T E N T A N G O N I H
Pemenang Lomba Cerpen Majalah Pria MATRA 1996
Pintu kamar sengaja kubuka pelan agar Mami tak terkejut
dengan kedatanganku. Tetapi, mata Mami rupanya sudah terbuka sebelumnya dan ia
langsung menatap ke arahku dengan penuh harap.
“Apa
yang dikatakan abangmu di telepon tadi? Onih sudah ketemu?” tanya Mami setelah
kugenggam lembut tangannya. Ia ingin beranjak dari tempat tidur tetapi
buru-buru kucegah.
“Onih
ada di Bogor. Abang sudah meneleponnya untuk segera pulang. Tetapi, katanya,
Onih cuma mau pulang kalau saya yang jemput, Mam.”
“Cepatlah
kamu jemput dia.”
“Sepuluh
menit lagi, Abang mungkin sampai. Kami akan ke Bogor bersama-sama.”
Mata
Mami lama menerawang. “Nanti sampaikan padanya, Mami tidak akan marah lagi
dengan apa pun keputusannya, asalkan ia tidak meninggalkan rumah ini. Mami dulu
yang membawanya ke rumah ini, jadi Mami yang bertanggungjawab sepenuhnya
terhadap Onih. Sama seperti terhadap kamu dan Andri,” gumamnya agak lama
kemudian.
Aku
hanya mengangguk meski dalam hati aku merasa keberatan mengakuinya. Tanggung
jawab yang Mami pikul terhadap Onih jauh lebih berat ketimbang terhadap aku dan
Bang Andri.
“Katakan
juga kalau Mami tidak akan melarang pilihannya untuk menjadi b ….” Mami
menggantung kalimatnya sendiri. Di luar terdengar suara mobil Bang Andri.
“Pergilah segera!”
Bergegas
aku keluar kamar. Setelah memberi sedikit pesan kepada Bik Isah, aku langsung
menyuruh Bang Andri menjalankan mesin Kijangnya. Jakarta-Bogor tak akan terlalu
melelahkan. Yang mencemaskanku, kalau sampai di Bogor ternyata Onih tak mau
pulang. Onih tetap memilih kabur dari rumah! Seperti alasannya saat aku dan
Mami menemukannya di perempatan jalan dekat rumah ....
***
“Kenapa
kamu berdiri di sini dari tadi?” tanya Mami, yang matanya begitu awas menangkap
kesusahan orang di sekitarnya.
“Saya
bingung, Tante,” anak lelaki itu menjawab tanpa ragu.
“Bingung
kenapa? Kamu kabur dari rumah, kan? Di
mana rumah kamu. Biar diantar pulang.”
Anak
lelaki itu mendekap tasnya erat-erat sambil menggeleng.
“Di
rumah, semua benci saya. Apalagi, sejak Ibu sama Bapak meninggal. Pakle dan
bukle suka mukul saya.”
“Mungkin
kamunya bandel. Sudahlah, siapa nama kamu?”
“Sahroni.
Tapi, teman-teman memanggil Onih.”
“Baiklah,
sekarang kamu mau tetap di sini sampai ada orang jahat menemui kamu atau ikut
sama Mami dan Mita?”
“Asal
tidak dibawa pulang, saya ikut sama Tante.”
“Pilihan
yang bagus. Mulai sekarang kamu harus panggil Mami, bukan tante. Dan ini
saudara kamu, Mita.”
Aku
menyalami Onih. Dalam hati aku merasa senang karena aku akan punya teman sebaya
di rumah, meski dia anak laki-laki. Sebelumnya, aku di rumah lebih sering
ditemani oleh Bik Isah karena Mami sibuk dengan bisnis laundry dan florist-nya,
sementara Bang Andri yang lebih tua tiga tahun dariku mulai sibuk pacaran.
Onih
dimasukkan ke SMP swasta oleh Mami, duduk di kelas satu sama seperti aku. Meski
lain sekolah, kami bisa belajar bersama. Apalagi, Onih ternyata cerdas dan
banyak membantu otakku yang sedikit kesulitan mencerna beberapa pelajaran,
walaupun beberapa waktu kemudian akhirnya kami lebih banyak ngobrol ke
sana-sini.
Entah
kapan mulainya, Mami melarangku terlalu akrab bermain dengan Onih. Mami sengaja
memanggil guru privat yang berbeda untuk aku dan Onih. Tapi diam-diam, saat
Mami sibuk, Onih sering menyelinap ke kamarku dan mengajakku melakukan kegiatan
yang tak pernah kupikirkan.
Hari
tertentu kami ke dapur, mencoba membuat puding, kue, atau masakan apa saja yang
Onih baca di majalah Mami. Meski kadang rasanya tidak karuan, Onih menyuruhku
untuk menyisakan sebagian hasilnya untuk Mami.
“Tapi,
cukup bilang kamu yang membuatnya,” pesannya.
Pada
hari lain, Onih memotong rambutku yang terurai sampai ke pinggang hingga
sedikit di bawah bahu. Ia kemudian menariknya ke atas dan memberinya pita
berwarna perak.
“Kamu
cantik kalau dari dulu rambutmu dibeginikan. Aku paling benci kalau perempuan
rambutnya panjang, apalagi kalau dibiarkan terurai. Kayak kuntilanak,” kata
Onih.
Ketika Mami menanyakan rambutku
sambil marah-marah, aku mengatakan seperti yang dipesan Onih. “Tadi, ada anak
iseng di kelas melempar lem aibon. Daripada diketawain, Mita langsung minta
potong saja sama Bik Isah.”
Dan di
hari lainnya, Onih membantuku membalas surat cinta dari seorang kakak kelasku
yang tidak pernah kusuka. Isinya kocak dan membuatku terpingkal-pingkal.
Fido
yang kembarannya Kingkong, maaf kalau saya menolak cinta kamu. Abis saya takut
sih ngeliat kamu yang gede, gendut, dan item. Padahal, kalau anak ABG kayak
kita kan lebih enak pacarannya disebut cinta monyet. Tapi, sama kamu nanti
dibilang cinta Kingkong. Iiih …, takuttt.
Nanti
kalau kamu udah enggak gendut dan item lalu bisa operasi plastik biar mirip
sama cover boy, yakin deh Mita nggak nolak. Udah dulu yah. Kalau punya peti
jangan ditaruh duri, kalau sakit hati jangan bunuh diri (kuburan sewanya mahal
lo sekarang).
Salam,
Susmitha
alias calon Miss Universe pertama dari Indonesia
Ketika kuceritakan pada Onih, cowok yang namanya Fido itu kemudian tak pernah berani menatapku lagi, Onih cuma menepuk dadanya sambil kemudian terbatuk-batuk.
Keakraban
kami lama-lama diketahui juga oleh Mami. “Kalian memang bersaudara, tetapi cuma
saudara angkat. Ingat, kalian satu sama lain bukan muhrim. Anak lelaki tidak
boleh main dengan anak perempuan. Apalagi kalian sudah remaja,” Mami
berceramah.
Tidak
cuma itu. Mami membebani kami dengan setumpuk kegiatan lain yang berlawanan.
Aku diwajibkan les piano tiga kali seminggu dan kursus bahasa Inggris privat
pada hari sisanya. Sementara, Onih harus mengambil latihan bela diri pada hari
Minggu dan kursus komputer di hari lainnya. Dan, setiap makan malam kami
diminta untuk menceritakan kegiatan kami sepanjang hari kepada Mami.
Yang
mengejutkan aku, Onih ternyata sanggup membohongi Mami setiap malam. Aku tahu
Onih hanya minggu-minggu pertama saja ikut karate, selanjutnya kudengar ia
sering main ke rumah teman sekolahnya yang punya salon kecantikan cukup beken
di Jakarta. Sementara kursus komputernya cuma dimasuki sesekali karena ia pernah
bolos sekali mengantarku les piano lalu tertarik ikut studio tari yang ada
dekat tempat lesku. Sejak itu, Onih ikut latihan menari di sana. Entah,
bagaimana caranya Onih bisa berbohong setiap malam dengan cerita-cerita yang
begitu meyakinkan Mami.
“Besok
Onih sudah mulai latihan D-Base. Mungkin sebaiknya komputer kita di rumah
diganti saja dengan yang baru.” Pada malam lain, Onih bercerita tentang
karatenya. “Minggu depan ada kejuaraan, tapi Onih nggak kepilih ikutan.
Kayaknya sih si pelatihnya sentimen.”
Akhirnya,
aku agak khawatir juga dengan sifat Onih. Kutegur dia baik-baik, tetapi jawaban
Onih sungguh di luar dugaanku.
“Aku
yang berbohong, Mita. Dosa atau tidak, itu urusanku.”
Sejak
itu, aku agak menjaga jarak. Sedih juga setelah empat tahun sering bersama, aku
harus berjauhan dengannya. Tetapi lama-lama, aku jadi terbiasa. Apalagi di
bangku SMU aku mulai disibukkan lagi dengan aktivitas di sekolah dan juga Yus,
pacar pertamaku. Aku nyaris tak pernah tahu lagi apa yang dikerjakan Onih di
luar rumah. Yang kutahu ia mulai sering keluyuruan malam diam-diam. Ia tak
pernah menceritakan apa-apa lagi padaku. Hanya sesekali dia melontarkan
cerita-cerita lucu saat sarapan.
“Kemarin
di Plaza Senayan ada nenek-nenek bertiga dilempari batu sama orang-orang. Kasihan,
deh.”
“Memangnya
kenapa?” tanyaku.
“Mereka
ngaku-ngaku AB Three, penyanyi yang lagi beken itu.”
Mami,
aku, dan Bang Andri tertawa. Dan aku ingat, itulah tawa Mami terakhir di depan
Onih karena pada malam harinya suara menggelegar Mami yang terdengar. Saat itu,
aku masih nonton TV pertunjukan tengah malam ditemani Bang Andri. Tiba-tiba,
suara mobil yang masuk ke pekarangan rumah dengan suara rem yang mendecit
disusul suara pintu mobil yang dibanting membuat aku dan Bang Andri terbangun.
Ketika kubuka pintu rumah, kulihat Mami tengah menyeret lengan kiri Onih.
Aku
terpekik kaget melihat Onih. Ia memakai pakaian yang mestinya melekat di
tubuhku. Blus warna merah jambu dengan rok mini kotak-kotak. Stocking coklat
menutupi bulu-bulu kakinya, sementara tangan kanannya menenteng sepatu dengan
hak setinggi lima senti. Rambut palsunya kalau tak kusut pasti akan seperti
rambut model Jackie Onasis di majalah-majalah wanita.
“Tadinya,
Mami tidak percaya apa kata teman-teman Mami. Tenyata Mami salah memberi kepercayaan
padamu. Dasar anak enggak tahu diuntung. Ngapain kamu di Taman Lawang
malam-malam begini? Biar saudara-saudara kamu tahu bagaimana tampangmu yang
sebenarnya!” urat leher Mami tampak menegang.
Onih
tak bersuara. Matanya datar-datar saja.
“Siapa yang
ngajarin kamu jadi banci? Heh! Mami? Katakan? Benar-benar keterlaluan. Kamu
boleh jadi banci, tapi jangan injak lagi rumah ini!”
Jantungku
berdegup keras mendengarnya. Kutuntun segera Mami ke kamarnya karena ia tampak
lemas. Aku memang mengkhawatirkan jantungnya yang memang lemah.
Esoknya,
aku tidak menemukan Onih di kamarnya. Rupanya, ia begitu yakin dengan
pilihannya yang tak pernah kuduga. Kuingat-ingat lagi masa-masa yang kami
lalui. Memasak, memotong rambut, menari, salon ... ah, kenapa tak pernah
kusadari? Persaan jijik, benci, dan khawatir terhadap Onih berbaur. Semuanya
makin mengental ketika Mami jatuh sakit dan meminta aku dan Bang Andri
mencarinya. Kini setelah satu minggu, baru kutahu di mana jejak Onih.
Hujan
yang turun di Kota Bogor membantuku menenangkan perasaan. Rasanya, aku harus
mulai memaafkan Onih seperti Mami.
***
Mami
lama menatap Onih. Matanya basah, tangannya mengusap kepala Onih di dadanya.
“Maafkan
saya, Mam. Mami benar, saya anak tak tahu diuntung sudah menyusahkan Mami.”
Onih sesengukkan. Air matanya, sejak pertemuan denganku di Bogor tadi, terus
mengalir. Meskipun tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya di sepanjang
jalan, aku tahu Onih begitu mengkhawatirkan Mami.
“Jangan
kamu ungkit-ungkit lagi. Dengarkan saja Mami sekarang. Tidak cuma Onih, tapi
juga Andri, dan Mita. Mami takut tak sempat bicara lagi nanti,” Mami menarik
napasnya.
“Kalian
kan tahu kenapa Mami mengangkat kalian satu per satu menjadi anak Mami. Karena
Mami tidak bisa punya anak, meski seandainya kawin. Tetapi, tidak pernah
terpikir dalam hidup Mami kalau kemudian akan bertemu dengan Onih yang kabur
dan punya cerita hidup mirip Mami. Bedanya, Mami tak pernah ditemukan
siapa-siapa, diangkat anak, disekolahkan, dan dikursuskan. Mami jadi anak
jalanan, tahu pengalaman seks pada usia dini, dan sangat tidak menyenangkan.
Pergaulan dan pengalaman yang Mami dapat akhirnya menjadikan Mami seperti
sekarang ini ... menjadi seorang banci. Karena Mami tahu getirnya, maka Mami
arahkan semua agar tak menyimpang seperti Mami. Tetapi, rupanya Tuhan
berkehendak lain pada Onih ....”
Onih
mengangkat kepalanya hendak berkata. Tetapi, buru-buru Andri mencegahnya.
“Mami
memang tidak bisa mengubah takdir Onih. Sebaiknya, segalanya sudah kamu
pikirkan masak-masak kalau kamu memang pengen menjadi banci seperti Mami.
Jangan nanti menyusahkan dirimu sendiri atau saudara-saudaramu. Buat Mita dan
Andri juga harus menghormati pilihan Onih.”
Semua
menganguk. Mami tersenyum.
“Kalian
pasti enggak pernah tahu apa yang paling Mami inginkan dari kalian bertiga.
Mami ingin kalian nantilah yang mengurus pemakaman Mami. Tentu saja karena Mami
dulu lahir sebagai laki-laki, pengen juga dikubur jadi laki-laki. Meski separuh
hidup Mami dijalani sebagai banci ....”
Aku
melirik ke arah Onih. Dia sebenarnya cukup tampan sebagai cowok. Entah kapan
pikiran menjadi banci muncul. Mungkinkah sejak aku sering mengajaknya main
seperti anak perempuan? Kalau memang begitu, mungkinkah aku juga bersalah?
***
0 komentar:
Post a Comment