Goresan Berkabut
Peralihan sore menjadi waktu yang selalu kupilih untuk
melukis. Sentuhan jemari sinar mentari yang tergelincir ke barat seolah
menggenggam apa saja yang ada di muka bumi ini, hingga ingin rasanya
kupindahkan semua ke atas kanvas. Apalagi bila ada obyek yang mengusikku.
Subhanallah.
“Jadi kamu tetap mau ke rumah kuno itu, Tya?” Ina bertanya
untuk kedua kalinya.
“Ya,” sahutku singkat sambil mengangkut peralatan lukisku.
Sebenarnya aku kasihan juga meninggalkan sepupuku itu sendirian. Tapi,
mengajaknya juga bukan ide bagus karena tak mungkin ia terus mematung di tengah
kegiatanku.
“Nggak bisa nunggu Bang Lutfi pulang dulu? Aku suntuk kalau
harus sendirian di villa.”
“Belajar jadi satpam villa nggak rugi, kok. Pokoknya sebelum
gelap, aku sudah pulang,” pamitku sambil melangkah keluar pintu menuju sedan
merahku yang sudah menunggu.
Obyek yang kuincar ada di atas bukit. Kemarin saat
berangkat, kami sempat nyasar mencari villa baru milik papa Lutfi dan Ina.
Mobil yang kukemudikan terus menapaki jalan
menuju puncak bukit, hingga mentok pada batas halaman sebuah bangunan
kuno. Aku terpana melihatnya. Akan tetapi lantaran kabut sudah turun, Lutfi tak
membiarkan kami tersesat lebih lama lagi.
Bangunan itu kini sudah ada samping kiri mobilku!
Sebuah bangunan yang dirancang bergaya gothic. Mungkin
dibuat pada masa penjajah mengusai tanah tercinta ini. Bisa jadi, dahulu rumah peristirahatan
pejabat tinggi Belanda yang memang banyak bertebaran di bukit ini. Yang
membuatku kagum, bangunan itu tak dipagari sama sekali. Hanya deretan bunga
khana yang membatasi halaman bangunan
itu dengan jalan beraspal kasar.
Tanpa membuang waktu lagi aku merunduk menggapai
perlengkapan lukisku di jok belakang. Saat aku berbalik, jantungku berdegup
keras. Seraut wajah menempel pada kaca pintu mobil di dekatku!
“Astagfirullahhalazim!” pekikku kaget. Tapi, sedetik
kemudian aku bernapas lega karena yang kulihat hanyalah wajah seorang anak
perempuan kecil. Mungkin umurnya baru sepuluh tahun.
Anak perempuan itu tersenyum saat aku membuka pintu mobil.
“Assalamu’alaikum! Kamu tinggal di sekitar sini?” sapaku
kemudian.
Bocah itu hanya mengangguk.
“Kamu tahu siapa pemilik rumah itu?” Aku menunjuk ke depan.
Dia terdiam, lalu
berlari menjauhiku dan menghilang di antara semak-semak. Aku hanya
menggelengkan kepala melihat ulahnya. Kuputuskan untuk melangkah memasuki
halaman rumah itu. Untuk menjaga etika, biar bagaimanapun aku harus minta izin
kepada pemilik rumah itu.
Grendel tembaga berbentuk lambang hati kuadukan pada pintu
kayu jati hingga kudengar bunyi yang khas. Takl lama seorang perempuan setengah
baya dengan kebaya ungu membuka pintu. Ia berusaha menyembunyikan kegugupannya
saat melihatku.
“Assalamu’alaikum! Maaf saya mengganggu Tante. Saya menginap
di villa Tiga Pinus di bawah, tak jauh dari sini. Saya tertarik dengan bangunan
rumah ini. Jika tak keberatan saya minta izin untuk melukisnya … ngngng, saya
bisa melukis dari luar halaman, kok,” kataku seramah mungkin.
Perempuan itu terus menatapku, seperti tak peduli apa yang
kuucapkan. “Melukis? Silahkan… tapi jangan masuk ke halaman rumah ini. Kami
tidak suka diusik,” ujarnya.
“Baiklah. Terima…”
Bruk!
Pintu di depanku sudah dihempas sebelum menuntaskan
kalimatku. Pfuih! Sambutan paling ramah yang pernah kuterima. Aku jadi berpikir
seperti apa hidup perempuan tadi. Ya, mungkin dia memang tidak luwes
bersosialisai. Itu sebabnya dia memilih tinggal di ujung bukit ini. Dan tadi ia
menyebut ‘kami’. Berarti ada lebih dari satu penghuni di rumah itu. Ah, tapi
apa peduliku! Aku datang hanya mau melukis.
Segera saja kusiapkan semua alat lukisku. Seperti biasa
kuawali dengan coretan sketsa lebih dulu. Kumulai dari atap rumah dengan cerobong perapian dari batu
kali. Lumayan tinggi juga bila dijajarkan dengan pucuk-pucuk pinus yang
bersaing di dekatnya. Mungkin ada dua lantai kalau melihat deretan jendelanya.
Kamarnya juga tentu banyak. Jendela kayu yang terihat saya sudah ada delapan
buah. Ada sebuah jendela yang terbuka di loteng.
“Siapa itu?” gumamku tanpa sadar.
Aku memang melihatnya. Sesosok bayangan yang tengah
melambaikan tangannya. Sayangnya, arak-arakan kabut menyergap rumah itu saat
aku ingin mempertegas apa yang kulihat. Buru-buru kutuntaskan sketsaku sebelum
kabut benar-benar menghalangi semua obyekku.
“Hihihihihi…”
Telingaku menangkap suara cekikik yang begitu dekat. Aku
membalikkan badanku refleks. Masya Allah! Lagi-lagi bocah perempuan itu yang
membuat jantungku nyaris copot. Entah berapa lama ia berdiri di belakangku.
“Siapa namamu?” tanyaku sambil berdiri. Kukemasi
perlengkapan lukisku.
Bocah itu hanya diam memperhatikan kanvasku.
Aku merogoh saku salwarku. Untung masih terisasa beberapa
butir permen. Segera kusorkan tiga bungkus permen karet ke bocah itu.
Ia nampak senang menerimanya. “Terima kasih. Namaku Uti,”
katanya sambil terus tersenyum.
“Uti? Namamu bagus. Kamu mau pulang? Biar kakak antar
sekalian,” ajakku yang sudah merasa diusir kabut.
“Rumah Uti dekat kok. Kakak saja buruan pulang. Nanti bisa
jatuh ke jurang kalau jalannya ketutup kabut.”
Aku terbelalak. Kalimat Uti membuat hatiku ciut. Bergegas
kumasukan perlengkapan lukisku ke mobil. Ketika kulirik arlojiku baru kusadari
bahwa sebenranya aku sudah lebih dari satu jam di tempat ini. Segera kunyalakan
mesin mobil. Kubuka kaca jendela untuk mengucapkan salam pada Uti.
Bocah itu sudah hilang entah kemana!
*****
Saat makan malam Ina kuceritakan semua pengalamanku tadi
sore. Mulai dari perempuan setengah baya yang harus ikut sekolah kepribadian
sampai Uti yang aneh.
“Untung aku tadi diingatkan Uti agar buru-buru pulang. Jadi
sewaktu kabutnya menebal, aku sudah sampai sini. Nggak kebayang kalau aku
sampai harus nyemplung ke jurang gara-gara kabut dan jalan yang sempit,” kataku
mengakhiri ceritaku.
“Lagian melukis kok jauh-jauh amat sih! Di sekitar sini juga
banyak pemandangan yang bagus.”
Aku menggeleng. “Besok aku mau ke sana lagi ah. Mungkin
sebaiknya pagi, biar nggak terjebak kabut atau kemalaman. Kamu mau ikut, In?”
“Nggak ada kerjaan!” jawab Ina buru-buru. Jawaban yang sudah
kuduga sebelumnya. “Mendingan aku ikut Bang Lutfi. Bang, besok mau acaranya mau
ngapain?” Ina menepuk Lutfi di sebelahnya.
“Pagi? Nggak kemana-mana. Soalnya teman Abang ada yang mau
ke sini.”
“Cakep nggak?”
“Jelek…. Mirip Shah Rukh Khan!”
Aku nyaris tersedak melihat reaksi muka Ina. Ia merengut
kesal. Dia memang tidak bisa menerima kalau bintang idolanya itu dibilang
jelek.
Usai makan malam aku
menemani Ina sebenatr maion scrable. Lantaran ia kalah mrlulu, akhirnya Ina
memutuskan untuk membaca komik Asterix. Sementara Lutfi kulihat tengah memetik
gitar di teras. Lagunya amat melankolis. Aku berusaha menahan diri untuk tidak
mengusiknya.
Merasa kantuk mulai menyerang, aku bergegas ke kamar.
Kuamati sebentar sketsa yang kubuat sore tadi. Pandangku akhirnya jatuh pada
detil jendela yang kubuat. Kuingat lagi
sosok bayangan dengan tangan yang tengah melambai.
Ah, bukan melambai! Tepatnya, ia memintaku untuk masuk ke
rumah itu…
*****
Kabut subuh yang menyergap membuatku malas membuka jendela
kamar. Kukenakan switer merah marun sambil berharap kabut segera pergi. Usai
sholat subuh aku melongok ke kamar Ina.
Ia terus mendengkur meski Andre sudah
berulang kali menyuruhnya sholat subuh. Lantaran lapar, aku segera ke dapur.
Mang Sahdi yang mengurus villa ini tengah menuangkan air ke
termos saat aku masuk dapur. Melihatku, Mang
Sahdi langsung menawarkan segelas susu murni hangat dan sepiring jagung
rebus yang masih hangat.
“Mamang kenal banyak orang-orang sini?” tanyaku sambil
menggiggit jagung yang masih mengepulkan asap.
“Iya, Non. Mamang pan asli orang sini. Malah pendatang yang
punya villa di sini juga kebanyakan kenal,” jawabnya bangga.
“Kalau Uti rumahnya dimana, Mang?”
“Uti? Oh, anak itu tinggal di rumah bekas orang belanda itu
di tonggoh, di puncak. Bapaknya tukang kebun di rumah itu. Memangnya si Uti
menganggu ya?” Jangan ditanggapi, Non.
Kasihan juga sebenarnya anak itu. Masih kecil sudah keganggu.”
“Keganggu?”
“Suka ngomong ngelantur, Non. Makanya dia nggak sekolah.
Padahal anak itu seumur anak Mamang yang kelas empat.”
Aku manggut-manggut. “Kalau rumah Belanda itu siapa yang
nempatin?”
“Wah, kalau yang satu itu Mamang kurang kenal. Dia nggak
pernah ke luar rumah sama sekali. Semua diurus sama bapaknya si Uti. Kalau
nggak salah, rumah itu ditempati seorang janda dengan putra tunggalnya. Mereka
baru dua tahunan di sini. Mamang juga baru sekali melihat orangnya. Maklum,
rumahnya di ujung.”
“Lalu putranya?”
“Katanya kuliah di
kota. Mamang sih belum lihat.”
Aku merasa puas.
Ketika kabut mulai hilang dan sinar mentari pagi bersinar cerah, aku bersiap
untuk pergi. Dengan mobilku, aku kembali ke rumah Belanda itu lagi. Senyumku langsung mengembang ketika kulihat
sosok Uti yang dating menghampiriku saat aku tiba. Ia seperti tahu aku akan
dating pagi ini.
“Assalammualaikum! Ini Kakak bawakan lagi permen karet
untukmu,” kataku sambil menyodorkan beberapa bungkus permen karet.
“Hihihihi,’ tawanya ‘berterimakasih’. Ia tampak senang.
Aku merunduk sambil memegang bahunya agar ia melihat
mulutku. Kutunjukkan padanya bagaimana permen karet di mulutku bisa membentuk
sebuah balon saat kutiup. Bocah itu tampak takjub. Aku berusaha mengajarinya.
Uti mencoba mengikutiku. Tapi permen karet yang ditiupnya
malah terlempar ke tenah. Buru-buru kucegah tangannya ketika hendak memungut
permen karet itu.
“Buka saja yang baru. Nanti kalau habis akan Kakak beri lagi
kok,” kataku.
Sementara Uti sibuk mencoba membuat balon permen karet, aku
membenahi peralatan lukisku. Kucoba menuntaskan sketsaku yang belum beres.
“Kak Wildan juga suka melukis.”
Aku menoleh ke samping. Rupanya Uti lebih senang bicara
tanpa kutanya. Ia tertegun mengamati sketsaku.
“Uti pernah dilukis Kak Wildan, soalnya Kak Wildan paling
senang melukis wajah orang,” tambah Uti.
“Kak Wildan yang mana?” tanyaku penasaran.
Uti membuat balon dengan permen karetnya. Rupanya dia cukup
cerdas. Tapi, entah apa yang membuatnya tiba-tiba berubah gelisah. Tahu-tahu ia
mundur lalu berlari menghilang ke semak-semak sperti kemarin. Entah kenapa
pula, tiba-tiba aku mengamati jendela kamar di loteng itu. Jendela yang kemarin
terbuka itu, kini tertutup rapat.
Aku menepis pikiran aneh yang berkelebat. Tanganku mulai
mengerakkan kuas di atas kanvas. Warna hijau dan biru sengaja kupilih
mendominasi lukisanku. Tapi focus lukisanku tetap rumah kuno itu. Tanganku
bergetas ketika mencoba membuat arak-arakan kabut di jendela rumah.
Bersamaan itu, konsentrasiku buyar. Kulihat seorang lelaki
tergopoh-gopoh mendekatiku.
“Maaf, Non, Ibu minta supaya segera menghentikan kegiatan
melukis di sekitar sini. Ibu merasa tidak enak kalau rumah ini seperti diamati
terus-menerus,” kata lelaki itu seramah mungkin.
“Tidak masalah kalau pemilik rumah keberatan. Maaf, Bapak pasti bapaknya Uti, kan?” terkaku
sambil membenahi perlatanku.
“Anak itu di mana sekarang?”
“Sudah pergi. Sampaikan terima kasih saya pada Bu…”
“Bu Indarta.”
“Ya. Sebenarnya saya mau bertemu Bu Indarta. Mungkin bisa
kenalan juga dengan putranya yang bernama… Wildan, bukan? Kebetulan saya
kemarin melihatnya di jendela kamarnya.”
Rekasi di depanku sungguh mengejutkan. Mukanya tampak pucat.
“Maaf, pasti Uti banyak cerita. Tolong
jangan dengarkan semua yang dikatakannya.”
Aku mengernyitkan kening. Setelah berpamitan aku menjalankan
mobilku.
Kenapa aku harus tidak menggubris kata-kata Uti? Bukankah
dia benar soal kabut yang bisa mencelakaiku kemarin? Kalau aku tidak
menurutinya…
“Kakak harus masuk ke dalam rumah itu!”
Aku langsung menginjak rema akrena terkejut mendengar suara
di belakangku. Masya Allah! Lagi-lagi Uti. Entah bagaimana caranya ia bisa
menyelinap ke mobilku.
“Kakak harus menolong kak Wildan…” katanya memelas.
“Kenapa dengan Kak Wildan?” tanyaku bingung.
“Kak Wildan sudah meninggal.”
Kali ini jantungku seprti pindah ke ulu hati mendengar
kalimatnya. Kuminta Uti segera pindah ke sampingku.
“Uti kalau ngomong harus benar. Jangan mencampur cerita yang
benar dengan yang Uti lihat dalam mimpi,” nasehatku sebijak mungkin.
Uti malah menghadapkan wajahnya ke jendela mobil. Lalu
katanya,” Kak wildan jatuh ke jurang itu, terus ditolong Bapak. Tapi sakit Kak
Wildan parah. Memang masih sempat melukis Uti. Tapi sudah tujuh hari Kak Wildan
tidak melukis. Kak Wildan pasti sudah meninggal.” Mata Uti berkaca-kaca.
“Kak Wildan belum meninggal.
Kakak melihatnya kemarin sore. Kamarnya yang di loteng itu, kan?”
“Yang Kakak lukis dengan jendela terbuka? Tapi itu nggak
pernah lihat terbuka,” Uti menggeleng.
Aku tersenyum. “Udara di sini dingin. Nggak baik buat orang
sakit seperti Kak Wildan. Jadi jendelanya Cuma sesekali dibuka.”
“Kak Wildan sudah meninggal!” serunya.
Aku mengelus dadaku. Kuyakin Uti amat akrab dengan orang bernama
Wildan itu.
“Uti mau tinggal dengan Kakak!” katanya lagi.
Astagfirullahhaladzim! Aku baru sadar membiarkannya berada
di mobilku.”Bukannya nggak boleh. Tapi Uti pasti belum bilang sama bapak Uti.
Sekarang Kakak antar pulang ya.” Aku mencari jalan agak lebar untuk memutar
arah mobil. Kulihat Uti cemnerut karena keinginannya tidak dikabulkan.
Aku menghentikan mobilku di depan rumah kuno itu. Uti
langsung lari tanpa mengucapkan sepatah katapun. Sessat sebelum aku tinggalkan
tempat itu, sempat kulihat jendela kamar itu terbuka!
Dan… sesosok bayangan samas kulihat melambaikan tangannya ke
arahku. Ia memintaku masuk!
Aku langsung memalingkan muka, bergegas kembali ke villa.
Lutfi tampak asyik sedang ngobrol dengan
teman yang diceritakan semalam. Namanya Indra. Rupanya ia juga punya villa di
sekitar bukit ini.
“Aku seperti pernah melihat kamu sebelum ini,” ucapnya
setelah diperkenalkan Lutfi.
“Mungkin waktu ada pentas band di kampus kalian. Aku ke sana
kok.”
“Kurasa bukan. Aku nggak pernah datang ke acara seperti
itu. Tapi… dalam sebuah lukisan. Cuma
aku lupa dimana lukisan itu….”
“Ah, paling juga lukisan potret dirinya sendiri di pasar
loak,” timpal Ina.
“Kapan aku pernah melukis orang?!” sergahku.
Sementara Indra masih sibuk mengingat, aku masuk ke kamar.
Kuletakkan kanvasku di sisi sipan. Baru sebentar, Ina sudah teriak.
“Makan dulu! Nanti Shah Rukh Khan-nya keburu pergi!”
“Memang si Shah rukh Khan mau kemana sih? Buru-buru amat,”
timpalku di luar kamar. “Ngomong-ngomong Shah Rukh Khan doyan sayur asem,
nggak? Soalnya tadi aku minta dibuatkan sayur asem.”
“Jangankan sayur asem, sambalnya aku yang buat kok.”
Aku tertawa. Makan berempat berlaskan tikar di beranda
samping yang menghadap ke lereng bukit. Suasana yang mengasyikan.
“Aku ingat sekarang. Aku melihatmu di lukisan temanku. Dia
sendiri pelukisnya. Katanya, ia melukis wajah yang mirip denganmu lantaran
sering melihat di dalam mimpi,” celetuk Indra kemudian.
“Wah, jodoh tuh. Apalagi sesama pelukis!” sahut Ina sambil
melirik Indra yang bentuk alisnya memang mirip aktor bollywood pujannya itu.
“Terakhir aku ketemu dia, sewaktu liburan semster lalu. Dia
orang sekitar sini kok. Rumahnya ada di ujung jalan ke atas bukit.”
Ina terbelalak. “Wah, panatas saja sering ke sono. Rupanya
ada cowoknya juga!”
“Aku belum ketemu kok. Nggg, Cuma aku tahu namanya Wildan.”
“Idddih, ngaku belum ketemu tapi sudah tahu namanya!” ledek
Ina.
Aku tidak menimpali Ina. Dengan tak sabar kutunggu cerita
tentang Wildan dari Indra.
“Kami kenalan karena kebetulan aku pernah melihatnya sedang
melukis di lereng bukit. Sekali aku
diajak ke rumahnya melihat-lihat karya
lukisnya. Memang bagus. Salah satunya adalah lukisan bernama Bidadari. Itulah
lukisan yang rupanya seperti kamu. O, yah… ada yang aneh. Sikap ibunya menurutku terlalu berlebihan.”
“Berlebihan?”
“Ibunya terlalu berlebihan melindungi Wildan. Sampai hal-hal
yang kuanggap tak perlu. Mungkin karena Wildan anak satu-satunya, hingga tak
pernah mengijinkan anaknya berlama-lama jauh darinya. Sepertinya Wildan ingin
keluar dari penjara itu, kalau saja tak memikirkan ibunya sudah tak punya
siapapun selain dirinya.”
“Kapan kamu berencana ke tempatnya lagi?” tanyaku.
“Mungkin nanti sore. Bagimana kalau kalian ikut. Biar
kumpulan kita tambah seru.”
Rasanya aku jadi tidak sabar menunggu sore tiba…
*****
Berempat kami bernagkat ke puncak bukit. Siapa yang menduga
aku akan dapat mengenal sosok yang kulihat sekilas bayangannya di jendela.
Indra langsung mengetuk pintu kayu itu dengan grendel yang
menempel. Agak lama kemudian baru pintu itu dibuka.
“Selamat Sore, Bu. Saya Indra teman Wildan. Dulu pernah main
ke sini. Bisa bertemu Wildan, Bu?” sapa Indra ramah.
Reaksi perempuan setengah baya itu datar saja. “Wildan pergi
siang tadi ke kota.”
“Berarti ia sudah sembuh dari lukanya?” tanyaku menyela.
“Tentu saja,” timpalnya ketus dengan pandang menyelidik.
“Kapan dia akan kembali?” tanyaku.
“Entahlah. Nggg, maaf, Ibu sedang tidak enak badan.”
Perempuan itu tidak menunggu kalimat dari kami saa menutup pintu.
“Benar-benar ramah seperti katamu,” gumam Ina sambil
melirikku.
Kami kembali ke mobil. Mataku sempat kuedarkan kalau-kalau
melihat Uti. Tapi anak perempuan itu tak
muncul saat kuharapkan begini. Sebelum ban menggelinding, mataku sempat melihat
ke loteng.
Jendela kamar itu terbuka!
Dadaku bergetar keras. Ingin aku berteriak agar Lutfi
menghentikan mobil kalau saja tenggorokkanku tidak tercekat. Sampai di villa
kami, baru kurasakan napasku agak lega. Ia berlari mendahului masuk ke dalam.
Tapi setengah menit kemudian terdengar suara teriakannya yang nyaring.
“Aaaaaaaa!”
“Kenapa tuh si Ina?” Lutfi buru-buru masuk., disusul Indra
dan aku.
Kulihat wajah pucat Ina dengan mulut menganga. Aku langsung
menggelengkan kepala saat kutahu di depan Ina, berdiri Uti sambil meniup balon
dengan permen karetnya.
“Oh, rupanya Uti. Ayo kenalkan kakak-kakakmu yang lain,”
kataku buru-buru meredakan ketegangan.
Kuingatkan Lutfi dan Ina perihal bocah perempuan misterius
yang pernah kuceritakan.
“Kenapa kamu ke sini?” tanyaku kemudian.
“Uti mau nginap di sini.”
“Sudah bilang sama Bapak dan Ibu?”
“Dua-duanya pergi ke rumah Uwak sampai besok. Uti takut
sendirian di rumah.
Aku manggut-manggut. Heran, anak sekecil Uti kok ditinggal
sendirian di rumah? “Kalau begitu Uti mandi dulu ya. Biar Kak Ina nggak takut
ngelihat kamu.”
Ina hanya celingukan. Ia masih shock. Untung saja Indra
segera menghiburnya.
Sebelum kumandikan, Uti sempat menunjukkan sebuah sketsa
wajahnya yang dibuat oleh Wildan. Goresan tangan yang bagus.
“Lukisan Kak Wildan tentang Kakak lebih bagus lagi. Berwarna
dan hampir mirip,” katanya polos.
“Kamu pernah melihatnya?”
Uti menganggu. “Dulu waktu Kak Wildan masih hidup.”
Lagi-lagi aku terbelalak. “Kak Wildan masih hidup, Uti. Tadi
siang pergi ke kota kok.”
“Kak Wildan selalu bilangsama Uti kalau mau ke kota.”
“Mungkin tadi siang lupa.”
“Bukan. Karena Kak wildan sudah meninggal.”
“Uti!”
“Kak… Lukisan wajah Kakak di kamar kak wildan dikasih judul
Bidadari. Kata Kak Wildan, mungkin suatu hari ia bisa bertemu dengan bidadari.
Soalnya, bidadari itu katanya suka menolong. Nah, karena Uti menganggap Kakak
adalah biodadari, Uti mau minta tolong…. Uti pengen masuk ke kamar Kak Wildan
malam ini…”
Hatiku ciut. Mengapa pikiran anak ini sangat
mengejutkan? Apakah ia benar-benar kurang beres?
“Beberapa hari lalu yti masuk ke sana. Untuk ingin melihat lukisan Bidadari. Terus,
di kamar Uti lihat Kak wildan sedang tertidur. Lalu Uti bangunkan. Soalnya Uti
ingin dilukis lagi. Tapi sudah Uti
kilik-kilik kupingnya, Kak wildan…”
Buru-buru kudepak Uti dalam pelukanku. Wajahnya tampak pucat
pasi. “Baiklah, Uti. Nanti malam kita akan kesana,” entah angin mana pula yang
membuatku begitu mudah mengumbar janji.
Uti tersenyum. Ia kemudian memandang lukisanku yang belum
selesai itu.
“Kak, jendelanya kok terbuka? Padahal sudah dipaku dari
dalam sewaktu Uti masuk ke kamar Kak Wildan.”
Aku menggigit bibirku.
Kalimat-kalimat yang dilontarkan Uti membuat pikiranku
kacau. Herannya, setiap aku mau bercerita pada Ina, Lutfi dan Indra, semua hilang
begitu saja dari kepalaku.
******
Tengah malam aku dan
Uti ke luar kamar. Tak ada sedikit pun tanda kantuk di wajah Uti. Biar
bagaimanapun aku khawatir dengan rencana ini. Apalagi melibatkan seorang bocah.
“Uti ingin masuk ke kamar Kak Wildan, sebentar saja…” Uti
terus memelas hingga aku tak bisa mengabaikan janjiku.
Kubawa kunci mobilku ke dalam saku. Untung mobilku diparkir
lebih dekat pintu pagar, hingga tak terhalangi mobil Indra. Saat aku
menghidupkan mobil, kuharap agar tak seorang pun yang terbangun karenanya.
Bersama Uti di sampingku, kukendarai jalan menanjak yang
berkabut dengan ekstra hati-hati. Aku mematikan mesin mobil, sebelum mendekati
pelataran rumah kuno itu. Dengan berjingkat, Aku dan Uti langsung mendekati
pintu rumah mengikuti cahaya lampu senter di tanganku. Uti kutuntun erat. Tapi
agaknya ia sudah terbiasa dengan kegelapan.
“Lewat samping saja, kak. Uti tahu tempat bapak biasa
menyimpan kunci samping,” bisik Uti sambil menarik tanganku.
Kamu ke sini kanan rumah. Uti merogoh sebentar sebuah lobang
pot tembikar. Ia kemudian memberikan anak kunci yang ditemukannya kepadaku.
Hati-hati kubuka pintu samping. Jantungku berdegup keras ketika melangkah masuk
ersama Uti.
Rumah dengan cahaya remang-remang ini membuatku takjub
karena perabotannya yang antik. Kalau Uti tak menarik tanganku, mungkin aku
hanya terpaku berjam-jam di ruangan ini.
Kami menaiki tangga menuju loteng.
“Yang ini…” Uti menunjuk pintu sebuah kamar.
Aku memutar handle pintu. Terdengar suara derit. Jantungku
makin berpacu kencang. Aku mengintip sebentar, tapi Uti langsung mendorongku
masuk. Kamarnya gelap.
“Senter yang itu!” Uti mengarahkan senter di tanganku.
Luar biasa! Aku seperti melihat wajahku ketika senter
kuarahkan pada lukisan kanvas di dinding. Aku terkagum beberapa saat. Senterpun
kuarahkan ke sisi lain. Dan ketika
kusorot tempat tidur…
“Astagfirullahuhaladzim!” pekikku melihat wajah pucat
terbaring di atas tempat tidur.
“Kak Wildan benar-benar sudah meninggal!” Uti berteriak.
“Ayo kita pergi dari sini!” Aku setengah menyeret Uti.
Kami berlari menuruni tangga tanpa menutup pintu. Di lantai
bawah aku tertunduk manerik napas, sampai kemudian menyadari ada sosok tubuh
perempuan setengah baya di dekat lampu sudut yang menyala terang.
“Sudah kuduga, kaulah yang akan memisahkan kami…” lirih dan
geram bercampur tak jelas. Entah, kalimatnya ditujukan untuk aku atau Uti.
Aku langsung menggenggam tangan Uti seketika. Perempuan itu
mendekat perlahan. Tawanya membuatku tersentak. Uti mengambil inisiatif menarik
lenganku. Aku baru sadar apa yang mestinya kulakukan. Kubuka pintu yang
terkunci dengan susah payah. Begitu menganga, kutuntun Uti agar beralri
sekencang mungkin.
“Ya, Allah… selamatkan kami…” bibirku terbata memohon
pertolongan.
Beberapa cahaya senter menyambut kami dari jalan di depan
rumah.
“Tya… Uti…! Kaliankah itu?”
Lututku sudah lemas. Aku tersungkur di atas rumput yang
basah. Bruk.
******
Aku mendengar segala penjelasan Lutfi di rumah sakit. Dialah
yang pertama mengetahui aku sudah tidak di kamar saat hendak tahajud. Mereka
sudah menduga aku ke rumah kuno itu. Lalu menemukan aku yang tersungkur di atas
rumput. Kemudian, seharian aku pingsan di rumah sakit.
Bapak Uti ternyata semalam pergi menemui saudaranya. Ia
merasa tak tenang menyimpan sebuah rahasia besar. Pagi harinya bapak Uti
melapor ke polisi. Kebetulan sekali hampir bersamaan dengan datangnya laporan
Lutfi.
“Wildan memang sudah meninggal seminggu yang lalu. Tapi
ibunya tidak mau menguburkannya, karena ia ingin terus bersama putra
kesayangannya itu. Sebagai orang yang lama bekerja di rumah sakit, ibunya itu
tahu betul bagaimana mengawetkan mayat. Luar biasa! Kemungkinan besar ibunya menderita
kelainan jiwa.”
“Dimana Uti sekarang?” tiba-tiba aku teringat sahabat
kecilku.
Lutfi, Ina dan Indra tersenyum. Kepala Uti menyembul dari
balik tirai putih.
“Papa akan menyekolahkan Uti,” kata Ina kemudian.
“Tapi Uti nggak mau sekolah menulis atau menghitung. Uti mau
sekolah melukis saja,” celetuk Uti sambil memegang tanganku.
Aku tersenyum. “Boleh saja. Yang penting Uti mau sekolah,”
timpalku.
Mataku menerawang sesaat. Goresan-goresan berkabut itu
sebagian masih tersisa di dalam benakku.
Aku tahu, aku tak akan dengan mudah melupakan semua kejadian ini. Terutama pada
beberapa misteri yang tak kutemukan jawabnya…Wallahualam bisawab
0 komentar:
Post a Comment