Sebagai seorang editor di penerbitan buku, saya merasakan sekali manfaat internet dalam
membantu pekerjaan di kantor. Mulai dari mempermudah berkomunikasi
dengan penulis dan patner lepas lainnya (editor, penerjemah, illustrator
dan desainer), sampai urusan berselancar untuk mengetahui perkembangan
dunia perbukuan.
Saking
banyaknya manfaat internet yang membuat pekerjaan lebih efisien dan
efektif, dalam keseharian saya tidak mau tergantung dengan fasilitas
komputer dan internet kantor. Saya membawa laptop dan modem USB pribadi
juga ke kantor. Agar ketika aliran listrik di kantor padam, saya masih
bisa bekerja dengan internet.
Jika masalah dengan
aliran listrik bisa diatasi sementara, lain halnya jika terjadi masalah
dengan jaringan internet. Kecepatan koneksi internet yang tiba-tiba drop
dalam waktu lama bisa membuat saya uring-uringan. Hal paling menyiksa
adalah ketika secepatnya harus mengunduh kiriman file naskah dan ilustrasi dari patner lepas melaluii e-mail.
Jadi, saya belum bisa membayangkan jika terjadi kiamat dunia internet di Indonesia. Dan ternyata, itu mungkin saja terjadi. Bagaimana bisa?
***
Bermula pada tanggal
28 Januari 2012, Kejaksaan Agung memulai penyidikan atas penyalahgunaan
frekuensi radio 2.1 GHz oleh IM2 dengan tersangka mantan Direktur Utama
IM2. Penyidikan ini dilakukan atas laporan penyalahgunaan jaringan 3G
milik Indosat oleh IM2 yang merugikan negara. Sementara Menkominfo
secara tegas menyatakan jika tidak ada pelanggara UU Nomor 36 Tahun 1999
tentang Telekomunikasi.
Pada 5 Januari 2013,
Kejaksaan Agung telah menetapkan Indosat dan IM2 sebagai tersangka kasus
dugaan penyalahgunaan frekuensi radio 2.1 GHz.
Dalam siaran persnya,
Indosat telah mendapat Izin Penyelenggaraan Jaringan Bergerak Seluler
yang telah berulang kali dievaluasi, terakhir berdasarkan keputusan
Menkominfo Nomor KP.504/KEP/M.KOMINFO/08/2012. Hal ini menegaskan jika
Indosat selama ini telah berjalan sesuai dengan koridor aturan di dunia
telekomunikasi Indonesia.
Begitu pun dengan IM2.
Perusahaan ini adalah penyelenggara Jasa Akses Internet yang masuk
kategori Penyelenggara Jasa Telekomunikasi yang diatur dalam pasal 1
butir 14 UU 36/1999 tentang Telekomunikasi.
Sesuai dengan amanah
UU, maka IM2 bekerjasama dengan Indosat agar dapat memanfaatkan Jaringan
Telekomunikasi Indosat. Kerja sama ini tidak dalam pemanfaatan spektrum
frekuensi bersama sebagaimana dimaksud pasal 14 dan 15 PP nomor 53
Tahun 2000.
Kasus ini sudah sampai
pada tahap putusan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Vonis
yang dijatuhkan hakim kepada Indar Atmanto, Direktur Utama IM2,
mendapat perhatian dari banyak pihak.
Indar dijatuhi hukuman
pidana selama 4 tahun dan sanksi Rp 200 juta subsider penjara 3 bulan.
Sebab Indar tidak terbukti memperkaya diri sendiri yang mengakibatkan
kerugian negara. Ia tidak dijatuhi hukuman tambahan berupa pembayaran
uang pengganti. Sebagai gantinya, hakim menghukum IM2 untuk membayarkan
uang pengganti sebesar Rp 1,358 triliun.
Ternyata, putusan
tersebut banyak mengundang kekecewaan beberapa pihak. Salah satunya
adalah Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot
Hartono menilai, vonis bersalah yang dijatuhkan kepada Indar bisa
mengganggu industri telekomunikasi di Tanah Air.
Keputusan Majelis
Hakim tersebut ditakutkan banyak pihak akan berdampak pada industri
internet Tanah Air. Pasalnya, Perjanjian Kerjasama (PKS) terkait
pemanfaatan jaringan operator untuk menggelar layanan 3G bukan hanya
dilakukan oleh Indosat dan IM2.
“Lebih dari 200 ISP
(Internet Service Provider) melakukan penyediaan jasa dengan cara
kerjasama seperti Indosat dan IM2,” kata Nonot, seperti dikutip dari Liputan6.com.
Ia juga menambahkan
jika putusan hakim ini konsisten maka akan ada efek domino bagi semua
penyedia jasa internet di Indonesia. Sanksi serupa juga mengintai
berbagai penyedia layanan internet dari skala kecil hingga besar.
“Putusan ini ancaman
bagi dunia telekomunikasi. Kiamat internet sudah di depan mata, sebab
jika putusan ini konsisten ISP kena semua. Kiamat sudah,” imbuh Nonot.
Ketua Umum Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Sammy Pangerapan
menyatakan, dampak putusan kasus IM2 sangat besar kepada industri
penyedia jasa internet.
“Bila IM2 dinyatakan
bersalah, maka ada lebih dari 200 penyedia jasa internet yang menerapkan
model bisnis serupa, berarti juga harus dinyatakan bersalah dan
membayar bea hak penggunaan (BHP) frekuensi sejumlah yang dituduhkan
kepada IM2 sebesar Rp 1,358 triliun,” kata Sammy.
Kebanyakan penyedia
jasa internet di Indonesia beroperasi dalam skala usaha kecil dan
menengah (UKM), yang bahkan membayar setengahnya pun sangat mustahil.
Jika denda ini dibebankan kepada penyelenggara jasa internet, menurut
Sammy, mereka bisa bangkrut dan berhenti menyediakan jasa internet.
***
Meskipun saya mengikuti berita ini, tapi terus terang
saya tidak begitu mengerti secara hukum inti permasalahannya. Jika
majelis hakim membela kepentingan negara, lantas negara ini punya siapa?
Bukankah rakyat adalah juga pemilik negara ini? Maka sewajarnya, jika saya berharap dalam mengambil keputusan benar-benar memperhatikan kepentingan rakyat juga.
Bila benar seperti
yang diuraikan para pelaku bisnis internet di atas akan terjadi, maka
rakyat akan merasakan kerugian lebih dari Rp1,358 trilyun. Banyak orang
yang saat ini tergantung mata pencahariannya dari kelancaran akses
internet. Bukan hanya perusahaan-perusahaan besar dan UKM, juga bisnis
perorangan, seperti ibu-ibu yang berjualan on-line dari rumah.
Saya sendiri tidak
bisa membayangkan harus bekerja seperti dulu lagi. Menunggu kiriman
pekerjaan dari para relasi melalui pos selama berhari-hari, bahkan kalau
itu adalah buku yang harus direview dari luar negeri, bisa
berminggu-minggu sampainya. Saat ini hanya dalam bentuk PDF yang dikirim
lewat e-mail, bisa saya peroleh tidak sampai satu jam.
Entahlah jika majelis hakim tidak pernah memakai internet dan merasakan bekerja memanfaatkan internet.
Pratama Asri, Akhir Oktober 2013
@bennytopmodel
0 komentar:
Post a Comment