Jangan mengaku editor
buku anak jika belum pernah ke Bologna Children’s Book Fair.
Kalimat itu saya temukan beberapa tahun silam di sebuah blog
milik seorang editor buku anak. Sejak itu saya bermimpi mendatangi kota
Bologna, Italia. Alhamdulillah, kantor penerbit tempat saya bekerja menugaskan
saya mengunjungi pameran buku tingkat Internasional yang digelar pada 19-23
Maret 2012.
Perjalanan ke Bologna merupakan kunjungan pertama saya ke
benua Eropa. Hampir 20 jam penerbangan dari Jakarta karena harus singgah di
Bandara Kuala Lumpur, Malaysia, dan Bandara Schipool, Belanda. Pesawat singgah
di Milan, Italia, dan saya masih harus meneruskan dengan kereta api cepat
sekitar satu jam lebih. Di atas kereta cepat dengan tiket seharga 42 Euro
ini, mata saya dihibur dua pemandangan
yang berbeda. Awalnya, saya melihat
kawasan industri Milan, semakin mendekati Bologna saya dapat menikmati hamparan
tanah pertanian dan rumah-rumah pedesaan yang menawan.
Kota Merah
Saya tiba di Bologna menjelang pukul 11.00. Musim semi di
Bologna memudahkan saya menyesuaikan diri karena suhu udara yang masih sama
dengan kota tempat tinggal saya, Bandung, saat subuh. Begitu ke luar dari
stasiun kereta Bologna Centrale, saya langsung disambut bus-bus umum dan
bangunan berwarna kemerahan.
Bologna adalah ibu kota provinsi Emilia-Romagna. Dikenal
para traveler sebagai kota paling cantik di Italia utara. Bangunan bata merah
terakota dengan atap khas, serta serambi berpilar menjadi ciri utama kota. Di
Bologna juga terdapat universitas Bologna yang merupakan universitas tertua di
dunia. Dominasi bata merah membuat Bologna juga sering disebut Kota Merah
Hotel yang saya pesan melalui Internet ternyata tidak berada
di dalam kota. Saya masih harus naik bis sekitar 45 menit dari Stasiun Centrale
(stasiun pusat kereta), sementara info yang dseibut di Internet hanya ditempuh
dalam 10 menit. Ketika bertanya melalui
telepon ke hotel, saya diminta naik bis dari depan stasiun ke arah
Centro lalu berganti bis lagi dengan no rute 96. Keinginan naik taxi muncul,
tapi saya tepis karena hasrat berpetualang saya.
Saya berjalan seratus meter sambil menarik koper dan
menggendong satu ransel. Saya menghampiri halte dan mencoba memahami petunjuk
rute bis. Namun upaya ini sia-sia karena semua petunjuk dalam bahasa Italia,
dan saya tak mengerti sama sekali dengan nama area yang ditulis.
Saya bertanya kepada beberapa orang di sekitar rute bis ke
kawasan Pianoro, namun tak ada yang dapat menjawab dengan pasti. Mereka bingung
karena tidak tahu kawasan tersebut, dan tidak mengerti bahasa Inggris. Orang
terakhir yang saya tanyai adalah warga Itali keturunan Sudan. Pria bernama Icheem ini tak hanya
menjelaskan, tapi mengantar saya ke terminal bis luar kota, membeli tiket, dan
menunjukkan bis yang harus saya tumpangi. Dia begitu baik ketika tahu saya
berasal dari Indonesia dan sesama muslim.
Setelah menyimpan tas bawaan dan membersihkan badan, saya
kembali menuju pusat kota karena ada pertemuan yang harus saya hadiri. Untunglah
halte bus tak jauh dari hotel. Untuk meyakinkan diri, saya bertanya kepada
front officer tentang bus yang harus saya tumpangi. Penjelasannya cukup membuat
saya mengerti.
Persoalan justru datang ketika saya naik bis rute 96.
Semestinya saya sudah membeli karcis bus sebelum naik. Alhasil saya seperti
penumpang illegal. Saya mencoba bertanya cara membeli karcis kepada teman melalui ponsel. Katanya, jika di bus tidak
ada, sebaiknya segera turun di halte berikutnya. Jangan sampai saya kena razia.
Begitu tiba di sebuah halte di kawasan yang cukup ramai saya
pun bergegas turun dengan tangan berkeringat. Pfuih, selamat. Teman saya
langsung meminta saya mencari kios Tabaccheria, sejenis jaringan minimarket,
untuk membeli karcis bis. Setelah berjalan 1 kilometer, akhirnya saya menemukannya
dan membeli 20 karcis sekaligus. Saya tidak mau jadi penumpang illegal lagi di
bologna. Harga tiket sekali perjalanan adalah 1,5 euro.
Saya pun melanjutkan perjalanan dengan bus rute yang sama
dan turun di Via Farini yang juga akhir trayek bus tersebut. Saya benar-benar
takjub melihat gedung-gedung tua dengan selasar berpilar yang juga berfungsi
sebagai trotoar. Bangunan-bangunan itu berisi toko-toko yang menjual barang
bermerk terkenal. Tentu saja harganya juga selangit, sangat tidak bersahabat dengan
isi dompet saya.
Saya takjub juga dengan warga setempat yang terbiasa berjalan
kaki untuk jarak jauh dan dengan langkah cepat. Sementara saya sudah merasa
perlu istirahat untuk mengatur napas setelah berjalan beberapa ratus meter saja.
Saya istirahat sejenak di taman Piazza
Cavour. Di taman seluas setengah lapangan bola ini ini berdiri patung dada Carlo Monari
(1831-1918), seorang pahlawan unifikasi Italia. Di seberang taman saya juga
dapat menikmati keindahan bangunan tua Bank Italia.
Di taman inilah saya bertemu dengan pria Spanyol, Roberto,
yang mengira saya orang Filipina. Begitu saya
menyebut berasal dari Indonesia,
dia langsung menyapa,” Apa kabar?”. Ternyata Roberto pernah tinggal di
Indonesia selama tiga bulan belasan tahun silam.
Roberto cukup sering ke Bologna, sehingga saya mendapat
pemandu wisata gratisan keliling kawasan kota tua Bologna. Tujuan pertama
adalah kawasan alun-alun Bologna yang disebut Piazza Maggiore. Saya aman
terkesan tidak hanya dengan bentuk bangunan yang besar-besar, tapi juga
tingginya menara-menara di sekitar. Apalagi melihat kemegahan gereja San
petronio Basislica yang sedang dipugar.
Menurut Roberto, menara adalah simbol kekayaan para
bangsawan pada masanya. Selain itu, menara juga menunjukkan keinginan manusia untuk
semakin mendekati Tuhan.
Di alun-alun saya menemukan cafƩ di teras, yang tentu saja
harganya selangit. Saya juga melihat sejumlah turis Asia, pengemis dan
pengamen. Tentu saja saya bisa melihat sejumlah aktivitas mahasiswa karena
masih satu area dengan Universitas Bologna. Saya sempat heran ketika melihat
beberapa anak muda mengenakan mahkota daun dan dikerjain teman-temannya.
Ternyata itu adalah salah satu cara untuk merayakan kelulusan.
Pengamen di sekitar Piazza Maggiore juga bukan sembarangan.
Kebanyakan bertampang keren dan benar-benar mahir bermusik. Rupanya, sebagian
besar dari mereka adalah mahasiswa jurusan musik yang sedang berlatih. Maklum,
kalau latihan di apartemen, bisa-bisa diprotes tetangga sebelah. Lagi pula,
bermain musik di area publik, bisa sekaligus untuk menempa mental mereka.
Lepas dari Piazza Maggiore, Roberto menunjukkan saya patung
dan air mancur terkenal Fontana di Nettuno. Patung perunggu Neptunus itu
berdiri sejak 1567. Wuah, saya benar-benar kagum dengan warga Italia yang bisa
menjaga peninggalan nenek moyang mereka. Oh iya, saya juga sempat mencicipi air
dari kran di bawah patung Neptunus yang berwibawa itu, walaupun tanpa mitos
yang minum air akan awet muda.
Banyak sekali monumen-monumen bertebaran di Bologna, mulai
dari abad pertengahan sampai masa unifikasi Italia. Dan semua tampak terawat
dengan baik.
Bologna Children Book Fair
Kunjungan utama saya ke Italia adalah Bologna Children’s
Book Fair (BCBF). Untuk apa saya pergi jauh-jauh ke Bologna semata melihat
pameran buku anak-anak? Pameran buku ini jelas berbeda dengan pameran buku
lainnya. Di sini bukan ajang bursa buku seperti pameran buku di Indonesia,
namun ajang bertemunya penulis, ilustrator, editor, penjual dan pembeli hak
penerbitan buku, percetakan sampai pustakawan dari seluruh dunia.
Di usianya yang ke 49 tahun ini, BCBF menghadirkan 1200
peserta pameran dari 66 negara di dunia. Luas arena lebih dari 20.000 meter
persegi, dan benar-benar membuat kaki kita pegal jika hanya mengunjunginya
dalam satu hari. Untungnya, saya bisa menemukan cafƩ dan resto di beberapa
sudut meskipun dengan harga berlipat jika kita jajan di luar.
Dari hotel tempat saya menginap di kawasan Pianoro, saya
harus dua kali naik bus umum dengan harga tiket 1,5 euro per perjalanan. Begitu
tiba di kawasan Piazza Costituzione, saya turun di halte tepat di gedung
pameran. Setelah melewati pintu pemeriksaan kartu masuk, saya langsung tiba di
ruang pameran ilustrasi buku anak-anak. Aturan memasuki BCBF sangat ketat, usia
di bawah 18 tahun tidak diperkenankan masuk.
Sangat menyenangkan cuci mata di arena ini. Kita dapat
melihat aneka jenis ilustrasi dengan gaya berbeda dari beberapa negara. Di
arena ini kita juga bisa melihat karya pemenang Bolognaragazzi Award 2012 yang
menarik.
Bolognaragazzi Award diberikan untuk kategori buku fiksi, nonfiksi, horizon
baru (Arab, Amerika Latin, Asia, dan Afrika), karya pertama, dan yang terbaru
untuk buku aplikasi digital.
Untuk kategori ilustrasi fiksi pemenangnya adalah Le Secret
D‘Orbae (Belgia), yang menurut juri pengerjaan pengemasan craft dan
ilustrasinya cocok dengan alur cerita, lalu Saltimbanques (Prancis), dan The
Secret River (AS). Kategori nonfiksi pemenangnya adalah Wszystiko Gra
(Polandia), Masque (Prancis), Orani (AS) dan Line Up for Yesterday (AS).
Di area yang sama saya juga bisa melihat stand khusus untuk
negara kehormatan acara BCBF. Tahun ini jatuh ke Negara Portugal. Saya
berharap, Indonesia bisa menjadi Negara kehormatan pada tahun-tahun mendatang.
Kunjungan saya berlanjut menemui beberapa literary agent (agen hak penerbitan
buku) dan juga penerbit. Agen hak
penerbitan buku adalah lembaga jasa yang menjembatani penerbit yang ingin
mendapatkan hak terjemahan dengan beberapa penerbit buku asli. Dua agen yang
saya temui adalah dari Thailand dan Korea.
Setelah itu, saya mulai menyambangi stand-stand penerbit
yang ditata rapi. Sekali lagi, di sini para peserta pameran tidak menjual buku,
tapi hak terbit ke Negara lain. Jadi, saya tidak bisa mendapatkan fisik buku
langsung. Jika ada buku yang saya minati, mereka akan mengirimkan bukunya dalam
format PDF melalui e-mail. Paling yang bisa kita dapatkan hanyalah katalog.
Pengalaman ini berbeda dengan yang pernah saya dengar dari
seorang editor senior yang bertandang ke BCBF 7 tahun silam. Dulu, editor
sepulang dari BCBF selalu over bagasi sehingga harus mengeluarkan uang ekstra. Kalau
pun saya mau meminta fisik buku yang mereka pamerkan, saya diminta menunggu
sampai penutupan pameran. Karena para peserta pameran pun enggan membawa
buku-buku mereka ke dalam bagasi.
Lantas, untuk apa mendatangi BCBF jika semua bisa dilakukan
melalui Internet sekarang? Hal penting yang saya dapatkan sebagai editor dan
juga penulis buku anak adalah silahturahmi
dengan insan perbukuan dunia melalui tatap muka terasa berbeda jika
hanya dengan Internet. Dengan bertemu langsung juga bisa membangun kepercayaan
dan kredibilitas. Bukan hanya untuk saya dan tempat saya bekerja, tapi juga
Indonesia.
“Bagi saya penting sekali bertemu langsung dengan para editor
dari negara asing. Kedatangan mereka bisa jadi keseriusan untuk berbisnis,”
kata Kavi Meswania dari sebuah penerbitan buku anak di Inggris.
Selain stand penerbit, saya juga menemukan stand yang disewa
secara kelompok dengan bendera satu Negara. Di dalam stand itu akan ditemui
beberapa penerbit dari Negara tersebut. Satu-satunya Negara dari Asia Tenggara
yang ikut serta adalah Malaysia.
Saya sempat miris, karena Indonesia tidak membuka stand di
sana padahal Indonesia punya IKAPI
(Ikatan Penerbit Indonesia). Saya sangat yakin, buku-buku anak penerbit
Indonesia jauh lebih bagus dan memiliki nilai jual ketimbang dari negeri jiran
tersebut.
Agenda Padat
Hal yang juga tidak bisa diabaikan
kepentingannya selama di BCBF adalah mengikuti seminar, workshop, jumpa penulis
hingga peluncuran buku. Setidaknya dalam sehari ada 20 acara di beberapa sudut.
Tentu saja saya tidak bisa mengikuti semua acara. Paling tidak, dari satu-dua
acara saya bisa belajar cara mengemas
acara-acara perbukuan anak agar menarik peserta.
Paling menarik adalah pengumuman pemenang The Astrid
Lindgren Memorial Award ke 10. Astrid Lindgren adalah penulis buku anak
berkebangsaan Swedia yang karyanya berjudul Pippi si Kaos Kaki panjang sangat
melegenda di seluruh dunia. Pengumuman sendiri berlangsung di Vimmerby, kota
kelahiran Astrid Lindgren, tapi disiarkan juga di ruang khusus di BCBF.
Tahun ini pemenangnya adalah Guus Kuijer dari Belanda. Penulis
berusia 70 tahun ini telah menerbitkan 30 judul buku dan sudah diterjemahkan ke
10 bahasa. Saya berharap bisa memenangkan award ini suatu hari nanti, karena
Astrid Lindgren banyak menginspirasi saya sebagai penulis buku anak.
Acara BCBF ini tidak hanya digelar di dalam arena. Di
beberapa sudut kota Bologna juga digelar acara terkait BCBF. Acara launching
seri-seri baru penerbit dari Amerika misalnya, digelar di Hotel Baglioni
disertai acara makan malam. Tak jauh dari patung air mancur Neptunus, kita bisa
memasuki tenda besar penjualan buku-buku anak Italia dengan harga diskon.
Itu pun tidak membuat semua orang yang tinggal di Bologna
tahu tentang BCBF. Edwin Erlangga, mahasiswa Universitas Bologna jurusan Sastra
Italia asal Bandung baru mengetahui keberadaan BCBF tahun ini. Padahal sudah
tinggal dua tahun di Bologna. “Tahun depan saya pasti akan datang lagi,” kata
Edwin yang menjadi pemandu saya selama di Bologna.
Ya, saya pun berharap tahun depan bisa datang lagi ke BCBF.
Bahkan kalau bisa setiap tahun. Banyak sekali oleh-oleh ide sepulangnya.
Megahnya Sala Borsa
Tidak heran jika ajang Bologna Children’s Book fair menjadi
perhatian dunia. Di Bologna, budaya membaca buku sangat kuat. Hampir di setiap
perjalanan, saya menemukan berbagai jenis perpustakaan. Mulai dari perpustakaan
sekolah, perpustakaan gereja, perpustakaan wilayah. Satu perpustakaan yang membuat saya ingin
masuk ke dalamnya adalah Biblioteca Sala Borsa.
Sala borsa berada di kawasan Palazzo d’Accursio, hanya
beberapa meter dari patung air mancur Neptunus yang terkenal itu. Ketika saya
masuk, banyak anak-anak balita yang ikut masuk. Ternyata selain menyimpan
koleksi multimedia, perpustakaan ini juga memiliki ruang penitipan anak. Di
penitipan itu saya lihat koleksi buku untuk balita yang sangat lengkap.
Saya sempat terbelalak melihat luasnya perpustakaan. Di sebagian
lantai dasar, sekitar 400 meter persegi lantainya terbuat dari kristal tembus
pandang, sehingga saya bisa melihat reruntuhan tembok kota masa kerajaan Roma.
Tak heran jika perpustakaan ini juga sering disebuat museum arsitektur Roma.
Sebelum menjadi perpustakaan, Sala Borsa pernah menjadi kantor beberapa bank. Setelah perang dunia,
sempat pula menjadi lapangan olahraga indoor untuk bola basket dan tinju, dan
kemudian menjadi kantor bursa efek. Namun, sejak 2001 pemerintah setempat
menjadikan bangunan tersebut sebuah perpustakaan lengkap empat lantai ke atas
dan masih ada ruang bawah tanah yang biasanya dipakai untuk aktivitas anak-anak
usia 9-14 tahun.
Selain membaca dan meminjam buku, pengunjung bisa menikmati
koleksi DVD, majalah, Koran terbaru, juga akses Internet. Di lantai empat kita
dapat melihat rencana tata ruang kota, juga beberapa ruang diskusi dan
presentasi.
Seandainya saja ada perpustakaan semegah ini di Indonesia,
saya ingin menjadi yang pertama masuk ke dalamnya.
(benny rhamdani)
wow mantab liputannya jadi bikin mupeng aja nih Bhai ;)
ReplyDeletesok atuh segera .....
ReplyDeleteDuh, jadi mupeng. Pengen ke Perpus Sala borsa...
ReplyDeletekeren liputannya! *berharap suatu hari bisa meliput ke sana juga...
ReplyDelete@liani: segera ke sana atuh
ReplyDelete@Vero: Aamin.