Oleh Benny Rhamdani
Bisa mengunjungi Frankfurt
Book Fair tahun (FBF) ini yang digelar
10-14 Oktober menumbuhkan optimisme tersendiri untuk saya. Dibandingkan Pameran Buku Anak di Bologna,
Italia, yang saya kunjungi April lalu, FBF lebih merefleksikan perkembangan
dunia perbukuan secara menyeluruh.
Partisipannya saja hingga 7400 peserta dari 100 negara. Belum lagi
pengunjung yang bisa mencapai 70.000 orang per hari. Tidak heran jika ada
gurauan,” Belum jadi insan perbukuan jika belum pernah bertandang ke Frankfurt
Book Fair.”
Satu hal yang menarik di FBF
sejak 1976 adalah mengangkat satu negara menjadi tamu kehormatan selama pameran
berlangsung. Tahun ini jatuh ke Selandia Baru. Lantas, apa untungnya menjadi
tamu kehormatan di FBF?
Seperti yang saya saksikan, Selandia Baru melakukan promosi besar-besaran di area FBF.
Setidaknya 300 agenda acara digelar mereka. Tidak hanya memanfaatkan satu paviliun yang dipenuhi penerbit buku asal negara beribukota Wellington ini, tapi juga melakukan promosi wisata di outdoor seperti demonstrasi pemahatan kayu khas suku Maori. Dengan cerdasnya, negara yang belum punya penulis dan produk buku yang mendunia ini, mengaitkan industri buku mereka dengan karya J.R.R Tolkiens berjudul The Hobbit dan Lord of The Rings. Padahal kaitannya hanya karena Selandia baru menjadi lokasi syuting film berdasarkan dua buku fenomenal tersebut.
Selandia Baru pun tak tanggung-tanggung memboyong 67 penulis dan 69 senimannya untuk memeriahkan FBF ini. Tentunya upaya besar ini tidak akan menjadi sia-sia, dengan jumlah pengunjung puluhan ribu per hari.
Catatan prestasi Selandia Baru yang mengedepankan tema while you were sleeping di FBF antara lain kunjungan 67.500 orang ke paviliun mereka selama lima hari (25.000 orang, Sabtu 13 Oktober). Dari sisi promosi melalui media juga terbilang sukses, karena selama bulan Oktober telah terdokumentasi 9.000 kliping siaran pers. Tentu saja yang paling menggembirakan adalah bagi industri perbukuan mereka sendiri, yakni terjualnya hak penerjemahan 83 judul buku ke Bahasa Jerman.
Kabar gembira yang saya dengar, Indonesia akan menjadi tamu kehormatan pada FBF 2015. Masih ada waktu dua tahun untuk mempersiapkannya dengan cerdas. Masih bisa pula membandingkan dengan yang akan dilakukan Brasil pada 2013 dan Finlandia pada 2014.
Belum Optimal
Pada 2012 ini, Indonesia baru menjadi peserta di FBF. Mendapat stand seluas 132 meter, Indonesia mengutus Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) sebagai duta negara. Untuk stand yang harus disewa seharga 400 juta, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) turut andil mendanai IKAPI. Juga untuk kontruksi stand dan biaya dinas 6 pengurus IKAPI. Stand Indonesia memamerkan buku-buku dari tiga penerbit besar Gramedia, Mizan, dan Erlangga yang ikut andil menjadi sponsor.
Memang masih belum optimal hasilnya. Apalagi dibandingkan stand-stand negara lainnya seperti Malaysia. Jumlah kunjungan ke stand Indonesia masih bisa dihitung jari. Bahkan sengaja saya menunggu di stand selama dua jam, namun tak seorang pun yang datang bertanya ke stand , bahkan untuk melihat display buku.
Gelaran acara di stand maupun forum khusus pun tidak
mengundang antusias pengunjung. Padahal IKAPI sudah memboyong penulis A. Fuadi
yang sukses dengan novelnya ‘Negeri 5
Menara’. Dua agenda yang saya datangi tak lebih dari belasan orang duduk di
kursi. Itu pun didominasi oleh panitia IKAPI. Entah apa yang harus dibenahi,
tapi sangat sayang jika menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan panitia FBF.
Sementara stand Malaysia terlihat lebih atraktif, dan jumlah pengunjung relatif lebih banyak. Padahal industri perbukuan di Malaysia masih tertinggal jauh dibandingkan Indonesia. Baik kulitas maupun jumlah produktivitas per tahunnya. Bahkan buku-buku terbitan Malaysia banyak membeli hak terjemah dari penerbit di Indonesia.
Tentunya, dua tahun menjelang menjadi tamu kehormatan, delegasi Indonesia sudah harus bisa menyempurnakan kekurangan-kekurangannya di tahun ini. Apalagi Direktur FBF Juergen Bross pernah sengaja datang ke Indonesia untuk mengingatkan IKAPI agar maksimal memanfaatkan ajang sekelas FBF.
Peluang
Para pengunjung FBF dari penerbit di Indonesia ke Frankfurt umumnya masih sebagai konsumen, yakni berburu hak menerjemahkan ke bahasa Indonesia. Belum beranjak ke penjual hak menerjemahkan ke beberapa negara. Dari hasil pertemuan saya dengan beberapa wakil penerbit dari Korea, mereka hanya mengenal satu buku dari Indonesia, yakni Laskar Pelangi. Kalaupun bertanya ke orang yang menekuni kesusteraan, Indonesia hanya diwakili Pramoedya Ananta Toer.
Kondisi ini bukan tanpa upaya dari penerbit di Indonesia. Saya pribadi aktif menjelaskan perbukuan Indonesia kepada siapapun yang bisa saya temui di FBF, baik buku agama, buku anak, buku pelajaran sampai buku umum. Tapi memang nama Indonesia di industri perbukuan Internasional masih dianggap anak bawang. Melihat kondisi ini, selama dua tahun ke depan harus ada upaya memajukan industri perbukuan agar lebih dikenal.
Pemerintah dalam hal ini harus memiliki andil besar mendukung keikutsertaan Indonesia di FBF, apalagi pada 2015 nanti. Tidak hanya dari Kemdikbud, tapi juga Kementrian Pariwisata dan Industri Kreatif (Kemenparekraf). Seperti yang saya lihat, FBF ini sangat potensial sebagai arena promosi wisata. Apalagi jika dikaitkan dengan sektor industri kreatif adalah yang paling mengena.
Saya berharap, pada 2015 nanti bisa ziarah kembali ke Frankfurt, lalu menyaksikan nama Indonesia berkibar di seluruh area Frankfurt Book fair.
Aamin.
Sedangkan untuk ikut pameran juga ga semua penerbit punya modal gede.
ReplyDeleteBaru tau kalau industri buku di Malaysia lebih tertinggal. Tapi kalau dari jumlah pencarian di Google dengan keyword 'buku' Malaysia lebih banyak dibandingkan Indonesia dengan trend yang semakin naik, Indonesia trendnya turun.
1. Yang tidak punya modal gede bisa bersinergi, ada IKAPI kan?
ReplyDelete2. Ya, mereka banyak belajar dari kita. Banyak sekali buku kita yang diubahsuai, ada juga yang ditiru modelnya. Malaysia hanya punya sedikit penulis. Jumlah penduduk juga memengaruhi minat bisnis perbukuan di sana.