Orang-orang menyebutnya Pasar Sindu, tapi di papan nama tertera Pasar Ramah dan Segar. Menarik juga ternyata isi pasar tradisional satu ini.
Pagi telah menunjukkan waktu pukul enam saat kaki melewati gerbang Pasar Sindu Sanur, Bali. Keramaian terlihat dari lalu lalang motor dan pejalan kaki di pelataran pasar. Beberapa pembeli tampak ke luar dari dalam pasar dengan belanjaannya.
Ini adalah pengalaman pertama saya memasuki pasar tradisional di Bali, selain Pasar Sukowati yang terkenal dengan aneka oleh-olehnya itu. Rasa takjub langsung terasa ketika melihat suasana pasar di dalam yang begitu tertata rapi, meskipun ramai. Aroma dupa pun menyeruak dari sesajen di tiang-tiang tinggi yang berdiri di setiap kios. Benar-benar pemandangan yang unik lantaran saya belum pernah melihat hal seperti ini.
Saya termasuk senang masuk ke pasar tradisional. Karena suasananya sangat humanis jika direkam oleh kamera foto. Belum lagi suara tawar menawar antara pedagang dan pembeli. Benar-benar hidup. Tentunya, pasar tradisional sekarang berbeda sekali dengan pasar ketika saya masih kecil.
Pasar tradisional sekarang jauh lebih bersih. Meskipun kita berada di dekat los daging yang biasanya becek disertai bau anyir, namun tetap nyaman, seperti di Pasar Sindu ini.
Tidak heran jika pasar ini terlihat lebih nyaman dibandingkan sebelumnya, biaya untuk merevitalisasinya saja mencapai Rp3,4 milyar. Dana tersebut murni bersumber dari swadaya masyarakat dan Yayasan Pembangunan Sanur. Pasar ini kemudian diresmikan kembali pada tanggal 4 Agustus 2010 oleh Marie Elka Pangestu saat menjadi Menteri Perdagangan RI.
Saat itu Marie Elka Pangestu menginginkan pasar tradisional seperti Pasar Sindu lebih dikenal dengan nama pasar ramah dan segar. Ramah berarti masyarakat dapat berinteraksi saling tawar menawar secara ramah, dan segar masyarakat yang berjualan menyediakan bahan pokok yang segar.
Tentang Ramah, menurut saya memang terasa sekali ketika berjalan-jalan dan membeli barang di Pasar Sindu. Setidaknya setiap saya minta izin memotret, mereka mempersilakan dengan ramah. Mereka juga mau meladeni saya bercakap-cakap walau tak membeli.
Bu Pasti, salah satu penjual bunga-bunga sesaji malah langsung bercerita ketika saya bertanya tentang dagangannya. “Saya jualan bunga di sini sudah 12 tahun. Waktu itu pasarnya belum seperti ini. Sekarang sudah lebih bagus,” jelasnya dengan logat Bali
Lalu, seorang ibu setengah baya memintanya membungkuskan bunga campur seharga limabelasribu rupiah. Ada lagi seorang ibu yang menawar hiasan untuk penjor. Dia pun langsung sibuk meladeni pembeli.
“Mau hari raya Galungan, jadi banyak yang beli untuk perlengkapan upacara,” kata Bu Pasti.
Saya pun berterima kasih lalu melangkah ke tempat lainnya.
Pasar Sindu berdiri di atas lahan seluas 51 are untuk menampung 361 pedagang yang sebagian besar merupakan masyarakat lokal. Dari jumlah tersebut 150 ditampung los dan 78 menempati toko, sisanya pedagang musiman. Pedagang los ditata sesuai dengan jenis dagangan yang dijual sehingga masyarakat lebih mudah untuk berbelanja. Penataan los sesuai dengan jenis dagangan juga dapat mempermudah menjaga kebersihan pasar.
Di pasar ini ditata menjadi tiga los utama. Ada Los A untuk para pedagang yang menjual alat upacara dan buah-buahan. Los B untuk pedagang sembako dan jajanan Bali. Sedangkan los C untuk pedagang yang menjual daging dan ikan.
Seperti umumnya pasar tradisional, barang yang dijual memang terlihat masih segar, baik bunga, buah, sayur maupun daging. Cocok jika Pasar Sindu ini menyandang gelar pasar ramah dan segar. Tak heran pula jika Pasar Sindu ini sering dijadikan rujukan untuk revitalisasi pasar-pasar lain di wilayah Bali.
Setengah Hari
Mengamati kesibukan para pedagang Pasar Sindu ini memang mengasyikan. Ada pedagang yang sibuk meladeni pembeli, pedagang yang sembahyang di sudut pasar, bule-bule berbelanja buah, bahkan ada juga pedagang yang menjahit.
Bu Agung pemilik toko alat sembahyang tampak tekun membuat saku untuk menyimpan perak dari kain bercorak hitam putih kotak. Dia memiliki dua toko di Pasar Sindu, satu toko lagi di pasar lainnya. Menurut Bu Agung, tokonya sedang sepi dari pembeli sehingga dia memilih mengisi waktu dengan menjahit. “Agak siang sedikit biasanya ramai,” ucapnya.
Pasar Sindu bukan jenis pasar tradional yang buka sepanjang hari. Sekitar pukul duabelas sampai satu siang, pasar sudah ditutup. Sayangnya Pak Nyoman, petugas Satpam yang saya tanyakan tidak bisa menjelaskan alasannya. Namun, menurut saya cukup efektif juga untuk menjaga Pasar Sindu tetap bersih, karena jumlah sampahnya tidak menggunung jika dibuka terus menerus.
Uniknya, kawasan sekitar Pasar Sindu ini menjelang pukul enam sore akan kembali ramai. Kali ini berbeda dengan suasana di pagi hari. Pasar Sindu berubah menjadi pusat jajanan malam hari. Banyak tersedia aneka jajanan, termasuk makanan halal untuk wisatawan muslim. Pasar jajanan ini buka hanya sampai pukul sepuluh malam.
Saya juga melihat turis-turis asing ikut menyantap makanan kaki lima yang ada di Pasar Sindu.
Potensi Wisata
Dengan kekhasan yang ada pada masyarakat Bali, Pasar Sindu sangat potensial menjaring wisatawan yang sedang berkunjung ke Sanur. Terutama untuk wisatawan yang ingin membeli jajanan kaki lima khas setempat.
Selain itu, los buah-buahan juga menjadi favorit wistawan asing yang ingin tahu lebih banyak tentang buah-buahan lokal, seperti salak, manggis, dan lainnya.
Selama saya berada di Sanur, informasi tentang Pasar Sindu sebagai pasar tradisional kurang diinformasikan. Saya baru mendapatkannya ketika browsing di Internet. Seandainya informasi melalui brosur di hotel-hotel tersedia, kemungkinan besar turis asing yang singgah akan lebih banyak lagi. Apalagi jika disediakan bus pulang pergi ke lokasi pasar.
Jadi, sebelum beraktivitas liburan di Pantai Sanur, tidak ada salahnya berwisata ke Pasar Sindu yang unik ini.
^_^
Foto-foto: Benny Rhamdani
0 komentar:
Post a Comment