itu sih, gampang! Pasti Mickey Mouse.”
“Kalau bebek yang kakinya dua?”
“Itu juga gampang! Pasti Donald Bebek.”
“Hahaha …. Salah! Semua bebek kakinya memang dua!”
“Sekarang, giliran aku. Bakteri sama cacing lebih kecil
mana?”
“Ya, jelas bakteri.”
“Salah. Kecil cacing. Soalnya, si cacing ada di perut
bakteri.”
Fira ikut tersenyum. Tiba-tiba, dia mendengar suara isak
tangis.
“Kamu jahat! Kalau begitu aku pergi lagi saja!” ancam
Fantasya.
Aku harus kuat, aku tidak boleh kasihan padanya, kata Fira
dalam hati.
Tring!
Tiba-tiba, Fantasya menghilang.
Fira bernapas lega. Alhamdulillah ….
Mungkin … mungkin saja kelak Fantasya akan hadir kembali.
Tapi, Fira tak akan memilih bermain dengan teman khayalannya itu. Fira lebih
suka bermain dengan teman beneran. Lagi pula, Fira masih punya Nenek Tomboi
yang menyenangkan!
*****
(selesai edit 23 januari 2006)
Komentar untuk Cerita Fira Fantasya:
“Whuaaa … bagus banget! Ceritanya asyik dan memang
berfantasi. Banyak tokoh-tokoh yang lucu-lucu dan menarik, terutama si Nenek Tomboi
dan Tante Manis itu! Kak Benny pintar ya, bikin cerita yang berfantasi!”
-Izzati, penulis Hari-Hari di Rainnesthood-
Jangan lupa kasih komentar ya ...
ReplyDeleteTerima kasih sudah membaca.
Waw, keren
ReplyDeleteBagusnya. Enak deh bacanya
ReplyDeletewaduh, keren nih idenya
ReplyDelete