Prita dan Pohon Kenari
Musim
hujan tiba. Hampir setiap pulang sekolah, Prita terpaksa bermain di kamarnya
yang sempit. Itu sebabnya ketika sore langit tampak cerah, Prita langsung
mengayuh sepedanya keluar rumah. Dia tak lupa membawa beberapa buku cerita
dalam keranjang.
Ada satu tempat yang disukai Prita di
sudut taman kota. Ia biasa duduk di bawah sebuah pohon kenari yang tumbuh di
sisi telaga sambil membaca buku. Tapi, oala! Prita terkejut melihat Pak Penjaga
Taman sedang mengecat pohon kenari kesayangannya.
“Bapak cuma memberi tanda pada pohon
kenari sini. Biar besok, orang-orang yang bertugas menebangi pohon tua mudah
mengenalinya,” jawab Pak Penjaga Taman ramah.
“Jadi … pohon kenari ini akan ditebang?”
Prita tidak percaya.
“Pohon-pohon tua memang harus ditebang.
Kami khawatir kalau pohon ini tertiup angin kencang tiba-tiba tumbang mengenai
pengunjung taman. Apalagi musim hujan seperti ini, banyak angin kencang,” jelas
Pak Penjaga Taman lagi. Ia lantas membenahi perlengkapan kerjanya dan
meninggalkan Prita.
Prita
memandangi pohon kenari kesayangannya. Semangatnya untuk membaca buku cerita
jadi hilang. Ia memikirkan nasib pohon kenari itu.
“Kita akan berpisah selamanya. Apa kamu
tidak sedih?” gumam Prita sedih.
Ajaib!
Tiba-tiba, Prita melihat pohon kenari
itu mengangguk seolah menjawab pertanyaannya.
“Aku tidak ingin kehilanganmu. Apakah
kamu juga?” tanya Prita lagi.
Pohon kenari itu kembali mengangguk.
“Aku tidak bisa lagi membaca buku cerita
di tempat yang nyaman. Eh, kamu suka menguping kalau aku bersuara membaca buku
cerita, ya?”
Pohon kenari mengangguk berulang-ulang.
“Kalau begitu, kamu harus ikut ke
rumahku. Aku akan membacakan cerita yang lain untukmu. Tapi, bagimana caranya
memindahkanmu ke halaman rumahku?”
Saat Prita kebingungan, keajaiban lain
menyusul. Tiba-tiba, pohon kenari itu bergerak. Akar-akarnya yang kekar berubah
seperti kaki. Kemudian, Ia kemudian melangkah sedikit maju.
“Oh, kamu juga bisa berjalan!” seru
Prita takjub. “Kalau begitu, sekarang juga kita ke rumahku. Ya, sebelum Pak
Penjaga Taman tahu kalau kamu akan kabur dari tempat ini.”
Prita segera menaiki sepedanya. Ia
mengayuh sepeda dengan santai, sementara pohon kenari berjalan di sisinya.
Orang-orang di sepanjang jalan yang menyaksikan keajaiban itu terpana.
“Nah, sekarang kamu bisa tumbuh di sudut
sana, dekat jendela kamarku di loteng,” pinta Prita ketika sampai di depan
rumah.
Pohon kenari menurut. Bersamaan dengan
itu, ibu keluar rumah. Mata ibu terbelalak melihat pohon kenari tiba-tiba
tumbuh di halaman rumahnya.
“Mengapa tiba-tiba ada pohon raksasa
tumbuh di sini?” tanya Ibu heran pada Prita.
“Bu, ini bukan pohon raksasa. Ini pohon
kenari. Dia terpaksa pindah ke sini karena ingin menjadi sahabatku,” jelas
Prita sambil menyimpan sepedanya.
“Ibu tidak mau tahu apa nama pohon itu.
Tapi, mestinya kamu minta izin dulu pada Ibu kalau ingin mengajak sahabatmu
pindah ke rumah kita,” Ibu mengomel.
“Prita terpaksa mengajaknya tanpa izin
Ibu dulu. Tolong dia, Bu. Orang-orang akan menebangnya karena dia sudah tua.
Prita janji akan membersihkan daun-daun yang jatuh,” Prita memohon.
Ibu menghela napas. “Baiklah. Asal kamu
tepati janjimu,” ujar Ibu kemudian.
Prita melonjak senang. Ia merangkul
batang pohon kenari sambil berkata, ”Aku masuk dulu. Kamu bisa mendengar cerita
dari kamarku nanti.”
Tapi belum lama pohon kenari tinggal,
ibu mulai disibuki kedatangan beberapa tetangga.
“Kita tidak mungkin membiarkan pohon
kenari di pemukiman kita yang padat. Kalau ada angin kencang, pohon itu bisa
tumbang menimpa rumah saya,” kata Pak Godek yang tinggal di seberang.
“Pohon kenari itu sangat rindang.
Rantingnya bisa mengenai kabel listrik dan telepon kalau angin bertiup. Itu
sangat berbahaya,” kata Bu Chihui menyusul.
“Rontokan daun pohon kenari itu pasti
banyak yang jatuh ke halaman rumah kami. Padahal, kami sibuk bekerja setiap
hari. Pasti kami akan kerepotan menyapu sampah dedaunannya,” ujar Bu Molek,
tetangga sebelah rumah.
Baru pada malam hari para tetangga yang
protes berhenti berkunjung. Ibu jadi lelah dan bingung dibuatnya.
“Prita, sebenarnya Ibu tidak mau
melarangmu mengajak sahabatmu tinggal di halaman rumah kita. Tapi, Ibu juga
tidak mau membiarkan para tetangga kita mengeluh,” kata Ibu kemudian pada
Prita.
“Biar saja mereka mengeluh. Prita tidak
pernah mengeluh kepada mereka,” timpal Prita kesal.
“Itu bukan sikap bertetangga yang baik.
Kita harus saling menghormati karena kita tinggal di satu lingkungan. Suatu
hari, kalau kita kesulitan, para tetangga juga yang akan menolong kita,”
nasihat Ibu bijak.
Prita terdiam sebentar. Ia ingat ketika
ibu sakit diantar oleh Bu Molek. Pak
Godek juga pernah mengajarinya bermain gitar. Tapi … Prita keberatan kalau
harus mengusir pohon kenari itu.
“Hari sudah malam, tidurlah. Buatlah
keputusan besok saja,” kata Ibu sambil meninggalkan Prita di kamarnya.
Prita menangis di sisi tempat tidur.
Matanya menembus jendela, memandang pohon kenari dengan perasaan bingung. Tak
lama kemudian, Prita tertidur.
Saat Prita terlelap, ranting-ranting
pohon kenari bergerak melewati jendela kamar. Ranting itu mengambil peralatan
tulis di meja belajar Prita.
Keesokan paginya, Prita terkejut. Pohon
kenarinya sudah lenyap. Ia hanya menemukan secarik kertas yang menempel di
jendela kamar. Prita buru-buru membacanya.
Prita
yang cantik,
Aku
mendengar percakapanmu dengan ibu semalam. Sebaiknya, aku memang tidak tinggal
di sini, karena sahabat yang baik tidak akan menyusahkanmu. Tidak perlu sedih
jika aku memilih kembali ke taman. Hari ini, aku akan membiarkan diriku
ditebang. Tapi, aku sudah meninggalkan sebutir biji kenari untukmu di laci meja
belajarmu. Tanam dan rawatlah agar aku bisa tumbuh kembali dan bersahabat
denganmu. Salam!
Pohon
Kenari
Prita
menggenggam surat itu ke dadanya. Kemudian, ia menemukan biji kenari di laci
meja belajarnya. Prita tersenyum sambil berlari keluar rumah. Ia langsung
menanam biji kenari itu. Terbayang hari-hari yang menyenangkan bersama pohon
kenari yang akan tumbuh nanti.
^_^
Jo
& Jim Jerami
Hari masih gelap karena matahari masih
malu-malu menyembul. Jo sudah bangun membantu ayah mengangkat barang-barang
dagangannya ke atas kereta kuda.
“Sudah semua, Ayah!” teriak Jo setelah
meletakkan gentong terakhir berisi selai stroberi.
Ayah mengangguk. “Terima kasih. Kalau
begitu, kita sarapan dulu, yuk!” ajak Ayah sambil merangkul kepala Jo.
Jo menyiapkan telur dadar istimewa untuk
ayah. Ia selalu melakukan hal itu bila ayah akan berdagang ke kota karena ibu
telah meninggal sebulan lalu.
“Berapa lama Ayah akan pergi kali ini?”
tanya Jo sambil menghabiskan sarapannya.
“Sekitar satu minggu,” jawab Ayah.
Mata Jo melebar. “Satu minggu? Lama
sekali!” Ya, kalau masih ada ibu, maka Jo tidak akan merasa kesepian ditinggal
selama itu.
“Tak usah sedih begitu. Ayah sudah
menyiapkan teman untukmu,” kata Ayah kemudian.
Selesai sarapan, Ayah mengajak Jo ke
kamarnya. Ia lantas menunjukkan sebuah boneka dari jerami setinggi Jo.
“Bagus sekali boneka jerami ini. Sayang,
ia tidak bisa kuajak bermain jika aku kesepian,” gumam Jo.
“Boneka jerami ini akan hidup seperti
manusia jika matahari bersinar dan kembali seperti ini kalau matahari
tenggelam. Jadi, sepanjang siang kamu bisa berteman dengannya,” kata Ayah
sambil tersenyum.
“Wah, hebat benar!”
Ayah mengangguk. Ia sebentar melihat
keluar jendela.
“Fajar hampir menyingsing. Ayah
berangkat dulu agar bisa secepatnya sampai ke kota,” kata Ayah.
“Terima kasih atas bonekanya, Ayah!”
kata Jo saat Ayah naik ke atas kereta kudanya.
“Ya. Jangan lupa memberinya nama. Dan,
jangan menyalakan api di dekatnya,” pesan Ayah sebelum berangkat.
Jo mengamati kereta kuda ayahnya hingga
lenyap dari pandangan. Ia lalu melihat ke ufuk timur. Tampak olehnya fajar
telah menyingsing.
“Cihuuui …, boneka jerami itu pasti
sudah hidup,” teriak Jo.
Ia bergegas menuju rumah. Ternyata,
boneka jerami itu sedang menengok-nengokkan kepalanya, seperti sedang
kebingungan berada di kamar sendirian.
“Hai, selamat pagi! Kata ayah, mulai
hari ini kamu menjadi sahabatku,” sapa Jo seraya mengulurkan tangannya.
“Aku bersedia. Tapi, kamu harus
memberiku nama dulu,” sahut boneka jerami.
Jo kebingungan. “Ah, bagaimana kalau
kupanggil Jim? Kamu suka nama itu?”
“Ya, aku suka. Jim si Boneka Jerami.
Hahaha …,” Jim tertawa riang.
“Bagus, kalau kamu suka.”
“Lantas, apa yang harus kita lakukan
sepagi ini?” tanya Jim.
“Bagaimana kalau kita membersihkan
rumah? Sejak ibuku meninggal, kami tidak pernah membersihkan rumah ini.
“Aku setuju!”
Mereka pun bekerja membersihkan rumah
sambil bernyanyi riang.
Jim ternyata punya kekuatan ajaib
lainnya. Ia bisa merayap naik ke dinding untuk membersihkan sudut-sudut rumah.
Ia juga dapat mengangkat lemari besar dengan satu tangan. Wah, dalam waktu
singkat semuanya sudah beres.
“Rumahku sekarang bersih sekali. Ayah
pasti senang. Tanpamu aku tak mungkin mengerjakan ini dalam sehari,” ungkap Jo.
“Aku juga senang dapat melakukan semua
ini. Sekarang, apalagi yang akan kita kerjakan?” tanya Jim.
“Kita memerah susu dulu, mengumpulkan
telur ayam, dan memetik jagung di ladang. Setelah itu, baru kita makan siang,”
usul Jo.
Mereka lantas menjalankan rencana itu.
Karena Jim punya kekuatan ajaib, semua pekerjaan bisa diselesaikan dengan
cepat.
“Aku akan menyiapkan hidangan istimewa
untukmu, Jim,” kata Jo usai memetik jagung di ladang. Ia segera ke dapur
memasak.
“Jo, tunggu dulu. Jangan menyalakan api
di dekatku,” tiba-tiba terdengar teriakan Jim.
“Oh, maaf. Aku lupa. Tapi, aku harus
masak untuk makan siang kita,” kata Jo.
“Kalau begitu, biarkan aku menjauh dari
sini dulu.”
Belum sempat Jo menyahut, Jim sudah
pergi. Jo pun segera memasak. Begitu Jo membawa masakannya ke meja makan, Jim
datang.
Jo dan Jim menghabiskan makan siang
mereka. Setelah selesai makan, mereka istirahat sebentar.
“Boleh kutahu, kenapa aku tidak boleh
menyalakan api di dekatmu?” tanya Jo.
“Ada satu hal yang memusuhiku. Namanya
si Lidah Api. Ia selalu berusaha
memusnahkan aku,”jelas Jim.
Jo akhirnya mengerti. Lalu, ia mengajak
Jim bermain bola. Menjelang matahari terbenam Jim masuk ke kamar ayah. Ia
kembali menjadi boneka jerami ketika matahari tenggelam.
Jo yang kesepian memandang bintang di
langit. Tubuhnya letih dan ingin segera tidur. Tapi, brrrr … udara malam terasa
dingin.
“Ah, sebaiknya kunyalakan perapian
saja,” pikir Jo. Sebentar, ia teringat pesan ayah agar tidak menyalakan api di
dekat Jim.
“Tapi, Jim berada jauh di kamar ayah,”
gumam Jo. Ia segera menyalakan perapian. Tubuhnya pun mulai hangat. Pelan-pelan
ia tertidur pulas.
Tanpa
disadari Jo, angin berembus masuk dari sela-sela rumah. Si Lidah Api
kegirangan. Apalagi kamar tidur ayah tak tertutup pintunya. Bara dari
perapian beterbangan ditiup angin. Bara
itu beberapa ada yang hinggap di tubuh Jim.
Ketika esok paginya Jo terbangun, ia
kaget melihat tubuh Jim sudah menjadi abu. Jo menyesal dan bersedih. Tak
disangka sahabatnya harus jadi abu karena keteledorannya.
*****
Pangeran Kandaga
Tiga
hari lagi, putra mahkota Raja Sugema berusia dua puluh tahun. Mestinya Raja
bahagia. Karena, sebentar lagi Pangeran Kandaga akan menggantikan kedudukannya.
Tapi sudah satu pekan, Raja kelihatan gelisah.
“Apa
yang membuat Baginda gelisah? Bukankah segala persiapan pelantikan Pangeran
Kandaga sudah siap?” tanya sang Penasihat.
Setelah
berpikir lama, Raja Sugema lalu bercerita, “Sewaktu kecil, putraku pernah sakit
keras. Ia hampir meninggal kalau tidak ditolong oleh seorang tabib perempuan
dari hutan Malayang. Tapi, tabib itu cuma dapat memperpanjang umur putraku
sampai usia dua puluh tahun. Kecuali, kalau putraku menemuinya sebelum itu.”
Sang
Penasihat mengangguk.
“Dan,”
lanjut Raja, ”sudah hampir dua puluh tahun aku tidak mendengar kabar tabib
itu.”
Lalu,
Raja memanggil Pangeran Kandaga. Raja meminta Pangeran Kandaga pergi ke hutan
Malayang. “Bawalah satu peti permata untuk tabib itu,” pesan raja, “kembalilah
sebelum upacara penobatan tiba!”
Pangeran
Kandaga menuruti titah Raja. Perjalanan menuju hutan Malayang tidaklah mudah.
Pangeran harus menyusuri padang pasir luas dan melintasi jurang curam. Syukurlah,
ia bisa melintasi semuanya dengan selamat. Perjalanannya terhenti sesaat di
dekat sungai. Ia menyaksikan seorang lelaki naik pedati berjeruji. Di dalam
jeruji itu, ada seorang gadis yang tampak menderita.
Pangeran Kandaga segera menghentikan pedati
itu. “Ada apa gerangan dengan gadis itu sehingga Tuan mengurungnya dalam
jeruji?” tanyanya.
“Ayahnya tidak mampu membayar utang padaku. Aku akan
membawa putrinya ini ke kota untuk dijual sebagai budak,” jawab lelaki itu
dengan tegas.
“Berapa
Tuan akan menjualnya?” tanya Pangeran.
Lelaki
itu mengamati Pangeran Kandaga sejenak. Tahulah ia kalau orang yang ada di
depannya adalah orang kaya. Ia berpikir untuk menjual gadis itu dengan harga
mahal. “Hai, Anak Muda! Kalau kau ingin memiliki gadis ini, kau harus
menukarnya dengan isi petimu itu,” jawab lelaki itu sambil tersenyum licik.
Pangeran Kandaga terkejut. Ia bimbang. Kotak itu untuk
hadiah tabib di hutan Malayang. Bagaimana ini? Akhirnya, ia berkata, ”Baiklah,
ambil peti ini dan lepaskan gadis itu!” Ia pikir hadiah untuk tabib itu nanti
bisa digantinya dengan yang lain.
Nama
gadis itu Padmini. Pangeran Kandaga meneruskan perjalanannya. Ia sengaja tidak
menceritakan siapa dirinya dan maksud tujuannya ke hutan Malayang pada Padmini.
Saat malam tiba, mereka beristirahat di tengah hutan.
Pangeran
menyiapkan ranting kering dan membuat api unggun. Tanpa disadarinya, seekor
ular berbisa mendekati dan memagut Pangeran. Ia menjerit kesakitan. Ular itu
langsung lari ke semak-semak.
Padmini
lalu mengisap luka pada kaki pangeran. Ia lalu mencari akar-akaran dan
daun-daun di sekitar tempat itu. Dengan cekatan, ia meracik obat-obatan dan
membalurnya pada luka Pangeran.
Pangeran
Kandaga tersenyum. Ia kagum akan kepandaian Padmini. “Terima kasih,” ucap
Pangeran Kandaga.
Padmini
lalu bercerita kalau ibunya dulu adalah seorang tabib terkenal. Setelah
menikah, ibunya pindah dari hutan dan tidak pernah mengobati orang lain lagi.
Pangeran Kandaga terkejut mendengarnya. Oh, sungguh peristiwa yang tidak
terduga. Pangeran Kandaga lalu bercerita pada Padmini bahwa ia sedang mencari
tabib itu, yang tak lain adalah ibu Padmini sendiri.
Esok
paginya, Padmini dan Pangeran Kandaga meneruskan perjalanan. Mereka tiba ketika
matahari tepat di atas mereka. Pertemuan Padmini dan kedua orangtuanya amat
mengharukan. Padmini lalu bercerita pada ibunya tentang Pangeran Kandaga.
“Jadi, kau putra mahkota yang kuobati dulu.
Kini, kau telah menjadi lelaki gagah dan tampan. Ya, aku sudah mempersiapkan
ramuan untukmu sejak lama,” kata Ibu Padmini. Ia mengambil sebuah guci dari
lemari kayu dan meminta Pangeran Kandaga meminumnya. Pangeran Kandaga
mengucapkan terima kasih.
“Sebenarnya,
ayahanda membawakan hadiah untuk Ibu, tapi hadiah itu sudah tidak ada. Maka,
saya akan minta ayahanda lagi …,” kata Pangeran Kandaga.
“Tidak
usah, Pangeran!” potong ibu Padmini cepat. “Perbuatanmu yang telah
menyelamatkan putriku dengan mengabaikan keselamatanmu sendiri adalah hadiah
yang sangat berharga bagiku.”
“Namun
demikian, apabila diperkenankan … biarkan Padmini menjadi permaisuri saya …,”
kata Pangeran Kandaga sambil melirik Padmini yang cantik jelita.
Kedua
orangtua Padmini tidak menolak. Pangeran lalu mengajak mereka semua ke
kerajaan. Tepat pada saat upacara penobatan, Pangeran Kandaga, Padmini, dan
kedua orangtuanya, tiba di kerajaan. Raja Sugema gembira karena Pangeran tidak
cuma berhasil menemui tabib itu, tetapi juga mendapatkan calon permaisuri.
“Sungguh, ini adalah hari ulang tahun yang
paling membahagiakanku,” gumam Pangeran Kandaga dalam hati. Ya, apalagi seluruh
rakyat juga turut merayakannya.
^_^
Selendang Biru Nenek
Ranti dan Rinto
sedang bermain dengan kuda kesayangan mereka ketika angin kencang bertiup ke
arah mereka. Buru-buru, mereka berlindung di tempat yang aman. Untung saja,
angin itu datang hanya sebentar.
“Lihat, angin
itu menerbangkan selendang nenek yang sedang dijemur,” tunjuk Rani ke atas.
Rinto memandang
ke langit. Ya, selendang nenek tengah melayang-layang jauh. “Aduh, kita harus
buru-buru mengambilnya. Itu kan, selendang nenek,” kata Rinto kemudian.
Mereka berdua
segera menaiki kuda kesayangan mereka mengikuti arah selendang itu pergi. Tapi,
rupanya selendang itu tak juga turun ke bumi. Semakin lama, makin menjauh.
Sampai di dekat sebuah perayaan, selendang itu baru jatuh.
Ranti dan Rinto
mengambilnya. Tapi baru saja mereka meraih selendang itu, mata mereka melihat
seorang gadis kecil yang tengah duduk bersedih. Dia memakai pakaian seorang
penari.
“Temanku,
kelihatannya kamu sedang bersedih. Apakah ada yang dapat kami bantu?" tanya
Ranti seraya mendekatinya.
Gadis kecil itu
menatap Ranti. Matanya berbinar ketika melihat selendang yang dipegang Ranti.
“Hari ini, aku
akan mengikuti lomba menari yang sudah lama aku impikan. Pemenangnya akan
mendapat sebidang sawah. Bila dapat sawah itu, aku bisa membantu kakek dan
nenekku yang miskin,” jawab gadis itu.
“Lantas, apa
masalahmu hingga bersedih?” Rinto ingin tahu.
“Semula, aku
ingin menarikan Tari Pelangi. Tapi, sudah banyak peserta lain yang
menarikannya. Aku ingin menarikan Tari Selendang seperti yang diajarkan
almarhumah ibuku. Tapi … aku tidak punya selendang untuk menarikannya,” papar
si penari.
Ranti memandang
sebentar ke arah Rinto. Lalu ia berkata, ”Kebetulan, kami membawa selendang
yang indah. Sayangnya, kami hanya bisa meminjamkan padamu, karena ini selendang
nenek.”
“Oh,
sungguhkah? Terima kasih. Itu saja sudah cukup,” gadis itu girang.
Ranti
meminjamkan selendang biru bersulam benang emas itu. Tak lama kemudian, gadis
kecil itu menari di atas panggung. Gerakannya sangat indah dan memukau.
Penyelenggara
lomba tari lantas mengumumkan gadis kecil itu menjadi juaranya.
“Terima kasih
atas pertolongan kalian. Namaku Selasih. Apakah kalian mau mampir ke rumahku?”
“Nama kami
Ranti dan Rinto. Sayang, kami harus segera pulang. Lain kali saja,” kata Ranti
dan Rinto bersamaan.
Mereka
lantas berpisah. Ketika memasuki desa,
Ranti dan Rinto terkejut ketika melihat
asap mengepul dari sebuah rumah yang mereka kenal. Rumah itu milik Pak Jugal.
Banyak penduduk
yang hanya terdiam melihat kebakaran rumah itu. Pak Jugal memang tidak disukai
di desa. Dia sering meminjamkan uang kepada penduduk dengan bunga tinggi. Tapi,
ada juga yang membantu karena mereka kasihan melihat kepanikan Bu Jugal dengan
anak-anaknya yang masih kecil.
“Anak-anak,
maukah kalian memberikan selendang kalian? Kami harus membuat tandu untuk
membawa korban ke tempat yang lebih aman,” teriak seorang pemuda ke arah Ranti.
Tanpa ragu,
Ranti segera menyerahkan selendang nenek di tangannya. Selendang itu digunakan
untuk mengangkat anak Pak Jugal yang terluka.
Tapi, Ranti dan
Rinto terkejut ketika melihat selendang nenek digunting untuk dijadikan perban
sementara korban yang terluka. Mereka bingung. Selendang nenek sudah koyak tak
berbentuk.
“Wah, nenek
pasti marah pada kita,” ujar Ranti
kemudian.
“Ya, bagaimana
kita menjelaskannya pada nenek?” Rinto bingung.
“Kita ceritakan
saja apa adanya. Yuk, kita pulang,” ajak Ranti kemudian.
Ketika tiba di
rumah, mereka langsung disambut nenek. “Ke mana saja kalian? Nenek sampai
mencemaskan kalian,” tanya Nenek.
Ranti dan Rinto
bergantian menceritakan semua yang baru saja mereka alami. Setelah bercerita
tentang selendang yang dijadikan perban, mereka berharap cemas menunggu reaksi
nenek.
“Nenek pasti
marah, ya?” tanya Ranti.
Tapi, Nenek
malah tersenyum. “Nenek tidak marah. Nenek malah bangga pada kalian. Walau
selendang itu adalah kesayangan Nenek, tapi Nenek lebih sayang pada kalian
berdua. Apa yang telah kalian lakukan tadi adalah hal terbaik,” ujar Nenek.
“Sungguh? Wah,
kalau begitu, mereka harus bersyukur pada Nenek karena selendang itu telah
menolong mereka,” kata Rinto.
“Bukan
selendang Nenek yang menolong mereka. Tapi, kebaikan hati kalian. Nenek sungguh
bangga punya cucu berhati mulia seperti kalian,” kata Nenek sambil mendekap
Ranti dan Rinto.
^_^
Dua Calon
Prajurit
Velip berbadan
kurus. Tapi, sejak kecil ia bercita-cita menjadi prajurit istana. Maka, ketika
istana mengumumkan pendaftaran prajurit baru, Velip langsung bergegas ikut
mendaftar.
Aula tempat
pendaftaran sangat padat oleh para pendaftar. Mereka antre dengan tertib.
Sebelum Velip mendapat giliran, seorang berperut gendut maju ke meja petugas
pendaftaran.
“Siapa namamu?”
tanya petugas.
“Motu,” jawab
si Gendut.
“Sebaiknya,
kamu pulang saja. Kami tidak butuh prajurit gendut sepertimu. Tak ada kuda yang
kuat kamu tunggangi,” celetuk petugas yang lain.
Seisi ruangan
tertawa.
Motu tertenduk
lesu.
“Sebaiknya,
kamu melamar beberapa bulan lagi sebagai juru masak,” kata si Petugas.
Motu berjalan
meninggalkan aula. Kini, giliran Velip yang dipanggil ke depan petugas
pendaftaran. Lagi-lagi mata petugas pendaftaran memandang dengan muka sinis.
“Siapa namamu?”
tanya petugas pendaftaran.
“Velip.”
“Pulang saja
sekarang. Kamu terlalu kurus untuk jadi prajurit. Bahkan, lebih kurus dari
tombak kami,” celetuk petugas lainnya.
Seisi ruangan
lagi-lagi tertawa.
Velip pulang
dengan hati terluka. Ia berjalan lesu meninggalkan aula istana.
Di tengah
perjalanan, Velip bertemu dengan Motu yang tengah terduduk di atas sebongkah
batu. Wajahnya sangat lesu.
“Hai Motu, aku
Velip. Aku juga gagal di pendaftaran tadi,” kata Velip sambil mendekat.
“Aku sedih
karena gagal. Aku tidak berani pulang ke rumah. Orangtuaku sangat berharap aku
bisa jadi seorang prajurit. Salahku juga tak mau olahraga, jadi badanku gemuk begini,”
ucap Motu.
“Aku juga.
Sejak beberapa hari kemarin, aku sudah sesumbar di desaku akan jadi seorang
prajurit. Mereka malah menertawakanku. Makanya, aku juga tidak berani pulang,”
sahut Velip.
“Kalau begitu,
kita bersama-sama bertualang dulu saja. Kamu mau bersahabat denganku?” tanya
Motu.
“Ya, tentu.”
Mereka pun
memutuskan untuk bertualang. Suatu hari, di tengah perjalanan mereka dikejutkan
seorang wanita setengah baya yang berteriak panik.
“Tolong …
tolong! Cucuku …!”
“Ada apa, Nek?”
tanya Motu dan Velip bersamaan.
“Cucuku masuk
ke ceruk goa yang dalam. Aduh …. Tolong dia!” jawab perempuan setengah baya
itu.
Motu dan Velip
segera bertindak. Mereka mencari tempat ceruk goa tersebut. Ternyata, lobang
goa tersebut sangat sempit. Lorongnya curam, hampir seperti lobang sumur.
“Tapi, badanku
bisa masuk,” kata Velip.
Motu segera
mencari akar pepohonan dan dijalinnya menjadi tali. Ujung tali kemudian
dililitkan ke tubuh Velip. Pelan-pelan, Velip masuk melalui celah gua. Ketika
mencapai dasar, Velip menemukan tubuh seorang anak kecil yang tergolek pingsan.
Dengan cekatan,
Velip mengikat tubuh anak itu. “Motu, tarik!” teriak Velip kemudian.
Sekuat tenaga,
Motu menarik tubuh anak itu. Akhirnya, tubuh anak itu bisa melalui celah gua.
Kemudian, Velip menyusul keluar dari dalam gua.
“Oh, cucuku.
Akhirnya, kamu selamat,” kata perempuan itu sambil menggendong tubuh si anak
kecil.
Dia lantas
mendekati Motu dan Velip. “Mari ke tempat tinggalku dulu. Mungkin aku masih
perlu bantuanmu,” kata perempuan tua itu.
Velip dan Motu
mengangguk setuju. Motu segera menggendong tubuh anak kecil itu sampai ke
sebuah pondokan kayu yang sederhana.
“Siapa nama
kalian? Orang-orang memanggilku Mak Acin,” kata perempuan tua itu.
“Aku Motu.”
“Dan aku
Velip.”
Sambil membuat
ramuan obat-obatan untuk cucunya, Mak Acin lantas bercerita awal kejadian
hingga cucunya yang bernama Lolum terperosok. Menurutnya, saat itu ia bersama
Lolum tengah mencari akar-akaran. Sebagai tabib, Mak Acin memang harus
menyiapkan aneka bahan untuk obat-obatan. Rupanya, Lolum tak sadar saat asyik
mencari akar lumut sampai terperosok ke dalam ceruk itu.
Mak Acin lantas
membasuh ramuan obat yang dibuatnya ke kening dan leher Lolum. Tak lama
kemudian, Lolum sadar.
“Kalian
sebenarnya mau ke mana?” tanya Mak Acin yang merasa asing dengan Velip dan
Motu.
Secara
bergantian, Velip dan Motu menceritakan pengalaman mereka yang ditolak menjadi
prajurit. Di ujung cerita, Mak Acin tersenyum.
“Tahun depan,
istana pasti akan membuka pendaftaran baru. Sebaiknya, selama setahun ini
kalian tinggal bersamaku. Karena kalian sudah menolongku, aku akan membantu
kalian menjadi calon prajurit yang hebat,” janji Mak Acin.
Velip dan Motu
tanpa ragu-ragu langsung mengangguk.
Ya, sejak itu
mereka tinggal bersama Mak Acin dan Lolum. Mak Acin melatih mereka menjadi
calon prajurit yang berbadan tegap dan sehat. Caranya tidak sulit. Mereka
disiplin makan dan berolahraga. Olahraga mereka adalah mengangkat air dari
sungai, membelah kayu bakar, atau membangun kembali pondokan Mak Acin.
Setahun
kemudian, istana kembali membuka pendaftaran prajurit. Mak Acin segera meminta
Velip dan Motu meninggalkan pondoknya.
“Tubuh kalian
sudah tidak seperti dulu lagi. Kalian sama-sama berbadan tegap sekarang. Aku
doakan kalian diterima menjadi prajurit istana,” kata Mak Acin saat melepas
Velip dan Motu.
“Kami
mengucapkan terima kasih pada Mak Acin,” kata Velip dan Motu.
“Jangan lupa
padaku. Karena aku juga ikut membantu kalian,” sela Lolum sambil mengusap air
matanya.
“Tentu saja,”
jawab Velip dan Motu serempak.
Mereka pergi ke
aula istana. Rupanya, petugas pendaftaran sama sekali tak mengenali mereka
lagi.
“Velip?
Rasanya, aku pernah mendengar nama itu. Tapi, kurasa bukan kamu. Tubuhmu tegap,
sangat cocok jadi prajurit. Kamu kami terima,” kata petugas pendaftaran.
Hal yang sama
juga dikatakan petugas pendaftaran ketika Motu mendapat giliran. Petugas itu
sama sekali tak ingat pernah mencela Motu dan Velip setahun lalu.
Beberapa tahun
kemudian, Velip dan Motu menjadi prajurit istana yang tangguh. Bahkan, pangkat
mereka naik dengan cepat menjadi komandan pasukan. Orangtua mereka tentu saja
bangga.
“Orang yang
paling berjasa bagi kami adalah Mak Acin dan Lolum,” begitu selalu Velip dan
Motu mengatakan pada setiap orang.
******
0 komentar:
Post a Comment