Saat mendapatkan kesempatan
berkunjung ke Milan, Italia, yang pertama ada di kepala ketika hendak berangkat
adalah barang-barang fashion dengan brand ternama dan harga yang
gila-gilaan. Terbayang pula lalu lalang warga Milan dengan busana trendi dan
wangi parfum yang semerbak. Ternyata, tidak semua bayangan saya benar.
Sebelum berangkat ke Italia, saya
dikenalkan oleh seorang teman dengan seorang reseller
tas branded di Jakarta. Dia mengajak
saya bisnis sebagai kurir tas branded. Saya pun dititipkan sejumlah uang dan
kartu kredit. Di Milan saya bertemu dengan orang Indonesia yang sudah menjadi
warga Milan bernama Dian. Dialah yang akan membeli tas-tas mahal itu sesuai
orderan yang masuk.
Karena tidak punya rencana lain, akhirnya
saya memilih ikut belanja di kota Milan.
Jarang-jarang kan bisa keluar masuk toko tas ternama dan belanja dengan uang
puluhan hingga ratusan juta rupiah untuk sebuah tas. Ya, walaupun uang dan
barangnya punya orang lain.
Saya pun dibawa ke kawasan
Duomo. Dian bercerita tentang bisnis tas
branded ini. Caranya, temannya di Jakarta yang mencari pembeli, lalu mereka
kasak-kusuk mencari orang Indonesia yang akan mampir di Milan. Terkadang, Dian
sendiri merangkap kurir kalau sekalian pulang kampung.
Menurut Dian, meskipun di
Indonesia bisa ditemukan outlet-outlet tas branded, tapi belum tentu koleksinya
sekomplet di Milan. Harganya pun berlipat karena sudah kena biaya distribusi,
pajak, dan tentu saja display toko. Keuntungan yang diambil Dian dan patner
diambil dari selisih harga jual, juga diskon turis saat pembelian dengan
menunjukkan paspor, termasuk kartu diskon tertentu. Belum lagi pengembalian
pajak pembelian di bandara yang jumlahnya cukup lumayan.
Bisnis ini memang tergantung
orang yang mau dititipkan tas. Sementara soal order tas dari Jakarta, tidak
pernah kesulitan mencarinya. ” Orang Indonesia memang gila belanja. Setiap
musim mereka selalu ganti tas bermerk. Padahal orang Milan sendiri belum tentu
punya tas branded itu. Kalaupun
mereka beli, hanya satu untuk seumur hidup,” ucap seorang teman di Italia.
Saya yang akhirnya jadi kurir freelance ini pun kebagian fee yang lumayan. Cukup untuk akomodasi
saya jalan-jalan ke Venesia di akhir petualangan saya di Italia.
Trip Belanja
Agar tak kelimpungan saat belanja
di Milan, sebaiknya sudah mengetahui betul barang yang hendak dibeli, karena
harus disesuaikan dengan lokasi belanjanya.
Bagi penggemar Armani, bisa mengunjungi
butiknya yang elegan di Via Manzoni, yakni Spazio Armani No.31. Selain bisa
berbelanja koleksi terbaru seluruh lini Armani, mulai dari Giorgio, Emporio
hingga Casa dan Fiori, kita bisa juga menikmati suasana santai di Armani Cafe
atau restoran Nobu, yang dimiliki oleh aktor Robert de Niro. Program sale di butik ini berlangsung pada
Januari dan Juli.
Tempat belanja yang saya suka
adalah di Corso Vittorio Emanuele karena menyajikan berbagai merek busana siap pakai, seperti Max Mara,
Moreschi, Bruno Magli dan Pollini. Ingin yang lebih murah? Di sini terdapat
berbagai butik yang juga ada di Indonesia seperti H&M, Zara dan Furla. Ironisnya, saya
melihat sejumlah pengemis berkeliaran di antara butik-butik itu.
Saya juga diajak melihat
gerai-gerai busana sporty yang mengutamakan kenyamanan di Via Torino yang menghubungkan Duomo dan Corso
di Porta Ticinese. Sesungguhnya, ada satu kawasan yang cocok untuk orang yang
suka produk dengan harga miring seperti saya, yakni Fidenza Village Factory
Outlet. Sayangnya, waktu saya tak cukup karena harus memakan waktu satu jam
perjalanan ke luar Milan. Di tempat tersebut terdapat 50 outlet besar dari
produk busana hingga perabotan rumah tangga.
Pastinya, di Milan saja saya sudah cukup merasakan suasana belanja yang
benar-benar diperlakukan sebagai raja oleh para pelayan. Mereka tidak terlihat
kesal ketika kita minta dilihat barang seri-seri tertentu yang tidak ada di
display. Kita bisa menunggu proses
ditemani minuman yang mereka sediakan. Satu kali, ketika saya kebelet ke
toilet di sebuah butik … wow, saya diminta masuk ke sebuah ruangan yang serba
Kristal. Benar-benar bikin saya enggan mengotori ruangan tersebut.
Wisata Arsitektur
Jangan bilang saya hanya buang
waktu ke luar masuk toko saja saat di Milan. Sambil belanja, saya
menikmati
wisata arsitektur karena lokasi belanja berdekatan dengan banguna-bangunan tua
yang megah.
Sebut saja gereja San Carlo al
Corso yang merupakan bangunan neoklasik di pusat Milan. Gereja yang dibangun
pada 1847 ini berdiri di tengah pusat perbelanjaan. Di kanan kiri
gereja dan seberang jalan berderet butik-butik terkenal. Padahal, gereja ini
dulunya dikaitkan dengan wabah kolera dan pes di Milan pada abad 16.
Yang menakjubkan di ujung jalan
setelah melewati gereja San Carlo al Corso, saya melihat gereja Katedral Milan
yang kabarnya gereja katedral terbesar ke empat di dunia. Katedral Milan
dibangun berdasarkan ide bangsawan Milan bernama Gian Galeazzo Visconti,
pengusaha marmer. Dia bertekad membuat katedral
yang seluruhnya terbuat dari marmer. Pembangunan dimulai pada 1368.
Marmernya diambil dari tambang marmer milik Visconti di Gunung Candoglia yang
berjarak 50 km dari Milan. Karena sulit diangkut lewat darat, maka digunakanlah
kanal-kanal di Milan untuk mengangkut marmer.
Ketika melihat gereja yang
memiliki ornamen menarik, langsung terbayang kehebetan orang-orang Italia di
masa lalu. Entah arsiteknya maupun kuli-kuli bangunan yang mengerjakannya.
Betapa mereka merancang sebuah bangunan yang kokoh agar bisa dinikmati orang
hingga ratusan tahun kemudian.
Di depan gereja ini terbentang
alun-alun yang biasanya dipakai wisatawan berfoto-foto atau bercanda dengan
sekumpulan merpati. Mirisnya, di alun-alun depan gereja inilah kita harus
waspada dengan para pencopet. Tidak hanya pencopet, juga sejumlah orang yang
berusaha memeras. Caranya, mereka menawarkan turis memakai gelang persaudaraan,
tapi kemudian kita harus membayar gelang dari benang itu dengan harga tak
wajar. Yang saya saksikan sendiri ada turis yang harus membayar 10 euro.
Masih di sekitar gereja Katedral,
kita bisa menikmati keindahan arsitektur Galleria Vittorio Emanuele II salah
satu pusat perbelanjaan tertua di dunia. Nama Vittorio Emanuele II merupakan raja pertama dari Kerajaan Italia.
Bangunannya Ini dirancang Giuseppe Mengoni pada tahun 1861 dan dibangun antara
1865 dan 1877.
Struktur Galleria terdiri dari
dua arcade kaca berkubah di oktagon (segi delapan), menghubungkan jalan Piazza
del Duomo ke Piazza della Scala. Jalan ini ditutup atapnya dengan lengkungan
kaca dan baja seperti Burlington Arcade di London , yang merupakan prototipe
untuk pusat perbelanjaan.
Di tengah segi delapan, terlukis
empat mosaik menggambarkan Lambang dari tiga Ibukota dari Kerajaan Italia
(Turin, Florence dan Roma ) ditambah Milan. Tradisi mengatakan jika
seseorang berputar dengan tumit kanan pada
gambar testikel banteng (Turin Coat of Arms), ini akan membawa keberuntungan.
Ada yang mengatakan, jika bisa berhasil berputar di atas testikel banteng itu
tanpa jatuh dan menghadap ke arah yang sama akan kembali ke Milan tahun
berikutnya. Percaya? Tentu saja tidak.
Di ujung senja saya tiba di
Castello Sforzesco. Sebenanya saya ingin masuk ke kastil tua yang kini menjadi
museum itu. Namun pintu masuk baru saja ditutup. Akhirnya saya hanya duduk
beristirahat di fountain besar di
depannya. Saya pikir hanya di Roma
terdapat air mancur yang indah. Di Milan pun ada, tapi tak memiliki
mitos lempar koin terpenuhi keinginan.
Masjid Milan
Sebelum berbelanja, saya
menyempatkan diri ke destinasi wisata
favorit saya setiap berkunjung ke kota di luar negeri, yakni masjid.
Berdasarkan informasi yang saya
peroleh di Internet, akhirnya saya
mengunjungi sebuah masjid di Segrate, Milan. Hampir setengah jam
perjalanan ke luar pusat kota. Masjid bernama Al Rahman ini merupakan mesjid
dengan kubah dan menara pertama di itali setelah mesjid terakhir dirobohkan di
Lucera pada abad ke14. Masjid yang
diresmikan 28 Mei 1988 ini sekaligus menjadi pusat kegiatan umat muslim di
Milan.
Bahagia sekali ketika bisa wudhu
dengan air keran superdingin dan shalat ashar di Al Rahman. Apalagi ketika
bertemu belasan muslim belia Italia yang tengah belajar di salah satu ruangan bangunan masjid. Al
Rahman memang menjadi pusat belajar agama islam, dan bahasa Arab.
Menurut Ali Abu Syaima, Imam Al
Rahman, jamaah masjid dari kota Milan berjumlah 200 orang. Tidak hanya imigran,
tapi juga penduduk asli. Jumlah ini
terus meningkat karena di Italia selama tiga tahun terakhir saja sudah
bertambah 2000 pemeluk baru agama Islam. Dan kebanyakan para mualaf adalah dari
kaum muda yang ingin memeluk agama Islam karena kemauannya sendiri.
Dijelaskan pula, bahwa warga
muslim, khususnya muslimah di Milan juga berpakaian mengikuti perkembangan mode
di Milan. Mereka kebanyakan tidak mengeksklusifkan diri dengan hijab warna serbagelap. “Yang pasti masih
sesuai ajaran islam,” ucapnya.
Naik Apa?
Untuk berkeliling di Milan, jika
hanya memiliki budget terbatas, bisa naik subway
atau trem. Tak perlu bingung, cukup datang saja dari stasiun utama kereta
Milan. Dari sana, sangat mudah menjangkau semua jurusan.
Jika bepergian sendiri dan tidak
menguasai bahasa Italia, sebaiknya sudah browsing duluan di Internet kereta
yang akan ditumpangi dan stasiun yang akan dituju. Sebab, informasi dalam bahasa Inggris minim
sekali. Juga tak mudah menemukan warga Milan yang pandai berbahasa Inggris.
Jika tetap kebingungan, langsung datangi pusat informasi wisata yang ada di
stasiun. Mereka akan memberi informasi yang sejelas-jelasnya dalam bahasa
Inggris.
Bila pergi rombongan dan memiliki uang saku lebih, sebaiknya
menyewa mobil rental. Cari saja di Internet pasti mudah menemukannya. Cara ini
lebih efektif untuk mengelilingi Milan sekehendak hati.
Soal makanan di Milan tidak usah
khawatir. Restoran halal cukup mudah ditemukan karena di Milan banyak pendatang
dari negara mayoritas muslim. Jangan
berspekulasi memesan pizza atau pasta, karena kebanyakan dicampur daging atau
lemak babi. Mengapa babi? Karena harganya lebih murah ketimbang sapi.
Grazie.
foto2: Benny Rhamdani