Anak ataupun Remaja Tetap Oke:
Kunci Sukses Karya-Karya Pemenang
Oleh: Benny Rhamdani
Ketika mulai mengarang di bangku
kelas 6 SD dahulu, harapan saya hanyalah menyelesaikan satu cerita meski hanya
ditulis tangan. Betapa senangnya ketika kemudian bisa membuat sebuah dongeng
berjudul Tupai Putih. Untuk cerita
itu saya minta beberapa orang membacanya. Akhirnya, keinginan saya berubah
lagi. Saya ingin cerita saya dicetak. Maka, ketika duduk di bangku SMPN 3
Bandung, saya bersyukur karena didaftarkan seorang teman jadi pengurus buletin
sekolah Karana. Cerpen saya pun
dicetak di majalah sekolah, cerpen tentang cinta monyet. Lalu, saya ingin
merasakan cerpen saya dimuat di majalah yang saya baca waktu kecil, yakni Bobo dan Ananda.
Saya membaca persyaratan bahwa cerpen
harus diketik rapi atau ditulis tangan. Berhubung tulisan tangan saya jelek,
saya meminta tolong teman sekelas saya di SMPN 179 Jaktim untuk menuliskannya.
Tapi, cerpen saya itu tiada kabar. Akhirnya, saya pikir memang harus diketik.
Maka sepulang sekolah, saya sering pontang-panting ke rumah teman yang punya
mesin tik, bahkan meminta tolong kakak kelas dengan bayaran senyum untuk
mengetikkan naskah cerita saya. Sampai akhirnya, Bu Henny, Guru Bahasa
Indonesia mengizinkan saya mengetik
dengan bebas di tata usaha sepulang sekolah. Cerita saya pun dimuat di majalah Bobo, judulnya Potret Itu dan Waspada
(dengan pede-nya saya pakai nama samaran).
Di bangku SMU, saya sudah punya
mesin tik, jadi tak perlu numpang mengetik lagi. Banyak media yang bisa saya tembus.
Lalu, keinginan saya
selanjutnya adalah menembus cerita utama di Majalah Anita Cemerlang. Alasannya, judul cerpen kita akan terpampang di
kaver, dan ilustrasinya sangat istimewa. Tapi, rupanya tidak mudah karena yang
mengisi cerita utama umumnya yang sudah terkenal. Jalan pintas untuk meraihnya
yaitu dengan memenangkan lomba yang diadakan di majalah tersebut.
Tahun 1991, sejak lomba
penulisan cerpen remaja diumumkan saya sudah menggunting formulirnya. Saya baca
setiap hurufnya sebelum tidur, terutama jumlah hadiahnya. Saya juga membongkar
majalah yang memuat pemenang lomba tahun sebelumnya, saya pelajari, dan cari
tahu selera juri. Akhirnya, saya malah menemukan rumus sendiri. Membuat cerpen
yang bergaya kanak-kanak. Maklum deh, saya kan juga menulis cerita untuk anak.
Maka, dari ide banyak teman-teman yang suka baca Donald Duck, lahirlah cerpen berjudul Tentang Sebuah Nama. Ceritanya tentang dua dara bersahabat. Yang
satu hobi berat membaca komik Donald,
sampai-sampai sesumbar hanya ingin punya pacar bernama Donald. Sayangnya, si
Teman tak jujur ketika ternyata ia punya pacar dengan nama lain. Hal ini
membuat sahabatnya kecewa. Inilah sebenarnya konflik utama, keterbukaan pada
sahabat. Tapi, ceritanya dibuat gaya diary,
dan kocak. Agak surprise juga waktu
dinyatakan bisa menang juara 3. Soalnya jarang cerpen kocak menang lomba.
Nah, setelah menang lomba,
keinginan dimuat sebagai cerita utama jadi lancar. Setahun kemudian, saya masih
senang dengan kemenangan itu. Lomba pun tidak saya ikuti. Tapi tahun 1993, saya
ingin sekali bisa jadi juara 1. Apalagi kalau membaca pemenang 1 yang
sudah-sudah, saya merasa bisa membuat sebaik mereka. Akhirnya, saya coba ikutan
lagi. Lucunya saya malah sulit mencari ide waktu itu. Sampai menjelang tutup, saya melihat ada boneka lucu di
lemari uwak saya di Bandung. Bentuknya lucu kayak peri. Lalu, saya terinspirasi
untuk mengarang cerita tentang peri dan boneka, judulnya Sepasang Lulugu Biru. Saya kirimkan saat lomba diperpanjang. Dan,
juara 1.
Ceritanya sih biasa saja. Tapi,
saya sudah menemukan rumus membuat cerita yang menarik, yakni menjalin dongeng
maupun dunia anak sebagai kekuatan romantisme.
Tahun berikutnya, di majalah
yang sama saya kembali ikutan, dan mengirimkan cerpen Geming Gurat Luka, kali ini mendapatkan juara 2. Ide ceritanya saya
ambil dari satu adegan dalam film Bollywood
berjudul Anjam.
Dalam film itu, ada adegan yang
sangat menggugah hati saya, yakni ketika Madhuri Dixit hendak membalas dendam
pada Shahrukh Khan yang telah menghancurkan keluarganya. Meski dengan benda
tajam di tangannya, niatnya itu berubah begitu melihat Shahrukh Khan tak
berdaya di kursi roda. Adegannya hanya sekitar dua menit. Sangat menyentuh dan
langsung menimbulkan ide cerita yang lain untuk saya garap dan berbeda dengan
cerita film itu sama sekali.
Itulah terakhir kali saya
mengikuti lomba di majalah Anita
Cemerlang, soalnya takut diprotes sama yang lain karena menang terus,
akhirnya saya memutuskan untuk berhenti ikut lomba dalam majalah itu.
Tahun 1996, majalah Matra mengadakan lomba cerpen. Saya
tertarik banget. Makanya, saya ikut mengirimkan karya sehari sebelum penutupan.
Dari semula, saya sudah yakin cerpen saya pasti menang. Soalnya, saya
menyempatkan dahulu mengamati jurinya. Saya berhasil membaca selera jurinya.
Akhirnya, lahirlah cerpen berjudul Tentang
Onih.
Cerita ini mengisahkan tentang
seorang banci kaya yang mengadopsi dua anak telantar. Dia begitu menjaga agar
seorang anak angkatnya tidak jadi banci seperti dirinya, karena si Anak yang
cowok itu menonjol sifat kefemininannya. Tapi apa mau dikata, segala cara yang
dibuatnya, tak membuat jalan hidupnya berubah. Anak itu tetap ingin menjadi
banci. Nasib hidup seseorang memang bukan hal yang mudah untuk diluruskan.
Ceritanya dituturkan dengan gaya biasa. Cuma, sekali lagi saya selalu menulis
sisi anak-anak dalam suatu cerita. Karena itu kepiawaian saya, maka hal itu
selalu saya tonjolkan.
Tahun-tahun berikutnya, saya tak
menemukan ada lomba menulis cerpen lagi. Mungkin karena saya kurang informasi,
jadi saya tidak tahu. Baru pada 1998 saya ikut lomba cerpen di majalah Bobo, judulnya Golek Usep. Niat saya hanya ingin menulis cerpen dengan latar
belakang pembuat wayang golek. Menyusul juara 2 lomba cerpen misteri dengan
judul Boneka Beludru Biru yang idenya
saya ambil dari Sepasang Lulugu Biru,
meski tak sama benar karena ini cerita anak. Ada juga juara 2 lomba dongeng
dengan judul Dendam Nyi Herang, yang
intinya sama dengan Geming Gurat Luka,
tidak memelihara dendam.
Mengikuti Lomba
Kalau ada lomba, biasanya yang
saya lakukan adalah menggunting pengumuman lomba dan menyimpan di dekat tempat
tidur. Setiap mau tidur saya baca. Biasanya yang saya beri tanda khusus adalah
tanggal paling lambat dan jumlah hadiah juara 1.
Saya selalu mencari tahu naskah
lomba pemenang tahun sebelumnya. Saya juga berusaha mencari tahu jurinya, untuk
mempelajari selera juri. Karena ini lomba, wajar kalau saya lebih memperhatikan
selera juri.
Setelah tahu selera juri, baru
saya mencari ceritanya. Biasanya saya selalu punya stok cerita untuk lomba.
Karena kalau tidak ada lomba, tiba-tiba ada ide yang amat berharga, saya simpan
untuk lomba. Biasanya saya selalu menyertakan 2 naskah lomba. Satu naskah,
dengan patokan berdasarkan hasil pemenang lomba tahun sebelumnya, yang kedua,
sama sekali berlawanan.
Saya juga suka mengirim naskah
lomba dekat batas akhir. Maksudnya, biar tidak terlalu lama menunggu pengumuman
lombanya. Nanti malah lupa dan kelewatan. Selain itu, untuk masalah teknis,
saya berusaha mematuhi semua persyaratan lomba. Sedangkan untuk cerita saya
buat yang benar-benar istimewa.
Saat itu, dalam majalah Anita Cemerlang, memang didominasi
dengan cerita-cerita percintaan remaja. Lumrah. Tapi jujur saja, karena saya
beranjak dari menulis cerita anak, maka saya sedikit risi kalau harus menulis
cerita tentang rindu, patah hati, atau jatuh cinta yang menggebu-gebu. Saya
lebih suka mencari pesan moral dulu yang hendak saya sampaikan, sama seperti
ketika menulis cerita anak. Baru kemudian membungkusnya dengan sedikit kisah
cinta.
Tentang Sebuah Nama, misalnya. Saya mencari dahulu pesan moralnya, yakni kejujuran
dalam persahabatan, baru kemudian menyusul yang lainnya. Lalu Sepasang Lulugu Biru, pesan moralnya
sejak semula sudah saya tanamkan, yakni apakah nilai historis suatu benda lebih
berarti daripada ikatan silaturahmi?
Sementara pada Geming Gurat Luka, saya menyampaikan
pesan moral; memaafkan kadang tidak gampang, tapi menghapus dendam kalau ada
kemauan pasti bisa. Dalam cerpen Tentang
Onih, saya hanya memberi pesan moral sederhana, yakni kadang usaha kita
sesusah apapun, kalau Allah Swt. berkehendak lain, apa boleh buat?
Banyak pesan-pesan moral yang
bertebaran dan dapat kita sampaikan secara halus kepada para pembaca. Dengan
teknis yang khusus, pesan moral ini bisa menjadi daya tarik cerita. Soalnya,
tidak jarang cerita yang bertaburan tapi tanpa pesan moral. Kering. Kadang juga
pesan moral yang disampaikan sudah terlampau sering. Cerita bagus jadi terkesan
basi.
O, iya. Urusan membungkus pesan
moral ini saya kuasai tekniknya setelah lama berkutat menulis cerita anak.
Maklum, dalam penulisan cerita anak, pesan moral itu sudah jadi bagian penting.
Menulis Cerita Anak
Kalau ada yang bertanya pada
saya, lebih suka menulis cerita anak atau remaja? Jawabnya tentu saja menulis
cerita anak. Alasannya, saya sudah menguasai dengan baik teknik penulisan
cerita anak, khususnya cerita atau dongeng pendek. Saya merasa tidak pernah
kering untuk menulis cerita anak. Kalaupun terlihat jarang, itu karena media
penyalurannya saat ini sangat terbatas. Selain itu, energi yang saya miliki
setelah bekerja jadi reporter juga kadang membuat waktu saya semakin sempit
untuk menulis.
Biasanya saya menulis cerita
anak dari jenisnya dulu. Mau menulis macam apa? Dongeng, cerpen realita yang
standar, detektif cilik, atau yang lainnya?
Biasanya saya lebih sering
menulis cerita yang membuat pembaca penasaran. Cerita macam ini membuat pembaca
ingin menuntaskan ceritanya, dan biasanya mereka akan terus mengingat cerita
itu.
Selanjutnya, saya memikirkan setting cerita. Apakah akan saya buat di
rumah, sekolah, pantai, dan lainnya. Baru kemudian saya mencari ‘misteri’ atau
‘rahasia’ yang menjadi objek cerita. Cara termudah adalah dengan merunut
benda-benda yang ada di sekeliling kita. Sebuah pulpen bisa jadi cerita Pulpen Ajaib, sebuah peci bisa jadi
cerita Peci Usang Mang Ujang, sebuah
guci jadi Guci Ajaib Palsu, dan masih
banyak lagi cerita yang saya angkat dari benda di sekeliling (termasuk sewaktu
menulis cerpen remaja Sepasang Lulugu
Biru).
Jika sudah menemukan benda yang
akan menjadi objek cerita, cobalah untuk memikirkan benda itu dari segala
sudut. Lalu, berpikirlah acak-acakan dengan kenyataan sehari-hari. Misalnya, sepeda yang biasanya
dipakai kalangan kelas menengah ke bawah, tiba-tiba di kompleks yang mewah ada
seorang direktur yang suka naik sepeda kumbang butut setiap Minggu. Hal-hal
yang tidak biasa ini bisa dengan mudah kita gali kelanjutan ceritanya,
sekaligus misteri yang membuat pembaca penasaran.
Dalam Peci Usang Mang Ujang, diceritakan Mang Ujang tidak pernah
mengganti pecinya meski sudah lapuk. Anak-anak kompleks berusaha memberi hadiah
peci baru pada penjaga masjid itu, tapi Mang Ujang tetap memakai pecinya yang
lama. Belakangan, baru diketahui kalau Mang Ujang dahulu pernah dipenjara.
Dalam penjara, ia mendapat bimbingan rohani dari seseorang yang kemudian
memberinya peci lapuk. Peci itu sengaja terus dipakai Mang Ujang agar dia tidak
kembali ke jalan yang salah.
Kalau untuk lomba, saya buat
cerita tak jauh beda. Cuma mungkin, saya harus lebih menggali faktor karakter
si tokoh agar emosi juri dan pembaca terpancing. Saya biasanya memberi sentuhan
yang rada sedih atau marah-marah dalam ceritanya.
Kalau soal dongeng, barangkali
saya termasuk yang terlambat. Saya baru menulis dongeng beberapa tahun kemudian
setelah menulis cerpen. Alasannya, saya takut dianggap bukan menulis dongeng
sendiri. Soalnya, kalau saya menulis dongeng suka meminjam negeri orang.
Misalnya, Cina atau India. Tapi belakangan, saya mulai memperbaiki gaya
penulisan dongeng saya. Ada beberapa yang sudah mengambil setting di Nusantara. Tapi maaf, saya belum begitu menguasai atau
menemukan formula dalam menulis dongeng. Biasanya, saya hanya mengadaptasi dari
ide cerita realistis. Makanya, kalau saya membuat dongeng, jarang ditemui
hal-hal keajaiban atau kesaktian. Termasuk peri dan bidadari. Saya sendiri suka
kaget kalau ikut lomba dongeng, terus menang. Kenapa bisa menang, ya?
Saat ini, saya masih membaca dan
terus belajar menulis dongeng yang baik untuk anak-anak. Saya berharap di masa
nanti makin banyak penulis bacaan anak-anak di negeri ini. Saya kadang merasa
ngeri dengan serbuan tayangan televisi, dan bacaan anak dari luar yang belum
tentu cocok dengan kultur masyarakat Indonesia. Karenanya, saya berusaha
semampu saya tetap eksis menulis cerita anak, baik cerpen, dongeng, maupun
buku.
Saya bersyukur banyak penerbit
di Indonesia yang masih peduli dengan menumbuhkan penulis muda dalam bidang
bacaan anak. Soalnya, tidak sedikit penerbit yang enggan menerbitkan karya
penulis lokal, hanya penulis asing melulu. Mungkin karena pertimbangan bisnis,
tapi mengabaikan misi idealisme.
Sementara itu, media cetak yang memberi
peluang bagi penulis bacaan anak, jumlahnya makin sedikit. Dulu, ketika saya
kecil, hampir semua koran di hari Minggu punya lembar khusus anak-anak. Di
sana, penulis muda bisa mengirimkan bahan bagi bacaan anak-anak. Sekarang,
hanya media cetak yang sengaja dikhususkan untuk anak-anak saja yang bisa
memuat cerpen atau dongeng. Itupun jumlahnya terbatas. Tidak aneh jika jumlah
penulis bacaan anak-anak tidak sebanyak penulis bacaan remaja maupun dewasa.
benny rhamdani
depok 2003
so inspiring. thanks for sharing, bhai :)
ReplyDeleteThanks for sharing. Sangat bermanfaat dan inspiratif. Saya ingat pernah baca cerpen Sepasang Lulugu Biru. Duluuu sekali waktu masih ABG. Udah nggak ingat ceritanya, tapi judulnya ingat banget. ^_^
ReplyDeleteSungguh, banyak belajar dari kelas ajaib ini.
ReplyDelete@Ofi: terima kasih juga sudah berkunjung dan komentar.
ReplyDelete@Johan Tanjung: Makasih, mas. Pernah ABG juga ya?
ReplyDelete@Ganda Rudolf: semoga bermanfaat.
ReplyDeleteBagaimana cara mengetahui selera juri?.
ReplyDeleteApakah dengan membaca karya-karya pemenang sebelumnya?.
bagaimana kalau lombanya baru pertama kali dibuat?.