Bab 1
Boleh Nyontek Asal Bayar
“Simpan dulu
bukumu atuh, Nisa. Memangnya semalaman kamu belajar kurang cukup, ya?” usik Bu
Ramli di meja makan saat sarapan.
Nisa
menyimpan buku di tangannya itu ke sisi piring nasi gorengnya.
“Kasihan
dikit dong sama Ibu. Pagi-pagi sudah
komat-kamit baca mantra biar nasi gorengnya sedap,” tambah Pak Ramli setelah menyuap sesendok nasi ke
mulutnya.
Nisa
memandang ayahnya sesaat. Ia tersenyum kecil. “Wah, Ayah, kumisnya berfungsi
ganda. Bisa buat saringan nasi goreng segala,” ledek Nisa.
Pak Ramli
buru-buru mengusap kumisnya.
“Ayah pasti
sengaja nyisain di kumis. Buat bekal di kantor nanti,” timpal Faris, kakak Nisa
yang duduk di bangku satu SMU.
“Euleu-euleuh,
Mana cukup! Ayah mah makannya nggak boleh kurang dari sepiring,” sahut Bu Ramli
dengan logat sundanya yang kental. Ia mengalihkan perhatiannya ke Nisa. “Nisa,
biarpun kamu simpan, bukan berarti kamu teh bisa membacanya sambil makan!”
Ups!
Nisa menggeser buku bacaan IPS itu lebih
jauh. “Hari ini ulangan pertama Nisa di kelas baru. Nisa nggak mau nilai
ulangan nanti jelek. Akan Nisa buktikan biarpun Nisa pindahan dari Bandung,
nggak kalah pintar sama anak-anak Jakarta,” ujarnya.
Keluarga Pak
Ramli memang baru seminggu pindah dari Bandung. Tepatnya di daerah utara kota Jakarta. Mereka harus pindah karena Pak
Ramli mendapatkan promosi jabatan dari kantornya, dari kepala cabang jadi wakil
direktur di kantor pusat di sebuah rumah sakit swasta.
Setelah acara
sarapan pagi beres, Nisa ikut berpamitan pada ibunya. “Ngomong-ngomong kalung
Ibu sudah ketemu belum?”
Wajah Bu
Ramli yang tadi ceria kembali kusam. Nisa jadi merasa bersalah menanyakannya.
Padahal menurut Nisa ibunya tak perlu semurung itu kehilangan kalungnya saat
pindah rumah. Itu cuma kalung imitasi dengan liontin dari kaca. Bisa kok dicari
gantinya di toko dengan harga murah. Tapi Bu ramli bersikukuh harus menemukan
kalung kesayangannya itu. Ada-ada saja memang!
Pak Ramli
mengantar Nisa lebih dulu ke sekolah dengan mobilnya. Lagi-lagi Nisa sibuk
dengan bahan ulangannya di dalam mobil. Bahkan ketika turun di depan gerbang
sekolah, ia berjalan sambil membaca buku di tangannya.
“Aduh,
rajinnya teman baruku! Kamu mau ulangan atau tes jadi astronot?” sapa Mila, teman sebangku Nisa yang mencegat di
pintu kelas.
“Kamu sih
enak sudah banyak yang hapal,” timpal Nisa sambil masuk kelas.
“Siapa
bilang? Aku cuma nggak mau terlalu ngotot belajar. Kata Bu Miftah, ulangan hari
ini soalnya pilihan ganda.”
“Biar pilihan
ganda tetap saja harus belajar. Nggak mungkin asal tembak.” Nisa menyimpan
tasnya ke laci meja. Ia mengamati teman-teman sekelasnya. Mereka tampak tak
seserius dirinya menghadapi ulangan nanti. Sebagian yang sudah datang malah
ngobrol soal sinetron semalam di teve atau malah membaca komik yang mereka bawa
dari rumah. Heran, kok sekolah bawa komik sih?
“Aku bisa
membantu mendapat nilai tinggi. Ya, antara delapan atau sembilan. Asalkan kamu
mau membayar uang dua ribu,” kata Mila setengah berbisik.
Nisa
mendelik. Hah, bagaimana caranya?
“Kamu tahu
Farhan, kan? Dia murid paling jenius di kelas enam ini. Hanya dengan
membayarnya dua ribu, kamu boleh mencontek jawaban ulangannya,” tambah Mila.
“Masya Allah!
Nggak ah. Aku nggak mau pakai cara curang begitu. Aku masih punya otak yang
bisa kupakai berpikir,” tolak Nisa buru-buru.
“Terserah
kamu deh. Aku cuma ngasih tahu. Ngg … jangan kamu bilang hal ini pada Bu
Miftah. Awas, ini rahasia,” pinta Mila sambil meninggalkan Nisa. Mulutnya
bersenandung merdu. Mila memang punya bakat hebat sebagai penyanyi. Suaranya
sangat merdu. Bahkan kata-teman-temannya, bersin pun ia tidak pernah fals. Dan
setiap tahun ia mengeluarkan album kaset yang sangat laris sejak umur lima
tahun.
Nisa menghela
napasnya. Jadi itu sebabnya teman-teman di kelasnya tampak santai menghadapi
ulangan hari ini. Hanya dengan uang dua ribu mereka bisa memperoleh nilai
tinggi. Mereka tinggal mencontek dari… Farhan.
Ya, Nisa
ingat sosok Farhan. Murid cowok itu penampilannya tidak seperti anak jenius
yang Nisa kenal. Tidak berkacamata seperti kutu buku kebanyakan. Tidak juga
kurus seperti anak yang sering berada di perpustakaan daripada berolahraga. Dan
dia selalu datang tepat saat bel masuk.
Teng ning
teng teng ning ning teng!
Farhan masuk
ke kelas, langsung menuju bangku di barisan tengah. Hmmm, tempat yang strategis
untuk memberi contekan ke segala penjuru kelas. Tapi bagaimana caranya?
Nisa akhirnya
menghampiri Farhan.“Han, kudengar kamu suka memberi contekan di waktu ulangan,
ya?” tanyanya langsung.
“Ya. Asal
bayar dua ribu. Tapi untukmu … karena murid baru, aku kasih diskon deh. Seribu
juga nggak apa-apa,” jawab Farhan enteng.
“Gratis pun
aku nggak mau. Itu cara curang. Bagaimana kalau aku mengadukan kecuranganmu itu
pada Bu Miftah?”
“Silakan
saja. Tapi kamu harus menjelaskannya pada mereka,” kata Farhan sambil menunjuk
teman-temannya.
Nisa tak bisa
berkata lagi karena seluruh tatapan mata di kelas mengarah padanya. Ia kembali
ke bangkunya. Nisa yang penasaran tak sabar menunggu detik-detik ulangan IPS
tiba.
Bu Miftah
masuk tiga menit kemudian. Membagikan kertas soal dan lembar jawaban. Seisi
kelas mulai sibuk membaca soal. Tapi
sebagian besar belum juga membuat jawaban. Nisa berusaha mengerjakan
soal-soal itu sambil sesekali melirikan matanya ke Farhan. Tap!
Farhan dengan
cepat menyelesaikan duapuluh soal di depannya. Ia mengangkat lembar jawabannya
hingga mudah dibaca dari belakang dan sampingnya. Lalu secara berantai hasil
jawaban itu menyebar ke seluruh kelas. Kecuali Nisa! Dan mereka yang mendapat
contekan itu harus membuat sendiri dua
atau tiga jawaban salah. Agar nilai mereka tidak sama sekelas hingga mengundang
kecurigaan Bu Miftah.
“Selesai
tidak selesai, harap kumpulkan semua lembar jawaban. Ayooo!” seru Bu Miftah
satu setengah jam kemudian.
Nisa menarik
napasnya. Ia merasa lega berhasil menjawab soal-soal itu, meski tak begitu
yakin akan betul semua. Rasanya Nisa tak sabar menunggu waktu dua hari untuk
mengetahui nilainya.
Dua hari
kemudian Bu Miftah membagikan nilai ulangan itu. Nilai tertinggi seperti biasa
dipegang Farhan. Selebihnya antara delapan dan sembilan. Nisa nyaris tak
percaya ketika tahu Mila yang mengaku tak belajar itu mendapat nilai sembilan,
sama dengannya yang susah payah belajar.
Ini tidak
adil! Pekik Nisa dalam hati. Hatinya memberontak.
Tapi cukup
beranikah Nisa? Ia harus melawan teman-teman sekelasnya kelak.
****
Bab 2
Demi Kebenaran
“Kamu serius
mau mengadu pada Bu Miftah? Aduh, mendingan jangan. Nanti kamu bisa-bisa
dimusuhi teman sekelas,” cegah Mila beberapa detik setelah bel istirahat
berbunyi.
“Ya. Aku
melakukannya demi kebenaran. Demi kebaikan teman-teman juga. Termasuk kamu.
Biar teman-teman nggak dirugikan,” tegas Nisa sambil berdiri.
“Tapi
menurutku, kami memang nggak rugi,” kilah Mila yang memang sulit mengatur waktu
untuk belajar karena sibuk dengan urusannya penyanyi laris. Apalagi belakangan
ia mulai ikut main sinetron dan jadi bintang iklan.
“Belum kamu
rasakan sekarang. Tapi, nanti kalau ujian bagaimana? Pengawas kita bukan guru
sendiri, tapi dari sekolah lain. Kamu nggak bisa nyontek sembarangan.”
“Oh, kalau
ujian pasti aku akan belajar.”
“Mana bisa
begitu? Kok belajarnya cuma mau ujian? Kamu nggak akan siap dengan cara
begitu!” Nisa bergegas meninggalkan kelas tanpa menunggu jawaban Mila. Ia menuju
ruang guru dan menemui Bu Miftah. Nisa melaporkan semua hal yang diketahuinya
tentang kecurangan Farhan.
Bu Miftah
tampak gusar. Ia segera meminta Nisa kembali ke kelas dan memanggil Farhan.
Puluhan pasang mata di kelas langsung menatap sinis saat Nisa meminta Farhan
menemui Bu Miftah di ruang guru. Mereka memang tidak menyerang dengan
kata-kata. Tapi Nisa langsung merasa mereka memusuhinya.
Ketika bel
tanda masuk berbunyi lagi, Farhan kembali ke kelas. Tak ada tanda penyesalan di
wajahnya. Ia melangkah ringan ke bangkunya dan meraih tasnya.
“Kamu
diberhentikan, Han?”
“Diskorsing,
ya?”
“Berapa
lama?”
Suasana di
kelas persis tayangan berita seorang menteri yang diserbu wartawan. Tapi Farhan
tak menyahutinya. Ia terus melenggang meninggalkan kelas.
Sejak itu
Nisa merasa jadi orang asing di kelas. Tak ada yang mengajaknya bicara. Bahkan,
Mila tak mau menoleh padanya sedetik pun. Lalu ketika pulang sekolah, tampak
beberapa murid kasak-kusuk seperti merencanakan sesuatu untuk Nisa.
*****
“Seharusnya
kamu sadar bahwa caramu itu telah membuat teman-temanmu tambah malas belajar. Dan akhirnya mereka akan jadi
bodoh selamanya. Atau memang kamu ingin pintar sendiri?”
Kata-kata Bu
Miftah terngiang kembali di telinga Farhan saat berjalan pulang. Ia sendiri tidak
menginginkan cara itu kalau saja ia memiliki uang cukup untuk membiayai sebuah proyek rahasia
yang sedang ia kerjakan.
Awalnya
Farhan minta tolong pada Mila untuk meminjamkannya uang. Mila menyanggupinya
asal Farhan mau mengerjakan pe-er yang tak sempat diselesaikannya. Lalu,
beberapa tugas sekolah seperti prakarya, mengarang, dan menggambar dikerjakan
Farhan pula. Dia mendapat bayaran dari itu semua. Lama-lama teman-teman
sekelasnya yang lain mengikuti jejak Mila. Sampai akhirnya, untuk urusan ulangan
pun mengandalkan Farhan.
“Kamu Ibu
skorsing selama dua hari. Dan kamu harus menulis surat permohonan maaf serta
janji untuk tidak mengulanginya yang ditandatangani kedua orangtuamu,” demikian
Bu Miftah menutup ceramahnya tadi.
Farhan hanya
menelan ludah karena hukuman itu buatnya terasa berat. Artinya ia akan
mengalami kesulitan biaya untuk meneruskan proyek rahasianya.
Tak terasa
Farhan sudah memasuki mulut gang menuju rumahnya. Ditatapnya sebentar langit
yang mulai mendung. Musim hujan sebentar lagi tiba. Hal itu membuat hatinya
kian gelisah.
Daerah tempat
tinggal Farhan memang mencemaskan di musim hujan. Perkampungan dengan rumah
yang padat, serta saluran air yang tak terurus dan dipenuhi sampah, membuat
daerah itu rawan banjir. Belum lagi air pasang laut yang tak seberapa jauh itu.
Malah saat banjir tahun lalu, permukaan air sampai seleher orang dewasa.
Membuat semua penduduk di daerahnya harus mengungsi. Perabotan rumah banyak
yang jadi korban. Yang menyedihkan, buku-buku koleksi Farhan rusak semua.
Aku harus
buru-buru menyelesaikan proyekku, Farhan membatin sambil mempercepat
langkahnya.
Sampai di
rumah ia hanya menemukan kakaknya yang hendak berangkat sekolah siang di SMU.
Ayah dan ibunya belum pulang. Mereka kerja di pabrik garment yang sama. Ibu
sebagai buruh, ayahnya sebagai satpam.
“Lho, hari
gini kok sudah pulang?” tanya Farah heran.
“Diskorsing.
Gara-gara mulut bawel murid baru di kelasku.”
Farah
tertawa. Ia sudah tahu banyak tentang kecurangan Farhan. “Aku sudah bilang
ratusan kali, sepandai-pandainya menyimpan bangkai … bau busuk tetap akan
tercium juga,” katanya kemudian.
“Aduh, jangan
bilang-bilang bangkai dong. Aku belum makan nih. Bisa-bisa nanti jadi malas
makan.”
“Memangnya
siapa yang masakin kamu daging? Tuh, aku tadi cuma bikin sayur lodeh sama semur
tahu. Mana ada bangkai tahu atau lodeh!”
Farhan
garuk-garuk kepala meski tak gatal. Ngadu omongan dengan kakaknya memang tidak
akan menang.
“Terus, kamu
pasti dendam dong sama anak baru itu?” selidik Farah kemudian.
“Dia tuh
cewek, Kak. Nggak mungkin aku tonjok mukanya. Biar saja teman-teman yang
membalasnya.”
“Wah, main
keroyokan!”
“Biarin! Aku
nggak nyuruh mereka kok!”
“Nggak
nyangka adikku sejahat itu. Mestinya kamu malah harus berterima kasih karena
dia sudah nyadarin kamu.”
“Wueekkk! Nggak
akan pernah deh!”
“Oh, ya?”
“Sampai kapan
pun!”
“Aku nggak
percaya.” Farah hapal betul sifat adiknya.
Farhan
ngeloyor ke kamarnya karena tak berdaya berdebat dengan kakaknya itu.
*****
“Banjirrrrrr!
Banjirrrr!”
Suara itu
terdengar berisik di telinga Farhan, membuatnya terbangun dari tidur. Ia sempat
bingung karena sekelilingnya gelap. Oh! Pasti aliran listrik dipadamkan. Farhan
buru-buru meraih lampu senter di bawah kasurnya. Nyala!
Plung! Farhan
terkejut ketika menurunkan kakinya dari dipan. Ternyata air sudah masuk ke
rumahnya. Sampai selutut malah. Buru-buru Farhan keluar dari kamarnya.
“Ibu
bangunkan dari tadi malah ngorok terus!” seru Ibu yang tengah sibuk mengangkat
beberapa perabot di ruang tamu bersama Ayah. “Amankan sendiri barang-barangmu!”
Farhan segera
menuruti kalimat Ibu. Dilihatnya, Farah juga tengah sibuk menyelamatkan sepatu
sekolahnya. Hah! Farhan ingat sepatunya dan beberapa koleksi bukunya di kolong
tempat tidur. Ketika Farhan melongoknya, sebagian koleksinya sudah terendam.
Buru-buru Farhan menyelamatkan hartanya yang lain.
Hujan yang
terus turun walaupun tak deras, membuat Farhan tak bisa nyenyak tidur. Itu
sebabnya ketika berangkat sekolah matanya masih terasa berat.
“Kamu
begadang yah, semalam?” tanya Mila yang melihat kedatangan Farhan.
“Biasalah,
banjir. Kalau jadi kamu sih, enak. Punya rumah di kawasan bebas banjir, tingkat
lagi …” timpal Farhan.
“Kalau kamu
terus begadang … bisa gawat dong. Besok kita sudah mulai tes. Sementara kamu
harus tenang belajar …. Maksudku, biar bisa ngasih jawaban yang benar,” ujar
Mila lagi.
“Ya, habis
gimana lagi. Masak sih keluargaku harus pindah ke perumahan elit kayak kamu.
Nggak mungkin.”
Mila terdiam
sebentar. “Gimana kalau kamu saja yang pindah untuk sementara waktu? Pokoknya
selama musim banjir dan tes. Di rumahku masih ada kamar yang bisa kamu tempati
untuk sementara. Pasti mamaku nggak keberatan.”
Farhan
manggut-manggut. “Baiklah, nanti sore kalau hujan lebat … aku pasti langsung
mengungsi ke rumahmu,” sahut Farhan.
Seharian itu
hujan tak turun. Hanya menjelang Magrib terlihat langit sangat gelap. Ibu
pulang kerja lebih cepat dari biasanya.
“Ayah hari
ini dinas malam. Lembur. Jadi sebaiknya kita harus lebih siap-siap kalau
sewaktu-waktu banjir datang,” kata Ibu cemas. Ia langsung menyibukkan diri
memindahkan beberapa barang.
“Tapi, Bu …
Farhan tadi sudah janji sama Mila menginap di rumahnya. Besok Farhan sudah tes.
Kalau nggak belajar ….”
“Ibu nggak
melarang kamu menginap kok. Pergi saja kalau memang menurut kamu itu baik,”
timpal Ibu seperti biasa.
Farhan
menelan ludah mendengar kalimat ibunya. Akhirnya ia memutuskan menelepon Mila.
“Maaf ya, aku
nggak jadi nginap,” jelas Farhan pada Mila.
“Pasti nggak
diizinkan ibumu. Kalau begitu biar aku saja yang ngomong,” bujuk Mila.
“Bukan kok.
Aku sendiri yang memutuskan. Kupikir-pikir, masak sih keluargaku kerepotan
banjir di sini, aku enak-enakan nginap di rumah mewah bersamamu.”
“Terserah
kamulah!” Mila kecewa.
Ternyata
keputusan Farhan itu tepat. Pada malam harinya, hujan turun dengan deras. Semua
warga di jalan itu harus mengungsi. Banjir yang datang lebih tinggi dari
biasanya. Hampir seleher orang dewasa. Banyak orang yang harus kehilangan harta
bendanya. Malah ada pula korban jiwa karena terseret arus banjir.
Farhan dan
keluarganya terpaksa mengungsi ke stadion olahraga terdekat. Kebetulan tribun
di stadion itu cukup tinggi dan luas. Saat itulah pertama kali Farhan merasakan
jadi orang yang mengungsi ke tempat darurat.
“Sebenarnya
mengungsi ke rumah Mila jauh lebih menyenangkan,” pikir Farhan. Tapi, ia yakin
Ayah dan Ibu tak akan mau. Dan Farhan tak mau kalau hanya dirinya yang
mengungsi ke rumah mewah Mila, sementara Ayah, Ibu dan kakaknya harus tinggal
di tempat penampungan darurat.
Karena banjir
itu pula sekolah harus mengundurkan jadwal tes. Rupanya cukup banyak murid yang
jadi korban banjir.
“Banjirrr!
Banjirrrrr!”
Hah!
Farhan
tersentak kaget. Wah, rupanya ia terjaga dari tidur siangnya. Mimpi buruk
tentang peristiwa banjir yang terjadi tahun lalu.
Farhan
mengusap matanya. Di depannya, tergeletak beberapa peralatan kerja yang
berhubungan dengan proyek rahasianya. Mengingat mimpinya tadi, Farhan jadi
kembali bersemangat mengerjakan proyek rahasianya yang tertunda sebentar tadi
karena mengantuk.
“Aku nggak mau
mengungsi untuk kedua kalinya,” tekad Farhan.
*****
Bab 3
Hati-Hati, Ya!
“Assalamu`alaikum!
Bisa bicara dengan Mila?” sapa Nisa usai mendengar nada sahutan di telepon.
“Wa
`alaikumsalam. Dari siapa nih?”
“Dari Nisa.
Ini pasti Mila. Kamu nggak sibuk syuting?” tanya Nisa hati-hati.
“Nggngng …”
Mila ragu menjawab.
“Aku mau
minta maaf karena tidak mau mendengar nasihatmu. Tapi sungguh aku merasa apa
yang kulakukan tadi pagi itu baik untuk kita semua kok. Tapi kalau kamu pikir
aku salah, aku mau minta maaf. ”
“Aku juga
minta maaf karena ikut memusuhimu. Karena ….”
“Aku tahu.
Kamu nggak enak kalau tidak ikut-ikutan temanmu yang lain, kan? Tak apa-apa
kalau memang itu pilihanmu.”
“Begitulah …”
Mila berterus terang.
“Wah, aku
lega karena kamu ternyata nggak benar-benar memusuhiku. Aktingmu boleh juga
hari ini. Habis rasanya aneh dimusuhi teman sebangku. Tapi … kalau kamu memang
tidak bisa bicara denganku karena harus pura-pura di depan teman-temanmu, besok
teruskan saja begitu. Yang penting aku tahu hatimu baik padaku,” sahut Nisa.
“Iya. Dan
jangan bilang siapa pun kamu bicara denganku di telepon. Awas, ini rahasia!”
Mila diam sebentar seperti mencari kalimat yang cocok untuk dibicarakan. “Boleh
aku tahu, kamu takut kecoak nggak sih?”
“Kalau cuma
satu atau dua sih nggak. Tapi kalau banyak jijik juga.”
“Wah, kalau
aku sih lihat bayangannya saja bakalan lari. Syukur deh kalau memang kamu nggak
setakut aku.”
“Memangnya
kenapa?”
“Ng … nggak
apa-apa. Sudah dulu ya, aku ditunggu mamaku nih. Sore ini ada pentas di pesta
ulang tahun anak teman mamaku. Assalamu`alaikum! Hati-hati, ya!”
“Wa
`alaikumsalam.”
Klik. Nisa
menyimpan gagang telepon ke tempat semula. Tugas dari kakaknya telah dijalankan
dengan baik.
Ya, sepulang
sekolah Nisa menceritakan pengalamannya di kelas pada Bu Ramli dan Faris. Atas
saran Faris, Nisa diminta menelepon beberapa teman di kelasnya untuk
menjelaskan segalanya. Tapi, Nisa hanya punya lima nomor telepon. Empat lainnya
sudah ditelepon, tapi mereka langsung menutup gagang telepon begitu Nisa
menyebutkan namanya. Cuma Mila yang masih berbaik hati.
Tapi apa
maksud Mila mengucapkan kalimat
‘hati-hati, ya!’ tadi? Pikir Nisa.
*****
Hari Kamis
pagi hujan turun rintik-rintik. Namun, tetap saja udara yang Nisa rasakan di
Jakarta tak sesejuk di Bandung. Saat masuk kelas ia langsung merasakan tatap
permusuhan dari semua temannya. Bahkan, Mila tak menyapanya seperti hari-hari
sebelumnya.
Beberapa
detik setelah bel tanda masuk berbunyi,
sosok Farhan tak muncul ke kelas. Seisi kelas mulai yakin dengan gosip yang
beredar bahwa Farhan diskorsing selama dua hari. Hati mereka bertambah kesal
pada Nisa.
Bu Refa, guru
kesenian, mengisi pelajaran pertama di kelas.
“Berhubung
hari ini hujan, untuk menghangatkan kelas, Ibu akan menilai kalian menyanyi
satu persatu di depan kelas. Lagu yang kalian nyanyikan bebas. Asal tidak lebih
dari tiga menit,” ucap Bu Refa setelah semua murid selesai berdoa bersama.
Keruan seisi
kelas jadi riuh. Hanya beberapa murid yang tampak tenang. Apalagi Mila. Ia
memang paling suka pelajaran menyanyi. Tapi kebanyakan langsung berkeringat,
terutama murid cowok. Tidak heran kalau kemudian terjadi beberapa kejadian
lucu.
Ada yang
menyanyi sambil menatap lantai. Ada juga yang terus melihat ke langit-langit
kelas yang seolah akan rubuh menimpanya.
Bahkan, tidak sedikit yang nyanyi dengan irama terburu-buru sehingga belum
sampai di ujung lagu, mereka sudah berlari ke bangku. Ketika Mila mendapat
giliran, seisi kelas mendengarnya dengan seksama. Mila membawakan lagu dari
salah satu albumnya.
“Anisa
Putri!” Bu Refa memanggil giliran berikutnya.
Nisa maju ke depan kelas diiringi celetukan
beberapa mulut temannya.
“Sebelumnya
saya minta maaf karena lagu yang saya nyanyikan ini bukan lagu terkenal. Lagu
ini diciptakan oleh ibu saya, dan sering dinyanyikan sewaktu saya masih kecil
….”
“Huhhhhhh!”
terdengar sorak mengejek.
“Mau nyanyi
pakai pidato segala,” susul suara lainnya.
Nisa menarik
napasnya sebentar. Dengan nada yang riang ia mulai melantunkan lagu yang diberi
judul Beri Aku Senyummu.
Kadang aku
bertanya
Mengapa
pelangi serupa itu
Melengkung ke
bawah seolah langit sedang bersedih
Namun ketika
kulihat warnanya
Baru kutahu
langit selalu tersenyum
Karena itulah
Tak akan
kusimpan senyumku
Pada siapa
saja
Agar kudapat
senyum dari semua orang
Beri aku
senyummu …
Karena senyum
itu indah
Beri aku
senyummu …
Karena senyum
itu ibadah
Bu Refa
secara reflek bertepuk tangan begitu Nisa mengakhiri lagunya. Sebetulnya Mila
kagum dengan nyanyian Nisa, tapi ia menahan dirinya untuk ikut bertepuk tangan.
Ia mengeluarkan secarik kertas dan menulis sebaris kalimat.
‘Lagumu
bagus, suaramu merdu.’
Ketika Nisa
duduk ke bangkunya, Mila menyodorkan kertas itu. Nisa hanya tersipu sambil
mengangguk pelan. Biar bagaimanapun, Nisa bangga dipuji oleh penyanyi terkenal
seperti Mila.
Usai
pelajaran kesenian, Bu Miftah mengajar pada jam berikutnya. Seisi kelas
langsung tegang, karena Bu Miftah ternyata mengadakan ulangan mendadak.
“Nilai
ulangan kemarin tidak Ibu catat. Sebagai gantinya hari ini kalian harus
mengulangnya,” seru Bu Miftah sambil membagi-bagikan soal ulangan dan lembar
jawaban.
Keringat
membasahi sebagian besar teman-teman Mila. Nisa meskipun kaget, tetap yakin ia
masih mengingat bahan pelajaran yang dibacanya.
Ketika bel
tanda istirahat berbunyi, sebagian besar murid belum menyelesaikan ulangan
mereka. Tapi Bu Miftah memaksa mereka segera mengumpulkan lembar jawaban.
Bahkan beberapa murid terpaksa berlari karena Bu Miftah langsung keluar kelas
tanpa menunggu lama lagi.
Nisa yang
masih diasingkan memutuskan untuk mengisi waktu istirahat di perpustakaan.
Setelah menemukan dua judul buku yang menarik, ia menghampiri petugas
perpustakaan untuk meminjamnya ke rumah. Saat kembali ke kelas, tampak beberapa
teman barunya berkumpul di dekat pintu. Mereka tidak mau membalas senyum yang
diberikan Nisa.
Nisa menarik
tasnya dari laci meja untuk memasukkan buku yang dipinjamnya. Tapi ada yang
aneh. Resleting tasnya … Nisa membuka tasnya dan … dua ekor kecoa melompat dari
dalam tasnya. Nisa melonjak-lonjak karena kecoa itu hinggap di bajunya.
“Tolong ….”
Bruk! Nisa
tertungkup di mejanya.
Mereka yang
melihatnya cekikikan. Tapi, sepuluh detik kemudian mereka cemas. Nisa tak juga
bergerak.
“Wah, Nisa
pingsan!” teriak Mila sambil berlari mendekati teman sebangkunya.
“Ambilkan
minyak angin!”
“Bawa minum!”
“Jangan-jangan
dia jantungan, makanya pingsan.”
“Gawat,
dong.”
“Kamu sih,
bikin rencana aneh!”
“Siapa? Bukan
aku! Dia nih!”
“Enak saja.
Dia tuh!”
“Nanti kalau
dia ngadu pada Bu Miftah bisa gawat.”
“Nggak ngadu
juga, kalau terus pingsan gini lebih gawat!”
“Berisik!”
Mila yang
juga pernah pingsan segera memberi pertolongan. Dia memberi aroma minyak angin
di sekitar hidung Nisa. Perlahan mata Nisa terbuka. Mila mengipasi wajah Nisa
dengan buku. Sebagian berusaha berbaik hati memberikan minum.
Nisa meneguk
air minum yang disodorkan. Ia menyeka dahinya.
“Aduh, syukur
kamu bangun. Aku sudah cemas nih,” ujar Mila kemudian.
Nisa manggut-manggut. “Aku nggak apa-apa kok,”
sahutnya.
“Jangan kamu
ceritakan pada Bu Miftah, ya,” pinta Mila. “Kami minta maaf. Kecoa itu memang
kami yang masukan ke dalam tasmu.”
Nisa
manggut-manggut lagi.
Ya, Nisa tahu
hal itu. Ia sudah curiga ketika melihat resleting tasnya tidak tertutup
sempurna. Itu bukan kebiasaannya. Dan ia juga teringat tentang percakapannya di
telepon kemarin. Tentang kecoa. Tentang kalimat ‘hati-hati, ya!’ dari Mila.
Tadi Nisa hanya pura-pura kaget untuk memberi pelajaran pada mereka.
“Tapi .…”
kata Nisa kemudian, ”aku minta kalian juga tidak memusuhiku lagi.”
Beberapa anak
menyanggupi, karena setelah ulangan mendadak tadi, mereka baru mengerti bahwa
mencontek saat ulangan hanya akan membuat mereka tergantung pada Farhan. Mereka
jadi malas belajar. Tapi ada juga yang menolak. Mereka masih berpihak pada
Farhan. Di kelas itu jadi ada dua kelompok. Hanya Mila yang berpihak pada
keduanya.
“Oh, iya ini
coklat dariku. Sebagai tanda minta maaf karena ikut memusuhimu,” tiba-tiba
terdengar suara di belakang Nisa.
“Wah, terima
kasih. Bagaimana kamu tahu aku suka coklat?” timpal Mila sambil memandang Lana yang duduk di meja di belakangnya.
“Aku tahu
semua yang kamu suka. Bahkan pita rambut, warna tas, buku, pensil, dan kaos
kaki yang kamu suka pun aku tahu,” tambah Lana sambil berdiri mendekati Nisa.
Nisa
mengamati Lana. Ya, Ampun! Nisa baru menyadarinya …. Kini Lana berpenampilan
seperti bayangan diri Nisa di cermin. Benar-benar semuanya mengikuti Nisa.
“Boleh nggak,
nanti sore aku main ke rumahmu? Aku juga ingin melihat koleksi buku dan mainan
di kamarmu, biar aku bisa juga mengoleksinya,” tanya Lana.
Nisa
buru-buru menggeleng. “Jangan dulu deh. Nanti sore aku harus latihan silat di
gelanggang remaja,” kilah Nisa buru-buru.
“O, ya?!”
Lana tersenyum penuh arti.
*****
Begitu sampai
rumah, Nisa langsung menceritakan semua kejadian di kelas pada abangnya. Mulai
dari soal kecoa sampai perihal Lana yang tiba-tiba jadi bayangannya.
“Benar-benar
menyebalkan. Rasanya aku punya bayangan lebih dari satu,” umpat Nisa kesal. “Rupanya
Lana mengikuti semua yang kupakai. Ia juga terus mengikuti ke mana aku pergi.”
“Mungkin dia
mengagumimu. Makanya dia menirumu,” timpal Faris.
“Iya, tapi
bikin kesal.”
“Lama-lama …
dia juga capek sendiri kok.”
Nisa menarik
napasnya. Ternyata kakaknya tak punya jalan keluar yang manjur. Akhirnya Nisa
memutuskan bersiap-siap latihan silat. Ia mengemasi barang yang harus
dibawanya. Dulu, sewaktu di Bandung Mila memang sudah ikut perkumpulan silat
Gagak Emas. Kebetulan di gelanggang remaja dekat rumahnya ada juga pengurus
cabang perguruan itu.
“Kamu punya
bakat hebat jadi pesilat tangguh. Sebaiknya kalau pindah ke Jakarta nanti, kamu
teruskan latihanmu,” begitu pesan guru silatnya di Bandung.
Nisa
sebenarnya ikut latihan silat hanya untuk berolahraga. Ia tidak ingin jadi
pendekar. Tapi, ayahnya mendukung Nisa agar terus berlatih silat. Sejak tiga
hari lalu Nisa sudah resmi menjadi murid di perguruan silat itu. Sore ini
adalah latihannya kedua.
Ups! Betapa
terkejutnya Nisa begitu melihat seseorang yang sudah lebih dulu sampai di
tempatnya latihan. Ya, Lana! Dia datang lengkap dengan mengenakan pakaian
silat.
“Hai, Nisa!
Kaget, ya?” sapa Lana. “Mulai hari ini,
aku juga latihan silat di sini.”
“Lho,
bukannya kamu sudah ambil kursus balet dan piano?” tanya Nisa bingung.
“Iya sih.
Tapi aku tinggalin. Habisnya bosan. Sepertinya latihan silat bisa bikin lebih
berani sepertimu,” sahut Lana.
Nisa hanya mengelengkan kepalanya. Ia berusaha
mengabaikan kehadiran Lana agar latihannya bisa konsentrasi. Tapi lagi-lagi Lana
mirip bayangannya. Kalau Nisa lari, Lana ikut di belakangnya. Nisa melompat,
Lana melompat juga. Bahkan, Nisa ke toilet pun ikutan!
Menyebalkan!
Umpat Nisa dalam hati. Akhirnya ia pulang ke rumah sambil terus menggerutu.
*****
Bab 4
Proyek Rahasia
Farhan terus
berkutat di kamarnya. Sejak Ibu dan ayahnya tahu bahwa dirinya diskorsing,
Farhan langsung mendapat hukuman tidak boleh keluar kamar. Bagi Farhan itu
bukan masalah, karena kamarnya juga laboratorium tempatnya membuat proyek
rahasia.
Setelah
banjir tahun lalu reda, ayahnya membuatkan kamar untuknya serta gudang di
loteng. Dengan demikian jika banjir tiba Farhan tak perlu kelimpungan mengurus
buku-bukunya, dan ayahnya bisa menyelamatkan beberapa benda berharga ke gudang.
Di atas meja
belajarnya, Farhan menggelar kertas lebar tempat ia menggambar rancangan proyek
rahasianya. Tangannya kemudian memberi tanda beberapa bagian dari rancangan
yang sudah dibuatnya. Kemudian ia mengeluarkan beberapa rangkaian elektronik
dari lemarinya. Besarnya beraneka ragam.
Ia memang masih harus membetulkan beberapa bagian yang ternyata keliru dari
perkiraannya.
Tangan Farhan
dengan cermat mengotak-atik rangkaian itu. Sebentar tangannya memegang solder
timah, lalu ia mengambil beberapa alat elektro seperti resistor, dioda,
transistor, dan lainnya. Lalu, ia membawa seember air ke kamarnya.
Bereksperimen lagi. Gagal. Mencoba lagi.
Tuk … tuk …
tuk.
Farhan
buru-buru menyembunyikan proyek rahasianya itu karena mendengar ada yang
mendekati pintu kamarnya.
“Han, ada temanmu
di ruang tamu tuh!” suara nyaring Bu Rahmat terdengar kemudian.
Farhan
meninggalkan kamarnya. Upppss! Ia tersentak ketika melihat sosok yang datang.
Nisa dan seorang cowok jangkung yang wajahnya hampir mirip dengan Nisa. Mereka
tengah duduk di bangku tamu.
“Maaf,
mengganggu kamu nih. Kenalkan ini abangku, Faris!” sapa Nisa sambil berdiri.
Farhan yang
masih terkejut langsung menyalami Faris. Ah, pasti Nisa tahu rumahku dari Mila,
pikirnya. Ya, Mila memang beberapa kali ke rumah Farhan kalau minta tolong
dibuatkan tugas sekolah.
“Aku ke sini
mau ngasih photo copy bahan pelajaran hari ini,” kata Nisa sambil menyodorkan
beberapa lembar kertas.
“Untuk apa?”
“Untuk kamu
pelajari. Kamu kan diskorsing sama Bu Miftah gara-gara aku, meski itu
kesalahanmu. Biar di rumah, kamu masih bisa mengikuti pelajaran yang tertinggal
dari salinannya.”
“O, begitu
yah. Sebenarnya nggak usah serepot itu. Di sini banyak kok teman sekelas kita.”
“Tapi yang
mau pinjamkan catatan mereka apa ada?” sindir Nisa.
Farhan
menggaruk kepalanya. Memang tidak ada sih. Malah mereka yang sering menyalin
buku catatan Farhan. “Baiklah, terima kasih,” kata Farhan kemudian. Kurang enak
juga jika ia tidak menghargai jerih payah Nisa, sampai mengantarkannya ke rumah
pukul delapan malam begini.
Nisa dan
Faris lantas berpamitan pada orangtua Farhan. Mereka di antar Farhan sampai
mulut gang. Ternyata mereka membawa mobil sedan yang diparkir di sisi jalan.
“Wah, lain
kali kalau ke sini jangan bawa mobil,” ucap Farhan.
“Memangnya
kenapa? Aku nggak bermaksud pamer kok. Ini kan sudah malam, lagian khawatir
hujan,” tanya Nisa.
“Bukan
begitu. Di sini rawan. Kalau cuma hilang ban serep masih untung. Kadang-kadang
ada yang cuma disisain kaca spionnya,” canda Farhan.
Nisa dan Faris tertawa. Tapi mereka tetap merasa
cemas. Ketika tahu rumah Farhan di daerah ini pun mereka sudah was-was. Kata
orang daerah ini sarang garong. Tapi, syukurlah, malam ini mereka ternyata
aman-aman saja kok.
Farhan segera
kembali ke rumah. Dilihatnya Farah menyambutnya penuh senyum di ruang tamu.
“Sampai kapan
bisa musuhan nih? Orang sebaik dia tuh susah di dapat. Ini malah kamu musuhin!
Giliran si malas kayak temanmu yang artis itu malah kamu tolong,” komentar
Farah.
Farhan
menjulurkan lidah dan lari menuju kamarnya.
Proyek
rahasianya harus segera diwujudkan.
*****
Mila tak
beranjak dari depan televisi. Buku pelajaran di tangannya hanya dipegang tanpa
dibaca. Sesekali ia mengipas dengan buku itu.
“Masih lama?”
tanya mamanya mendekat.
“Lima menit
lagi. Aduh … kalau nggak masuk gimana, nih?” Mila tampak cemas.
Malam ini di
salah satu stasiun televisi swasta akan mengumumkan nominasi calon peraih artis
terbaik. Ada artis dewasa maupun anak. Beberapa tahun lalu Mila selalu menjadi
artis penyanyi cilik terbaik, lalu artis sinetron cilik terbaik. Tapi tahun
lalu ia hanya sampai masuk nominasi. Saingan Mila semakin banyak dan hebat.
Makanya tahun ini ia cemas kalau tak sampai masuk nominasi.
Waktupun
berjalan dengan lambat. Mila semakin tegang ketika acara yang ditunggunya tiba.
Mestinya Mila berada di acara itu. Tapi papanya melarang pergi karena
diselenggarakan malam hari, sementara besok pagi ia harus sekolah.
“Horeeeee!
Masuk!” teriak Mila ketika namanya disebut. Ia melonjak-lonjak seperti sudah
dipilih menjadi artis penyanyi terbaik tahun ini, padahal baru nominasi.
Pengumuman finalnya masih sebulan lagi. Biasanya, antara waktu sebulan itu,
artis-artis yang masuk nominasi akan sibuk mencari publikasi agar nama mereka
makin terkenal dan meninggalkan kesan baik di hati masyarakat. Maklum,
keputusan artis terbaik ini memang berdasarkan pemilihan masyarakat melalui
surat, telepon, sampai internet.
Mama Mila
mengecupnya sambil berbisik, “Kamu harus jadi yang terbaik seperti dulu lagi!”
Mila
manggut-manggut. Ucapan mamanya selalu merasuk pikirannya. Mama memang sangat
ambisi agar Mila selalu menjadi yang terbaik sebagai artis. Berbeda dengan
papanya yang justru berharap Mila bisa berprestasi di sekolah. Papanya sering
meminta agar Mila mau masuk sekolah favorit, tapi mamanya malah memasukkan Mila
ke sekolah biasa yang bisa dengan mudah izin karena harus syuting.
Telepon rumah
maupun telepon seluler terus berbunyi. Mereka banyak yang memberi selamat dan
dukungan. Dua jam kemudian Mama Mila mendapat telepon dari seseorang.
“Bagaimana,
Tante? Proyeknya jadi?”
“Jelas jadi
dong. Tapi ini proyek rahasia.”
“Oke deh,
Tante.”
Klik.
“Dari siapa,
Ma? Memang punya proyek apa sih, Mama?” tanya Mila yang menguping.
“Dari Om
Pram. Kamu akan dikontrak eksklusif sebagai bintang cilik kalau bisa jadi artis
cilik terbaik lagi tahun ini.”
Mila
menggigit bibirnya. Di telinganya terngiang nama-nama nominasi artis cilik
lainnya. Mereka begitu hebat, bahkan penjualan kaset mereka banyak yang
melebihi penjualan kaset Mila. Mereka juga lebih sering diberitakan di televisi
atau di tabloid ketimbang Mila.
Tiba-tiba
Mbok Iyah menghampiri mereka. Dikabarkan ada tamu yang datang hendak bertemu
mama Mila dan Mila. Ternyata tamu itu datang dari sebuah lembaga penyantun anak-anak terlantar.
“Kami akan
mengadakan pengumpulan dana untuk anak-anak terlantar, sekaligus untuk
menghibur mereka. Untuk itu kami berharap Mila bersedia menyanyi pada acara
kami besok,” kata seorang lelaki setengah baya dengan peci hitam yang
mengkilat.
“Wah, Mila
tentu saja tidak keberatan. Tapi Bapak sudah tahu honor yang harus dibayar,
kan?” sahut mama Mila.
Dua lelaki
itu saling memandang. “Jumlah itu terlalu besar. Bisakah kami membayar semampu
kami? Karena ini acara amal.”
“Maaf, Pak,
bukannya kami nggak mau beramal. Tapi sekarang ini banyak panitia palsu yang
bilang acara amal, tapi duitnya nggak disumbangin. Jadi, kalau nggak bisa
membayar sesuai standar honor Mila selama ini, kami terpaksa menolak,” ujar
mama Mila.
“Tapi tempo
hari … ketika kami bicara dengan Mila, katanya bersedia ….”
“Ah, Mila
nggak tahu apa-apa soal manajemen acaranya. Saya yang mengurus. Dia tinggal
datang dan menyanyi kok.”
Dua lelaki
itu akhirnya pulang dengan langkah gontai.
“Ma, kalau
mereka mengadu pada wartawan nanti gimana? Bisa-bisa pembaca mengira Mila
sombong dan tak peduli anak-anak telantar,” tanya Mila kemudian.
“Ah, gampang.
Kamu tenang saja deh!” Seperti biasa mama Mila merasa dirinya paling berkuasa
atas segala kegiatan Mila.
Mila menarik
napasnya.
*****
Bab 5
Mila Hilang
Hari Sabtu
Farhan kembali masuk sekolah. Orang yang pertama akan ditemui adalah Mila.
Proyek rahasianya nyaris selesai. Tinggal menunggu satu komponen lagi yang
harus dibelinya dengan harga mahal. Satu-satunya jalan adalah minta tolong
Mila. Itu sebabnya ia datang lebih awal dari biasanya. Sengaja ia berdiri di
pintu gerbang sekolah.
“Wah,
sekarang jadi penjaga gerbang, yah?” ledek Nisa ketika melihat Farhan.
Farhan tidak
menyahut. Ia masih ingin menjaga jarak dengan Nisa. Apalagi di depan
teman-teman sekelasnya. Rasanya gengsi. Apalagi ia sudah mendengar dari
teman-temannya bahwa Nisa berhasil mengambil hati beberapa teman sekelasnya.
Mereka berencana membuat kelompok belajar untuk mengejar ketinggalan belajar.
Tahu Farhan
tak menyahutinya, Nisa langsung berjalan menuju kelasnya. Ia kaget karena
biasanya Mila sudah datang lebih dulu darinya. Itu memang kebiasaan Mila, agar
bisa menyalin pe-er yang lupa dikerjakannya di rumah dari teman-temannya.
Ketika bel
masuk berbunyi Mila tak juga masuk. Selain Mila, ternyata Lana juga tak masuk
sekolah. Tapi ada surat keterangan sakit dari dokter tentang Lana. Sementara
Mila tak ada pemberitahuan sedikit pun. Teman-temannya berpikir hari ini pasti
Mila izin karena ada kegiatan keartisannya. Mila memang dapat perlakuan khusus
dari Kepala Sekolah. Katanya, dengan adanya Mila di sekolah ini, maka sekolah
swasta ini pun jadi diminati banyak orang.
Ternyata
dugaan mereka salah. Mila tak menyampaikan izin ke sekolah. Bu Miftah malah
sempat bertanya pada seisi kelas.
“Apakah di antara
kalian ada yang melihat Mila dalam perjalanan sekolah tadi?” tanya Bu Miftah.
“Menurut mamanya di telepon, Mila tadi berangkat sekolah dengan taksi.”
Hah? Nisa
ikut bingung. Jangan-jangan .…
Satu jam
kemudian seisi kelas gempar. Apalagi ketika mereka melihat mama Mila datang ke
sekolah sambil terisak-isak. Tak lama kemudian datang beberapa wartawan ke
sekolah mereka.
Wah, ada apa
sih ini? Sepertinya heboh sekali.
Saat
istirahat akhirnya berita pun menyebar. Mila hilang. Kemungkinan besar diculik.
Ada juga yang mencurigai Mila kabur. Tapi, apa alasannya?
Farhan
gelisah. Ia masih berharap besar pada Mila. Ya, Mila harus ditemukan.
“Han, aku ada
perlu sama kamu,” ucap Nisa mengejutkan Farhan.
“Perlu apa?”
Nisa
memandang sekitarnya. Setelah yakin obrolan mereka tak didengar teman yang
lain, Nisa berkata, ”Kita harus
menemukan Nisa.”
“Huh, gimana
caranya? Memangnya gampang?”
“Mungkin bisa
kita selidiki dari petunjuk-petunjuk.”
“Heh, kamu
pasti kebanyakan menghayal jadi detektif ya?’
“Sedikit.
Tapi bukan itu sebabnya. Mila itu teman kita.”
“Aku tahu.
Tapi mendapat petunjuk dari mana? Lagi pula apa kamu yakin Mila diculik? Polisi
saja belum dilaporin kok.”
“Katanya
kalau lapor polisi harus menunggu 24 jam baru dianggap hilang. Atau ada
permintaan tebusan baru dianggap diculik.”
“Jadi, kamu
yakin Mila diculik?”
“Sebenarnya
nggak juga. Tapi .…” Nisa memutuskan
untuk menceritakan obrolannya semalam dengan Mila di telepon.
Mila mengadu
tentang sebuah rencana yang dibuat mamanya. Siang ini Mila akan diculik rombongan
penjahat. Lalu nanti mereka akan meminta tebusan sangat tinggi.
“Mengapa
Mila menceritakan rencana itu padamu?”
tanya Farhan bingung.
“Entahlah.
Setahuku mulutnya memang nggak bisa
megang rahasia. Buktinya, aku tahu soal contekan bayaran itu darinya. Juga soal
kasus kecoa, hingga aku bisa pura-pura pingsan.”
Farhan
manggut-manggut. Ia tahu kasus kecoa itu dari teman-temannya. Sebenarnya ia
sudah menduga Nisa hanya berpura-pura pingsan.
“Kamu tahu
maksud mama Mila merencanakan itu?” tanya Nisa menguji.
“Ah, pasti
nyari sensasi. Biar namanya dimuat di koran dan teve.”
“Ya, kupikir
juga begitu. Hanya yang tidak kumengerti, mengapa tiba-tiba rencana ini
berubah. Mestinya ia menghilang nanti sepulang sekolah.”
“Jangan-jangan
… Mila benar-benar diculik,” tebak Farhan.
“Atau mungkin
ia kabur .…”
“Kabur?
Kenapa?”
“Mungkin dia
nggak setuju dengan rencana mamanya itu. Kalau memang setuju, pasti ia akan
berusaha menjaga rahasianya.”
Farhan
mengangguk setuju. “Kalau begitu kita harus melacak, ke mana kira-kira Mila
kabur.”
“Ke mana
melacaknya?”
“Ke orang
yang dekat dengannya di rumah.”
“Mamanya
itu?”
“Mungkin
pembantunya. Sepertinya, Mila sangat tertekan dengan sikap mamanya selama ini.”
Farhan memang termasuk dekat dengan Mila. Karena ‘bisnis curang’ itu. Sering
Mila mengadu soal keinginannya memberontak dari mamanya. “Menurut Mila, mamanya
banyak mengatur Mila. Walau hasilnya bisa membuat Mila terkenal seperti
sekarang ini, tapi sesungguhnya Mila ingin juga merasa seperti kita. Bisa bebas
bermain, ikut belajar kelompok ….”
“Begitu, ya?”
“Biar lebih
yakin, kita tanyakan sama pembantunya. Aku kenal dekat dengannya. Kadang kalau
aku main ke tempat Mila, kami sering ngobrol.”
“Baiklah.
Nanti sore kita ke rumah Mila. Tapi, mudah-mudahan saja Mila sudah kembali.”
“Amin!” harap
Farhan.
*****
Ketika bel
pulang sekolah berbunyi, sebenarnya Nisa ingin buru-buru pulang. Tapi ia
teringat pada Lana yang tak masuk hari ini. Nisa jadi berencana mampir dulu
menjenguk Lana. Kebetulan rumah Lana searah dengan rumah Nisa.
Ternyata Lana
benar-benar sakit. Ia tergeletak lemas di tempat tidurnya. Tapi begitu melihat
Nisa, Lana langsung pura-pura ceria.
“Kamu sakit
apa sebenarnya, Lan?” tanya Nisa sambil mengamati kamar Lana. Wah, untung tidak
ada barang yang sama dengan kamarnya!
“Aku
kecapekan. Gara-gara latihan silat kemarin,” jawab Lana.
“Soalnya kamu
belum biasa latihan seperti kemarin.”
“Tapi, kenapa
kamu sehat-sehat saja sekarang?” tanya Lana.
“Karena aku
latihan silat sudah sejak umur tujuh-delapan tahun. Jadi aku sudah terbiasa.
Menurutku, kamu terlalu memaksakan diri ikut latihan silat.”
“Sebenarnya
….” Lana menggantung kalimatnya. “Aku ikut latihan silat karena ingin
sepertimu. Menurutku, kamu adalah anak perempuan paling sempurna di kelas. Kamu
cantik, malah lebih cantik dari Mila yang artis. Lalu kamu pintar, bisa
mendapatkan nilai tinggi tanpa mencontek dari Farhan. Dan … kamu pemberani.
Kamu tidak takut berhadapan dengan Farhan dan teman-teman sekelas.”
Nisa merasa
dadanya mengembang dipuji seperti itu. Tapi Nisa sadar, Lana menilainya terlalu
berlebihan. “Kupikir semua anak perempuan bisa jadi cantik, asal ia mau tampil
percaya diri dan tidak berlebihan. Terus, semua juga bisa pintar kalau rajin
belajar. Dan … kamu juga bisa jadi pemberani kalau mampu mengusir rasa takutmu.
Biarlah diri kita hanya takut sama Allah,” ujar Nisa berusaha bijak.
Sebenarnya, Nisa hanya meniru kalimat tadi dari ucapan ibunya, lho!
Lana
manggut-manggut.
“Coba kamu
pergilah ke tukang fotokopi, lalu mintalah tukang fotokopi menggandakan uang
kertas yang kamu punya. Apa akan sama? Apa akan jadi lebih baik? Ataukah
hasilnya juga sama harganya?”
Lana berpikir
sebentar, lalu menggeleng.
“Begitu juga
dirimu. Kalau kamu cuma meniru penampilan dan gerak-gerikku, itu nggak akan
membuatmu jadi seperti apa yang kamu inginkan. Kata ibuku, modal utama yang
terpenting adalah percaya diri. Aduhhhh, maaf ya kalau aku jadi cerewet
begini!”
“Nggak
apa-apa. Aku suka kok mendengarnya.”
“Kalau
begitu, mulai besok kamu harus jadi dirimu sendiri lagi. Jangan pernah jadi
pengekor orang lain,” tegas Nisa.
“Ya,
baiklah!” janji Lana.
Nisa bernapas
lega. Ia mulai merasa bayangan yang mengganggunya mulai pergi menjauh.
*****
Farhan dan Nisa ke rumah Mila sorenya. Mama
Mila tidak di rumah, begitu pula papanya. Mereka sedang mengadakan ‘jumpa pers’
di sebuah hotel. Hal itu menguntungkan penyelidikan Farhan dan Nisa. Mereka
pura-pura membantu Mbok Iyah yang sedang merapikan taman rumah Mila yang luas.
“Iya,
Mbok sangat kehilangan nih. Sedih
rasanya,” isak Mbok Iyah.
“Apa
sebelumnya, Mila nggak bilang apa-apa sama Mbok Iyah?” tanya Farhan sambil
mencabuti beberapa daun pohon kembang
sepatu yang kecoklatan.
“Nggak, tapi
… Non Mila sempat cerita pada Mbok kalau ia kesal sama mamanya gara-gara
menolak permintaan panitia yang datang semalam,” papar Mbok Iyah. Ia kemudian
menceritakan kejadian semalam.
“Memangnya
panitia itu dari mana sih, Mbok? Mbok tahu?” selidik Nisa.
Mbok Iyah
menggeleng. “Tapi tiga hari sebelumnya mereka pernah menelepon Mila. Dan kalau
tidak salah, Mila mencatat nomor telepon mereka ….”
“Di mana
mencatatnya? Boleh kami lihat?” tanya Farhan.
“Paling di
koran yang disimpan dekat meja telepon. Non Mila punya kebiasaan menulis
sesuatu sambil menelepon di koran kok.”
“Kalau begitu
kita cari yuk, Mbok .…”
“Lho,
memangnya Non Mila diculik panitia itu?”
“Bukan
begitu. Kita coba saja dulu,” kilah Farhan tak mau asal menuduh.
Mbok Iyah
mempersilakan Farhan dan Nisa masuk dan mencari tumpukan koran di meja telepon.
Mata Nisa segera menemukan koran bertanggal tiga hari lalu. Ia langsung mencari
catatan di antara huruf-huruf koran itu. Sampai di pojok halaman tengah koran
itu, akhirnya Nisa menemukan tulisan tangan Mila yang dikenalnya.
Pak Zulkarnaen
84500xx.
“Ini mungkin
nomornya!” seru Nisa.
Farhan
buru-buru melihatnya. Ia juga yakin itu nomor telepon yang mereka cari. Tanpa
berpikir lama lagi, mereka menelepon nomor tersebut. Akhirnya mereka
mendapatkan alamat panitia penyelenggara pentas amal bagi anak-anak telantar
itu.
“Yuk, kita ke
sana!” ajak Nisa.
“Tapi
tempatnya lumayan jauh nih. Aku sih nggak masalah. Kamu gimana?”
“Kita ke
rumahku dulu. Nanti aku bicarakan sama kakakku. Syukur kalau dia mau mengantar
kita.”
“Baiklah,”
sahut Farhan.
*****
Bab 6
Kisah Sedih Mila
Farhan dan Mila baru saja turun dari bajaj
ketika suara siulan terdengar dari belakang mereka. Mereka menoleh karena
mereka tahu, hanya Mila yang biasa bersiul seperti itu.
“Ssst, jangan
bertindak mencurigakan!” bisik Mila sambil mendekati kedua temannya. “Ajak aku
masuk ke rumahmu, Nis.”
Nisa
menuruti. Ia masih bingung dengan kehadiran Mila yang tiba-tiba. Lebih bingung
lagi, Mila berpenampilan tidak seperti biasanya. Ia memakai kaos dan celana
panjang gombrong, menggulung rambutnya sampai tertutup topi, ditambah memakai
sepatu sport. Persis anak cowok!
“Aku sengaja
menyamar karena takut ketahuan wartawan, polisi, atau anak buah mamaku,” jelas
Mila setelah masuk ke rumah Nisa.
Nisa segera
memperkenalkan kedua temannya pada Bu Ramli. Setelah itu giliran Mila yang
menceritakan segala kegiatan sejak menghilang pagi tadi.
“Aku tadi
pergi ke rumah yatim piatu tempatku dulu diasuh sebelum diangkat mamaku,” Mila
mengawali ceritanya.
Nisa dan
Farhan terperangah. Jadi Mila hanya anak angkat? Ini benar-benar rahasia besar
yang dibocorkan Mila tentang dirinya.
“Umur dua
tahun aku diangkat jadi anak. Dirawat dan dibesarkan. Mama kemudian sengaja
mengarahkan diriku agar bisa jadi artis, karena mamaku juga dulu pernah jadi
artis, tapi tidak seberapa terkenal karena keburu menikah,” papar Mila lancar.
“Oooo …,”
gumam Nisa dan Farhan kompak.
“Mulanya aku
sih senang-senang saja, tapi lama-kelamaan jadi beban juga. Kadang aku kepengen
berhenti, tapi … aku nggak berani bilang sama mamaku. Takut mengecewakannya.
Mamaku sudah susah payah bikin aku jadi
artis terkenal ….” Mata Mila mulai berair. Ia berusaha menahannya agar tak
menitik.
“Lalu,
mengapa kamu hari ini kabur dari rumah sekolah?” tanya Farhan.
“Seperti yang
kuceritakan pada Nisa semalam. Aku benar-benar bingung. Tiba-tiba mamaku
membuat rencana yang menurutku aneh. Aku pura-pura diculik. Biar namaku kembali
terkenal, karena belakangan aku kalah populer dengan artis-artis cilik lainnya.
Tapi menurutku ini konyol. Bagaimana kalau kemudian ketahuan bahwa penculikanku
itu cuma sandiwara? Bisa-bisa masyarakat malah membenciku dan mamaku. Itu
sebabnya tadi pagi aku memutuskan kabur dan pergi ke panti asuhanku dulu,” Mila
mengakhiri ceritanya dengan isak tangis yang tak tertahan.
“Sudahlah,
Mila, kami mengerti kesedihanmu ….” hibur Nisa.
“Sebaiknya
kita bicarakan apa rencanamu berikutnya? Kupikir lebih baik kamu menelepon dulu
mamamu. Pasti mamamu sangat sedih mengkhawatirkanmu .…”
Mila
menggeleng. “Aku belum mau meneleponnya sekarang. Aku … aku pengen menyanyi di
sebuah acara yang sudah kujanjikan akan kudatangi. Aku ingin menyanyi di sana.
Karena sesungguhnya, aku juga anak telantar sebelumnya. Hanya saja aku lebih
beruntung dari mereka.” Mila melirik jam dinding sebentar. “Acaranya pukul
setengah delapan malam. Tinggal dua jam lagi. Kalian mau mengantarku, kan?”
Farhan dan Nisa tak punya jawaban lain kecuali
mengangguk.
*****
Farhan,
Faris, Nisa, dan Mila pergi diantar Pak Ramli ke sebuah gedung kesenian selepas
shalat Isya. Di depan gedung terbentang spanduk bertuliskan “Malam Peduli Anak
Telantar”. Tanpa kesulitan mereka berhasil bertemu ketua panitia acara itu.
“Alhamdulillah,
rupanya Mila berubah pikiran. Kami sungguh-sungguh berterima kasih,” sambut Pak
Zulkarnaen, sang ketua panitia.
Mila segera
dipersilakan menuju belakang panggung untuk dirias. Sementara Farhan, Faris,
Nisa, dan Pak Ramli dipersilakan duduk
di antara undangan terhormat lainnya. Di barisan depan memang diperuntukkan
bagi tamu terhormat yang telah menyumbang untuk acara itu. Sementara di bagian
belakang dipadati anak-anak telantar yang sengaja diundang gratis dari berbagai
pelosok kota Jakarta.
Acara pun
dimulai. Rupanya sebagian acara diisi oleh anak-anak jalanan. Ada yang
menyanyi, menari, membaca puisi, dan melawak. Di puncak acara, Mila muncul
melantunkan beberapa lagu dari album kasetnya. Beberapa wartawan yang hadir
sangat terkejut dengan kemunculan Mila, karena sampai sore tadi Mila masih
dikabarkan hilang diculik.
Dan yang
lebih mengejutkan lagi … ketika Mila menyelesaikan lagu terakhirnya, tiba-tiba
dari balik panggung muncul mama dan papa Mila dengan membawa setangkai bunga.
Mila jelas terkejut. Tapi belum sempat ia berkata, mamanya sudah memeluknya
sambil menangis.
“Maafkan
Mama, Mila … Maafkan Mama …,” bisik mama Mila.
Mila
mengangguk dan tersenyum. Jarinya mengusap air mata mamanya.
Kejadian
mengharukan itu membuat penonton bertepuk tangan.
Farhan dan
Mila saling memandang sambil tersenyum. Rencana mereka berhasil. Diam-diam
mereka sudah bersepakat untuk merancang kejadian ini.
Tanpa
sepengetahuan Mila, Bu Ramli tadi sempat menelepon ke rumah Mila. Bu Ramli meminta agar mama Mila mau mengikuti
rencana ini. Dengan demikian kekecewaan di hati Mila dapat hilang. Bahkan Bu
Ramli menyampaikan keluhan Mila yang sempat didengarnya.
“Astagfirullah.
Rupanya saya benar-benar telah khilaf. Saya terlalu ambisi mewujudkan cita-cita
saya dulu yang belum kesampaian pada Mila,” sesal mama Mila di telepon.
Ketika mereka
pulang, hujan turun rintik-rintik. Semua merasa lega dengan akhir cerita
kaburnya Mila. Kecuali Farhan yang masih cemas. Apalagi ketika hujan semakin
deras.
“Han, besok
hari Minggu. Kamu menginap saja di rumah kami. Ini sudah larut malam,” ajak
Faris ketika di dalam mobil.
“Tapi aku
belum bilang sama orang rumah,” tolak Farhan berdalih.
“Kamu bisa
kasih tahu lewat telepon, kan? Lagi pula di luar hujan deras,” timpal Nisa
sambil menujuk ke luar jendela mobil.
“Tenang saja
deh. Kamu bisa tidur bareng di kamarku, kok. Nggak bakal disuruh tidur di
gudang,” bujuk Faris.
“Wah, jadinya
F2 dong. Farhan dan Faris. Untung bukan F4. Hehehehe,” Nisa tertawa kecil.
“Baiklah.
Tapi aku telepon dulu nanti. Kalau diizinkan aku menginap,” sahut Farhan
akhirnya. Ternyata Farhan diizinkan orangtuanya untuk menginap di rumah
keluarga Pak Ramli.
“Jangan lupa
shalat Subuhnya, jangan sampai kesiangan!” hanya itu pesan ayahnya.
Sebelum
benar-benar tertidur, Farhan berusaha menarik hikmah dari peristiwa yang
dihadapinya hari ini.
Ya, rahasia …
begitu banyak rahasia dalam hidup seseorang. Sampai kadang-kadang orang
tersiksa karena harus menyimpan rahasianya. Seperti rahasia tertekannya Mila
pada sikap mamanya. Dan justru setelah rahasia itu terbuka, segalanya jadi
lebih baik. Memang kadang-kadang, membuka rahasia merupakan hal terbaik.
*****
Bab 7
Rahasia Farhan
Setelah
shalat Subuh berjamaah, Farhan membantu Faris mencuci mobil yang kotor karena
lumpur yang dilewati semalam.
“Kak Faris,
boleh aku tanya sesuatu?” tanya Farhan sambil menyikat ban mobil.
“Boleh, asal
jangan susah-susah,” jawab Faris.
“Apa Kak
Faris saat ini punya rahasia?”
“Hah? Wah,
jelas saja ada. Kok pertanyaanmu aneh begitu?”
“Kalau boleh
tahu, kenapa Kak Faris menyimpan rahasia itu?”
Faris
berpikir sebentar. “Karena aku akan malu kalau sampai rahasia itu diketahui
orang lain,” jawabnya kemudian. “Kalau kamu bagaimana?”
“Ya, saat ini
aku punya satu rahasia besar. Aku juga merahasiakannya karena takut dan malu
kalau diketahui orang.”
“Mau berbagi
rahasiamu denganku? Aku jamin rahasiamu akan kupegang,” Faris mengangkat dua
jarinya tanda bersumpah.
Farhan
sedikit ragu. Tapi kemudian terlontar juga tentang proyek yang selama ini
dirahasiakannya.
Setahun lalu
di tempat tinggal Farhan, banjir datang tiba-tiba di malam hari, ketika semua
orang tertidur lelap. Hingga menelan korban harta dan bahkan nyawa. Dari
situlah Farhan bertekad menciptakan beberapa alat yang dapat menyelamatkan
penduduk di saat banjir. Ada alat pemantau banjir yang akan dipasang di saluran
air, hingga bila permukaan air mencapai tinggi yang mengkhawatirkan akan
membunyikan alarm. Lalu pompa hidrolik yang dapat berfungsi otomatis memompa
air yang meninggi. Sampai sistem penguapan air yang dapat dengan cepat menyurutkan
banjir. Dengan otaknya yang jenius itu Farhan belajar dengan cepat dari buku
dan bereksperimen sendiri membuat semua alat itu.
“Wah, hebat juga kamu. Hal hebat seperti itu
kenapa kamu rahasiakan?” komentar Faris.
“Jujur saja,
aku pasti akan dianggap sinting jika mengatakan pada tetangga-tetangga di
sekitar rumahku. Mereka banyak yang tidak mengerti soal teknologi. Apalagi aku
masih anak kecil. Aku harus membuktikan dulu alat-alatku itu pada mereka.”
Faris
manggut-manggut, mengerti alasan Farhan.
“Sekarang
sudah musim hujan. Proyek rahasiaku sudah hampir beres, tapi masih ada beberapa
komponen yang harus kubeli. Kalau saja uangku cukup, pasti sudah kuselesaikan
hari ini juga .…”
“Oh, begitu
yah? Pantas saja kamu berbuat curang di kelas dengan memeras teman-temanmu …”
tiba-tiba di belakang terdengar suara.
Muka Farhan
jadi pucat. Ia tak menyangka Nisa ada di belakangnya.
“Tapi jangan
khawatir, kalau kamu mau menunjukkan proyekmu itu padaku, maka aku akan
membantumu. Kupikir ayah juga tak keberatan. Kalau kurang juga dananya, kita
bisa minta pada Mila. Dia kan artis laris,” lanjut Nisa.
“Sungguh?”
tanya Farhan serius.
“Gini-gini
aku juga senang teknologi. Apalagi yang bermanfaat. Kalau kamu mengajarkan
padaku tentang teknologi semua karyamu itu, aku akan menyumbang dari uang
tabunganku. Ya, anggap saja bayar biaya les darimu.”
“Aku juga
ikut les darimu dong,” sahut Faris. “Nanti pagi sekalian mengantarmu pulang,
tunjukkan padaku penemuanmu itu, ya!”
Farhan hanya
mengangguk senang. Satu lagi bukti, membuka rahasia ternyata dapat meringankan
beban. Tentu saja asal pada orang yang tepat.
“Kak Faris,
mau nggak berbagi rahasia punya Kak Faris itu?” tanya Farhan dalam perjalanan
pulang.
Faris
tersenyum sebentar. “Rahasia paling besar dalam hidupku adalah … saat ini aku
lagi suka sama seseorang. Tapi aku masih malu mengatakan perasaanku padanya …”
Faris sedikit pucat mengatakannya.
“Wah … itu
sih bukan urusan anak kecil! Itu rahasia orang gede!” protes Farhan.
“Nggak juga.
Kalau cuma suka pada seseorang, bukan hanya urusan orang gede. Dan untuk
mengatakannya, kenapa mesti malu. Memangnya salah kalau kita punya rasa suka
pada seseorang?” susul Nisa. Hihihi, padahal ia sendiri merahasiakan perasaan
sukanya pada Farhan. Suka karena Farhan teman yang baik dan cerdas.
Ups!
Tiba-tiba mata Farhan menangkap sesuatu di pojok dalam bagian mobil yang sedang
dibersihkan. Sebuah kalung!
“Kak Faris,
ini kalung siapa yang jatuh?” tanya Farhan sambil meraih kalung itu.
Faris dan
Nisa tersentak kaget. Itu kalung ibu mereka yang sedang dicari-cari. Wah, pasti
Ibu akan senang, pikir Nisa. Buru-buru Nisa membawanya ke dalam rumah.
“Bu, ini
kalungnya ditemukan Farhan di bagasi mobil. Eits, nggak boleh diambil dulu
sampai Ibu cerita alasan Ibu sampai sangat menyayangi kalung ini,” Nisa
memberikan syarat.
Ibu terdiam
sebentar. Matanya menerawang. “Kalung itu pemberian sahabat dekat Ibu ketika
kuliah dulu. Dialah yang banyak membantu Ibu kalau kesulitan belajar. Lalu
suatu ketika ia memberi hadiah pada Ibu kalung itu. Dan sehari kemudian, Ibu
nggak menyangka sahabat ibu itu meninggal dunia karena tertabrak ….”
Nisa
menggamit lengan ibunya dan menyerahkan kalung itu ke dalam genggaman Bu Ramli.
“Maafkan Nisa, Bu. Nisa sudah bikin Ibu jadi sedih,” ucap Nisa kemudian. Ia tak
menyangka rahasia di balik kalung itu begitu menyedihkan. Pantas kalau ibunya
sangat menyayangi kalung itu.
“Tak apa-apa
kok. Ibu hanya terkenang sedikit. Kamu tahu apa yang Ibu dapatkan dari
peristiwa itu? Ternyata, rahasia terbesar dari Allah adalah takdir,” ucap Bu
Ramli lembut.
Nisa berusaha
mencerna dan memasukkan kalimat Bu Ramli ke dalam hatinya. Suatu hari nanti,
mungkin Nisa baru akan memahaminya.
*****
Faris dan
Nisa berdecak kagum ketika melihat peralatan yang dibuat Farhan. Ada sebuah
rangkaian elektronik berupa alarm banjir, lalu pompa hidrolik banjir yang masih
membutuhkan pipa panjang, dan mesin penguap banjir yang juga masih membutuhkan
lempengan konduktor.
“Kamarmu jadi
bengkel sekaligus laboratorium. Wah, aku belum pernah mewujudkan impianku
sampai seperti ini,” puji Faris. Ia tulus memuji. Selama ini dirinya sudah
merasa paling pintar di antara teman-temannya untuk urusan elektro dan teknik
fisika. Tapi rupanya, Farhan yang masih duduk di kelas enam esde (SD?) jauh
lebih jenius dari dirinya. Padahal, kalau Faris mau melakukan segala
eksperimen, ayahnya pasti akan memberinya dukungan biaya dengan mudah. Tidak
mesti bersusah payah seperti Farhan.
Farhan
memberitahu cara kerja barang-barang kreasinya itu dengan detil. Nisa tak
henti-hentinya memuji Farhan. Ia juga mengakui Farhan jauh lebih jenius dari
dirinya. Keinginannya untuk membantu Farhan makin menggebu-gebu. Tapi, begitu
tahu bahwa biaya yang masih diperlukan Farhan jumlahnya cukup besar, Nisa jadi
memeras otaknya.
“Kita harus
minta bantuan Mila kalau begitu,” usul Nisa. “Tapi jangan minta begitu saja.
Kita harus mengadakan pertunjukan, lalu uangnya bisa disumbangkan buatmu.
Bagimana? Insya Allah, Mila nggak akan keberatan membantu kita.”
Faris
mendukung rencana itu. Akhirnya mereka bersepakat menemui Mila hari itu juga.
Beruntung Mila ada di rumah bersama keluarganya. Mila melonjak girang ketika
kembali bertemu dua sahabatnya.
“Aduh, aku
senang kalian tidak bermusuhan lagi. Ke mana-mana selalu kompak,” sambut Mila
sambil mempersilakan masuk.
Mama dan papa
Mila turut senang. Mereka terus berterima kasih atas usaha Farhan dan Nisa
menolong mereka. Sengaja langsung menjamu teman-teman Mila dengan hidangan
istimewa.
Tanpa
ragu-ragu, Faris mewakili Farhan dan Nisa menceritakan keinginan mereka untuk
mencari dana dengan mengadakan konser pertunjukkan Mila. Nama konser itu
“Pentas Dana Mencegah Banjir”.
“Wah, aku mau
tuh!” seru Mila. “Bolehkan, Ma?”
Mama Mila
langsung mengangguk mantap. “Kalau Mila pikir itu baik, Mama sih setuju saja,”
sahutnya. Wah, mama Mila sekarang sudah berubah. Pikirannya tidak lagi melulu
bagaimana membuat Mila lebih terkenal. “Kapan rencananya konser itu dibuat?
Nanti akan Tante bantu menghubungi teman-teman Tante untuk ikut mengurusnya.
Bagaimana kalau dua minggu lagi? Ya, itu waktu yang cukup kok.”
Semua
mengangguk setuju.
*****
Bab 8
Konser yang Gagal?
Persiapan
demi persiapan yang dilakukan telah membuat Farhan dan Nisa sibuk. Mereka
merasa beruntung teman-teman sekelas, bahkan satu sekolah mendukung mereka.
Tiket konser yang tak seberapa mahal itu sudah terjual banyak.
Tapi dua hari
menjelang konser, tiba-tiba Mila terserang demam. Wah, gawat! Ketika diperiksa
ke dokter pribadinya, ternyata Mila terkena gejala thypus. Ini bukan penyakit
sepele meskipun baru tahap awal.
“Jangan
cemas, deh. Insya Allah, aku pasti masih bisa tampil,” ujar Mila ketika Farhan
dan Mila menjenguknya di kamar.
“Sebaiknya
jangan dipaksakan. Kami khawatir sakitmu malah tambah parah,” sergah Farhan.
“Iya. Turuti
kata doktermu supaya istirahat,” tambah Nisa.
“Doakan saja
aku biar cepat sehat,” saran Mila tersenyum. Ia tampak tetap bersemangat.
“Kalaupun aku tidak sanggup, akan kupinta mamaku mencari artis penggantinya.
Atau mungkin … kamu juga bisa menyanyi di konser itu, Nisa. Aku suka lagumu dan
suaramu sewaktu menyanyi di depan kelas tempo hari.”
Farhan
cekikikan. Ia memang tidak pernah mendengar Nisa menyanyi. Kalau mengaji sih
pernah ia dengar ketika menginap tempo hari. Memang suara Nisa merdu dan
nyaring. Tapi, apa suara mengaji dan menyanyi bisa disamakan?
“Ah, aku
belum berani,” kilah Nisa tersipu. “Meski sebenarnya aku juga … ah ini
sebenarnya rahasiaku … aku juga pengen jadi penyanyi sepertimu. Ngg …, aku malu
ngomong sama ayahku. Habis, dari keluarga Ayah dan ibuku tidak ada yang jadi
artis. Tidak ada turunan.”
“Lho,
memangnya jadi penyanyi itu harus turunan? Siapa yang bilang?” sergah Mila.
“Coba saja dulu. Nanti sore kamu bisa berlatih dengan Om Bram. Dua hari cukup
kok untuk berlatih. Bawakan saja lagu ibumu itu. Apa judulnya? Beri Aku
Senyummu, kan?”
Nisa
mengangguk. Ia merasa lega karena telah menyatakan impiannya yang selama ini
dirahasiakan di hatinya.
“Memangnya
kamu nggak khawatir, nanti dapat saingan artis penyanyi baru?” tanya Farhan.
Mila
menggeleng. “Aku sudah tidak mau lagi takut tersaingi siapa pun. Menurutku,
siapa pun berhak jadi yang terbaik,” jelas Mila.
“Aduh,
omonganmu jadi kayak orang dewasa gitu sih! Aku jadi tersinggung,” sela Farhan.
“Tersinggung
kenapa?”
“Soalnya aku
sampai sekarang kadang masih cemas takut tersaingi di kelas oleh Nisa,” Farhan
mengaku.
“Hah!” Nisa
terkejut. “Mana mungkin aku menyaingimu! Kamu jauh lebih pintar dariku. Dengan
hanya membaca sekali saja, kamu bisa mengingat semuanya. Sedang aku harus
belajar mati-matian untuk itu. Itu pun hasilnya masih di bawahmu.”
“Tapi masih lebih baik dariku. Sudah bodoh,
malas belajar, dan curang!” timpal Mila sambil tertawa.
Begitulah
manusia. Kadang ia memiliki kehebatan di bidang tertentu, tapi masih ada yang
lebih hebat lagi. Dan orang yang hebat di satu bidang, belum tentu menguasai
bidang lainnya. Bahkan, ada juga yang menguasai banyak bidang, tapi tak
mencapai prestasi tinggi. Lain orang, lain kemampuan. Begitu beragamnya manusia
di bumi ini. Itulah yang membuat kehidupan jadi lebih berwarna, pikir Nisa.
*****
Farhan tidak
menduga Nisa memiliki kemampuan menyanyi yang hebat. Ia menyadarinya ketika
melihat Nisa latihan di studio Om Bram. Dengan bantuan mama Mila, Nisa bisa
ikut berlatih. Namun Farhan masih sedikit khawatir dengan rencana konser itu.
Meskipun sudah dicarikan artis pengganti, Farhan tetap berharap Mila tetap
tampil di konser itu.
Dan keajaiban
terjadi. Mila dinyatakan sembuh oleh dokternya. Ini sunguh hal yang luar biasa.
Menurut dokter, selain rajin minum obat, dorongan kuat di hati Mila juga
membantu penyembuhannya.
“Juga doa
dari kalian,” tambah Mila senang. “Lagi pula kalau aku tidak sakit dulu,
mungkin kita nggak pernah tahu kalau ternyata Nisa juga ingin jadi penyanyi.
Iya, kan?”
Semua tertawa
mendengarnya.
Malam Minggu
di sebuah gedung kesenian di Jakarta, pentas seni untuk mencari dana mencegah
banjir itu pun digelar. Bangku di dalam gedung penuh terisi. Banyak pula artis
yang datang, juga beberapa pejabat penting. Semua berkat kerja keras
teman-teman mama Mila. Meski waktu persiapan hanya dua minggu. Tapi semua
panitia adalah orang yang sudah terbiasa mengerjakan pentas pertunjukan.
“Rasanya
hanya aku yang gugup malam ini,” ucap Nisa pada Mila di ruang rias. Wajahnya
jadi terlihat berbeda ketika penata rias menggarap muka dan rambutnya. Nisa
jadi merasa seperti seorang artis sungguhan.
“Ah, aku
percaya kamu bisa mengatasinya. Soal gugup sih biasa. Tapi nanti kalau di
pentas itu semua akan hilang,” hibur Mila sambil merapikan rambutnya.
Konser pun
dimulai. Penampilan Mila sangat memukau. Yang tak kalah mengejutkan adalah
tampilnya Nisa menyanyikan lagu ciptaan ibunya. Dengan gaun biru, serta
diiringi beberapa penari latar, Nisa menyanyi dengan merdu. Semua teman
sekelasnya yang datang ikut menyanyi di bagian refrain. Terutama Lana yang
memang mengagumi Nisa. Ia bernyanyi paling nyaring!
“Beri aku
senyummu karena senyum itu indah …
Beri aku
senyummu karena senyum itu ibadah ….”
*****
Bab 9
Penutup
Hujan yang
turun di Jakarta makin deras. Farhan sudah menyelesaikan proyeknya. Semua
peralatan kreasinya sudah terpasang dibantu Faris dan beberapa tetangganya.
Ternyata Pak Lurah sangat mendukung usaha Farhan.
“Lain kali
kalau ada proyek yang bermanfaat bagi masyarakat di sini, jangan sungkan
membicarakan pada Bapak,” pesan Pak Lurah setelah memimpin kerja bakti
membersihkan saluran air sekaligus mengumumkan pada masyarakat soal temuan
Farhan.
Sementara
itu, Mila dinyatakan sebagai artis cilik terbaik pilihan masyarakat tahun ini.
Semua itu karena dukungan publikasi yang gencar. Ada yang mengungkit soal
identitas Mila yang ternyata anak angkat dari sebuah panti asuhan, ada yang
bercerita soal niat tulus Mila membantu teman sekelasnya membuat sebuah
eksperimen, juga rencana Mila yang akan lebih berkonsentrasi dengan urusan
sekolah. Sebuah publikasi yang bagus tanpa rekayasa seperti yang dilakukan
banyak artis.
Untuk
mensyukuri keberhasilannya itu, Mila mengundang teman-teman sekelasnya
mengadakan acara di panti asuhannya dulu. Sebuah acara yang meriah. Tidak hanya
menghibur teman-teman sekelas Mila saja, tapi juga para penghuni panti.
Lagi-lagi Nisa ikut menguji kemampuannya bernyanyi.
“Bunda,
bagaimana sih masa kecil Mila dulu waktu di panti?” tanya Farhan pada pemilik
panti di sela-sela acara.
“Wah, Mila
itu sangat cengeng sekali. Setiap menit pasti nangis. Kalau sudah nangis, suara
jeritannya sampai terdengar ke jalan raya. Mungkin itu sebabnya suara Mila jadi
nyaring dan bagus seperti sekarang ini,” tutur perempuan setengah baya itu.
“Hah! Mila
cengeng!?” seru Nisa dan Farhan kompak
Pipi Mila
merona. “Aduh, kalian nanti jangan bilang siapa-siapa tentang masa kecilku yang
cengeng itu. Awas, ini rahasia!” ancam Mila kemudian.
“Iya, deh!
Dengan catatan … kalau nggak lupa!” sahut Nisa.
Mila
cemberut. Matanya yang bulat membesar.
Farhan dan
Nisa tertawa melihatnya. Wah, rupanya jika satu rahasia terungkap, masih ada
rahasia lainnya dalam hidup seseorang. Hidup ini memang penuh rahasia kok! Ada
yang kemudian terungkap, tapi ada juga yang terus jadi rahasia.
Nah,
bagaimana dengan kalian? Kalian mau berbagi rahasia dalam hidup kalian? Kalau
menjadi beban, percayakan rahasia itu pada orang terdekatmu, ya!
Salemba, 2003
******
Judul yg sederhana, tapi cerita yg menarik!
ReplyDeleteTrims ya sudah komentar.
ReplyDelete