Nyi Koneng
Sejak kecil,
putri tunggal Bu Onih mengidap penyakit aneh. Pada tubuhnya, membercak kuning
pada beberapa bagian. Lama-kelamaan, bercak kuning itu menjalar ke seluruh
tubuhnya. Itu sebabnya semua penduduk kampung memanggilnya Nyi Koneng.
Bu Onih sudah
membawa Nyi Koneng berobat ke segala tempat, namun tak satu pun tabib yang
mampu menyembuhkannya. Akhirnya, Bu Onih jatuh sakit. Sampai suatu pagi, saat
Bu Onih merasa penyakitnya kian parah, ia memanggil Nyi Koneng.
“Anakku,
semalam Ibu bermimpi bertemu dengan seorang tabib. Ia memintamu agar pergi
menemuinya di kaki Gunung Wetan,” pesan Bu Onih pelan.
“Mana mungkin
aku meninggalkan Ibu yang sedang sakit,” kilah Nyi Koneng sedih.
“Pergilah
secepatnya! Kakek tua itu menunggumu,” tambah Bu Onih. Setelah mengucapkan
kalimat itu, ia menutup matanya dan mengembuskan napas terakhir.
Nyi Koneng
sedih karena ia kini menjadi yatim piatu. Setelah penduduk kampung menguburkan
ibunya, Nyi Koneng menjalankan amanat ibunya. Seorang diri ia menuju Gunung
Wetan. Ia memakai baju yang menutupi sekujur tubuhnya agar orang-orang yang
berpapasan dengannya tidak ketakutan.
Sampai di kaki
Gunung Wetan, Nyi Koneng jatuh pingsan. Ia tidak menghitung sudah berhari-hari
berjalan. Ketika sadar, ia mendapatkan dirinya terbaring di atas dipan bambu.
Nyi Koneng terperanjat ketika melihat seorang lelaki tua berdiri di dekatnya.
“Tidak perlu
takut, Anakku. Akulah yang akan menyembuhkan penyakitmu itu. Selain itu, aku
akan mengajarkanmu cara mengobati penyakit, sehingga kelak kamu kembali ke
desamu dan bisa menyembuhkan banyak orang. Bersediakah?” tanya lelaki tua itu.
Nyi Koneng
hanya mengangguk. Selanjutnya, ia tinggal bersama kakek yang dipanggilnya Tabib
Guru. Berminggu-minggu, Nyi Koneng
menjalani pengobatan penyakit kulitnya. Setelah sembuh, selama berbulan-bulan
ia belajar menjadi tabib. Hingga akhirnya, Tabib Guru menyuruhnya untuk kembali
ke kampungnya.
“Pulanglah ke
kampungmu untuk mengamalkan ilmu yang sudah kamu dapat di sini. Banyak orang
yang pasti akan memerlukan pertolonganmu. Satu pesanku, jangan takabur dengan
kepandaianmu,” pesan Tabib Guru.
“Baiklah, Tabib
Guru,” jawab Nyi Koneng.
Dengan perasaan
sedih, Nyi Koneng meninggalkan Tabib Guru untuk kembali ke kampungnya. Nyi
Koneng kembali tinggal di rumahnya yang
dulu. Kepala Kampung yang baik hati merawat rumah itu dengan baik, sehingga Nyi
Koneng bisa kembali menempati rumahnya.
“Ajaib benar,
Nyi Koneng. Kamu sungguh-sungguh sembuh. Maukah kamu mengantar putraku menemui
tabib itu? Sudah hampir satu bulan batuknya tak kunjung sembuh,” kata Kepala
Kampung yang menyambutnya.
“Bapak tidak
perlu membawanya ke tempat yang jauh. Aku sendiri dapat mengobatinya,” jawab
Nyi koneng.
Kepala Kampung
semula tak begitu percaya. Tapi setelah dua hari putranya membaik begitu
dirawat Nyi Koneng, Kepala Kampung percaya kini Nyi Koneng sudah menjadi
seorang tabib.
Kabar itu
segera tersiar ke seluruh kampung. Dalam waktu singkat, rumahnya sering
dikunjungi masyarakat yang ingin berobat. Hingga suatu hari, datang pedagang
kaya dari tempat jauh berobat padanya. Nyi Koneng pun segera mengobatinya.
“Nyi Koneng,
karena kau menyembuhkan penyakitku, aku memberimu sekantong uang emas ini,”
kata pedagang kaya itu.
“Tidak perlu,
Pak. Aku mengobati orang hanya untuk menolong,” tolak Nyi Koneng.
“Tapi, bukankah
untuk bertahan hidup kamu juga perlu uang? Lihatlah pakaianmu, rumah, serta
perabotannya. Seharusnya, kau menarik bayaran dari setiap orang yang datang,”
hasut pedagang itu.
Sepeninggal
pedagang kaya itu Nyi Koneng merenung lama dalam keluarga. Lama-lama, ia
terpengaruh ucapannya. Hingga akhirnya, Nyi Koneng mulai menarik bayaran kepada
setiap orang yang datang berobat. Kepada pembantunya ia menyuruh agar setiap
orang yang datang ditanya lebih dulu jabatan dan pekerjaannya.
“Suruh ia pergi
ke tabib lain kalau hanya seorang buruh atau pedagang kecil,” tolak Nyi Koneng
kepada pembantunya.
Sementara rumah
Nyi Koneng telah berubah seperti istana. Tamu yang datang kepadanya hanyalah
keluarga bangsawan, pedagang kaya, dan tuan tanah.
Hingga suatu
hari, pembantunya melapor pada Nyi Koneng, ada pengemis tua yang ingin berobat
padanya. Tanpa melihatnya lebih dulu, Nyi Koneng meminta pembantunya untuk
mengusir pengemis itu.
“Suruh ia pergi
secepatnya. Nanti, tamu yang lain tak mau masuk,” teriak Nyi Koneng.
“Tapi, ia
memaksa. Bahkan, ia tak mau pergi,” kata pembantunya gugup.
“Biar aku yang
mengusirnya,” Nyi koneng gusar. Ia berjalan ke teras rumah.
Alangkah
terkejutnya Nyi Koneng ketika melihat
tamu yang tengah berdiri di teras rumah.
“Tabib … Guru.
Kapan datang? Mari masuk …,” Nyi Koneng terbata-bata gugup.
Tabib Guru
menggeleng. “Kamu telah berubah menjadi perempuan yang sombong dan tamak, Nyi
Koneng. Maka penyakitmu yang dulu akan kukembalikan padamu,” seru Tabib Guru.
Nyi Koneng
menjadi panik ketika kulitnya lambat laun menguning. Tak hanya di sebagian
tempat, tapi sekujur tubuhnya. Herannya Nyi Koneng tak bisa mengobati
penyakitnya itu. Kemampuannya mengobati penyakit sudah lenyap.
Karena malu,
Nyi Koneng bersembunyi di bawah tanah. Namun, tiba-tiba saja istana yang
dibangunnya ambruk dan menguburnya.
Beberapa waktu
kemudian, di tempat itu tumbuh tanaman yang umbi akarnya berwarna kuning.
Tanaman itu kemudian banyak digunakan sebagai bahan untuk obat-obatan. Dalam
bahasa Sunda, tanaman itu disebut koneng karena diyakini merupakan jelmaan Nyi
Koneng.
·
Catatan:
Koneng dalam bahasa Sunda dapat berarti
warna kuning dan tanaman kunyit.
Rambut
Tito & Bel Ajaib
Tito tinggal di
daerah pertanian yang subur. Hari-harinya banyak dihabiskan di ladang membantu
orangtuanya. Meski rajin, Tito punya kebiasaan buruk yang sulit dihilangkan. Ia
malas merapikan dan memangkas rambutnya.
Suatu hari,
terjadi keajaiban pada dirinya. Saat itu, tiba-tiba hujan deras ketika Tito
berada di ladang. Belum sempat Tito berteduh, sebentuk kilat menyambarnya.
Hebatnya, Tito tak celaka sedikitpun. Hanya saja rambutnya memiliki kekuatan
seperti sebuah magnet.
Keanehan yang
dialami Tito dijadikan bahan permainan oleh temannya.
“Lihat, itu
Tito mau ke ladang. Ayo, kita kerjain dia!” teriak teman-teman sebaya Tito.
Mereka
melempar sendok, potongan kawat, sendok bekas ke dekat Tito. Tap! Dengan
cepat, benda-benda logam itu menempel pada rambut Tito. Giliran Ayah Tito yang
sibuk pada malam harinya mencabuti benda-benda pada rambut Tito.
Keadaan
itu berlangsung lama. Rambut Tito makin tumbuh seperti semak-semak karena tak
seorang pun mampu mencukurnya. Gunting
dan pisau cukur mereka langsung menempel di rambut Tito. Kini, penduduk desa
malah melarang Tito keluar dari rumahnya.
“Jangan
biarkan Tito pergi dari kamarnya!” protes para penduduk. Sebab, setiap Tito
melewati rumah mereka, semua jadi berantakan.
Tentu
saja hal ini membuat Tito sedih. Ia tidak dapat membantu ayahnya di ladang.
“Ayah,
apakah rambut ini tidak dapat kembali normal seperti dulu?” tanya Tito di
kamarnya yang semua terbuat dari kayu.
“Sebenarnya,
ada satu cara untuk menghilangkan keanehan rambutmu itu, Anakku,” kata Ayahnya.
“Tapi, kau harus menemui Raja di istananya. Raja kita mememiliki sebuah bel
ajaib yang dapat mengabulkan satu permintaan setiap bulan. Mudah-mudahan saja
bulan ini Raja belum meminta apa pun kepada bel ajaib itu.”
“Tapi,
bagaimana caranya aku bisa menemui Raja?” tanya Tito bingung.
“Kau
punya paman yang menjadi koki istana. Bawalah surat dariku dan temuilah
pamanmu. Mungkin ia dapat mempertemukanmu dengan Baginda Raja,” usul Ayah Tito.
Tengah
malam, Tito berangkat. Ibu Tito membuatkan kerudung tebal untuk menutupi kepala
Tito.
Pertemuan
Tito dan Paman Kiko berlangsung penuh haru. Paman Kiko baru sekali melihat Tito
ketika masih bayi.
Tito
segera menyerahkan surat dari ayahnya. Setelah membaca surat itu, Paman Kiko
baru mengerti alasan Tito menemuinya dengan penutup kepala.
“Tito,
bersabarlah. Nanti, aku akan menyampaikan keinginanmu saat makan malam pada
Baginda Raja,” kata Paman Kiko sambil meminta Tito istirahat.
Saat
makan malam tiba, Paman Kiko langsung memberitahukan perihal Tito pada Baginda
Raja. Kemudian Raja meminta agar Tito menghadap padanya. Ia tertarik melihat
keanehan Tito.
Masih
dengan penutup rambut, Tito menghadap Raja di ruang pertemuan. Namun belum
sempat ia bercerita, tiba-tiba kepala pasukan istana menghadap Baginda Raja
dengan tergesa-gesa.
“Maaf,
Baginda Raja. Saya harus melaporkan hal penting kepada Baginda,” kata kepala
pasukan itu.
“Cepatlah
katakan!” seru Baginda Raja.
“Seorang
jago panah dari kerajaan seberang telah menyusup ke dalam istana untuk membunuh
Baginda Raja. Karena itu, kami meminta Raja untuk berhati-hati kepada setiap
orang yang mendekati Baginda Raja,” lapor Baginda Raja.
Raja
berpikir sebentar. Ia melirik ke arah Tito dengan curiga.
Tahu-tahu,
seorang yang menyamar jadi pengawal istana muncul sambil mengeluarkan busurnya.
“Hahaha … berita itu benar. Akulah si Jago Panah itu,” teriak orang itu.
Sssssyut
…!
Anak
panah dilepaskan ke arah Raja. Bersamaan itu Tito langsung membuka penutup
kepalanya. Anak panah langsung berbelok dan menempel di rambut Tito.
Benda-benda logam di sekitar Tito ikut menempel. Keadaan yang berantakan itu
langsung dimanfaatkan untuk menangkap si Jago Panah.
Raja
berterima kasih pada Tito. Ia pun langsung mengeluarkan bel ajaib. Sambil
membunyikan bel ajaib itu, Raja berteriak, “Bel ajaib! Biarkan rambut Tito
kembali seperti semula!”
Jeguerrrr
…!
Sebentuk
petir keluar dari rambut Tito. Selama beberapa saat, Tito pingsan. Ketika
sadar, Tito melihat rambutnya sudah tak lagi seperti magnet.
Kalian
tahu apa yang kemudian dilakukan Tito? Ia mencari tukang cukur dan merapikan
rambutnya yang gondrong tak keruan. Ia berjanji akan menjaga rambutnya tetap
rapi dan terawat.
*****
Hilangnya Koki Istana
Sudah waktunya dapur istana menyiapkan makan siang. Namun, sang
kepala koki istana, Pak Kiko, belum juga
datang. Para pembantu Pak Kiko segera melaporkan hal tersebut pada Patih Garda.
“Kalian sudah lama bekerja dengan Pak Kiko. Pasti kalian tahu
masakan yang biasa disajikan untuk keluarga istana. Tak perlu menunggu Pak
Kiko. Masaklah segera!” Patih Garda malah membentak.
Tujuh koki pembantu Pak Kiko segera memasak. Hidangan itu lalu
disajikan di meja makan.
“Aku tidak melihat Pak Kiko menyapa kami siang ini. Kemana Pak
Kiko?” tanya Pangeran Sulung kepada pelayan.
“Pak Kiko belum juga datang ke istana. Kami tidak tahu apa yang
terjadi dengannya,” jawab si pelayan.
“Jadi, semua makanan kali ini bukan masakan Pak Kiko?” tanya Putri Bungsu.
“Ayolah, kalian semua makan saja,” bujuk Raja
Sagalaya.
Namun, baru beberapa suap makanan, tiba-tiba Pangeran Sulung
meletakkan sendok dan garpunya. Begitu juga Putri Bungsu. Ada yang kurang dari
hidangan itu.
Mengetahui ada yang tidak beres, Patih Garda memanggil ketujuh
koki pembantu. Semua langsung gemetar ketakutan.
“Ampuni kami, Patih. Kami sudah
memasak hidangan tersebut seperti biasa kami lakukan bersama Pak Kiko. Tidak
ada bumbu yang kami kurangi atau tambahkan,” kata salah seorang koki.
“Mungkin saja tanpa sepengetahuan kami, Pak Kiko punya bumbu
rahasia,” kata pelayan yang lain.
Tiba-tiba, seorang pengawal istana melapor pada Patih Garda. Ia
membawa segulung surat yang ditemukannya di pintu gerbang istana. Segera Patih
Garda membaca isi surat itu.
“Baginda Raja
yang Mulia, koki istana telah kami culik. Jika ingin dikembalikan dengan
selamat, serahkan dulu seratus karung emas pada kami. Kami tunggu tebusan itu
di hutan perbatasan sebelah selatan sore ini. Dari kami, Gerombolan Macan
Hitam.”
Raja
Sagalaya terkejut mendapat laporan dari Patih Garda. Tebusan yang mereka minta
sangat banyak. Namun, Raja Sagalaya tak punya pilihan lain. Raja sekeluarga
sangat menyayangi Pak Kiko.
“Baginda,
izinkan hamba yang mengatur semuanya,” pinta Patih Garda.
“Baiklah,
kuserahkan tugas ini padamu,” titah Raja Sagalaya.
Bergegas
Patih Garda membawa sepasukan prajurit berkuda, juga seratus karung berisi
keping emas yang diangkut dalam beberapa gerobak. Rombongan itu lalu bergerak
menuju hutan di sebelah kerajaan.
Di
tengah perjalanan, tiba-tiba sebuah anak panah melesat dan menancap di salah
satu karung pada gerobak paling depan. Sepucuk surat terikat di pangkalnya.
“Patih Garda
yang bijaksana, suruhlah prajuritmu berhenti sampai di sini. Biarkan Patih
sendiri yang membawa gerobak-gerobak itu. Dari kami, Gerombolan Beruang Hitam.”
Patih
Garda menuruti permintaan itu. Ia meneruskan perjalanan dengan tenang seorang
diri. Hingga di perbatasan, ia bertemu dengan puluhan lelaki bertampang seram.
“Hahaha
…, kami bangga kerajaan ini mau mengeluarkan seratus karung emas hanya untuk
ditukar dengan seorang koki,” teriak si Brewok, kepala gerombolan penjahat.
“Jangan
terlalu lama. Serahkan segera koki kami!” seru Patih Garda.
Seorang
penjahat segera menarik Kiko yang terikat tangannya ke hadapan Patih Damar.
Namun sebelum menyerahkan Pak Kiko, mereka membuka ikatan karung dalam gerobak
yang ada di bagian depan. Setelah yakin karung itu berisi kepingan emas, Pak
Kiko diserahkan kepada Patih Garda.
Namun,
ketika Patih Garda mendapatkan Pak Kiko, ia tiba-tiba berteriak, “Serang!”
Aha!
Rupanya, hanya sepuluh karung di gerobak depan saja yang berisi kepingan emas.
Sembilan puluh karung lainnya berisi prajurit istana yang gagah perkasa. Mereka
langsung menyerbu dan menangkap gerombolan penjahat itu.
Perjalanan
pulang, Patih Garda dan Pak Kiko duduk bersisian di kereta perang.
“Kalau
boleh tahu, apakah Pak Kiko punya bumbu rahasia saat memasak? Tadi siang, semua
pembantu Pak Kiko tak ada yang bisa memasak selezat Pak Kiko,” tanya Patih
Garda.
“Ada,
namanya bumbu cinta. Aku selalu menanamkan rasa cinta pada pekerjaanku. Aku
juga menanamkan rasa cinta pada keluarga kerajaan,” jawab Pak Kiko.
Patih
Rangga manggut-manggut. Rupanya, bumbu rahasia Pak Kiko sangat sederhana, yakni
memasak dengan penuh cinta.
******
Karena Suka Membaca
Lagi-lagi, Inot terlambat bangun.
Akibatnya, ia harus terburu-buru pergi mandi dan berganti pakaian.
“Percuma
tergesa-gesa begitu, Not. Kereta penjemput pekerja istana baru saja berangkat,”
ujar Bu Bayang di pintu kamar.
“Tidak
apa-apa, Bu. Aku jalan kaki saja,” timpal Inot.
“Ya,
tapi kamu bisa terlambat sampai di istana. Pantas saja Pak Dorman hanya
memberimu pekerjaan sebagai penyapu istana,” ujar Bu Bayang kesal. “Aku kan
sudah bilang, jangan suka membaca hingga larut malam. Tukang sapu istana tidak
usah banyak membaca. Kamu bukan pustakawan atau tabib.”
Inot
tidak menimpali. Ia segera meninggalkan tempat tinggal para pekerja istana.
Jauh di atas bukit, ia melihat titik hitam. Rupanya, kereta penjemput sudah
menjauh.
Inot
memutuskan berjalan memintas hutan. Jalan itu hanya diketahui Inot, lantaran ia
selalu melalui jalan itu bila terlambat pergi ke istana. Pertama kali melewati
jalan itu, Inot merasa ngeri melihat banyak pohon besar,tetapi sekarang sudah
tidak ada lagi. Ia berjalan sambil bernyanyi-nyanyi kecil.
Kreeek
…! Telinga Inot menangkap suara itu. Ia
segera menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. Ada seorang anak
perempuan berdiri dengan wajah cemas.
“Siapa
kamu? Mengapa berada di sini? Hei, kamu kelihatan gelisah sekali!” sapa Inot
seraya mendekati anak perempuan itu.
“Namaku
… Gege. Aku tinggal di hutan ini bersama nenekku. Dia sedang sakit parah,”
jelas Gege.
“Kalau
begitu, biar kupanggil tabib untuk nenekmu,” Inot menawarkan bantuan.
“Tidak
perlu. Yang kubutuhkan bukan itu, tapi orang yang bisa membaca,” kilah Gege.
“Wah,
kebetulan aku bisa membaca, kok!”
“Sungguh?
Oh, beruntung sekali! Ayo ikut denganku.” Gege melangkahkan kakinya diikuti
Inot.
Mereka
jalan menembus hutan. Gege menceritakan tentang dirinya.
“Sebenarnya
nenekku itu adalah seorang tabib istana. Karena telah lanjut usia, ia berhenti
kerja. Nenek ingin mewariskan ilmunya padaku, tapi aku tak dapat membaca. Aku
sangat malas belajar membaca. Apalagi kita-kitab nenek sangat tebal. Tapi kini,
begitu nenek jatuh sakit, aku tidak bisa menolongnya,” tutur Gege sambil
berjalan.
“Kenapa
nenekmu tidak mengobati sendiri?” tanya Inot heran.
“Mata
nenek sudah rabun dan sudah pikun. Umurnya saja sudah seratus lebih. Nah, itu
rumah kami!” tunjuk Gege.
Mereka
sampai di sebuah rumah mungil berdinding kayu. Gege langsung membuka pintu
rumah. Terlihat oleh Inot seorang nenek tengah berbaring di atas dipan.
“Ini
kitab yang harus kamu baca. Lalu, di lemari itu ada kendi berisi ramuan yang
harus kamu pilih sesuai petunjuk kitab,” ujar Gege seraya menyerahkan kitab
tebal pada Inot.
Setelah
menanyakan dulu kondisi nenek Gege, Inot segera membaca kitab itu. Dicarinya
jenis ramuan yang cocok dengan penyakit nenek Gege. Inot lantas membuat ramuan
dan meminta nenek Gege meminumnya.
Mata
Gege bersinar ketika melihat keadaan neneknya kemudian membaik.
“Aku
sudah lebih sehat sekarang. Siapa namamu?” tanya nenek Gege.
“Namaku
Inot, tukang sapu halaman istana,” jawab Inot.
“Tidak
kusangka, seorang pekerja sepertimu dapat membaca. Kamu berbakat untuk menjadi
seorang tabib. Apa kamu bersedia?” tanya nenek Gege lagi.
“Ten
… tu sa … ja,” jawab Inot girang.
“Kalau
begitu, datanglah ke sini setelah selesai bekerja untuk mempelajari kitab-kitabku.
Juga sekalian tolong ajari Gege membaca.”
“Oh,
tetapi pekerjaanku teramat banyak. Terkadang sore hari baru selesai. Lagi pula,
aku tidak punya kuda untuk mencapai tempat ini dengan segera.”
“Jangan
khawatir!” sahut Gege sambil mengambil sebatang sapu. “Ambillah ini untukmu.
Sapu ini bisa terbang melebihi kecepatan seekor kuda. Hanya, aku tidak tahu
mantranya. Bacalah sendiri di buku cokelat itu.”
Inot
mengambil buku yang ditunjuk. Di buku itu, tertulis aneka mantra untuk
menjalankan sapu itu. Mulai dari mengawali, belok kiri, belok kanan, berputar,
atau berhenti. Bahkan, sapu itu bisa diperintahkan dengan mantra khusus untuk melakukan apa saja.
“Oh,
maaf aku harus segara berangkat kerja. Pasti aku terlambat,” tiba-tiba Inot
teringat pekerjaannya.
“Bawa
saja sapu dan buku petunjuknya. Kamu bisa sampai ke istana dengan cepat,” saran
nenek Gege.
Inot
menuruti permintaan nenek Gege. Karena Inot anak yang cerdas, ia langsung hafal
beberapa mantra setelah membaca. Sapu itu lantas membawa Inot ke istana lewat
angksa. Wusss .…
Untung,
Pak Dorman yang menjadi pengawas pekerja istana tidak melihat kedatangan Inot.
Seperti biasa Inot bekerja menyapu halaman istana.
Setahun
berlalu, Inot sudah menguasai banyak ilmu pengobatan dari kitab-kitab yang
dibacanya. Sesekali, nenek Gege ikut mengajar, terutama memperkenalkan jenis
obat-obatan dari tetumbuhan. Sementara itu, Gege mulai lancar membaca.
Suatu
hari, Raja Pundre terserang penyakit yang membuatnya tidak bisa beranjak dari
tempat tidur. Beberapa orang tabib berusaha mengobatinya, namun gagal.
Inot ikut mencoba mengajukan diri untuk
mengobati Raja Pundre. Tapi, para pengawal menghalanginya. Inot lantas
menyerahkan sebuah lencana pada Patih Gufa. Mengetahui lencana itu hanya
diberikan pada orang-orang yang dipercaya Raja Pundre, Inot diperbolehkan
mengobati Raja Pundre.
Setelah minum obat hasil ramuan Inot, perlahan
kesehatan Raja Pundre membaik. Inot langsung diangkat menjadi tabib istana.
Banyak orang yang terkejut melihat seorang tukang sapu istana menjadi tabib
istana, terutama Bu Bayang!
“Bagaimana
caranya kamu bisa mengobati Raja Pundre, Not?” tanya Bu Bayang heran.
“Jawabannya
mudah. Aku bisa mengobati Raja Pundre karena aku suka membaca,” jawab Inot
singkat.
Ya,
jawaban itu selalu dikatakannya bila ada yang bertanya tentang kemampuannya.
Inot berharap banyak orang yang akan gemar membaca seperti dirinya.
******
Komal & Kodi
Di sebuah pinggir kota, terdapat
telaga kecil yang airnya bening. Para pedagang sering beristirahat di telaga
itu untuk mencuci muka atau menghilangkan rasa haus.
Di
telaga itu, tinggal dua ekor katak bernama Kodi dan Komal. Walaupun bersaudara,
sifat mereka sangat berlainan.
Suatu
hari, datang penjual gerabah dengan gerobaknya ke telaga itu. Namun, malang
nasibnya. Ketika hendak mencuci muka, cincin emas di jari manisnya terlepas dan
tenggelam ke dasar telaga.
“Aduh,
sialnya aku! Cincinku jatuh dan aku tak bisa berenang,” keluhnya.
“Salah
sendiri! Kalau tidak bisa berenang jangan dekat-dekat telaga ini,” timpal Komal
mengagetkan.
Pedagang
gerabah itu terkejut. Dia langsung memiliki harapan begitu melihat ada katak di
dekatnya.
“Maukah
kau menolongku mengambilkan cincinku yang terjatuh. Istriku bisa marah kalau
tahu cincin pernikahan kami itu hilang,” pinta pedagang gerabah.
“Aku
tidak mau!” jawab Komal ketus.
Pedagang
itu terus memohon. Namun, Komal tetap menolak. Tak lama kemudian, Kodi datang.
Pedagang gerabah itu langsung minta tolong pada Kodi.
“Tunggulah
sebentar,” ujar Kodi, lalu segera menyelam ke dasar telaga. Tak lama, ia muncul
dengan cincin emas. Diberikannya cincin emas itu pada pedagang gerabah.
“Terima
kasih atas kebaikanmu. Sebagai balas budi, kuberikan kau hadiah.” Pedagang
gerabah memberikan sebuah mangkuk keramik kecil untuk Kodi. Setelah itu, ia
melanjutkan perjalanannya.
“Heh,
untuk apa mangkuk itu? Kita tidak memerlukannya,” ejek Komal.
“Ya,
saat ini mungkin tidak perlu. Tapi, akan kusimpan,” sahut Kodi.
Beberapa
hari kemudian, singgahlah seorang pedagang minyak keliling ke telaga itu.
Nasibnya pun sedang sial. Kacamatanya terjatuh saat ia hendak mencuci muka.
“Bagaimana
aku bisa pulang tanpa kacamataku,” gumam tukang minyak itu.
“Pakai
tongkat saja!” seru Komal sambil tertawa mengejek.
Tukang
minyak mengamati dengan saksama sumber suara yang didengarnya. Samar-samar ia
melihat sekor katak dekat kakinya.
“Hei,
maukah kau mengambilkan kacamataku?” pinta tukang minyak itu.
“Tidak!”
jawab Komal langsung.
“Biar
aku yang menolongmu,” tiba-tiba Kodi datang dan membantu mengambil kacamata
tukang minyak.
“Terima
kasih. Sebagai hadiah, aku berikan sebotol minyak tanah dan korek api. Mungkin
kau memerlukannya suatu hari nanti,” kata tukang minyak. Ia pun melanjutkan
perjalanannya.
“Heh,
hati-hati dengan hadiah itu. Bisa-bisa telaga ini kebakaran," komentar
Komal.
”Aku
akan hati-hati menyimpannya,” sahut kodi.
Pada
hari lain, singgah pedagang kain ke telaga itu. Karena tidak hati-hati, jam
tangannya tercebur ke telaga.
“Aduh,
arloji kenang-kenangan ayahku tercebur. Siapa yang bisa membantuku
mengambilkannya?” gumam pedagang kain itu.
“Aku
bisa. Tapi, kau harus memberiku sekantong uang emas,” kata Komal tiba-tiba.
“Daganganku
belum laku. Aku hanya punya beberapa keping uang perak.”
“Tenang
saja. Biar aku yang membantu,” ujar Kodi yang muncul kemudian. Ia menceburkan
diri ke dasar telaga dan mendapatkan arloji milik pedagang kain. Kodi segera
memberikan arloji itu kepada pemiliknya.
“Terima
kasih. Atas kebaikanmu, kuberikan kau sehelai kain,” kata pedagang kain, lalu
meninggalkan telaga.
Komal
tertawa melihat Kodi menerima kain itu. Tapi, Kodi menyimpan pemberian itu.
Beberapa
waktu kemudian, datanglah musim kemarau. Lambat laun air telaga menyusut dan
semak-semak di sekitarnya meranggas. Tidak ada lagi serangga yang datang ke
telaga itu. Komal dan Kodi mulai kekurangan makanan.
Suatu
malam, mereka mulai kelaparan karena sudah dua hari tidak makan.
“Coba
kalau kau dulu meminta sesuatu yang bisa kita makan, saat menolong orang-orang
itu. Pasti saat ini kita tidak kelaparan. Barang-barang yang mereka berikan itu
tidak berguna,” ejek Komal kepada saudaranya.
Kodi
terdiam sebentar. Tiba-tiba, ia mendapat ide. Kodi menuangkan sedikit minyak
tanah ke mangkuk keramik di dekatnya. Ia menyobek kain dan memintalnya menjadi
sumbu. Ujung sumbu lalu dibakar api. Maka jadilah barang-barang hadiah itu
sebuah pelita yang menerangi mereka.
“Kodi,
kita tidak perlu cahaya. Yang kita perlukan adalah makanan,” protes Komal.
“Tenang,
Saudaraku. Apa kau tidak tahu, serangga paling senang melihat cahaya,” timpal
Kodi.
Benar
saja apa yang dikatakan Kodi. Tak lama kemudian, banyak serangga mendekati
pelita itu. Mereka segera memangsa serangga itu hingga cukup mengisi perut
mereka.
Komal
akhirnya sadar, ternyata barang-barang pemberian yang dikumpulkan Kodi itu
berguna juga. Komal bangga memiliki saudara yang baik hati dan cerdik.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteWah, keren-keren. Mudah-mudahan suatu hari nanti bisa bikin yang sebagus ini :)
ReplyDelete@Johan Tanjung: terima kasih sudah mampir dan komen. ditunggu karyanya ^_^
ReplyDeletekomennya pada ilang :(
ReplyDeleteIzin naroh link di blog sy Pak.......
ReplyDeletemenyisipkan pesan moral dengan halus sekali, bagus banget :)
ReplyDelete