Pengalaman tak terlupakan pada 2012 adalah ketika saya berkesempatan mengunjungi Milan, Italia. Mulanya, saya mengontak seorang teman dari alamamater yang tinggal di Milan. Eno (sebut saja begitu) mengajak saya singgah ke tempat tinggalnya.
Seminggu
sebelum berangkat, tiba-tiba Eno menawarkan saya menjadi kurir tas
branded dari Italia. Saya sih iya-iya saja, tanpa hitung-hitungan.
Ternyata Eno malah bilang akan ada komisi buat saya. Itu
pun saya abaikan. Dan Eno menegasakan, bahwa yang berbisnis bukan dia,
tapi temannya juga yang orang Indonesia (sebut saja Dian).
Di
Bandara Soeta, saya dihampiri seorang pria, dititipkan sejumah uang dan
kartu kredit. Maka berangkatlah sayake Milan dengan rasa penasaran. Yang
mengejutkan, ternyata Dian dan suaminya yang orang Italia dengan senang hati menjemput saya di bandara.
Eno yang
sedang hamil tua menyatakan maaf karena tak bisa mengajak saya
jalan-jalan di Milan. Saya diserahkan ke tangan Dian. Saya pun dibawa ke
kawasan Duomo, bukan untuk melihat atraksi wisata, tapi … belanja tas
branded!
Dian
terus bercerita tentang bisnisnya itu. Dia bersama patnernya di
Indonesia sudah cukup lama bisnis tas branded ini. Caranya, temannya di
Jakarta yang mencari pembeli, lalu mereka kasak-kusuk mencari orang
Indonesia yang akan mampir di Milan. Terkadang, Dian sendiri merangkap
kurir kalau sekalian pulang kampung.
Menurut
Dian, meskipun di Indonesia bisa ditemukan outlet-outlet tas branded,
tapi belum tentu koleksinya sekomplet di Milan. Harganya pun berlipat
karena sudah kena biaya distribusi, pajak, dan tentu saja display toko.
Keuntungan
yang diambil Dian dan patner diambil dari selisih harga jual, juga
diskon turis saat pembelian dengan menunjukkan paspor, termasuk kartu
diskon tertentu. Belum lagi pengembalian pajak pembelian di bandara yang
jumlahnya cukup lumayan.
Semula
Dian menyebutkan hanya akan membeli empat tas dari dua merk ternama.
Salah satunya adalah pesanan isteri seorang pejabat papan atas. Pada
kenyataannya, selama kami berkeliling, orderan dari Indonesia terus
masuk. Alhasil, delapan tas bermerk pun pindah ke tangannya. Jumlah itu
bisa terus membengkak jika dia tak menahannya.
Ketika
pulang dari Milan, saya kembali diantar oleh Dian. Semua tas dikemas
dalam satu bagasi dengan rapi olehnya. Saya mendapat upah kurir sekitar 2
juta rupiah lebih. Lumayan, menggantikan uang saku yang terpakai selama
di Italia. Sesampai Bandara Soeta saya dijemput kembali oleh seorang pria yang langsung mengambil tas-tas itu.
Saya
teringat ucapan Eno ketika saya ngobrol dengannya,” Orang Indonesia
memang gila belanja. Setiap musim mereka selalu ganti tas bermerk.
Padahal orang Italia sendiri belum tentu punya tas-tas bermerk itu.
Kalaupun mereka beli, hanya satu untuk seumur hidup.”
Wooow spektakuler yaa, gaya belanja orang Indonesia...
ReplyDeleteProudly Indonesian
iya. sangat cetar membahana rekening.
ReplyDelete