“Farah!
Jangan lewat sana!”
Aku
menengok. Shirley berlari mendekatiku dengan napas tersengal.
“Tadi,
aku lihat Dave dan gerombolannya di sana,” bisik Shirley. Kulihat jepit berbentuk
capung di rambutnya bergoyang. Pagi ini, pasti dia membayangkan dirinya seorang
Putri Capung.
“Biar
saja. Aku tidak takut. Aku harus buru-buru ke kelas sebelum Mrs. Angel
menghukumku.” Aku melanjutkan langkahku.
Shirley yang juga tidak mau terlambat masuk kelas langsung mengekor. Kami menyusuri lorong lantai satu menuju sayap kiri bangunan sekolah yang luas.
Dave
adalah siswa kelas enam yang menyebalkan. Tubuhnya kurus seperti gagang sapu
nenek sihir. Dia anak seorang multimiliuner. Mungkin orangtuanya paling kaya
dari semua orang kaya di Winston International School.
“Hai,
Pesek!” Dave langsung mengejek begitu melihatku. Dia berdiri di depan kelasnya.
Hanya beberapa meter sebelum pintu kelasku.
“Pesek!
Pesek!” beberapa anak lelaki di dekat Dave ikut meledek.
Ya, Allah … beri aku kesabaran. Kata ibu,
aku tidak pesek. Paling tidak, hidungku tidak sepesek ibu. Ya, walaupun tidak
semancung teman-temanku yang berdarah murni Inggris. Tapi sungguh, aku tidak
mau punya hidung seperti mereka yang justru menakutkanku.
“Anak
perempuan pendek, hidungnya pesek!” Dave makin kencang meledek.
DUG!
Entah
kapan tepatnya. Tahu-tahu kepalan tanganku bersarang ke hidung Dave. Karena
kerasnya, Dave sampai kesakitan. Dia malah lantas berguling-guling di lantai
sambil menutup hidungnya dan menjerit.
Sepuluh
menit kemudian ….
Aku
harus duduk tegak di depan Bapak Kepala Sekolah, Mr. Smith. Aku berusaha
menikmati pidato panjang Mr. Smith berjudul “Pentingnya disiplin, larangan
kekerasan di sekolah dan menghormati sesama teman”. Sebenarnya, judul itu
mungkin akan lebih panjang lagi kalau saja ayah dan ibu tidak buru-buru masuk
ke ruangan Mr. Smith.
Ibu
langsung menenangkanku. Bicara dalam bahasa Inggris sebentar, lalu memakai
bahasa Indonesia. Terus terang aku lebih suka mendengar ibu berbahasa
Indonesia. Meski aku lahir di London, memiliki ayah berkebangsaan Inggris dan
aku sendiri berwarga negara Inggris, tapi aku merasa sebagian diriku orang
Indonesia.
“Kamu
tidak apa-apa?” tanya ibu.
“Kurasa
Dave yang apa-apa, Bu,” jawabku. “Biar tahu rasa dia. Tadi Dave mengatai aku
pendek dan pesek.”
“Ibu
sudah bilang berulang kali, kamu tidak pendek dan pesek. Dia menghinamu karena
iri. Lihatlah kulitmu yang bagus. Mereka tidak punya kulit sepertimu. Matamu
biru seperti mata Ayah. Rambutmu perpaduan rambut Ibu dan Ayah. Semua yang ada
di dirimu merupakan perpaduan yang indah antara Ibu dan Ayah,” jelas ibu sambil
membetulkan letak kerudungnya.
Ayah
masih bicara dengan Mr. Smith. Dengan bahasa Inggris tentu saja.
“Baiklah
Mr. Edward, semoga kejadian ini tidak terulang lagi. Sampai jumpa!” Mr. Smith
menjabat ayah.
Ayah
dan ibu mengajak aku keluar ruangan Mr. Smith.
“Hari
ini, kamu tidak usah sekolah dulu. Bermain saja di rumah,” kata ayah kemudian.
“Apakah ini hukuman buatku
dari Ayah?” tanyaku.
“Dari
Ayah? Buat apa Ayah menghukummu? Ayah setuju sekali dengan apa yang telah kamu
lakukan. Anak lelaki yang berani meledek anak perempuan itu sama dengan
pengecut. Dan kamu berhak meninjunya. Hahaha …!”
“Ayah
ini bagaimana? Biar bagaimanapun, berkelahi itu tidak baik,” potong ibu.
“Aku
tidak berkelahi. Aku hanya memukulnya sekali,” kataku.
“Uuuh,
Ayah sama anak sama saja!” seru ibu sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Aku
dan ayah tertawa.
Oh
iya, aku harus bercerita sedikit tentang ayah. Namanya Mr. Sam Edward. Ayah
bekerja sebagai seorang direktur di sebuah perusahaan biro perjalanan wisata.
Dulu, hobinya jalan-jalan. Kalau pergi jalan-jalan, sering tidak
tanggung-tanggung tujuannya. Bahkan, sampai ke Indonesia. Itu sebabnya, ayah
bisa bertemu ibuku, lalu mereka menikah.
Ayahku tinggi besar, bermata biru dan
berkulit putih. Beliau sangat mencintai ibu, sehingga mereka menikah. Ayah mau
beralih agama menjadi seorang Muslim yang taat. Oh iya, ayah sendiri yang
meminta agar aku memanggil ayah, bukan daddy.
Hmmm …, tidak adil juga
kalau aku tidak bercerita tentang ibu. Menurutku, ibu adalah wanita tercantik
di dunia ini. Ibu masih sekolah sepertiku. Bedanya, ibu sekolah lagi untuk
mengambil gelar master di bidang komputer. Ibuku asli orang Indonesia, tepatnya
dari Bandung.
Ngomong-ngomong
seperti apa, ya, kota Bandung?
Ibu
dan ayah bilang aku pernah ke Bandung ketika umur delapan bulan dan dua tahun.
Jadi, aku tidak ingat apa-apa sekarang. Rencananya, baru tahun ini kami akan ke
Bandung lagi. Sekalian berlebaran dengan kakek dan nenekku. Biasanya sih,
setiap tahun kakek dan nenek yang datang ke London diajak Ayah.
Ah,
sudah ya. Aku tidak mau cerita tentang Bandung, kakek, nenek … biasanya aku
suka menangis. Dan aku benci menangis!
^-^
Keesokan harinya, aku sekolah seperti biasa.
Menjelang pintu kelas, aku melihat Dave dan teman-temannya di tempat yang sama
seperti kemarin. Hidungnya ditutup plester. Aku menghampirinya, untuk meminta
maaf. Tapi, Dave dan gerombolannya malah lari ketakutan.
“Dia kapok ditinju olehmu. Mudah-mudahan dia
tidak hanya takut mengganggumu, tapi juga anak perempuan lainnya,” komentar
Shirley.
“Sebenarnya,
aku sudah ingin menonjoknya sejak perkemahan musim panas tahun lalu. Kamu pasti
ingat, bagaimana Dave mengganggu kami yang Muslim saat shalat. Tapi, aku
berusaha sabar. Untung saja, Mrs. Angel melihat ulahnya, jadi Dave kena
hukuman,” kataku.
Sekolahku menampung banyak murid beragam
bangsa, meski sebagian besar adalah orang Inggris. Jadi, murid yang beragama Islam
memang bukan hanya aku. Ada beberapa murid berdarah (asli maupun campuran
sepertiku) Arab, Persia, Spanyol, dan Turki.
“Kurasa
dia tidak kapok dengan hukuman Mrs. Angel. Makanya, dia terus mengganggumu.
Baru setelah kamu tonjok, dia kapok. Hahaha!” Shirley tertawa. Mulutnya melebar
seperti bunga-bunga di musim semi ini.
Bel
tanda mulai belajar berbunyi. Hari ini, Mrs. Angel mengajar lagi di jam
pertama. Pelajaran matematika yang sebenarnya menyenangkan jadi menegangkan
kalau diajarkan Mrs. Angel. Terutama, bagi anak-anak yang malas belajar.
Hah?
Tapi, kok Mrs. Angel datang ke kelas bersama Mr. Smith? Apa aku akan dipanggil
lagi ke ruangan Mr. Smith?
Oh
… rupanya, ada seorang anak perempuan di belakang Mr. Smith. Anak
perempuan berkulit putih, berambut emas,
tinggi … dan tapi kenapa mukanya cemberut? Dia pasti cantik sekali, kalau saja
mau tersenyum.
“Murid-Muridku,
kenalkan ini anak baru di kelas kalian. Namanya Hamesha!” jelas Mr. Smith
singkat.
“Panggil
aku Esha,” lanjut anak baru itu.
Mrs.
Angel menyilakan Esha mengambil tempat duduk di kuris yang kosong. Tepatnya di
dekatku.
“Hai,
namaku Farah,” salamku ketika Esha duduk.
“Aku
tidak tanya!”
Ufh!
^-^
Benar-benar
Menyebalkan
Pelajaran olahraga selalu membuatku
senang. Apalagi sepak bola. Sepertinya semester ini, Mr. Robert akan membimbing
kami terus belajar sepak bola. Di Inggris, sepak bola memang jadi olahraga
favorit siapa pun. Baik lelaki maupun perempuan.
Mr.
Robert membagi kami menjadi dua tim. Anak lelaki dan perempuan dicampur. Shirley
senang sekali ketika tahu dirinya satu tim denganku.
“Tim
kita pasti menang. Kamu saja jadi kaptennya, Farah!” ucap Shirley yang langsung
disetujui teman-teman satu timku.
Aku
langsung menyusun timku. Kupilih Dean yang besar menjadi kiper. Shirley dan
Hugh di bagian belakang. Lainnya menyerang bersamaku.
Tim
lawanku dipimpin Thomas. Yang mengejutkan, Thomas memasang anak baru itu jadi
penyerang utama. Entah apa alasannya. Mungkin, Esha yang mengajukan dirinya.
Priiit! Mr. Robert meniup peluit!
Kami
mulai menendang bola. Lalu, semua yang berada di lapangan mulai bersigap.
Kadang tendangan kami terarah, kadang tidak. Sebagian dari kami memang belum
lihai bermain bola. Jadi, lebih banyak menendang semaunya. Yang penting keras.
Syukur-syukur bisa masuk ke gawang lawan.
Saking semangatnya kami bermain, kadang
permainan kasar terjadi. Ada yang menarik baju lawan, mendorong, bahkan ketika
aku sedang menggiring bola dengan cepat
… di saat aku mendekati kotak penalti, tahu-tahu ….
Auw! Tulang kakiku kesakitan. Aku
terjatuh karena kakiku dikait. Seseorang menghalangi lariku dengan curang dari
belakang. Bahkan, dia juga mendorongku. Saat aku menoleh, ternyata … Esha!
“Hei!
Kalau mengambil bola di kaki lawan, yang benar! Jangan curang!” seruku kesal
sambil berusaha berdiri walau nyeri.
“Siapa
yang curang?” tanya Esha tak menerima.
“YOU!” teriakku.
“Jangan
menuduh sembarangan. Kamu saja yang payah bisa sampai jatuh!” balasnya.
“Kamu
sengaja!”
“Kalau
tidak bisa main bola bilang saja! Dasar pesek!”
Arrrgggg! Mengapa selain Dave, ada orang
yang mengejek aku pesek? Apakah aku benar-benar pesek? Tidak! Aku tidak pesek.
Aku pernah melihat anak-anak Indonesia di kantor Kedutaan Besar Indonesia di
London. Hidungku jauh lebih mancung dari mereka. Ya, aku tidak pesek!
“Hentikan!
Ayo kalian berdua keluar dari lapangan!” teriak Mr. Robert.
Aku
menunduk lalu melangkah keluar lapangan. Shirley mendekatiku.
“Farah,
jangan pedulikan jika ada orang yang mangatakan hidungmu pesek. Percayalah,
mereka adalah orang yang tidak mengenal siapa kamu. Mereka tidak tahu kamu
pintar, rajin, menyenangkan ….”
“Thank you, Shirley.”
Aku
merasa lega dihibur Shirley. Kalimatnya seperti es krim yang meleleh di atas
kepalaku yang mendidih. Sebenarnya, aku kesal terhadap Esha karena mengait
kakiku, bukan karena mengatai hidungku.
Hm
…, anak baru yang menyebalkan!
Tim
sepak bolaku akhirnya menang tipis dengan skor 5-4. Kami terus membicarakannya
hingga di ruang ganti pakaian. Meskipun begitu, kami berusaha tidak mengejek
teman-teman kami yang kalah.
Obrolan
kami di ruang ganti tiba-tiba berubah jadi kacau, ketika terdengar suara
jeritan.
“TIKUS!!!”
“Aaaaah!”
“Auw!
Auw!”
Aku
terkejut. Bukan karena tikus, tapi karena jeritan teman-teman perempuanku. Juga
suasana yang mendadak tak beraturan. Tapi, di mana tikusnya?
“Itu!”
teriak Shirley sambil berdiri di atas kursi. Aku heran dengan Shirley. Dia
biasa akrab dengan kumbang yang paling menyeramkan, juga berbagai jenis ulat
daun yang benar-benar jelek. Tapi, mengapa dia seperti melihat monster dari
planet paling jauh ketika melihat seekor tikus.
Aku
mendekati tikus itu. Aneh, tikusnya tidak lari. Begitu kupegang, aku langsung
tahu itu cuma tikus mainan. Sekilas memang mirip tikus asli.
“Dasar
penakut semua!”
Aku
menoleh. Ternyata, Esha yang berkata. Sambil tersenyum sinis, ia kemudian
merogoh sesuatu dari locker-nya, lalu
melemparkannya ke kerumunan teman-temanku.
“Auw!”
jerit mereka.
Rupanya
tikus mainan lainnya. Itu artinya yang melempar tikus mainan tadi pun adalah
Esha.
“Jangan
ulangi perbuatanmu! Kamu tidak tahu, teman kita ada yang lemah jantung.
Bagaimana kalau dia pingsan?” tanyaku sambil mendekati Esha.
“Bukan
urusanku,” sahut Esha sambil pergi meninggalkan ruang ganti.
Kami
semua menarik napas.
“Seharusnya,
kan, kita-kita yang ngerjain dia karena anak baru. Kenapa malah jadi dia yang
ngerjain kita?” tanya Shirley.
“Anak
baru itu menyebalkan sekali!” sahut Bertha yang bertubuh gemuk.
“Ya,
benar-benar menyebalkan!” sahut lainnya.
Aku
yakin sekali akan ada perbuatannya yang lebih menyebalkan lagi. Karena
biasanya, murid-murid yang menyebalkan memang selalu menyebalkan. Mereka tidak
pernah kapok.
^-^
Aku tidak tahan menceritakan tentang anak baru itu
kepada ibu. Apalagi ibu kemudian menanyakan tentang kakiku yang memar. Ya, sampai
rumah aku baru merasakan nyeri di kakiku karena dikait saat main bola tadi.
“Pokoknya,
anak baru itu benar-benar menyebalkan. Bahkan, saat pulang sekolah tadi, dia
menempeli rambut Brandon dengan permen karet,” tuturku sambil membiarkan ibu
membaluri kakiku dengan krim.
“Laporkan
saja kepada kepala sekolah, biar dia dihukum,” saran ibu.
“Sudah.
Tapi, kepala sekolah tidak melakukan apa-apa. Memanggil ke ruangan beliau saja
tidak, apalagi menghukum. Kenapa, ya, bisa ada anak baru yang menyebalkan
seperti Esha?”
“Dulu,
waktu ibu masih sekolah sering juga menemukan anak-anak menyebalkan begitu.
Biasanya, mereka melakukan itu untuk mencari perhatian. Umumnya anak-anak yang
tidak pandai. Karena itu, mereka membuat ulah dengan kenakalannya agar mendapat
perhatian orang lain,” jelas ibu.
“Tapi,
Esha tidak bodoh. Tadi dia menjawab semua pertanyaan matematika yang sulit dari
Mrs. Angel. Ya, walaupun dengan gayanya yang menyebalkan.”
“Hm
… kalau begitu … mungkin dia sengaja membuat ulah, agar tidak disukai kamu dan
teman-temanmu. Juga agar tidak disukai guru-guru dan kepala sekolah.”
“Kenapa
begitu? Itu artinya dia tidak ingin disukai kami semua.”
“Mungkin
memang itu maunya. Sebabnya, karena dia tidak ingin sekolah di Winston.”
Aku
tertawa kecil. “Aku belum pernah mendengar ada orang yang tidak mau sekolah di
Winston. Sekolahku terkenal dan favorit banyak orang,” kataku.
“Iya,
Ibu tahu itu. Makanya, Ibu pilihkan Winston untukmu karena Ibu ingin kamu
sekolah di tempat yang terbaik.”
“Terus,
bagaimana dulu Ibu menghadapi teman-teman yang menyebalkan di sekolah,” tanyaku
walau aku yakin tahu jawabannya.
“Bersabar.
Jangan ladeni. Makin diladeni, akan makin berulah.”
Tuh,
benar, kan? Pasti ibu akan menjawab seperti itu. Berbeda sekali bila aku
bertanya kepada ayah. Pasti ayah akan menyuruhku menonjok hidung teman yang
menyebalkan.
Ibu menghela napas sebentar lalu melihat
jam. “Sudah masuk waktu Shalat Magrib. Shalat dulu, yuk!”
Aku
mengikuti ibu. Sebelum shalat aku mengirim SMS ke ayah yang masih di kantor agar
tidak lupa Shalat Magrib, dan berharap agar ayah bisa jadi imam saat Shalat
Isya nanti.
Setelah
Shalat Magrib berjamaah bersama ibu, aku berdoa sendiri. Sebuah doa khusus
kupanjatkan agar Esha bisa jadi anak yang menyenangkan mulai besok.
^-^
Dia Seorang Princess!
Aku
berangkat sekolah seperti biasanya diantar ibu. Masuk di gerbang Winston
International School, suasana sudah ramai. Sekolah ini memang sangat favorit.
Dan boleh disebut sekolah lengkap, karena mulai dari preschool sampai universitas ada dalam satu kawasan. Hanya berbeda
gedung.
Gedung
untuk anak sekolah dasar ada di utara. Sementara itu, untuk anak sekolah yang
lebih senior di selatan. Gedung universitas di bagian barat. Di timur merupakan
lokasi gedung olahraga yang komplet.
Saat masuk koridor, aku melihat Esha.
Buru-buru aku menyusulnya.
“Selamat
pagi, Esha,” sapaku saat berjalan sejajar dengannya.
“Hmmm
…!”
“Mengapa
kamu tidak membalas salamku?” tanyaku.
“Untuk
apa? Aku tidak minta kamu memberi salam kepadaku,” sergah Esha sambil terus
berjalan.
“Kamu
tidak suka kepadaku?”
“Tepatnya,
kepada semua orang di sini,” tegas Esha.
“Kenapa?”
“Karena
kalian menyebalkan.”
Aku
menelan ludah. Bukankah dia yang sebenarnya menyebalkan?
“Oke,
maafkan kami kalau telah membuatmu kesal,” kataku kemudian.
“Tidak
perlu.”
Kami
hampir sampai di depan pintu kelas enam. Kulihat Dave bersama anak lelaki
lainnya. Jumlah mereka makin banyak. Dan melihat mereka yang terus memandang ke
arah Esha, aku yakin sebentar lagi mereka akan melontarkan ejekan.
“Hei,
Pipi Besar! Pipi Tembem!” ledek Dave sambil tertawa.
Aku
melotot ke arahnya. Tapi, Dave tidak peduli karena matanya bukan tertuju kepadaku.
BUG!
Tahu-tahu
saja Esha maju dan langsung menonjok hidung Dave yang masih diplester. Dave
langsung berguling-guling sambil berteriak kesakitan.
Ya
… kalian pasti bisa menduga kejadian berikutnya. Dave harus masuk klinik, dan
Esha dipanggil ke ruang kepala sekolah. Karena aku bersama Esha, akhirnya aku
diminta ikut ke ruang kepala sekolah.
Aku
hanya sebentar berada di ruang Mr. Smith. Aku diminta menceritakan kejadian
tadi. Setelah itu, aku boleh kembali ke kelas.
Tapi, aku tidak langsung ke kelas. Aku menunggu di depan ruang Mr.
Smith.
Tak
lama lagi, pasti orangtua Esha akan datang dipanggil Mr. Smith. Nah, aku ingin
tahu seperti apa orangtua dari murid baru yang menyebalkan itu. Ups! Aku ralat. Dia tidak lagi
menyebalkan. Soalnya, dia sudah berani meninju hidung Dave.
“Tidak
bisa, Mr. Smith,” terdengar suara Miss Cathy, sekretaris Mr. Smith.
“Ya,
mereka pasti sibuk. Selalu begini kalau kita menerima seorang princess sekolah
di sini. Ada saja keonaran,” timpal Mr. Smith.
“Maaf.
Kita tidak boleh menyebutnya seorang princess. Bukankah begitu permintaan
orangtuanya?” Miss Cathy mengingatkan.
Hah?
Seorang princess?! Jadi, Esha adalah seorang putri kerajaan? Kerajaan mana, ya?
Yang jelas bukan di Inggris. Aku tahu siapa saja yang berhak menyandang gelar
princess di Inggris.
“Kalau
begitu, biarkan dia kembali ke kelas,” kata Mr. Smith.
Ups! Sebelum ketahuan, aku buru-buru
masuk ke kelas.
Hm
…, jadi Esha benar seorang princess. Princess Hamesha!
^-^
Saat istirahat, aku pergi ke ruang
perpustakaan. Aku menuju komputer yang memiliki jaringan internet. Siswa di
sekolah ini bebas memakai fasilitas yang ada di perpustakaan. Di sini tidak
hanya tersedia buku, tapi juga perangkat audio dan video. Sebenarnya, kalau
kita membawa notebook atau laptop,
kita bisa membuka internet gratis di mana pun di lingkungan sekolah. Karena
sekolah memberi fasilitas hotspot.
Aku
membuka mesin pencari Google. Lalu,
kuketik Princess Hamesha. Klik! Setelah
menunggu beberapa saat, aku menemukan beberapa situs yang memuat data tentang
Princess Hamesha. Ketika kubuka salah satunya, aku terkejut!
Ternyata,
Esha benar-benar seorang princess. Dia adalah putri dari Kerajaan Zapnaland. Hmmm
…, kerajaan yang namanya baru kukenal. Sebuah kerajaan kecil. Wow, ini penemuan
yang menghebohkan buatku.
Oke,
aku memang tahu beberapa orang princess, juga pernah bersalaman dengan mereka.
Tapi, memiliki teman dan sekelas dengan seorang princess baru kualami saat ini.
Norak, ya, aku? Tapi sungguh, aku dari dulu selalu membayangkan punya teman
seorang princess. Kalian pasti suka membaca dongeng-dongeng tentang princess,
kan? Kehidupan mereka di istana yang megah, pasti membuat kalian iri.
Hm
…, berhubung aku tidak mungkin mendadak menjadi seorang princess, jadi punya
teman seorang princess pun sudah membanggakan tentunya.
“Farah,
kamu sedang apa? Kok ketawa sendiri?”
Aku
kaget. Ternyata, Shirley sudah berada di belakangku. Tangannya membawa buku
ensiklopedi tentang serangga. Dia memang penggila serangga.
“Tidak
apa-apa,” kataku sambil menutup website
yang baru kubaca. Aku ingin menyimpan rahasia yang baru kuketahui ini. “Tadi
aku browsing internet tentang
serangga. Kubaca ada kupu-kupu jenis baru di Sulawesi.”
“Oh
itu. Aku sudah tahu. Bahkan yang paling baru, ada kumbang gajah ditemukan di
daerah Haiti,” timpal Shirley. “Kamu mau tahu? Ada, lho, kumbang ….”
Aku
menahan napas. Aku harus bersiap-siap mendengar ceramah panjang tentang
serangga. Salah aku juga memulai percakapan tentang serangga. Ya, biarlah,
asalkan rahasia Princess Hamesha tidak bocor.
Bagiku,
sangat menyenangkan bila aku punya rahasia dan bisa menyimpannya selama
mungkin. Aku bukan jenis orang yang suka berbagi rahasia.
^-^
“Sampai di park besok pagi, ya!”
Aku
mengangguk kepada Shirley. Setiap Sabtu pagi —kami hanya sekolah lima hari
dalam seminggu— kami punya kebiasaan datang ke taman— biasa kami sebut park. Shirley suka membawa sepedanya,
lalu mencari aneka serangga di taman. Aku sendiri lebih suka membaca.
“Aku boleh ikut?”
Aku
menoleh. Esha? Dia bicara kepadaku?
“Tentu
saja boleh. Datang saja ke park
sekitar pukul sembilan, di dekat air mancur,” aku langsung menyahut sebelum
Shirley mendahului. Kurasakan Shirley menyikutku pelan. Muka Shirley tampak
kesal. Shirley memang tak menyukai Esha, sama seperti teman lainnya di kelas.
Esha
mengangguk dan sedikit tersenyum.
“Aneh,
kenapa dia tiba-tiba mau ikut kita?” tanya Shirley setelah Esha pergi ke sebuah
mobil mewah yang menjemputnya. “Mudah-mudahan, dia sudah sadar dengan
kesalahannya selama ini.”
“Amin,”
sahutku sambil melangkah menghampiri mobil ibu yang menjemputku.
Esok
harinya, pukul sembilan aku sudah berada di park
‘menaiki’ skateboard-ku. Setiap Sabtu
dan Minggu, taman ini dua kali lipat ramainya dikunjungi orang. Ada yang datang
bersama keluarganya, bersama teman, dan ada juga yang bersama hewan piaraan.
Shirley
datang lima menit setelah aku. Dia datang dengan sepedanya, dan segala macam
benda untuk menangkap serangga. Terus terang, aku pernah memprotes Shirley.
“Kamu
ini penggemar serangga atau musuh serangga, sih? Kenapa, sih, harus sampai
menangkapi serangga? Biarkan saja dia bebas,” kataku entah berapa kali aku
ucapkan.
Shirley
hanya cengengesan tidak menanggapiku. Akhirnya, aku pun capai memprotesnya. Ya,
aku sering juga berharap agar Shirley suatu malam bermimpi dikerubuti belalang
afrika atau capung raksasa, biar dia kapok. Hmmm …, tapi sampai detik ini
keinginanku itu belum terkabul.
Tak
lama kemudian, aku melihat sosok Esha menuju taman sambil berlari. Dia memakai jeans sepertiku. Warnanya ungu muda.
Membuat Esha tampak lebih cantik dari biasanya. Tapi, wajahnya sama sekali
tidak memancarkan kecantikan. Dia kelihatan cemas dan tergesa-gesa.
“Hai,
Farah! Shirley!” sapa Esha sambil mendekatiku.
“Hai,
Esha. Kenapa kamu seperti tergesa-gesa begitu?” tanyaku heran.
“Hmmm
…, tidak apa-apa,” jawabnya mencoba berahasia. “Bisakah kita ke sebuah tempat
yang lebih tertutup dengan cepat?”
“Tentu saja! Naik saja di belakangku!” kata
Shirley.
Esha
langsung dibonceng oleh Shirley. Aku meluncur sejajar dengan papan rodaku.
Shirley membawa kami masuk ke bagian dalam taman, lalu melewati sebuah lorong
jembatan, dan akhirnya menembus ke sebuah jalan tua yang jarang dilewati.
“Wah,
asyiknya! Kamu pandai sekali bersepeda,” puji Esha setengah berteriak.
Aku
melihat Shirley tersenyum dengan hidung merah.
Esha
menoleh ke belakang cukup lama, membuatku penasaran.
“Ada
apa, sih?” tanyaku. Ternyata Shirley juga menanyakan hal yang sama.
“Aku
lagi dikejar-kejar komplotan penjahat,” jawab Esha.
“Kenapa
memangnya?” aku khawatir. Aku tahu Esha adalah seorang princess, pasti banyak
penjahat yang ingin menculiknya. Kemungkinan besar itu yang ditakuti Esha. Tapi
saat ini, aku harus pura-pura tidak tahu siapa diri Esha. Setidaknya sampai dia
sendiri yang mengaku.
“Aku
melihat mereka merampok sebuah toko. Lalu, mereka mengejarku sampai ke taman
tadi,” jelas Esha. “Tapi sepertinya, sekarang sudah aman.”
“Syukurlah
kalau begitu. Jadi, sekarang kita mau ke mana? Kalau ke taman nanti akan
bertemu penjahat-penjahat itu,” kata Shirley.
“Ke
rumahku saja,” ajakku.
Esha
berpikir sebentar. “Boleh saja. Aku juga ingin tahu rumah anak perempuan yang
jago main sepak bola,” kata Esha.
“Horeee!”
Shirley bersorak. Ya, tentu saja dia bersorak. Dia sudah lama kularang ke
rumahku. Habis, kerjanya hanya mengacak-acak kamarku. Dan dia paling suka
menghabiskan makanan di kulkas.
Kemudian,
kami berjalan ke rumahku melalui jalan-jalan kecil. Tiba di rumah, ibu dan ayah
menyambut kami dengan senang. Dan seperti biasa, ibu langsung menyiapkan
makanan khusus buat kami. Inilah sebenarnya acara yang disukai Shirley.
“Kamarmu
bagus, ya. Rapi. Banyak bukunya, jendela kamarmu …,” Esha memotong sendiri
ucapannya. Kulihat bibirnya bergetar dan wajahnya memucat.
“Kenapa?”
tanyaku.
“Lihat,
itu para penjahat itu! Dia masuk ke depan rumahmu,” kata Esha.
Aku
melihat ke bagian depan rumah. Iya, ada dua orang masuk dan disambut ayah.
Seorang lelaki dan seorang wanita dewasa. Mereka tampak rapi mengenakan jas
biru tua. Sama sekali tidak seperti perampok.
“Aku
harus kabur dari sini ….”
“Tenang
saja. Ayah tidak akan membiarkan penjahat itu menangkapmu,” kataku.
“Tapi,
bagaimana kalau dia membohongi ayahmu?”
tanya Shirley.
Ketakutan
Shirley beralasan. Ternyata, ayah ngobrol panjang dengan dua orang itu dan
mempersilakan dua tamu tak diundang itu duduk. Ayah lalu masuk ke kamarku.
“Esha,
dua pengawal pribadimu ingin memastikan kamu dalam keadaan baik-baik saja.
Mereka tidak keberatan kamu main di sini, tapi mereka tetap akan menjagamu
karena memang itulah pekerjaan mereka,” kata ayah.
Shirley
melongo. Aku juga.
Esha
mengangguk. “Baiklah. Sebenarnya, aku tidak suka dikawal,” kata Esha kemudian
dengan nada pasrah.
Ayah
pun kembali menemui dua orang tamu itu.
“Kamu
punya dua pengawal pribadi?” tanya Shirley bingung.
“Sebenarnya
….”
“Esha
katakan saja kalau kamu seorang princess,” potongku cepat.
Esha
terkejut. Shirley langsung menatapku.
Aku
langsung mengambil data-data yang kuambil dari internet dan kucetak. Semua
tentang Princess Hamesha.
“Jadi
… jadi ….” Shirley tak berhasil menyelesaikan kalimatnya.
“Ya,
aku memang seorang princess,” Esha akhirnya mengakui.
^-^
Di Zapnaland!
“Wah,
pasti enak ya, jadi princess?”
Aku
menyikut Shirley agar tak berlebihan terhadap Esha.
“Ya,
memang. Tapi juga sedikit menyiksa,” jawab Esha.
“Menyiksa?
Memakai pakaian bagus, punya pengawal pribadi, tinggal di istana? Ayolah. Aku
yakin, bahkan tidak ada seorang pun yang membiarkan keringatmu menetes karena
panas matahari.” Shirley bingung.
“Itulah
yang orang lihat. Tapi, ada hal lain yang tidak dilihat orang. Misalnya saja,
aku tidak bisa bebas ke tempat yang aku suka. Aku harus dikawal ke mana-mana
sebenarnya itu adalah suatu siksaan, aku jadi tidak bebas. Aku juga tidak bisa
sembarangan pergi, bahkan untuk mengunjungi temanku. Semuanya sudah diatur dan
harus sesuai dengan agenda. Bahkan, aku tidak bisa sekolah di sekolah yang aku
suka ….”
“Maksudmu,
kamu sekolah kita itu bukan pilihanmu?” tanyaku.
“Iya.
Terus terang saja begitu.”
“Memangnya
kenapa? Sekolah kita itu berkelas internasional, lengkap, terkenal, gurunya
hebat-hebat …,” tanya Shirley.
“Aku
tidak bilang sekolah kita jelek. Malah sangat bagus. Tapi juga sangat … mahal,”
jawab Esha.
“Mahal?
Kamu, kan, seorang princess? Masa sekolah kita dibilang mahal?” giliran Shirley yang bingung.
“Mahal
untuk ukuran rakyat di negeriku. Sebenarnya, aku lebih suka sekolah di
negeriku. Walaupun fasilitasnya tidak lengkap, tapi aku tidak perlu
menghambur-hamburkan uang milik rakyatku di sini. Bukankah sekolah di mana saja
sebenarnya sama?” tanya Esha.
Aku
hanya terdiam. Antara setuju dan tidak setuju dengan alasan Esha. Aku jadi
ingat cerita ibu tentang anak-anak di Indonesia dengan bangunan sekolah yang
hampir ambruk.
“Jadi,
karena kamu tidak suka di sekolah kita, makanya kamu cari gara-gara terus agar
dipulangkan?” tanya Shirley.
“Ya,
itulah salah satu cara yang aku lakukan. Aku ingin membuat pihak sekolah
jengkel, juga kalian. Biar aku dipulangkan dan sekolah di negeriku saja.
Termasuk aku kabur tadi karena aku ingin dianggap nakal. Aku lebih suka di
negeriku, bisa bersama orangtuaku dan rakyat negeriku.”
“Orangtuamu
tidak di sini?” tanya Shirley.
“Tidak.
Nanti siapa yang memimpin kerajaan? Aku tinggal bersama paman dan bibiku yang
menjadi seorang diplomat di sini. Lagi pula, kami punya pesawat jet kerajaan.
Orangtuaku bisa datang kapan saja aku mau.”
“Oh
ya?” Shirley makin melongo kagum.”Aku jadi ingin melihat negerimu. Apa, ya,
namanya? Zapnaland?”
“Iya,
Zapnaland,” sahutku.”Aku juga ingin melihat negerimu.”
“Bagaimana
kalau sekarang kita main ke negeriku? Kalian tidak ada acara, kan?”
Aku
dan Shirley langsung meloncat-loncat girang di atas tempat tidurku tanpa
menjawab pertanyaan Esha.
^-^
Kami berada di sebuah pesawat jet
yang mewah. Aku pernah melihat di TV tentang pesawat jet mewah. Dan kurasa yang
kutumpangi ini jauh lebih mewah dari yang kulihat itu. Hmmm …, semuanya lengkap
di pesawat ini. Sampai-sampai aku tidak merasa sedang terbang di angkasa, tapi
di sebuah kamar hotel yang mewah.
Shirley
lebih norak lagi. Dia mengamati setiap gelas kristal yang dilihatnya. Seolah
gelas-gelas itu benda langka yang tidak akan ditemuinya lagi sampai tua nanti.
Keluarga Shirley memang keluarga kaya dan terpandang, tapi keluarganya hidup
dalam kesederhanaan. Jadi, tidak heran kalau tingkahnya begitu. Noraknya sering
kumat.
Aku
rasa kami baru terbang sebentar ketika diberitahu pesawat akan mendarat.
“Sudah
sampai, ya?’ tanya Shirley.
“Iya,”
jawab Esha.
Seorang
pelayan langsung membantu kami memasang sabuk pengaman. Tak lama kemudian,
pesawat mendarat. Saat aku turun, aku merasa takjub melihat pemandangan di
depanku.
“Wow,
indah sekali!” seruku karena melihat hamparan laut yang luas. Ternyata,
landasan pesawat ini berada di sisi pantai.
Sebuah
mobil mewah menjemput kami. Esha langsung mengajakku masuk.
“Masih
jauh istanamu?” tanyaku penasaran.
“Tidak.
Itu dia menaranya!” tunjuk Esha saat mobil mulai melaju.
Aku
melihat beberapa menara menjulang di kejauhan. Makin lama, makin jelas bangunan
yang memiliki menara itu. Wow, indahnya! Subhanallah! Tentu saja ini bukan
pertama kali aku melihat istana. Di Inggris, banyak sekali istana. Termasuk
Istana Buckingham yang sangat terkenal itu. Tapi, istana di Zapnaland ini
benar-benar berbeda. Perpaduan antara istana di Asia dan Eropa.
“Kerajaan
kami pernah dijajah Inggris. Jadi, bangunan di sini banyak terpengaruh oleh
bentuk bangunan di Inggris. Kami juga menggunakan dua bahasa, yakni English dan
Zapnish. Tapi, bahasa Zapnish sekarang mulai berkurang peminatnya. Orang-orang
lebih suka berbahasa Inggris,” jelas Esha.
Mobil
yang kami tumpangi mulai memasuki kawasan pemukiman penduduk. Wow, ternyata
rakyat di Zapnaland ini beraneka rupa. Mereka tampak beragam. Tapi, cantik dan
tampan semua.
Hampir
semua rakyat yang di pinggir jalan berhenti dan melambaikan tangan ke mobil
kami. Rupanya, mobil ini sudah dikenal sebagai mobil pribadi Esha.
“Nanti
kami harus memanggil namamu seperti biasanya atau princess?” tanyaku.
“Panggil
Esha saja!”
Sepuluh
menit kemudian, kami mulai memasuki halaman istana yang indah. Ada taman bunga
beraneka warna dan air mancur yang cantik. Serombongan pengawal menyambut
kedatangan kami.
Esha
kemudian membawa aku dan Shirley ke ruang tengah untuk menemui orangtuanya.
“Ini
orangtuaku, Ratu dan Raja Axtary,” Esha kemudian memperkenalkan.
Kami
langsung membungkuk memberi hormat kepada orangtua Esha. Mereka tampak senang.
Esha juga mengenalkan aku dan Shirley dengan Ibu Suri kerajaan, yakni nenek
Esha.
“Selamat
datang di Zapnaland. Silakan bermain sepuasnya,” kata Raja Axtary sambil
tersenyum.
Aku dan Shirley mengelilingi
istana didampingi Esha. Karena luasnya, kami menaiki kendaraan khusus seperti troli
bermesin. Setiap tiba di sebuah ruangan, aku hanya bisa berdecak kagum. Ruangan
paling kusuka adalah perpustakaan istana yang lengkap. Sementara itu, ruang
favorit Shirley adalah dapur istana. Dasar!
“Princess, ada beberapa
putra-putri bangsawan yang hendak menemui Anda di taman. Raja meminta Princess
menemui mereka dan mengenalkan teman-teman Princess,” lapor seorang pengawal
ketika kami tengah berada di ruang khusus penyimpanan benda bersejarah.
“Baiklah,” kata Esha. Tapi,
mukanya tampak tidak suka mendengar kabar itu. “Huh, teman-teman yang
menyebalkan itu!”
Aku heran mendengar Esha
berkata demikian. Memangnya, seperti apa sih, putra-putri bangsawan itu?
Kami bertiga menuju taman
istana. Di sana, kami melihat dua anak lelaki dan dua anak perempuan yang
langsung menunduk hormat ketika melihat Esha.
“Hai, kenalkan ini dua
temanku Farah dan Shirley. Dan mereka ini adalah Phil, Blake, Melinda, dan
Lakisha,” kata Esha gantian memperkenalkan kami.
Mereka tersenyum.
“Princess, bagimana
keadaan kota London terakhir?” tanya Phil.
“Ya, masih banyak orang
Inggris di sana,” jawab Esha.
Aku menahan tawa mendengar
jawaban Esha.
“Apakah Princess satu
sekolah dengan princess dari Inggris atau negara lainnya?” tanya Melinda.
“Ya, Shirley ini seorang Princess
dari kerajaan Belalangnesia dan Farah adalah Princess dari Browninesia,” ucap
Esha membuat tawaku hampir meledak.
“Kamu salah. Kerajaanku
namanya adalah Seranggeria. Kami pernah menjajah Nigeria,” ucap Shirley dengan
muka serius.
Kulihat empat anak-anak
bangsawan itu terpana dengan muka mereka yang tampak bodoh.
“Bagaimana dengan mode
pakaian di London? Apakah Princess membawa jenis baju-baju paling tren di
sana?” tanya Lakisha.
“Sebenarnya, aku ingin
membawanya. Tapi, aku tidak yakin kalian akan menyukainya. Di sana, sedang tren
pakaian dengan bahan daun pisang dari asia,” jelas Esha.
Kali ini, aku benar-benar
tidak bisa menahan tawa. Keempat anak bangsawan itu langsung melihat ke arahku.
“Maaf, aku harus
membenarkan ... pakaian yang sedang tren bukan dari daun pisang. Mana mungkin,
kan? Yang benar adalah dari untaian sayap capung,” kataku ikut membual seperti
Esha.
“Sudahlah. Aku minta maaf
karena tidak bisa berlama-lama menemui kalian. Aku sedang kedatangan dua tamu
istimewa,” kata Esha kemudian.
“Apakah nanti malam kita
akan berpesta?” tanya Phil.
“Aku tidak tahu. Tunggu
saja pengumumannya nanti,” kata Esha seraya mengajak aku dan Shirley segera
menyingkir dari hadapan empat anak bangsawan itu.
Begitu kami benar-benar
sudah jauh, aku tidak kuat lagi tertawa terbahak-bahak. Begitu juga Shirley.
“Belalangnesia?
Browninesia? Seranggeria? Nama kerajaan mana itu? Aku baru mendengarnya,”
kataku.
“Ya, dan mereka sepertinya
benar-benar memercayai setiap ucapanmu. Termasuk tren baju dari daun pisang!”
tambah Shirley.
“Begitulah anak-anak
bangsawan itu. Mereka selalu percaya dengan semua bualanku. Apalagi yang
berhubungan dengan kemewahan. Mereka hanya memikirkan itu,” kata Esha.
“Sebenarnya pertanyaan
mereka juga aneh-aneh. Mereka, kan, bisa mendapat jawabannya dengan mudah dari
bacaan buku atau internet,” kataku.
“Mereka itu anak-anak
malas. Mana pernah mereka membaca atau memanfaatkan internet untuk menambah
pengetahuan mereka,” kata Esha.
“Tapi mereka anak
bangsawan. Pasti mereka punya komputer di rumah mereka,” ucap Shirley.
“Ya memang punya. Cuma
paling juga dipakai untuk main game.
Mereka sesungguhnya bukan teman-temanku.”
“Lantas di mana
teman-temanmu? Apakah kamu memang tidak punya teman?” tanyaku.
“Aku
akan mengajak kalian bertualang bertemu teman-temanku!” ajak Esha kemudian.
Kami
turun dari troli. Esha mengajak ke sebuah ruangan yang lumayan gelap di
belakang perpustakaan. Lalu kami menuruni tangga dan menelusuri lorong yang
panjang.
“Ih,
seram sekali di sini. Kita mau ke mana, Esha?” tanya Shirley ketakutan.
“Tenang
saja. Kalian ikuti aku saja,” jawab Esha yang berjalan di depan sambil membawa
senter.
Terus terang saja aku juga merasa takut. Belum
lagi ditambah bau yang lembab. Bagaimana kalau tiba-tiba ada monster? Hm …, mungkin
terlalu berlebihan. Okelah, jangankan monster. Ada serangga tak terlihat
tiba-tiba hinggap di mukaku, pasti aku akan menjerit.
Alhamdulillah,
ketika kami sampai di ruang yang lebih terang, semua berjalan lancar. Esha
kemudian mendorong pintu besar. Wow! Kami tiba di sebuah dapur besar. Dan aku
melihat lima orang sedang bekerja di dapur itu. Ini tampaknya bukan dapur
sembarangan karena aroma yang tercium seperti dapur kue.
“Princess
Esha!” seorang perempuan bertubuh gemuk langsung memeluk Esha.
Esha
kemudian memperkenalkan kami. Perempuan itu bernama Nyonya Rao. Dia pemilik
pabrik kue yang kami datangi. Sepertinya, dia sangat suka memeluk anak kecil.
Tapi terus terang, aku kurang suka dipeluknya karena dadaku langsung terasa
sesak.
“Aku biasa main ke sini lalu menyamar
menjadi rakyat biasa. Biar aku bisa tahu keadaan di negeriku yang sebenarnya,”
jelas Esha.
“Kalian pasti teman-teman Princess Esha di
London? Maukah kalian bermain perang roti bersama kami?” tanya Nyonya Rao
kemudian.
“Perang roti?” aku dan Shirley bertanya
bersamaan.
PLUK!
Tahu-tahu sebentuk adonan tepung menempel
di dahiku. Rupanya, Esha yang melemparku. Nyonya Rao kemudian menyorongkan
adonan tepung lainnya untukku. Aku membalas lemparan tadi ke Esha.
PLUK! Lemparanku meleset karena Esha
mengelak. Malah mengenai Shirley. Shirley membalas, tapi mengenai Nyonya Rao.
Wah, suasana ruangan makin kacau ketika tepung dan adonan roti bertebaran
dilemparkan oleh kami. Hmmm …, jadi ini yang dinamakan Perang Roti.
“Cukup … cukup!” teriak Nyonya Rao seperti
wasit pertandingan.
Kami semua berhenti. Lalu, kami semua
tertawa berbarengan karena ternyata muka kami sudah dilumuri tepung sehingga
jadi putih semua.
Kami
bertiga langsung berganti pakaian dengan yang lebih sederhana. Esha mengenakan
rambut palsu berwarna cokelat, ditambah tompel kecil di pipinya. Aku
benar-benar pangling dengan penampilannya. Benarkah dia seorang princess?
Selesai
berganti penampilan, kami keluar menaiki tiga sepeda yang disediakan Nyonya
Rao.
“Aku
sering menyamar seperti ini. Untuk bermain dengan teman-teman terbaikku!” kata
Esha penuh semangat.
^-^
Ladang Stroberi
Kerajaan Zapnaland subur dan makmur.
Menurut Esha, sumber penghasilan utama rakyat Zapnaland berasal dari perkebunan
buah dan bunga. Semuanya dijual ke negara-negara di Eropa dan Asia. Terutama
buah stroberi.
Aku
penggemar stroberi. Mataku langsung terbelalak ketika kami sampai di sebuah
perkebunan stroberi yang luas. Aku sudah ingin memetik buah stroberi yang
paling dekat dengan sisi jalan ketika sebuah suara berteriak di belakangku.
“Heh!
Jangan dipetik dulu. Itu belum masak!” itu suara anak lelaki.
Saat
kutoleh, ternyata di belakang kami sudah berdiri seorang anak lelaki yang
umurnya mungkin dua tahun di atas kami.
“Shasha?!”
teriaknya ragu.
“Hai,
Nathan! Aku Shasha! Dan mereka adalah teman-temanku ....”
Aku
dan Shirley menyebut nama kami masing-masing. Aku sedikit geli mendengar nama
samaran Esha di sini. Shasha? Hm …, menurutku itu nama samaran yang sama sekali
tidak kreatif. Mengapa tidak sekalian saja dia menyebut dirinya bernama
Victoria.
“Mereka
keponakan Nyonya Rao yang sedang berlibur,” tambah Esha.
“Namaku
Nathan. Kupikir kalian ini gerombolan anak-anak bangsawan kerajaan yang sering
mengacau di pertanian.”
“Mengacau?
Memangnya, mereka sering melakukan apa saja?” tanya Esha.
“Macam-macam.
Mulai dari memetik buah-buahan di sini tanpa izin, melempari anak-anak
pertanian dengan kue yang mereka bawa, mengolok-olok kami ….”
“Kamu
mengenal nama mereka?”
“Ya,
tentu saja. Melinda, Lakisha, Blake, dan Phil. Ah, kenapa kalian tanya mereka?
Kalian memangnya kenal?” tanya Nathan.
“Tidak. Tapi setidaknya, kami bisa
berhati-hati kalau bertemu mereka,” jawab Esha. “Kamu sendirian? Mana
teman-teman yang lain?”
“Mereka
ke air terjun. Aku menggantikan ayah mengawasi perkebunan ini. Ayahku sedang
sakit.”
“Ayahmu
sudah dibawa ke dokter?” tanya Shirley.
“Belum.
Kamu, kan, tahu di Zapnaland ini jumlah dokter sangat sedikit. Kalau tidak
salah hanya sepuluh orang. Dan biasanya, mereka lebih mengutamakan melayani
perawatan kesehatan para bangsawan atau orang-orang kerajaan. Hanya dua dokter
yang bertugas untuk rakyat. Tapi, mereka semua sedang sibuk. Jadi, ayahku harus
menunggu giliran pemeriksaan,” jelas Nathan.
“Kenapa,
ya, dokter di sini hanya sedikit?” tanyaku.
“Karena
di Zapnaland tidak ada sekolah kedokteran. Kalau mau sekolah dokter harus ke
luar negeri. Padahal, sekolah ke luar negeri itu mahal. Hanya anak-anak
bangsawan yang mampu. Tapi, kebanyakan dari mereka itu bodoh dan malas sekolah.
Bahkan kudengar, Princess Hamesha menolak sekolah di luar negeri.”
“Mungkin
dia tidak mau menghambur-hamburkan uang kerajaan,” kata Esha yang telinganya
panas.
“Kalau
Princess Hamesha sekolah dengan sungguh-sungguh dan berhasil lalu kembali ke
Zapnaland untuk mengabdi kepada rakyat, kurasa kita semua tidak keberatan,
kan?” ucap Nathan.
“Iya
juga,” kataku memotong, sebelum Esha sewot.
“Aku
dan beberapa temanku yang lain mungkin tidak punya kesempatan sekolah lebih
tinggi. Mungkin kami hanya bisa meneruskan pekerjaan orangtua kami menjadi
petani. Karena itu, kami berharap mereka yang punya uang untuk sekolah lebih
tinggi, bisa berhasil lalu mengabdi di kerajaan. Misalnya, mereka sekolah jadi
dokter. Sehingga, kami yang bertani di sini bisa tetap sehat untuk bekerja,”
ucap Nathan sambil menatap langit.
“Obrolan
yang serius,” Shirley mengeluh sambil memegang perutnya.”Apakah bisa kita
seling dengan memakan stroberi?”
Nathan
tertawa. Lalu, dia mengajak kami menuju satu petak kebun stroberi yang sudah matang.
Kami langsung berebut memetiknya sambil tertawa riang. Beberapa buah kami makan
langsung begitu dipetik. Sebagian lagi, kami masukan ke ujung baju bagian depan
yang kami buat menjadi keranjang sementara.
Kami
duduk di sisi jalan menyantap stroberi yang kami petik. Shirley tak mau diam
ketika melihat belalang meloncat di rerumputan. Naluri serangganya kumat.
Esha
mengajak kami bermain teka-teki.
“Binatang
apa yang sombong?” tanya Nathan.
Aku
langsung berpikir keras. “Kuda. Karena dia sangat gagah,” jawabku.
“Salah.
Yang benar kura-kura. Soalnya ke mana-mana dia selalu pamer rumahnya yang
dibawanya,” jelas Nathan.
Aku,
Shirley, dan Esha tertawa.
“Binatang
apa yang bodoh?” tanya Nathan lagi.
“Itu
gampang sekali. Keledai!” teriak Shirley.
“Salah.
Yang benar kura-kura. Soalnya, dia terus membawa rumahnya. Padahal, dia bisa
menyimpannya biar jalannya tidak lamban,” jelas Nathan.
Kami
tertawa bareng lagi.
“Nah,
sekarang binatang apa yang cuek?” tanya Nathan.
“Aku
tahu! Pasti jawabnya kura-kura lagi,” kata Esha buru-buru.
“Kenapa
begitu?” tanya Shirley.
“Karena
biarpun di sebut sombong dan bodoh, dia masih terus membawa rumahnya ...,”
jelas Esha.
Kami
tertawa bersama. Tapi, tawa kami terhenti ketika mendengar suara mobil hendak
melewati jalan.
“Itu
pasti rombongan anak-anak menyebalkan itu!” kata Nathan.
Aku
melihat sebuah mobil jip dengan kap terbuka melaju. Saat melintas di depan
kami, mobil itu berhenti. Anak-anak yang berada di mobil itu, langsung
melempari kami dengan aneka jenis sampah.
“Hahahahaha. Dasar anak-anak kampung! Bodoh
semuanya!” teriak mereka sambil kemudian menyuruh sopir mereka untuk melajukan jip
mereka.
Aku
langsung melempar kulit pisang yang nyangkut di kepalaku. Kulihat Esha langsung
menggeram karena bajunya dilempari telur. Shirley dan Nathan sama-sama kesal
dilempari sisa roti cokelat.
“Mereka
tidak bisa dibiarkan!” maki Esha.
“Kamu
tidak bisa membalas mereka. Ya, namanya juga anak-anak bangsawan …,” ucap
Nathan. “Sudahlah. Daripada kesal, mendingan kalian bergabung dengan
teman-teman di air terjun. Pasti kalian akan terhibur!”
^-^
Kami harus bersepeda sekitar tiga kilometer untuk
mencapai lokasi air terjun. Kalau jalannya rata atau menurun mungkin akan
terasa mudah. Tapi, kami harus mengayuh sepeda di jalanan mendaki.
Keringat
yang menetes langsung terlupakan begitu saja, ketika aku melihat sebuah
pemandangan yang indah. Air terjun dengan telaga yang indah. Air terjunnya
tidak besar ataupun tinggi. Mungkin sekitar sepuluh meter tingginya. Tapi,
airnya lumayan deras.
Ada
sekitar lima anak tengah bermain di telaga tempat mengalirnya air terjun itu.
Telaga yang bening yang membuatku ingin berenang seketika.
“Hei,
Shasha! Ke mana saja kamu? Kudengar pergi berlayar, ya?” tanya seorang anak
lelaki bermata hijau.
“Iya.
Begitulah,” jawab Esha. “Oh iya, kenalkan ini dua keponakan Nyonya Rao.”
Aku
dan Shirley langsung berkenalan dengan dua anak lelaki dan tiga anak perempuan.
Mereka adalah Rihana, Julian, Wilson, Gabby, dan Marsya.
Kami
langsung bermain di sekitar telaga. Mulai dari bermain mencari harta kartun
sampai menangkap pelangi. Hihihi, aku
kadang masih keliru memanggil sahabat-sahabat baruku. Terlalu banyak nama yang
harus kuingat dalam waktu berdekatan. Jadi, aku sedikit bingung.
Pastinya,
aku melihat Esha begitu ceria saat kami bermain. Ya, belum pernah kulihat
matanya memancarkan kebahagiaan seperti saat ini.
^-^
Sore
hari kami pulang meninggalkan telaga. Kami kembali ke toko kue Nyonya Rao dan
melewati lorong rahasia itu. Kupikir Esha sudah melupakan kejadian di ladang stroberi
setelah melewati saat menyenangkan di telaga air terjun.
“Pokoknya,
aku akan membalas perbuatan mereka,” gumam Esha saat kami berjalan di lorong.
Sesampainya di istana, aku tidak tahu apa
yang dilakukan Esha. Aku dan Shirley ditinggalkan di ruang tamu yang mewah. Tak
lama kemudian, dua pelayan masuk dan mengatakan kami harus mengikuti pesta
nanti malam. Karena itu, kami harus mencoba beberapa pakaian pesta yang cocok
untuk nanti malam.
Aku
dan Shirley lantas diajak ke sebuah ruangan besar berisi aneka macam gaun yang
indah-indah. Wow! Aku benar-benar seperti di negeri dongeng melihat gaun-gaun
tersebut.
Shirley
langsung memilih gaun dengan motif kupu-kupu sesuai dengan naluri serangganya.
Sementara itu, aku memilih gaun pink dengan taburan permata.
Aku
jadi ingin malam segera tiba. Seperti apa, ya, pesta malam ini?
^_^
Akhirnya, Esha memberitahuku bahwa pesta
malam ini adalah pesta mendadak dengan undangan khusus keluarga bangsawan.
Mereka akan diundang makan malam bersama lalu ada pengumuman penting.
“Pengumuman
apa?” tanyaku.
“Ini
akan menjadi kejutan buat semuanya. Terutama anak-anak menyebalkan itu,” kata
Esha.
“Aduh,
kamu bikin aku penasaran,” kata Shirley.
Ya,
aku pun penasaran. Tapi, aku tidak mau terlalu penasaran juga. Aku ingin
menikmati pesta istana ini. Aku ingin menikmati gaun yang kupakai, suasana
pesta, dan melihat tamu-tamunya.
Tepat
pukul delapan malam pesta dimulai. Aku dan Shirley mendapat tempat duduk
terpisah dengan Esha. Ya, Esha duduk dengan deretan keluarga kerajaan. Bagiku
tidak masalah, sehingga aku dapat menikmati susana pesta ini dengan leluasa,
termasuk memerhatikan tamu-tamu yang datang.
Tamu yang diundang tidak hanya orangtua,
tapi juga anak-anak mereka. Termasuk empat anak bangsawan menyebalkan itu.
Mereka duduk berdekatan dengan aku dan Shirley.
Acara
diawali dengan makan malam bersama. Sambil menyantap makan malam kami dihibur
penyanyi istana bersuara indah.
“Auw!
Apa ini?” teriak Melinda tiba-tiba sambil berdiri.
Aku
melihat ada belalang hinggap di pundaknya. Belalang berukuran lumayan besar.
Phil buru-buru mengibaskan belalang itu. Tapi, belalang itu malah hinggap di
hidung seorang nyonya bangsawan. Nyonya itu langsung teriak sambil
melompat-lompat kegelian. Belalang itu dikibaskan dan hinggap di sendok sup
seorang pria bangsawan yang hendak memasukkan sup ke mulutnya. Langsung saja
dia melemparkan sendok sup itu.
Keadaan
jadi kacau karena meja makan jadi berantakan dengan beberapa orang yang
kegelian dan ngeri akan dihinggapi belalang itu.
Aku
langsung menatap Shirley.
“Sorry, itu belalang terbesar yang aku
tangkap di ladang stroberi tadi. Kupikir, dia tidak akan terbang dari
lenganku,” kaya Shirley tanpa perasaan bersalah.
Suasana
kacau berakhir ketika pelayan istana menangkap belalang itu. Keadaan kembali
tenang.
Sebenarnya,
aku berharap kejadian tadi lebih kacau lagi. Misalnya, ada sup tumpah di gaun
Melinda, salad yang hinggap di kepala Blake, atau sendok yang melayang ke muka
Phil. Soalnya, aku benar-benar kesal dengan ulah mereka di ladang stroberi.
Usai
makan malam, Raja Axtary menyampaikan pengumuman dalam suasana khidmat. Tak ada
yang berani bersuara sedikit pun saat Raja menyampaikan pengumuman.
“Sehubungan
dengan sistem pendidikan di kerajaan kita yang terus ditingkatkan. Mulai esok
hari, akan diberlakukan jumlah PR untuk anak-anak bangsawan tiga kali lebih
banyak. Sebanyak lima puluh soal matematika setiap hari harus diselesaikan
dengan baik. Pelanggaran bagi yang tidak mengerjakan adalah hukuman bagi
seluruh anggota keluarganya bekerja di ladang stroberi ....”
Aku
terhenyak mendengar pengumuman itu. Dan kulihat semua tamu undangan pesta langsung
berwajah pucat. Sebaliknya, wajah Esha tampak puas dengan pengumuman yang baru
saja disampaikan oleh ayahnya.
Aku
membayangkan betapa susah payahnya anak-anak bangsawan itu mengerjakan lima
puluh soal matematika setiap hari. Aku saja mengerjakan PR setengahnya sudah
sakit kepala. Tapi biarlah, sesekali anak-anak bangsawan itu harus tahu
bagaimana memanfaatkan waktu mereka untuk belajar lebih banyak, kan?
“Aku
lebih baik jadi kepompong daripada jadi anak bangsawan yang harus mengerjakan lima
puluh soal matematika setiap hari,” bisik Shirley.
^__^
Terperangkap!
Aku benar-benar tidak bisa membuka mataku
seusai pesta. Acara seharian yang padat membuat badanku pegal-pegal dan tak
kuasa lagi menahan kantuk. Apalagi ditambah tempat tidur yang sepuluh kali
lebih empuk dari punyaku.
BRUK!
Aku
langsung tak ingat apa-apa begitu merebahkan badanku.
“Bangun
... ada sesuatu yang harus kutunjukkan kepada kalian!”
Aku
bangun dengan perasaan terkejut. Yang kulihat pertama kali adalah wajah Esha.
Aku langsung melihat jam dinding. Masih pukul lima. Oh, untung aku tidak bangun
kesiangan.
Aku
buru-buru berwudhu dan Shalat Subuh. Sementara itu, Esha masih susah payah membangunkan
Shirley yang masih terlelap. Selesai shalat, Shirley baru terbangun. Kulihat
wajah Shirley tampak kusut.
“Aduh
... bau apa, sih?” tanya Shirley sambil menutup hidungnya.
Esha
buru-buru menyembunyikan kaus kaki Shirley. Dia tadi membaui kaus kaki itu ke
hidung Shirley agar bangun. Aku bersyukur tidak sesusah itu untuk bangun. Pasti
aku langsung muntah kalau disodori kaus kaki Shirley.
“Ayo
bangun dan ikuti aku! Ada yang harus kalian lihat!” ajak Esha.
Kami
hanya diberi waktu lima menit bersiap-siap mengikuti Esha. Lagi-lagi kami
diajak menuju sebuah lorong rahasia, cuma kali ini lebih terang. Tak begitu
lama berjalan, kami akhirnya sampai di ujung lorong. Samar-samar, aku mendengar
suara deburan ombak.
“Sepertinya
kita mendekati laut?” tanyaku.
“Iya.
Aku ingin mengajak kalian menikmati proses terbitnya matahari di pantai,” kata
Esha.
“Wow!”
aku dan Shirley berteriak takjub.
Akhirnya,
kami sampai di mulut sebuah gua, lalu tiba di sebuah pantai berpasir yang
indah. Aku langsung berteriak girang begitu menginjak pantai berpasir putih
yang bersih ini. Shirley malah langsung ingin berenang.
“Jangan
berenang di sini. Pantainya dalam. Kita duduk saja di pantai ini sambil
menikmati matahari terbit,” kata Esha sambil membuka tas bawaan berisi tiga
kemasan minuman hangat.
Kami
duduk berjejer di pantai, sambil menikmati angin pantai yang segar. Mata kami
sama-sama tertuju ke cakrawala. Oh, betapa indahnya cahaya matahari pagi yang
baru terbit.
Aku
menikmati pemandangan di depanku sambil menghabiskan minuman hangat dalam
kemasan.
“Negerimu
indah sekali, Esha. Kalau saja kita bisa ke sini setiap akhir pekan,” kata
Shirley sambil mengudap makanan kecil.
“Ya,
kalau kalian sering-sering ke sini, aku yakin akan membosankan. Kerajaan kami
kecil. Tidak banyak hal yang menarik untuk orang asing. Makanya, kami juga
belum membuka kerajaan secara meluas sebagai daerah wisata,” kata Esha.
“Aku
malah takut kalau banyak orang asing datang ke sini, nantinya tidak sebersih
seperti ini,” kataku. Aku ingat beberapa pantai di tempat wisata yang kotor
karena wisatawan yang berulah jorok membuang sampah sembarangan.
Kami
semua ngobrol sampai akhirnya matahari benar-benar terbit. Esha kemudian
mengajak kami kembali memasuki lorong rahasia dari mulut gua.
“Lorong
ini dulunya dibuat oleh komplotan perompak untuk menyimpan harta mereka,” jelas
Esha saat kami mulai memasuki lorong.
Aku
memerhatikan lorong yang lumayan luas ini. Tingginya sekitar dua meter. Hm …
mereka yang membuat lorong ini, pasti benar-benar hebat.
“Tapi
sampai saat ini, tempat mereka menyimpan harta belum berhasil ditemukan,”
tambah Esha.
“Wow,
seandainya kita berhasil menemukan harta itu ...,” gumam Shirley.
“Aku
pernah mencari jejaknya. Lihat ini!” Esha berhenti di sebuah kelokan. Tepat di
bawah sebuah obor penerang, Esha menekan sebuah tombol batu.
Sedetik
kemudian, dinding di depan mereka bergeser mundur lalu ke samping. Sebuah pintu
menuju lorong lainnya.
“Yuk,
kita masuk!” ajak Esha sambil menyalakan lampu senter karena lorongnya lebih
gelap.
Walalupun
sedikit ragu, aku menyusul masuk. Shirley menguntit di belakangku.
“Hati-hati.
Ini undakan tangga. Jalannya agak menurun,” kata Esha.
Kami
menuruni anak tangga itu sampai berujung ke sebuah ruangan lain yang tak
seberapa luas. Di ruang itu, Esha langsung menyoroti dinding-dindingnya yang
membentuk sebuah relief. Esha pun menekan sebuah releif. Salah satu dinding pun
bergeser.
“Yuk,
masuk lagi!” ajak Esha kemudian.
Kami
masuk lagi ke ruangan lain. Ruangan yang lebih luas. Di ruangan itu, aku
langsung terpana. Aku melihat sebuah patung cantik berbentuk kupu-kupu.
“Wah,
cantik sekali!” teriak Shirley.
“Awas
jangan dipegang!” teriak Esha, tapi terlambat. Shirley sudah memegang patung
dari pualam itu.
Tiba-tiba,
kami mendengar suara lumayan keras. Suara dinding bergeser di sekitar kami.
“Apa
yang terjadi?” kataku bingung.
“Ayo,
kita keluar!” Esha mengajak kami ke dinding yang mulai menutup. Tapi, kami
terlambat mencapainya. Dinding itu keburu menutup.
“Bahaya!
Dinding-dinding ini akan bergerak mengurung kita!” jerit Esha.
Aku
memerhatikan dinding di sekitar kami. Ya, ternyata dua buah dinding yang
berhadapan bergerak maju sedikit demi sedikit. Kami langsung mundur menjauhi
dinding yang bergerak itu.
“Bagaimana
kita bisa keluar dari sini?” tanya Shirley panik.
“Aku
tidak tahu!” jawab Esha gugup.
Aku
langsung menatap Esha. Tidak tahu? Oh, tidak. Ini pasti ada jalan keluarnya.
Aku pun mulai memukul-mukuli dinding. Barangkali saja usahaku berhasil
menghentikan dua tembok itu bergeser. Atau bahkan membuat kami terbebas dari
ruangan ini.
Dinding
itu makin mendesak kami. Saat menyempit itulah, dinding pun berhenti bergeser.
Tapi, kami tetap panik karena tidak bisa keluar dari tempat ini.
“Maafin
aku, ya. Ini semua karena kesalahanku,” kata Shirley sambil terduduk.
Aku
dan Esha ikut terduduk. Ufh! Susah
sekali bergerak. Ya, ternyata ruangan ini benar-benar menyempit.
“Aku
yang salah. Aku yang mengajak kalian ke sini. Aku juga lupa memberitahumu
sebelumnya,” ucap Esha.
“Tidak
ada gunanya saling menyesali. Yang penting sekarang kita cari jalan keluarnya,”
kataku berusaha tenang. Sebenarnya, hatiku juga panik. Tapi, aku pernah membaca
kalau dalam keadaan berbahaya, kita jangan terlalu lama panik. Sebab, jika kita
panik, kita akan sulit berpikir.
“Dulu,
pernah ada tiga orang yang terperangkap seperti ini,” kata Esha kemudian dengan
napas berat.
“Mereka
berhasil bebas?” tanya Shirley.
“Iya.
Makanya, aku tahu cerita tentang mereka juga rahasia tempat ini,” jawab Esha.
“Bagaimana
mereka bebas?” tanya Shirley.
“Mereka
menemukan petunjuk di dinding. Lihatlah ini!” Esha menunjuk ke coretan di
dinding. “Ini huruf yang digunakan leluhur kami dulu. Aku pernah
mempelajarinya. Tunggu kubaca sebentar.”
Aku
berdoa agar Esha segara membacanya.
“Setiap orang harus mengakui kesalahannya
terhadap teman-temannya,” kata Esha kemudian.
Aku
dan Shirley saling berpandangan. Kami sama-sama tidak mengerti.
“Menurut
ceritanya, tiga orang yang terperangkap itu bisa keluar dari perangkap ini,
setelah masing-masing saling mengakui kesalahan dengan dua teman lainnya.
Terutama, kesalahan yang tidak diketahui teman-temannya. Begitu,” jelas Esha.
“Oh,
kalau begitu kita mulai saja biar bisa segera bebas. Biar aku saja yang
memulai,” kata Shirley tak sabar.
Aku
menunggu pengakuan Shirley.
“Sekarang
aku mengaku bersalah untuk Farah dulu. Aku mengaku bersalah karena tidak mau
mendengarkan nasihatmu agar tidak menangkapi serangga lagi. Tapi mulai saat ini,
aku akan berhenti melakukannya. Sekarang, aku bisa merasakan betapa tidak
enaknya dikurung. Mungkin saat ini perasaanku sama dengan perasaan serangga
yang kutangkap dan kumasukkan ke toples,” ucap Shirley panjang.
“Oh,
aku senang sekali mendengarnya,” kataku.
“Sekarang
untuk Esha. Aku mengaku bersalah pernah berniat mencelakakanmu karena aku
jengkel sekali dengan ulahmu di sekolah. Tapi setelah aku mengenalmu lebih
dekat, niat itu hilang. Sekarang aku sudah mengenalmu lebih dekat. Kadang kita
memang sering salah menduga sesorang karena tidak mengenalnya lebih dekat,”
kata Shirley.
“Ya,
kebanyakan memang seperti itu. Sekarang giliranmu dulu,” timpal Esha sambil
menujukku.
“Aku
bersalah untuk Shirley. Terus terang, aku masih belum sepenuhnya terbuka kepadamu.
Padahal, kamu adalah sahabatku. Kadang aku masih menyimpan rahasia. Tidak mau
berbagi rahasia denganmu. Misalnya, ketika kamu bertanya kepadaku di
perpustakaan beberapa waktu lalu. Aku menjelaskan kepadamu sedang mencari
informasi tentang serangga di internet. Padahal, aku sedang melacak rahasia
Esha sebagai princess,” kataku.
“Ya,
aku sering kecewa karena kamu selalu menutupi suatu rahasia. Bagiku tidak
masalah kamu punya rahasia. Tapi, aku tidak mau kalau sampai kamu berbohong kepadaku.
Bilang saja hal itu rahasia, pasti aku akan memahami,” jawab Shirley.
“Untuk
Shirley, aku juga punya satu kesalahan. Hampir mirip dengan Shirley, aku juga
pernah berniat jahat terhadapmu. Terutama, setelah kamu menendang kakiku saat
main bola hingga aku terkilir,” lanjutku.
“Tapi,
aku benar-benar tidak sengaja,” kata Esha.
“Sekarang
giliranmu,” kataku dan Shirley serempak.
“Aku
minta maaf atas kesalahanku yang banyak pada kalian. Terutama, di sekolah di
awal-awal perkenalan kita. Kupikir kalian sama menyebalkannya dengan anak-anak
bangsawan di sini. Ternyata tidak. Satu hal kesalahanku yang paling besar dan
kalian harus maafkan adalah ....” Esha menarik napas sebentar.
Aku
menegakkan kupingku karena ingin tahu kelanjutan kalimat Esha.
“Maafkan,
ya, aku berbohong tentang perangkap ini. Sebenarnya, aku sengaja melakukannya.
Dan aku sudah tahu jalan keluarnya bukan dengan cara seperti ini. Tapi dengan
...,” Esha meloncat-loncat tiga kali di lantai yang diinjaknya.
“ESHAAA!”
aku dan Shirley sama-sama berteriak nyaring.
Tiba-tiba,
dinding yang mengurung kami bergeser mundur.
“Jadi,
kamu sengaja ngerjain kami, ya?” tanya Shirley.
“Jangan
marah dulu. Aku, kan, udah minta maaf tadi,” ucap Esha sambil cengengesan.
Aku
tidak bisa berkata apa-apa lagi selain bersyukur dalam hati. Duh, untung ini semua hanya permainan Esha.
Tahu begini, aku tidak perlu khawatir tadi.
Kami
segera keluar dari lorong rahasia itu sambil mendengarkan suara Shirley yang
terus mengomeli Esha!
^-^
Kami
baru saja selesai sarapan di meja makan istana ketika tahu-tahu pelayan
menyodorkan baki berisi roti dan secarik kertas di atasnya.
“Ini
pasti pesan dari Nyonya Rao,” bisik Esha sambil mengambil kertas itu. Esha
membacanya sebentar.
“Kenapa?”
tanyaku heran karena melihat wajah Esha kemudian tampak murung.
“Ayah
Nathan meninggal ....”
“Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun
.…” Aku bergumam seketika.
Esha
kemudian memutuskan menghadiri secara khusus acara pemakaman ayah Nathan. Kami
pun resmi mendatangi upacara pemakaman ayah Nathan. Esha tidak menyamar. Nathan
sepertinya kaget melihat kami. Dia tidak mengenali Esha sama sekali.
Suasana
berkabung itu membuatku sedih.
“Kalau
saja banyak dokter di negeriku ini, pasti tidak akan ada orang yang akan
meninggal karena terlambat mengobati penyakitnya,” gumam Esha berbisik di saat
kembali ke istana.
^-^
Ada Apa dengan Shirley?
Aku pernah membaca tentang istilah workaholic. Biasanya, istilah itu
dipakai untuk orang-orang dewasa yang giat bekerja. Dan sepertinya, aku harus
mengarang sendiri istilah untuk orang yang giat bersekolah. Mungkin cocoknya schoolaholic. Dan saat ini orang yang
paling tepat menyandangnya adalah Esha.
Esha berubah dengan cepat tidak seperti
yang pertama kukenal. Dia berubah jadi anak yang menyenangkan. Semua teman
sekelasku bingung dengan perubahannya. Apalagi melihat Esha akrab denganku dan
Shirley.
“Kejahilan apa lagi yang dia siapkan untuk
kita?” tanya Hugh.
“Kurasa tidak ada. Dia memang sudah
benar-benar berubah,” jawabku.
“Aku tidak percaya. Orang tidak bisa
berubah secepat itu,” kata Thomas.
“Aku percaya,” kilahku. Iya, dengan pengalaman
yang kami lewati bersama, aku yakin Esha memang sudah benar-benar berubah.
Esha jadi biasa sering datang pagi. Dia
akan menunggu kedatanganku di dekat pintu masuk gedung sekolah, sambil menyapa
dan tersenyum kepada teman-teman yang lalu lalang. Begitu melihatku datang,
Esha langsung menyambutku. Lalu, kami melangkah bersama ke kelas.
Si Pengganggu Dave akan kabur begitu
melihat kami akan melewati pintu kelasnya. Padahal, kami tidak pernah
mengancamnya dengan kata-kata ataupun tatapan mata kami.
Di kelas, Esha selalu duduk dekat
denganku. Saat olahraga bola atau lainnya, dia juga selalu berusaha satu tim
denganku. Bahkan sepulang sekolah pun, kami masih sering bersama.
Banyak kesamaan pada hobi kami. Esha suka
membaca sepertiku. Esha juga suka browsing
ataupun mengisi blog di Internet.
“Farah, Ibu senang kamu punya sahabat
baru. Tapi, ke mana Shirley?” tanya ibu seminggu setelah aku pulang dari
Zapnaland.
“Shirley? Ah ... dia baik-baik saja. Kami
di sekolah masih bermain bersama. Ya, walaupun kadang dia suka menghilang entah
ke mana. Ibu kan tahu, dia lebih asyik bermain dengan serangga-serangganya,”
jawabku.
“Bagus kalau begitu. Jangan hanya karena
sahabat baru, sahabat lama kamu lupakan begitu saja.”
Aku mengangguk. Tapi, di hatiku menyesal
juga telah membiarkan Shirley. Sebenarnya, aku tidak benar-benar menelantarkan
Shirley. Beberapa kali aku mengundang Shirley saat Esha main ke rumahku. Tapi,
Shirley selalu menolak. Di jam-jam istirahat di sekolah pun, aku sering melihat
Shirley menghilang sebelum aku mengajaknya main bersama.
Esok paginya, ketika datang ke sekolah,
aku menemui Esha di pintu gerbang. Ketika Esha mengajakku masuk, aku
menahannya.
“Kita tunggu Shirley dulu,” kataku.
“Dia pasti datang kesiangan. Kalau kita
nunggu dia, pasti akan kesiangan juga,” kilah Esha.
Aku melihat arlojiku. Ya, tak lama lagi
jam masuk akan berbunyi. Pasti tak lama lagi kami akan kesiangan kalau tak
segera masuk.
“Kita tunggu dua menit dulu,” usulku.
“Okay!” timpal Esha.
Dua menit berlalu Shirley belum datang
juga. Akhirnya, kami memutuskan masuk ke kelas. Beberapa saat setelah aku duduk
di bangku, Shirley masuk tergopoh-gopoh ke kelas.
“Shirley, hampir saja terlambat,” kataku.
Shirley menoleh sebentar, lalu diam tak
menanggapi kalimatku. Ada apa dengan Shirley?
Aku berjalan mendekatinya. Tapi, Shirley
menjauhiku. Aku terus mendekatinya. Tapi dia malah membentakku, “Aku tidak mau
bersahabat lagi denganmu!”
Aku terkejut. “Kenapa Shirley?”
“Huh!” Shirley malah berpaling muka.
Aku kembali ke tempat dudukku.
“Ada apa dengan Shirley?” tanya Esha.
“Aku tidak tahu. Dia tiba-tiba saja
berteriak dan marah-marah kepadaku.”
“Kalau begitu, biarkan saja dulu. Nanti
kalau sudah tenang, dia akan baik lagi sama kita.”
“Amin,” kataku berharap.
Aku berharap saat istirahat atau berganti
pelajaran Shirley akan berubah sikap. Tapi, harapanku ternyata tidak
terkabulkan. Sampai pulang sekolah, Shirley tetap menolak bicara denganku.
“Mungkin besok, dia akan membaik. Nanti
aku coba bertanya kepadanya,” ucap Esha.
Ternyata esok harinya, Shirley masih
bersikap sama. Teman-teman sekelas pun merasakan ada hal yang tidak beres dalam
persahabatanku dengan Shirley.
“Kalian sepertinya sedang bermusuhan, ya?”
tanya Joan.
“Pasti gara-gara kamu sekarang akrab
dengan Esha,” kata yang lain.
“Ya, Shirley cemburu dan merasa kesal
karena kamu menelantarkannya.”
“Atau jangan-jangan Esha dibelakang
menjelek-jelekkanmu kepada Shirley sehingga dia membencimu.”
Duh, pusing juga mendengar komentar
teman-temanku. Kupikir, aku harus menyelesaikan masalah ini.
Malam harinya, aku dan Esha sengaja
berkunjung ke rumah Esha. Mrs. Collins menyambut kami di depan pintu.
“Apa kabar Farah dan Esha? Masuklah.
Shirley sedang di kamarnya di atas,” kata Mrs. Collins.
“Kabar kami baik,” jawabku dan Esha sambil
masuk ke ruang tengah.
Kami duduk bersama. “Ada yang harus kami
sampaikan Mrs. Collins. Tentang perubahan sikap Shirley terhadap kami,” kataku
langsung.
Mrs. Collin tersenyum mendengarnya. “Oooh
itu. Shirley memang sengaja melakukannya,” jawab Mrs.Collins.
“Sengaja?” aku kaget. “Kenapa?”
“Semua dimulai ketika Shirley pulang
bersama kalian dari Zapnaland. Dia langsung membuang semua koleksi serangganya.
Lalu, dia mengatakan kepadaku untuk mengubah kebiasaan buruknya terhadap
serangga. Tentu saja, aku sebagai ibunya merasa senang. Tapi, hal itu ternyata
tidak mudah begitu saja dilakukan. Kami kemudian konsultasi dengan seorang
psikolog. Akhirnya, kami mendapat saran agar Shirley mencari kegiatan baru yang
bisa mengalihkan pikirannya dari serangga,” tutur Mrs. Collins.
“Apakah itu?” tanyaku.
“Shirley mengambil kelas drama di luar
sekolah. Ternyata baru beberapa hari mengikuti kelas drama itu, Shirley
menyukainya. Dia berhasil melupakan serangganya sedikit demi sedikit. Gurunya
di kelas drama mengatakan Shirley sangat berbakat berakting. Dia kemudian
ditawari sebuah peran untuk pementasan ....”
“Ya, peranku sebagai putri yang jahat dan
galak .…”
Aku mendongakkan kepalaku. Kulihat Shirley
menuruni tangga dan menghampiri kami. Shirley langsung memeluk aku dan Esha
bergantian.
“Maafin aku, ya. Aku sudah menjadikanmu
sasaran latihan dramaku,” kata Shirley sambil tersenyum.
Aku langsung menepuk kepalaku. Kemudian
aku melempar bantal kursi di dekatku ke arah Shirley. Esha dan Mrs. Collins
terbahak-bahak melihat aku dan Shirley kemudian berguling-guling di karpet.
Hatiku lega rasanya karena semua berakhir
dengan baik. Kami bertiga kembali menjadi sahabat sejati. Aku, Shirley, dan
Esha. Kehadiran Princess Hamesha, bukan penghalang bagi persahabatan aku dan
Shirley. Esha justru membuat hari-hari kami semakin menyenangkan.
^-^
Penculikan
Penculikan
Akhir pekan, aku dan Esha sudah mencatat
rencana untuk melihat pementasan drama Shirley. Aku diantar ayah hingga di
depan gedung pertunjukan. Ayah dan ibu tidak bisa ikut menonton karena ada
acara sendiri malam ini.
Aku menunggu Esha di lobi gedung. Tak lama
kemudian, aku melihat Esha datang dengan dua pengawal yang mengikutinya.
“Aduh, maaf ya aku agak terlambat. Tadi
aku minta para pengawalku tidak ikut. Sampai aku marah-marah. Tapi mereka
keberatan,” katanya sambil mendengus kesal.
“Sudahlah tidak apa-apa mereka ikut
menonton juga,” kataku.
“Eh, kita ke belakang panggung, yuk. Aku
ingin melihat persiapan Shirley,” ajak Esha sambil menarikku.
Aku menurutinya berjalan ke samping
gedung. Dua petugas keamanan sempat menanyai kami. Ketika kami keluarkan kartu
undangan khusus. Mereka mempersilakan kami masuk jalan khusus. Tapi, dua
pengawal Esha tidak bisa masuk meskipun mereka sempat memaksa.
Akhirnya, Esha tersenyum karena bisa lepas
dari kawalan dua orang bertubuh tegap itu. Kami terus berjalan melewati gang
yang sepi. Tiba-tiba .…
“Hupf!”
Mulutku disekap seseorang dari belakang.
Paru-paruku jadi sesak. Tubuhku sulit digerakkan.Tapi, aku sempat melihat dua
orang datang menyekap Esha dan membawanya pergi dari pandanganku.
Esha diculik! Dan orang yang menyekapku
membiarkanku tergeletak lemas di lantai.
Jantungku berdegap keras. Apa yang harus
kulakukan sekarang?
Aku langsung berjalan kembali keluar.
Kutemui dua pengawal Esha yang berdiri di lobi.
“Ada beberapa orang yang menculik Esha.
Mereka kabur dari pintu belakang,” kataku buru-buru.
Dua pengawal itu langsung mengambil
telepon genggam mereka sambil bergerak cepat menghilang dariku.
Aku makin kebingungan. Entah apa yang
harus kulakukan. Aku terduduk.
“Farah, apa yang kamu lakukan di sini? Ayo
masuk! Pertunjukkan sebentar lagi dimulai. Lho, mana Esha?”
Aku menoleh. Shirley datang mengenakan
kostum pementasannya.
“Esha ... tadi .…” Aku bingung antara
mengatakan kejadian yang sesungguhnya atau tidak.
Jika aku mengatakan hal sebenarnya, aku
takut mengacaukan pertunjukkan pertama Shirley. Dia pasti tidak bisa
konsentrasi. Atau bahkan tidak mau ikut pementasan. Oh, aku tidak ingin ini
terjadi.
“Sudah, masuk saja dulu. Pasti Esha nanti
menyusul,” Shirley menarik tanganku.
“Esha belum tentu menyusul,” kataku
akhirnya. “Ah ... dia minta maaf karena tiba-tiba ada urusan mendesak sehingga
tidak bisa datang. Kalau sempat, dia akan menyusul .…”
“Oh, jadi itu yang membuat mukamu pucat. Takut
aku kecewa karena dia tidak bisa datang? Aku tidak apa-apa, kok. Nanti, biar
Esha melihat pertunjukkanku dari rekaman kamera video saja.”
Aku hanya mengangguk lalu mencari tempat
dudukku di dalam gedung. Tapi karena aku terus memikirkan Esha, pertunjukkan di
depanku sama sekali tidak bisa kunikmati.
Oh, mudah-mudahan saja para pengawal itu
berhasil mengalahkan para penculik dan menemukan Esha dalam keadaan selamat.
Ketka pementasan berakhir, aku buru-buru
menemui Shirley di belakang panggung.
“Ada yang harus kukatakan kepadamu,
Shirley. Tentang Esha. Dia tidak bisa datang ke sini karena tadi dia diculik,”
kataku kemudian.
“Diculik?” Shirley panik bukan main.
Aku segera menelepon ayah untuk
menjemputku. Shirley memberi tahu orangtuanya yang mengantar tentang penculikan
Esha. Aku pun menceritakan hal yang sama kepada ayah begitu ayah menjemputku.
“Sebaiknya Farah pulang dan berdoa di
rumah supaya semuanya baik-baik saja. Kasus penculikan Esha pasti sudah
ditangani pihak yang berwajib,” kata ayah di dalam mobil.
Namun, kata-kata ayah belum cukup
menenangkanku. Aku sama sekali tidak bisa tidur, bahkan sampai aku selesai
shalat malam. Aku menunggu HP-ku berbunyi dan seseorang meneleponku, mengatakan
Esha sudah diselamatkan dari tangan para penculik.
Tapi sampai aku tertidur, keinginanku
tidak terkabulkan. Justru keesokan paginya, aku mendengar ayah membangunkanku
yang bangun kesiangan.
“Farah, lihat di TV. Ada berita tentang
penangkapan penculikan Esha,” seru ayah.
Aku segera bangun dan mengarahkan mataku
ke televisi. Benar saja. Ada berita penangkapan para penculik Esha. Rupanya,
pihak berwajib berhasil membebaskan Esha dari tangan para penculik.
Aku buru-buru menelepon Shirley. Ternyata,
Shirley pun baru saja menonton berita itu.
“Syukurlah, Esha selamat. Mudah-mudahan
saja dia tidak terluka,” harap Shirley di telepon.
Siang harinya, aku baru diizinkan menemui
Esha di rumah pamannya. Shirley ikut denganku. Ketika bertemu dengan Esha, aku
langsung memeluknya.
“Tenang saja, aku sudah bebas tanpa cedera
sedikit pun. Kata pengawal-pengawalku, mereka bisa mengejarnya karena kamu
langsung memberi tahu apa yang telah terjadi padaku. Kalau saja kamu terlambat
semenit, para pengawal itu susah mencari jejak penculikku,” kata Esha.
“Soalnya hanya itu yang bisa kulakukan
semalam,” jawabku.
“Shirley, maafin aku, ya. Aku tidak bisa melihat
pementasan dramamu,” kata Esha kemudian.
“Jangan konyol! Aku yang merasa bersalah
karena mengajakmu nonton, akhirnya kamu malah diculik,” ucap Shirley.
“Ah, kalau itu sih, aku yang salah. Ya,
sekarang aku makin menyadari kalau para pengawal itu memang penting untukku.
Mungkin agak mengesalkan. Tapi, aku harus memikirkan keselamatanku juga karena
aku harus terus sekolah, lalu menjadi dokter untuk negeriku,” ucap Esha.
“Amin!” kataku.
“Ayahku meminta aku menenangkan pikiranku
dulu di Zapnaland. Besok, aku akan berakhir pekan di Zapnaland. Kalian ingin
ikut lagi?”
Aku dan Shirley langsung bersorak girang.
Ke Zapnaland lagi? Siapa takut!!!!! Kalian mau ikut? Gampang, kok. Pejamkan
mata kalian, lalu sebut Zapnaland tujuh kali.
^_^
Terdampar
Aku pernah membaca buku tentang seorang
pria yang terdampar sendirian di sebuah pulau terpencil. Namanya Robinson
Crusoe. Setelah membaca buku itu, aku selalu ingin membawa tas penuh makanan
dan buku. Ya, kalau aku terdampar di pulau kecil terpencil nanti, aku tidak akan
kelaparan dan kesepian.
Tapi, yang jelas aku tidak pernah
membayangkan akan benar-benar terdampar. Sampai kemudian detik itu tiba. Ya,
saat ini.
Asisten pilot yang bekerja kapal terbang
pribadi milik Esha mengatakan bahwa pesawat tiba-tiba mengalami kerusakan.
Kemungkinan, pesawat akan mendarat darurat dan belum bisa dipastikan para
penumpang akan selamat.
“Sebaiknya Tuan Putri dan teman-teman
terjun payung saja bersama pengawal,” saran asisten pilot itu.
Tentu saja aku panik. Bagaimana aku bisa
terjun payung? Merasakannya saja belum pernah. Kurasa Shirley pun demikian.
“Kalian tidak perlu takut. Kita akan
terjun tandem dengan para pengawal,” kata Esha.
Aku tahu apa yang disebut terjun tandem.
Yang aku tidak tahu, apakah aku akan benar-benar berani melakukannya.
“Ayo segera bersiap!” pinta seorang
pengawal.
Tiga pengawal menyiapkan perlengkapan
terjun. Mereka memasang perlengkapan tersebut di tubuh mereka. Setelah itu,
masing-masing merekatkan tubuh kami di tubuh mereka dengan alat khusus. Kami
jadi seperti bayi kangguru yang digendong ibunya.
Saat pintu khusus dibuka, ketakutanku
makin memuncak. Kulihat Esha dan pengawalnya terjun paling awal. Menyusul
Shirley yang begitu pengawalnya meloncat langsung menjerit nyaring.
“Bismillahirrahmanirrahim!” Aku langsung
berdoa sambil memejamkan mataku yang mengenakan kacamata khusus ketika akhirnya
tiba giliranku.
WUSSS! Aku merasakan tubuhku menabrak
udara dan melayang. Tak lama kemudian, aku merasakan entakan di tubuhku.
Tubuhku semakin ringan melayang. Saat itulah, aku baru berani membuka mataku.
“Subhanallah!” rasa takutku mulai
menghilang. Payung di atasku mekar dengan indahnya. Sementara itu, pemandangan
di bawah sana sangat indah walaupun sedikit mengerikan. Aku melihat di bawah
terhampar luas lautan dan beberapa pulau kecil.
Setelah beberapa menit berayun-ayun di
udara, akhirnya aku dan pengawal Esha mendarat di atas pasir pantai yang basah.
Perlengkapan terjun pun dilepaskan. Aku langsung berterima kasih kepada
pengawal Esha yang telah membawaku.
“Shirley! Esha!” Aku berlari menuju Esha
dan Shirley yang telah mendarat lebih dulu. Kulihat wajah Shirley memucat.
Sepertinya dia tadi menjerit terus hingga mendarat.
“Di mana kita?” tanya Shirley kemudian.
“Aku tidak tahu. Kita terdampar,” jawab
Esha.
“Lalu, bagaimana kita bisa keluar dari
pulau ini?” tanya Shirley lagi.
“Kita serahkan saja kepada pengawalku. Oh,
iya kalian belum kenal mereka,” ucap Esha sambil terus mengenalkan nama-nama
mereka.
Semula aku kurang memerhatikan mereka
karena mereka tampak serupa. Tapi, sekarang aku tahu mereka satu per satu. Mike
yang terjun bersama Esha memiliki dagu panjang yang terbelah. Tim yang terjun
bernama Shirley mempunyai ciri khas tahi lalat di pelipis kanannya. Sementara Brandon
yang bersamaku memiliki lesung pipi saat dia bicara.
“Kita tinggal di sini dulu sambil menunggu
helikopter penjemput,” kata Mike sambil memegang alat komunikasi.
“Mudah-mudahan saja tidak terlalu lama,”
sahut Tim.
“Tapi, kalau kalian merasa bosan dan ingin
bermain-main di sekitar sini, silakan saja. Asal jangan terlalu jauh,” saran
Brandon.
Kami senang dengan izin itu. Aku langsung
berlarian di atas pasir pantai yang luas ini. Shirley dan Esha ikut berlari
mengejarku. Kami kemudian bermain ciprat-cipratan air laut.
“Eh, bagaimana kalau kita main ke hutan
itu,” tanya Shirley kemudian sambil menunjuk ke arah hutan yang membatasi
pantai.
“Mau ngapain? Cari serangga? Bukankah kamu
sudah berhenti mengoleksi serangga?” tanyaku.
“Siapa tahu saja kita menemukan jenis
bunga anggrek yang indah,” kata Shirley.
“Ya, itu mungkin saja. Tapi, sebaiknya
tunggu sampai para pengawal itu tidak memerhatikan kita. Kurasa, mereka tidak
akan mengizinkan kita ke dalam hutan,’ ucap Esha.
Kami pun bergerak sedikit demi sedikit ke
arah hutan. Ketika para pengawal itu tampak sibuk mendirikan tenda, buru-buru
kami berlari ke dalam hutan.
“Mudah-mudahan tidak ada bintang buas di
sini,” ucap Shirley.
“Di pulau kecil seperti ini jarang sekali
ada binatang buas,” kataku.
“Kalau begitu, bagaimana mungkin kita bisa
menemukan anggrek di sini?” tanya Shirley.
“Bisa saja. Burung-burung sering kali
menjadi pembawa bibit-bibit aneka tanaman hingga bisa menyebar ke mana-mana,”
kataku membagi informasi yang kudapat dari buku bacaanku.
“Hei lihat! Ada bunga indah di sebelah
sana!” tunjuk Shirley.
Aku melihat bunga indah yang ditunjuk
Shirley. Bentuknya besar dan berwarna kemerahan. Aku tidak tahu bunga macam apa
itu. Yang pasti bukan anggrek karena bunganya muncul dari semak-semak, bukan
menempel di pohon seperti umumnya anggrek.
Shirley langsung berlari mendahului kami,
seolah ingin lebih dulu memetiknya.
“Hati-hati Shirley! Jangan lari!” seru
Esha.
“Aw!” belum lama Esha berkata, tiba-tiba
Shirley berteriak kencang. “Tolooong!”
Aku dan Esha langsung mempercepat langkah
menghampiri Shirley.
“Hati-hati!” kataku ketika mendekati
Shirley. Aku bermaksud menahan Esha agar tidak melangkah terlalu mendekati
Shirley.
“Shirley menginjak lumpur pengisap,”
kataku setelah mengamati sebentar.
Shirley tampak panik. Kakinya tenggelam di
lumpur hingga batas pinggangnya.
“Jangan banyak bergerak! Nanti kamu malah
akan semakin cepat tersedot. Bertahanlah! Kami akan segera minta bantuan para
pengawal,” teriakku.
“Please,
jangan tinggalkan aku sendirian di sini. Aku takut sekali. Jangan tinggalkan
aku,” Shirley mulai menangis ketakutan.
Aku bingung. Benar-benar tidak tahu harus
berbuat apa. Kadang-kadang, aku memang tak bisa menemukan ide apa pun jika
dalam keadaan gawat. Aku hanya pasrah dan berdoa.
“Farah, kamu saja yang pergi menemui
pengawal. Aku di sini menemani Shirley,” kata Esha sambil mengambil batang kayu
dan menyorongkannya kepada Shirley. “Pegang kayu itu! Aku akan berusaha
menahanmu sampai bantuan datang!”
Tanpa buang waktu lagi, aku langsung
berlari kencang ke arah pantai sambil berteriak sekuat tenagaku,” Tolong!
Tolong! Mike! Tolong!”
Aku belum sampai pantai ketika melihat
Mike, Tim, dan Brandon di tengah jalan.
“Kenapa? Apa yang terjadi?” tanya Mike.
“Di sana!” Aku bingung menjawabnya karena
napasku masih tersengal-sengal.
Mereka tidak menunggu jawaban lengkapku, mereka
langsung berlari ke arah yang kutunjuk. Aku menyusul di belakang bersama
Brandon yang mengawalku.
Kulihat tubuh Shirley sudah tenggelam
hingga dada, sementara Esha berusaha sekuat tenaga menahan kayu ditangannya.
“Lepaskan saja. Biar kami yang membantu,”
kata Mike mengambil alih. Dia mulai mengeluarkan tali tambang dari pinggangnya
dan melilitkan satu ujungnya ke pinggang. Ujung lainnya diberikan kepada Tim.
Mike melompat ke lumpur itu hingga
menggapai tubuh Shirley. Setelah dia berhasil mengangkat Shirley, Tim dan
Brandon menarik tambang. Mike dan Shirley akhirnya berhasil keluar dari lumpur
pengisap itu.
Aku dan Esha langsung memeluk Shirley
sambil menahan tangis.
“Maafin aku sudah merepotkan kalian,” kata
Shirley. Sedetik kemudian, dia jatuh pingsan.
*^*^*^*^*
Princess Sejati
Kalian tentunya pernah membaca kisah-kisah
princess, kan? Ada Cinderella, Snow White, Rapunzel, dan sebagainya. Kebanyakan
kisah-kisah princess berakhir dengan hal yang menggembirakan. Atau lebih
tepatnya lagi, bertemu dengan seorang pangeran alias prince dan menikah dengan
pesta yang meriah.
Kisah Esha ini pun berakhir bahagia. Tentu
saja, bukan dengan pernikahan karena kami masih sekolah. Lagi pula, kami belum
bertemu dengan seorang pangeran tampan. Tapi, paling tidak saat ini Shirley
sudah kembali sadar dari pingsannya. Mike yang berusaha menyadarkannya.
“Di mana kita sekarang?” tanya Shirley
bingung.
Kami memang sudah berada di sisi pantai,
di dalam tenda darurat. Mike tadi menggendong Shirley.
“Minumlah dulu,” kata Esha sambil
menyodorkan botol minuman.
Shirley meneguknya sedikit. “Siapa
kalian?” tanyanya kemudian.
“Jangan bercanda, ah,” ucap Esha.
Aku
juga berpikir Shirley tengah bercanda. Tapi, tatapan matanya memang kosong. Ia
seperti asing dengan kami. Mungkinkah dia amnesia atau lupa sebagian ingatannya,
gara-gara peristiwa di lumpur tadi? Wah, bisakah nanti dia sembuh?
“Ayo, kamu pasti bercanda!” kata Esha
lagi.
“Ah ... ya, aku ingat sekarang. Kamu
sejenis koala Australia, kan?” tunjuk Shirley kepada Esha.
Esha cemberut. Shirley pun kemudian
tertawa lebar.
“Huh, kukira kamu benar-benar lupa
ingatan!” teriak Esha.
“Iya. Hampir bikin aku panik dua kali,”
tambahku.
Shirley tersenyum. Dilihat tubuhnya yang
kotor oleh lumpur. “Wah, aku benar-benar menjijikkan sekali,” katanya sambil
berdiri.
“Kamu mau ke mana?” tanyaku.
Shirley tidak menjawab. Dia malah berlari
ke bibir pantai membasahi dirinya dengan air laut. Lumpur yang mengotori tubuh
dan pakaiannya pun menghilang. Esha dan aku pun menyusul kembali bermain di ciprat-cipratan
air laut. Seolah kami ingin menghapus kejadian menegangkan tadi dari ingatan
kami.
Sekitar lima belas menit kemudian,
helikopter penyelamat datang mendarat di pantai. Kami berenam langsung naik ke
dalam. Aku bersyukur bisa segera meninggalkan pulau kecil itu.
“Pak, bagaimana dengan kapten pilot
pesawat pribadiku? Apakah dia mendarat dengan selamat?” tanya Esha begitu kami
mengudara. Dia bertanya kepada asisten pilot helikopter.
“Dua pilot dan empat kru lainnya selamat,
meskipun harus mendarat dalam keadaan darurat. Kondisi pesawat hampir terbakar
sebagian,” lapor asisten pilot itu.
“Oh syukurlah. Doaku dikabulkan,” ucap
Esha.
Aku bangga sekali dengan sikap Esha ini.
Di saat kami juga dalam keadaan tak menentu, Esha masih memikirkan nasib pilot
pesawat pribadinya.
“Princess sejati ....”
“Apa? Kamu bilang apa, Farah?” tanya Esha.
“Kamu adalah princess sejati,” ulangku
lebih kencang. Padahal, tadi aku hanya menggumamkan apa yang ada di hatiku.
Rupanya, Esha sedikit mendengarnya.
“Maksudmu apa?” tanya Esha.
“Hatimu sungguh mulia. Hampir seperti
kebanyakan princess-princess di dongeng. Tentu, kamu lebih baik dari mereka
karena kamu bukan princess dalam dongeng,” jelasku.
“Ya, aku juga sependapat. Kamu seorang
princess sejati. Aku melihat kesungguhan hatimu, saat menahanku sekuat tenaga
agar tidak tenggelam di lumpur tadi. Padahal, itu membahayakanmu. Bisa saja
kamu terseret ke lumpur itu,” tambah Shirley. “Terima kasih, Esha. Kamu
benar-benar princess sejati.”
Esha tersenyum. Jemari tangan kirinya mengenggam
jemariku, jemari tangan tangan kanannya menggenggam jemari Shirley.
“Terima kasih kalian telah memujiku. Aku
senang kalian menyebutku Princess sejati. Tapi, aku lebih senang jika aku bisa
menjadi sahabat sejati kalian,” ucap Esha kemudian.
Oh, manisnya kalimat Esha itu. Aku suka
sekali mendengarnya. Dan kurasa aku ingin mengakhiri cerita ini sampai di sini.
Karena inilah saat yang membahagiakan kami bertiga.
Tentu saja, jika nanti kami bertiga
mengalami kejadian yang menarik, aku tidak akan lupa menceritakannya kepada
kalian.
^__^
TAMAT
Bagus bagus ceritanya
ReplyDeleteTerima kasih sudah mampir dan baca.
ReplyDeleteBagus, kak, keren!
ReplyDeleteTerima kasih @Dientia:)
ReplyDeletewah, keren deh, kak!
ReplyDelete