Peri-Periku
DULU ketika nenekku masih ada, nggak pernah aku lewatkan malam tanpa
dongengnya. Yang paling kusuka kalau cerita itu ada tokoh peri-nya. Sayangnya,
nenekku nggak pernah bisa menjelaskan, mengapa peri-peri itu harus perempuan.
“Sudah dari sananya, Sisi. Lagian kalau lelaki, namanya pasti bukan Peri,
mungkin Parjo,” kata nenek.
“Ah, Nenek!” seruku tak puas. Sampai akhirnya nenek meninggal, aku belum
menemukan jawaban yang pas.
Di bangku kelas empat SD, baru kutemukan sosok peri cowok. Mmm,
sebenarnya dia juga manusia. Cuma, suatu hari aku lupa bahwa saat itu ada tugas
menggambar. Sampai di kelas, buru-buru kukerjakan sebisaku. Sebenarnya, aku
nggak begitu bisa karena Pak Minto mewajibkan murid perempuan menggambar bunga.
Sampai tanda bel masuk berbunyi, aku masih belum yakin dengan apa yang telah
kugambar.
Pak Minto meminta kami mengumpulkan tugas.
Dadaku dag-dig-dug sewaktu Pak Minto mulai memeriksa gambar-gambar di
depannya. Hening, Pak guru yang berkumis lebat itu berkerut, tak lama kemudian.
“Sisilia! Apa yang kamu gambar ini?” teriaknya kemudian.
“Bunga, Pak,” jawabku langsung.
Pak Minto mengangkat buku gambarku dan menunjukkan karya besarku itu ke
depan teman-temanku. ”Ayo, siapa yang tahu bahwa gambar ini bunga?” tanya Pak Minto.
Tahu-tahu, sebentuk lengan diangkat dari bangku belakang.
“Primadi! Ya, bunga apa ini?”
“Bunga matahari ketabrak truk, terus ketiup angin ribut!”
Seisi kelas tertawa. Termasuk aku. Tapi, Pak Minto malah marah. Ia
kemudian menyuruh aku dan Primadi berdiri di sudut kelas, selama pelajaran
menggambar. Pertolongan Primadi memang nggak besar, hanya menemaniku dihukum di
depan kelas. Tapi, itu sudah jadi cukup alasan, untuk kemudian aku memanggil
dan menganggapnya sesosok Peri.
Meskipun mulanya nggak suka, akhirnya ia mau juga dipanggil Peri. Apalagi
ketika anak-anak lain juga memanggil sama sepertiku. Dan, nama panggilannya
semula, yakni Jabrik, jadi terlupakan. Lagian, rambutnya memang sudah
dikeriting.
Peri pertamaku ternyata tak bertahan lama. Saat kenaikan ke kelas enam,
ia pindah entah ke mana. Kalau nggak salah, dia ke London mengikuti papanya
yang harus tugas di sana. Sebulan kemudian, aku sakit parah. Bukan karena
ditinggal Peri, tapi kata dokter, ginjalku rusak. Saking lamanya dirawat, aku
terpaksa mengulang sekolahku di kelas enam, sementara teman-temanku masuk SMP.
Tapi yang sempat menghiburku, aku menemukan Peri yang kedua.
Sore itu hari pertamaku di ruang rawat. Seorang anak perempuan yang
semula terbaring di sebelah tempat tidurku, tahu-tahu meloncat ke sebelahku.
Rambutnya yang tipis dan rontok hampir menakutkanku, kalau saja ia tak
buru-buru tersenyum manis.
“Kamu mau ikutan main denganku?” tanyanya. Matanya bergerak nakal.
“Main? Main apa?”
“Pokoknya rame. Sebentar lagi, akan datang suster memeriksa kita. Nah,
pas giliran aku dimasuki termometer, kamu harus memanggil dan mengajakya bicara
selama mungkin. Bisa, nggak?”
Aku hanya mengangguk. Sepuluh menit kemudian, datang suster memeriksa
enam anak yang satu ruangan denganku. Setelah si suster memasukkan termometer
ke dalam mulut anak perempuan itu, aku langsung memanggil suster tersebut.
Kukeluhkan sedikit perutku. Ia memeriksa dan menghiburku. Setelah kurasa cukup,
ia membalik ke arah anak perempuan itu.
Sedetik kemudian, aku melihat wajah sang suster pucat dengan mulut
menganga. Ia kemudian buru-buru meninggalkan kami. Aku baru tahu apa yang
terjadi kemudian. Ternyata, anak perempuan itu punya termometer yang sama
dengan suster tadi. Termometernya ia masukkan ke dalam air panas yang sudah ia
siapkan. Saat suster itu membalikkan badannya, ia menukar termometer di
mulutnya dengan miliknya. Pantas saja kalau suster tadi kaget karena melihat
suhu yang tertera di atas normal.
Ia lantas menyebutkan namanya, Peni. “Tapi, kamu boleh memanggilku apa
saja. Di sini, para suster memanggilku si Bandel, ada juga yang memanggilku
Botak,” katanya.
“Bagaimana kalau kamu kupanggil Peri saja? Aku suka nama itu.”
“Boleh saja. Karena kamu menambahkan hurup R di namaku, aku juga akan
menambahkannya di namamu. Aku akan memanggilmu Sisir, hehehe ….”
Kebandelan Peri yang kedua ini, ternyata jauh melebih kebandelan anak
cowok yang pernah kutahu. Ia bahkan pernah membawa seekor kecoa dari wc, lalu
melepaskannya di pundak suster yang datang. Tentu saja, suster itu jadi meloncat-loncat
kegelian dengan wajah pucat. Di balik itu, Peri juga cukup baik dengan sesama
teman di ruangan. Ia suka membagikan buah-buahan di mejanya, terutama untuk
Wanda yang sepertinya jarang dibesuk.
Dua minggu dirawat, menjadi tak terasa. Sampai suatu pagi, saat aku
terbangun, aku nggak melihat Peri di ranjangnya. Setelah diberi tahu Peri
meninggal dunia semalam, aku menangis seharian. Aku benar-benar kehilangan dia.
Papa akhirnya memindahkan aku ke ruang lain, agar sakitku nggak makin parah.
Masuk bangku SMP, aku kembali mencari-cari orang yang bisa kujadikan Peri
ketigaku. Akhirnya, kudapatkan ketika aku mengikuti kegiatan paduan suara di
sekolah. Namanya Ferry, tapi dia nggak keberatan ketika kupanggil Peri.
Ia banyak menolongku mengajarkan cara bernyani yang baik, juga bahasa
Inggris. Bahkan, ia mau saja menemaniku ke mana saja sekalipun pada acara yang
anak cowoknya dia. Aku nggak tahu mengapa ia begitu baik, sementara aku belum
pernah menghitung kebaikanku padanya.
Cuma belakangan, aku melihat kejanggalan yang tak kumengerti. Peri
ketigaku ini sering ngobrol dengan teman-teman cewek yang lain, soal
teman-teman cowok yang ganteng. Dia juga pernah setengah memaksa meminta foto
abangku, ketika main ke rumahku. Karenanya, aku terpaksa meninggalkannya. Lagi
pula, ia mulai akrab dengan Eko, anak lelaki yang cara dan jalannya itu,
mengingatkanku pada seekor bebek.
Sejak itu, aku agak selektif memilih calon-calon peri. Bahkan di bangku
SMA, aku nggak menemukannya sama sekali. Sekali sih, pernah cowok bernama Ferdi
mendekatiku dan menyatakan ingin menjadi pacarku.
“Boleh saja, tapi kamu harus mau kupanggil Peri,” kataku memberi syarat.
Mulanya ia menyetujui. Tapi, ketika aku mulai memanggilnya dengan nama
itu di depan teman-teman dan keluarganya, ia mulai menjauhiku. Ah, biarin aja.
Aku yakin kok, suatu saat nanti, akan benar-benar hadir sosok Peri di
hadapanku.
***
SIAPA bilang, perpeloncoan di bumi Indonesia ini sudah dihapuskan?
Aneh, kok masih bertahan juga sih, sisa-sisa peninggalan kolonial di
sini. Seperti yang kualami kini. Setelah masa orientasi kampus yang melelahkan,
para mahasiswa baru diminta ikut perkemahan yang diadakan himpunan jurusan.
Ancaman bagi yang nggak ikut, cukup menakutkan. Akan dikucilkan! Nggak boleh
ikut kegiatan himpunan yang spektakuler sekalipun, bahkan nggak boleh ngobrol
dengan senior.
Terpaksa aku ikut. Meskipun aku mendengar dari senior lain bahwa
perpeloncoan Himpunan Mahasiswa Jurnalistik adalah yang paling sadis di
Fakultas Ilmu Komunikasi.
“Ya, turun semua! Istirahat sepuluh menit! Jangan ada yang cengengesan!”
Seorang senior perempuan berteriak, ketika truk yang ditumpangi empat puluh
lima mahasiswa baru, berhenti di sebuah perkebunan teh.
Aku turun seperti yang lainnya. Kubuka botol air mineral dari ranselku.
Baru seteguk air kurasa, tahu-tahu suara jeritan terdengar keras di dekatku.
“Heh, siapa yang suruh kamu minum?! Cepat berdiri dan pergi menghadap
Tatib di sana!” Senior bawel itu menghardikku.
Aku berdiri tanpa bisa protes dan berjalan mencari senior yang bertanda
khusus. Aturan mainnya memang telah ditetapkan. Yang menghukum cuma senior dari
bagian tata tertib. Akhirnya, kudapatkan juga senior cowok mengenakan pita
merah di lengan bajunya, yang tengah berdiri sendirian.
“Maaf, Kak, saya diminta menghadap karena kesalahan saya,” kataku tanpa
berani menatapnya.
“Apa kesalahanmu?” Suara itu terdengar menggelegar.
“Minum sebelum waktunya.”
“Bagus! Siapa nama kamu?”
“Sisilia.”
“Siapa?! Sisilia?”
Kulihat dia melotot ke arahku. Entah hukuman seberat apa yang akan ia
berikan, setelah mendengar namaku.
“Kamu tahu siapa saya?” tanyanya kemudian.
“Tahu. Kakak dari bagian Tatib.”
“Bego banget sih, kamu! Maksudnya nama saya!” Suaranya makin meninggi.
Aku mencoba mengamatinya sekilas. Rasanya, aku nggak melihat senior satu
ini ketika pengarahan kemarin.
“Lihat muka saya! Perhatikan!”
Aku mengamati mukanya. Rahangnya yang kukuh, hidungnya, matanya, dan …
kok, yang muncul malah nama Justin Timberlake. Tapi, nggak mungkin Justin
membentakku dalam bahasa Indonesia.
“Ya udah, kalo nggak kenal. Kali ini, kamu lolos dari hukuman. Tapi, kalo
nanti menghadap lagi, masih belum kenal saya juga … AWAS!”
“Terima kasih, Kak!” Aku langsung berbalik lega. Buru-buru aku ke
kelompokku. Rasanya, masih ada waktu untuk istirahat beberapa menit.
“Diapain kamu tadi?” tanya Arni, yang dekat denganku sejak penataran.
“Nggak diapa-apain. Kamu lihat sendiri dari sini, kan? Cuma, aku disuruh
nyari tau namanya. Padahal, dia kan, nggak datang di acara kemarin. Jelas aku
nggak tau namanya.”
“Jadi, kamu benar-benar nggak tahu namanya? Ya ampun, kamu tuh kuper
banget, sih! Dia kan Kemal, mantan coverboy empat tahun lalu. Cukup sering lho,
dia mejeng di majalah. Malah, sempat main sinetron. Kamu tau temen kita, Winda,
yang dari Sukabumi itu? Nah, dia malah pengin kuliah di jurusan ini, gara-gara
ngefans berat sama Kemal,” jelas Arni panjang lebar.
Aku ternganga. Oh, jadi dia coverboy! Pantas lagaknya macam begitu. Huh!
Tapi, apa iya sih, cuma karena dia coverboy dan pernah main sinetron, semua
orang harus tahu namanya? Bagaimana dengan aku, yang cuma hobi baca komik
Asterix dan nonton film Hollywood? Benar-benar keterlaluan!
Belum reda rasa gusarku, para senior sudah menyuruh kami melakukan
perjalanan melintasi dua bukit, sebelum sampai ke lokasi perkemahan. Entah
sengaja atau nggak, dalam perjalanan, beberapa kali aku melihat Kemal tengah
memandang ke arahku. Mungkin, dia tengah merencanakan hukuman paling memalukan
untukku kelak.
Ya, aku harus berusaha nggak bikin kesalahan sekecil apa pun lagi! Tapi,
dasar sial! Malamnya, ketika diadakan pemeriksaan perbekalan, aku ketiban sial.
Lilin yang kubawa patah, meskipun aku sudah menyimpannya hati-hati.
“Kamu ke pos satu dan beri tahu kesalahanmu!”
Buru-buru aku berlari, sebelum dibentak kasar. Pos satu yang kucari tak
jauh dan betapa kagetnya aku, ketika melihat siapa senior yang sudah
menungguku.
“Lagi-lagi kamu! Nah, sekarang, pasti kamu sudah tahu siapa saya. Kalau
benar, kamu nggak akan dihukum ….”
“Nama Kakak … Kemal.”
“Cuma itu?”
“Kakak pernah jadi coverboy, juga main sinetron.”
“Ada yang lain?”
Oh, apa lagi yang kutahu? Mestinya, aku tadi bertanya banyak kepada Arni.
“Kamu keterlaluan banget. Tutup matamu dengan ini!” katanya sambil
memberikan slayer. Aku segera mengikatnya hingga menutup mataku. Tanganku
kemudian ditariknya dengan kasar, hingga aku harus berlari mengikutinya. Entah
berapa jauh aku berlari. Tapi, mendengar teriakan-teriakan sekitarku, aku
yakin, bukan cuma aku yang diperlakukan seperti ini.
“Sekarang, buka slayernya!”
Aku menuruti kalimat itu. Kulihat ia berdiri di depanku. Setelah berlari
tadi, kurasa tubuhku sedikit hangat. Tapi, aku nggak tahu berada di mana kini,
lantaran di sekitarku hanya ada pohon teh.
“Kalo sekarang, masih nggak ingat apa-apa tentang aku?” tanyanya
bersiteguh.
Aku tetap menggeleng. Rasanya, aku benar-benar tersiksa.
“Bagaimana kalau kusebutkan, ‘bunga matahari ketabrak truk, lantas ketiup
angin ribut’, kamu ingat?”
Aku mengerutkan dahiku. Rasanya, nggak percaya mendengar kembali kalimat
yang dulu pernah kudengar. Jadi ….
“Kamu Peri? Mmm … maksudku Primadi. Tapi, kamu kan, Kemal ….” Aku
terbata-bata.
“Kemal Primadi. Tapi, dulu aku selalu menyingkat nama depanku. Lagian,
orang lebih senang memanggilku Jabrik, sampai kemudian kamu memanggilku Peri.
Oh … syukurlah, kamu sekarang sudah mengingatku. Bertahun-tahun aku mencarimu.
Bahkan, aku ikutan coverboy, dengan harapan kamu kemudian bisa mengenaliku dan
menyuratiku. Tapi, nggak ada. Tau nggak, setelah pisah dengan kamu, aku selalu
berusaha mencari penggantimu. Aku pengin punya teman bernama Sisil. Tapi, nggak
ada yang seperti kamu.”
Aku tersenyum. “Sekarang setelah ketemu, apa yang akan kamu lakukan?”
“Aku ingin kita bisa dekat lagi seperti dulu. Bahkan, kalau bisa …. Eh,
ada senior yang datang … Jadi, itu kesalahanmu?! AYO, TUTUP MATAMU!”
Aku terpaksa menahan tawa, mendengar nada suaranya yang tiba-tiba
meninggi itu. Aku nggak peduli lagi, gimana Peri yang pertama singgah dalam
hidupku ini, mengajakku berlari kembali menuju perkemahan. Aku gembira, tanpa
bisa kujelaskan bentuknya.
Dan, perpeloncoan ini jadi nggak terlalu mengerikan buatku. Apalagi
Kemal, eh Peri, sempat berbisik tadi, “Kalau kena hukuman, cepat cari aku. Biar
kamu nggak sampai dimacam-macamin yang laen!”
Hihihi …, curang sebenarnya. Tapi biar gimana juga, tugas seorang Peri di
mana pun, memang harus menolong, sih!
***
Tentang Sebuah NamaPemenang 3 Lomba Cerpen ANITA CEMERLANG 1991
AVANZA hitam metalik, berhenti di depan rumah Olin. Seorang cowok
bertubuh atletis keluar dari mobil itu, lalu disambut Olin di pintu masuk.
Semenit kemudian, Olin pergi bareng cowok dengan Avanza hitam itu.
Fira mengerutkan
kening sesaat. Siapa cowok itu? Sudah dua kali ia memergoki kedatangan cowok
itu dari jendela kamarnya. Setelah menimang-nimang sebentar HP-nya, Fira
mengurungkan niat menelepon sahabat kentalnya itu.
Mendingan gue
selidikin aja tuh cowok, Fira membatin.
Sambil membawa novel
tinlit terbaru, Fira melenggang ke rumah Olin di seberang rumahnya. Mamanya
Olin, Tante Vena, menyambut Fira dengan senyum ramah di ruang tengah.
“Olin baru aja
berangkat ke Goethe,” ujar Tante Vena.
“Nggak apa-apa kok,
Tan. Cuma mau balikin buku yang Fira pinjem,” kata Fira sambil mengacungkan
novel di tangannya.
“Simpen aja di kamarnya.”
“Iya, Tan. Mau sekalian liat-liat yang lain.”
Fira dengan bebasnya masuk ke kamar Olin. Persahabatan mereka sudah
terjalin sejak kecil. Jadi, saling masuk kamar tanpa harus ada penghuninya,
sudah lumrah. Begitu di dalam kamar Olin, Fira menjalankan rencananya. Ia
menjelajahi segala penjuru kamar itu, sampai akhirnya … Ketemu! Yup, diary Olin
akhirnya ditemukan di rak buku paling bawah.
Hm …, dari mana mulainya, nih? Nah, ini dia!
Reboke, 6 Oktober
…Kelas Deutch gue udah dimulai hari ini. Rasa-rasanya, gue akan betah di
kelas ini. Soalnya, gue kebagian guru yang oke. Selain itu, teman-teman sekelas
gue juga oke-oke banget. Tapi, satu yang paling oke. Namanya Donny.
Aduh, Fira pasti nyesel banget, kalo tau gue sekelas ama cowok secakep
Donny. Salah sendiri, kenapa nggak mau ikutin gue kursus di Goethe. Pake alasan
takut bosen segala lagi. Gimana mau bosen, kalo sekelas sama yang asyik-asyik
gini ….
Kemishooping, 8 Oktober
Sebel banget deh, si Fira. Duit bulanan gue udah abis buat belanja buku,
eh dia malah nyeret gue ke Semanggi Plaza. Katanya, ada sale gede-gedean! Hah!
Dia sih enak, nggak gitu hobi beli novel … bisanya nebeng baca doang. Jadi,
masih punya uang buat belanja-belenji. Wueeekkk! Untung hati Fira terbuat dari
emas. Gue dibeliin t-shirt warna bluesky yang gue suka. Thx, Fir. Elo baek
banget, deh.
Malemnya gue dapat SMS dari Donny. Isinya bikin gue kaget, “Mlm Minggu gw
blh dtg ga ke rmh elo?” Hah! Secepat ini? Santai aja napa, sih? Kalo sampe
ketahuan Fira, alamat gue kurus kering bulan depan ….
Jumatauk, 9 Oktober
Tadi Donny SMS lagi, soalnya gue dari kemaren nggak bales SMS-nya. Aduh,
ngapain, sih? Ya, gue tolak aja. Gue bilang, kalo gue tuh, nggak bisa nemuin
dia di malam Minggu. Eh, dia malah nyindir, gue mau diapelin cowok gue. Ihhh,
siapa lagi yang punya cowok. Masih jomlo gini juga. Emang sih, kata orang,
tampang gue bukan tampang jomlo. Hihihi …, orang yang ngomong gini, langsung gue
kasih Rp10.000, lho!
Lagian, gue udah janji nonton konser Idol di Balai Sarbini malam Minggu
ama Fira. Gue sih, nggak bilang-bilang ke Donny. Kalo dia nekat ngikutin, bissa
berabe. Iihhh, gue masih terikat kontrak ama Fira, yang bisa bikin gue kurus kering
kalo ketahuan naksir Donny…. Au ah, gelap!
Seninekadz, 10 Oktober
… Kelas Deutsch gue hari ini, seru banget gara-gara Donny. Dia terus
salah mulu, nyebutin bacaan dalam bahasa Jerman. Mungkin saking fasihnya
ngomong Inggris, dia jadi keseleo lidah. Padahal, bacaan Jerman ama Indonesia
tuh, mirip.
Pulang Goethe, Donny nawarin gue pulang. Nggak, ah. Gue belum kenal siapa
dia. Enak aja. Nanti gue diculik, gimana?
Sampe di rumah, Fira datang ngebawain gue roti-roti enak dari Breadtalk.
Yummy….
Selasabingung, 11 Oktober
…Donny telepon ke HP, pas gue jalan ama Fira ke pameran buku. Untung aja
baterai gue langsung ngedrop. Jadi gue nggak ketauan Fira, deh….
Rebosunyi, 12
Oktober
… Donny nggak masuk
kelas Deutch. Ih, rasanya kok sepi, sih! Aduh, gue kenapa, ya? Ujug-ujug nggak
semangat gini? Pengin SMS dia, tapi gengsi, ah! Ujung-ujungnya, gue merasa
bersalah sama Fira. Selama dia ceritain pengalaman lucunya tadi, gue asli nggak
bisa ketawa. Untung ceritanya cuma lewat HP….
Jumatkaget, 14
Oktober
… Donny SMS. Gue
ampe loncat-loncat sendirian kayak orang gila di kamar. Tapi begitu baca
isinya, giliran gue yang bingung. ‘Blh ga mlm Minggu ke rmh elo?’ dan gue
buru-buru jawab, ‘Nggak bisa’….
Seningubraks, 17
Oktober
… Donny jemput gue!
What’s? Iya, beneran! Nggak ada janji sebelumnya. Tau-tau dia nongol dan jemput
gue. Penginnya sih, marah. Tapi, mulut gue kok, malah ngerapet terus. Aduh,
gimana ya, kalo Fira tau? Mudah-mudahan dia tadi tidur siang!
Pas pulang kursus,
gue langsung ngacir! Jangan sampai gue ketangkep basah sama Fira … Tapi, gimana
ya, kalo Rebo nanti si Donny ngejemput gue lagi??? Huaaaaaa!!!
Selasaduh, 18
Oktober
… Ini emang gila
banget! Masa gue udah merasa ada sesuatu yang lain di hati gue. Baru kali ini
gue ngalamin hal kayak gini. Fenomena! Aduh, semua gara-gara Donny! Gue
bingung, neh. Pengin cerita ama Fira, nanti gue malah jadi kurus kering.
Lagian, kenapa sih namanya harus Donny??? Wah, kalo gue jadian sama dia,
berarti nanti gue harus backstreet dari Fira ….
Fira mendengus
kesal. Ia menutup diary Olin dan mengembalikan ke tempat semula. Ia
meninggalkan kamar Olin dengan dada berguruh.
***
“POKOKNYA, gue nggak
mau punya cowok, kalo namanya bukan Donald. D-O-N-A-L-D!”
“Jangan asal gitu
kalo ngomong! Hari gini, nyari cowok yang namanya Donald itu, susah tau!
Apalagi di Indonesia!” sergah Fira.
“Siapa bilang susah?
Kalau emang nggak ada di sini, ya berarti gue harus nyari di Internet. Gampang,
tinggal klik, kan?”
“Kalo ternyata elo
jatuh cinta sama cowok yang namanya bukan Donald?”
“Nggak mungkin!”
“Kalo terjadi?”
“Biar nanti uang
jajan gue selama tiga bulan, elo ambil semua, deh!”
“Janji, ya! Gue
catet, nih!”
“Dan, kalo gue dapat
cowok namanya Donald, elo yag harus nyerahin uang jajan selama tiga bulan.”
Ikrar itu
diteriakkan Olin sekitar tiga bulan lalu. Tepat saat Olin menyatakan diri
sebagai pengagum berat Donald Duck. Olin memang bukan penggemar sembarangan
kartun bebek itu. Seisi kamarnya pun, mulai diganti pernak-pernik berbau Donald Duck.
Dan, kini ….
Kenapa dia harus
membohongiku? Kenapa ia menutup semua ini sendiri? Bukankah aku sahabatnya? Apa
artinya semua ini?
Fira mendesah sambil
menatap langit-lagit kamarnya. Persahabatan sejak kecil, membuat mereka tak
pernah saling menyimpan rahasia. Bahkan, ketika Fira mendapat haid pertamanya,
justru Olin yang diberi tahu pertama kali.
Fira tak habis
pikir, kalau ketakutan Olin, semata-mata lantaran uang jajannya!
“Aku harus ngebales
dia!” teriak Fira sekeras-kerasya di kamar.
***
“Tumben pagi gini.
Olin masih mandi.”
“Mau nyalin pe-er,
Tan.”
Fira masuk ke kamar
Olin setelah melempar senyum mamanya Olin. Sementara dari kamar mandi,
terdengar guyuran shower. Fira buru-buru mencari HP Olin di laci meja belajar.
Begitu ketemu, dia langsung membuka inbox dan menemukan SMS dari Donny yang
belum dihapus Olin. Buru-buru Fira menyalin nomor Donny ke HP-ya.
“Biar tau rasa!”
gumamnya sambil terseyum.
***
“Ini Donny?”
“Siapa, nih?”
“Fira.”
“Fira? Kayakya, gue
pernah denger nama elo. Ng ….”
“Gue sobatnya Olin.”
“Ya, betul. Olin
beberapa kali cerita tentang elo. Ada apa, nih?”
“Gue pengin ketemu
elo. Sejam lagi di Café La Toya.”
“Wah, gue nggak
bisa.”
“Kalo gitu,
selamanya elo nggak akan bisa jadi pacar Olin. Udah, ya! Jangan bilang-bilang
Olin. Ini top secret!”
“Eh, tunggu dulu ….”
***
“Jadi, elo beneran
naksir Olin?”
Fira menunggu
jawaban Donny. Diperhatikannya cowok atletis dengan rambut jabrik di depannya.
Keren abis! Boleh juga selera Olin!
“Begitulah. Dan. elo
serius bisa bantu gue jadi pacarnya? Terus, gimana elo bisa tau kalo gue naksir
Olin?” Donny balik bertanya.
“Tentu aja, gue ini
sobatnya Olin. Kenapa nggak? Itu gampang banget!” timpal Fira yakin. Ya, dari
diary yang dibacanya, Fira sudah tahu isi hati Olin.
“Kenapa sih, elo
pengin banget bantuin gue jadian sama Olin?”
“Ya, karena nama elo
Donny!”
“Ada apa dengan nama
gue?”
Fira tak segera
menjawab. Ia menyeruput banana-split pesanannya.
“Nama gue kampungan,
ya?” tanya Donny bingung.
“Nggak, kok. Ini
soal janji doang. Dulu banget sebelum ketemu elo, Olin pernah bilang, cuma mau
pacaran dengan cowok yang bernama Donald. Soalnya, dia suka banget Donald
Bebek. Kalo dia melanggar, dia harus nyerahin uang sakunya selama tiga bulan ke
gue.”
“Ooo, gitu! Seru
juga. Kalo elo yang kalah?”
“Ya, gue melakukan
hal yang sama!” Fira terus tersenyum penuh semangat.
“Wah … kalo gitu,
elo yang harus nyerahin uang jajan elo ke Olin ….”
“Kok?”
“Soalnya, nama asli
gue Donald Saputra. Donny itu sama panggilan atau nama yang gue pake di
tempat-tempat nggak resmi. Sebenarnya, gue nggak gitu suka nama Donald.
Abisnya, dulu temen-temen sekelas manggilnya jadi lain. Kalo nggak dipanggil
Donald Bebek, pasti McDonald. Makanya, gue suka ngenalin diri dengan nama
Donny. Gue sendiri bingung, kenapa dulu bokap gue ngasih nama itu.”
Fira masih
membelalakkan matanya dengan mulut menganga. Kenapa posisinya jadi berbalik
begini?
“Ini KTP gue kalo
elo nggak percaya.” Donny menyodorkan KTP ke arah Fira.
Dengan sedikit
lirikan, Fira bisa membaca nama di KTP itu. Ya, Donald Saputra! Makin
lemaslah tubuh Fira.
“Sekarang, elo masih
mau bantu gue dapetin Olin atau malah mau nyingkirin gue? Moga-moga elo tetap
bantuin gue. Soal bayaran taruhan itu, biar nanti gue yang ganti. Pokoknya, elo
bantu gue dapetin hati Olin ….”
“Beneran nih, elo
mau bayarin taruhan gue?”
“Iya!”
Fira lega. “Thanks.
Terus, elo mau bantu gue juga nggak?”
“Apaan lagi?”
“Elo punya temen
cowok yang namanya Conan, nggak? Soalnya, gue lagi tergila-gila ama komik
Detektif Conan, nih!” ujar Fira dengan muka serius.
Dasar Fira! Dia
sengaja cari-cari topik baru untuk mengalihkan percakapan dari kesialannya,
lantaran ternyata Olin benar-benar bakal mendapatkan cowok bernama Donald!
***
Sepasang Lulugu Biru
Pemenang 1 Lomba Cerpen Anita Cemerlang 1993
“HEH! Gue punya kejutan buat elo.”
“HEH! Gue punya kejutan buat elo.”
Rara mendongakkan
kepala dari komik Asterix-nya. Dilihatnya Ludi masuk dengan senyum khasnya.
Membuat Rara urung melemparkan beker di atas meja karena kekurangajaran cowok
itu, seenak hati masuk ke kamar. Sudah berulang kali sebenarnya Rara
mengingatkan Ludi bahwa mereka bukan lagi anak kecil dan mestinya mengerti yang
namanya privacy.
“Simpan dulu komik
ini. Nggak bakal lari!” paksa Ludi. Tangannya menarik komik yang dipegang Rara.
Rara menguntit Ludi.
Semoga kali ini kejutannya bukan yang aneh-aneh. Tahun lalu, Ludi memberi kado
ulang tahun yang membuat mukanya merah. Setengah lusin buku pengetahun tentang
seks! Mana Rara membukanya di depan puluhan pasang mata lagi.
Ludi terus berjalan
ke luar rumah. Ia baru berhenti di depan VW kodok biru tosca, kado ulang tahun ketujuh belas Rara
dari papa dan mama sebulan lalu. Ludi membuka pintu mobil.
“Nah, perhatiin deh,
di dalam. Ada yang berubah, kan?” tunjuk Ludi sambil tetap tersenyum. Ia yakin,
kali ini Rara akan terkejut bercampur senang karenanya.
Rara memerhatikan
satu per satu ruang dalam mobilnya. Jok kursi, koleksi kaset, dan tumpukan
komik sudah ada dari kemarin. Tapi… mata Rara membelalak sewaktu melihat
rangkaian bunga imitasi yang menggantung di kaca spion dalam mobil. Dadanya
serasa sesak.
“Ludi! Elo buang
kemana Lulugu Biru gue? Trus, siapa suruh elo masang bunga jelek itu di dalam
mobil?!” teriakan Rara menyengat kuping Ludi. Untung, nggak ada benda yang bisa
dilempar ke arah Ludi.
Ludi buru-buru masuk
ke mobil, mengambil bunga plastik yang ia gantung. Sementara, didengarnya Rara
terus memakinya habis-habisan.
“Elo emang nggak tau
diri banget! Nggak tau malu! Pokoknya, jangan temuin gue sebelum ngembaliin
Lulugu Biru itu!”
“Lulugu Biru?” tanya
Ludi. Ia bingung karena omelan Rara bercampur dengan mata yang basah.
“Boneka biru yang
elo culik itu, Bego!” Rara cepat membalikkan badannya dan menghamburkan diri ke
dalam kamar.
Boneka yang berjajar
rapi di dekat tempat tidur, tak mampu menghibur kesedihan Rara. Buat Rara,
lebih baik ia kehilangan semua boneka mahal di kamarnya ketimbang Lulugu Biru.
Boneka itu memang tampak tak berharga. Cuma sekecil telunjuk tangan Rara,
dibuat dari kain satin berwarna biru. Tapi, kenangan manis yang menyertai
Lulugu Biru, tak akan pernah dilupakan Rara. Tak pernah!
Rara masih ingat
saat sembilan tahun lalu, ia selalu merengek agar Bunda Ris mendongeng kisah
Lulugu Biru setiap malam. Ia juga tak bisa melupakan, saat penghuni panti
asuhan lainnya memandangnya iri karena Bunda Ris menghadiahinya sepasang boneka
Lulugu Biru.
“Sengaja Bunda
memberikan sepasang boneka ini hanya kepadamu. Karena, cuma kamu yang suka
kisah Lulugu Biru,” kata Bunda Ris saat memberikan sepasang Lulugu Biru. “Jaga
baik-baik keduanya.”
Rara pun masih ingat
saat ia menangis seharian—dua hari sebelum kepindahan Rara ke rumah mama dan
papa yang mengangkatnya—karena satu dari sepasang bonekanya hilang. Itu
sebabnya, ia bertekad menjaga sisa satu boneka yang ia miliki.
“Rara, kamu nangis?”
Suara Mama yang menyembul di pintu kamar, mengejutkan Rara.
Rara menyeka matanya. Ia pernah berjanji dalam
hati, nggak akan pernah nangis di depan mama lantaran akan membuatnya sedih.
“Mama dengar kamu
marah-marah tadi,” ujar mama seraya mendekati Rara. Dibelainya lembut tangan
Rara.
“Ludi cari gara-gara
lagi, Ma. Lulugu Biru yang Rara gantung di mobil, dia ilangin,” tutur Rara. Ia
menyesal memindahkan boneka itu dari kamarnya.
Mulanya,
lantaran beberapa hari ini ia sering bepergian dengan mobilnya, Rara merasa
perlu memindahkan Lulugu Biru, agar senantiasa berada di dekatnya.
“Tapi, nggak usah
sampai maki-maki Ludi gitu, Ra. Jangan sampai kesalahannya nggak kamu maafkan.”
“Ini kesalahan
besar, Ma. Cuma Lulugu Biru yang bisa menenteramkan Rara bila teringat panti,
Bunda Ris, dan ….” Rara memutus kalimatnya begitu melihat mata mama. Mama
memang tak pernah mau mendengar Rara mengenang panti itu.
“Ludi terlalu baik
untuk kamu musuhi, walaupun dengan kesalahan sebesar apa pun, Ra. Ingat, siapa
yang jadi teman perjalananmu pulang pergi ke sekolah sejak SD sampai sekarang?
Siapa yang membelamu, kalau teman-teman mengejek kamu anak angkat, Ra? Siapa
….”
Rara membiarkan mama
menghitung-hitung kebaikan Ludi. Sementara pikirannya tertuju pada Lulugu Biru
yang hilang.
***
LUDI termangu
menatap boneka koyak di tangannya. Ia bingung lantaran Rara nggak pernah cerita
bahwa boneka itu amat berarti. Padahal selama ini, hampir nggak pernah ada
rahasia antara mereka.
Aku harus segera
mengembalikan boneka ini, biar muka Rara nggak cemberut lagi, batin Ludi. Yang
sudah-sudah, Rara sering menghukumnya bila ia marah. Dan, itu sangat tak
diinginkan Ludi.
Ia mengingat-ingat
kepada siapa bisa minta tolong membetulkan Lulugu Biru yang koyak. Rasanya,
mustahil memperbaikinya, tanpa menggantinya dengan yang baru. Untung, Ludi
ingat saudara sepupunya yang kuliah di Fakultas Seni Rupa. Sore itu juga, ia
bergegas menuju studio tempat Wibi sering berkumpul.
Ludi senang sewaktu
tiba di studio langsung bertemu Wibi. Tanpa basa-basi, ia langsung mengajukan
permohonan. “Tolong deh, Bang Wibi, boneka ini kalo bisa dibetulkan secepatnya.
Abis bingung, minta tolong ke siapa lagi, nih,” kata Ludi dengan muka memelas.
Kalau nggak gitu, ia nggak yakin Wibi mau menolong.
“Aduh, Di, kalo
materi kain gini, gue nggak bisa. Kecuali, boneka ini dibuat dari gips, kayu,
atau keramik,” timpal Wibi setelah mengamati boneka yang disodorkan Ludi. Tapi,
Wibi tak tega membiarkan sepupunya itu tampak cemas. Ia berjalan mendekati
temannya yang tekun mendesain mainan anak. “Res, elo bisa membetulkan boneka
ini, nggak?”
Resnu yang terusik,
mulanya nggak ingin menghiraukan. Namun, mendadak raut mukanya berubah saat
melihat boneka di tangan Wibi. Tangannya langsung meraih boneka itu.
“Boneka siapa ini?”
tanya Resnu cepat. Keningnya berkerut.
“Gue nggak tahu.
Sepupu gue yang bawa. Barangkali punya adik pacarnya. Kenapa emangnya?” Wibi
bingung melihat reaksi Resnu.
Resnu mendekati
Ludi. Ia memerhatikan dengan saksama cowok yang duduk dengan pandangan penuh harap kepadanya. “Elo
tau nama boneka ini?” tanya Resnu seperti orang yang sedang menguji.
“Ya. Lulugu Biru.”
Ludi menyebut nama yang diingatnya.
“Gue sih, bisa aja
betulin boneka ini. Asal, elo mau janji.”
“Janji apa?” Ludi
belum mau memberi kepastian.
“Ngenalin gue ama
pemilik boneka ini.” Di benak Resnu, langsung terlintas bayangan seorang anak
kecil dengan mata bundar dan suara tangis yang menggemaskan. Seperti apakah dia
kini? Cantikkah?
Ludi mengerutkan
kening. Ia yakin, Resnu sudah mengenal Rara dari cara Resnu memandang Lulugu
Biru. Tapi, apa hubungan mereka? Ludi yang mengenal semua teman Rara menjadi
bingung.
“Gimana?” tanya
Resnu menyentak Ludi.
Ludi mengangguk
tanpa ragu-ragu. “Kapan kira-kira selesainya?”
“Besok sore, gue ke
rumah elo. Gue jamin, bonekanya udah jadi,” jawab Resnu sambil senyum.
Senyum Ludi jauh
lebih mengembang.
***
RESNU nggak pernah
bisa ngelupain Tara. Si Mata Bundar yang sering minta perlindungannya. Resnu
berdoa setiap malam, agar mereka nggak dipisahkan. Tapi, doa memang ada yang
dikabulkan dan nggak. Ia amat kecewa, begitu tahu Tara akan diangkat oleh
sepasang suami-istri kaya.
“Kamu jangan sedih.
Masih banyak Tara lain yang bisa kamu jadikan adik,” hibur Bunda Ris setelah
kepergian Tara.
“Apakah Resnu bisa
mendapatkan alamat Tara, Bunda?” tanya Resnu. Ia ingin sekali bisa menemui Tara
suatu saat nanti.
“Itu melanggar
aturan, Resnu. Orangtua angkat Tara nggak menghendaki hal itu. Dan mungkin,
Tara pun sudah ganti nama. Berdoalah agar suatu hari Tuhan mempertemukan
kalian.”
Ah, kalo begitu,
biarkan Tara yang kelak mendatanginya. Resnu nggak akan pindah ke rumah siapa
pun karena ia sudah terlalu besar untuk diadopsi. Ia memang nggak tahu kalau
Tara kemudian menjelma menjadi Rara, lalu pindah dari kota kecil itu ke
Bandung.
Namun, pertemuan
yang sudah diatur Tuhan memang tak ada yang menduga. Setelah sekian lama menunggu, begitu lulus
SMA, ia memutuskan kuliah di Bandung dengan biaya sendiri. Resnu mencoba
mencari Tara di sela perjalanan hidupnya.
Siapa sangka ada Ludi, penghubungnya.
Buru-buru Resnu
meninggalkan indekosnya begitu melihat matahari sore. Kedatangannya ternyata
amat diharapkan Ludi.
Seharian ini, Ludi
sudah uring-uringan diperlakukan Rara. Dimulai pagi tadi saat Rara berangkat ke sekolah duluan, tanpa menunggunya.
Dan, di kelas, Rara duduk di ujung belakang menjauhi Ludi. Pulangnya, Ludi kehilangan jejak Rara. Benar-benar komplet
hukuman Rara untuknya.
Maka, nggak ada yang
menggembirakan Ludi saat ini, selain melihat Lulugu Biru dalam keadaan seperti
semula.
“Gue udah nepatin
janji. Giliran elo yang nepatin janji sekarang,” ungkit Resnu, setelah
membiarkan Ludi girang sesaat.
Ludi diam. Ia
sendiri masih bingung, apakah Rara akan menerima dirinya atau nggak. Yang
penting, memang harus dicoba dulu. Bergegas ia mengajak Resnu ke rumah sebelah.
Dari pintu pagar, ia melihat Rara sedang bersiap-siap membersihkan VW-nya.
“Rara!”
“Heh, ngapain elo ke
sini? Bawa-bawa orang segala! Udah elo temuin belum Lulugu Biru?!” hardik Rara
sambil bertolak pinggang. Tangannya menghempas selang yang dipegang.
“Nih, boneka elo,”
Ludi menyerahkan Lulugu Biru kepada Rara yang tetap memasang wajah angker. “Gue
udah dimaafin, kan?”
“Enaknya! Nggak
segampang itu!” Rara berteriak. Ia membalikkan badannya dan siap masuk ke
rumah.Tapi, telinganya menangkap suara Resnu.
“Tara … Tara ….”
Resnu yang terdiam beberapa saat, terpana melihat sosok remaja Rara, akhirnya
bersuara didorong kerinduannya.
Rara menoleh. Nama
itu memang sudah lama tak didengarnya, tapi kenangan di panti tak pernah
dilupakannya. Juga nama itu. Nama masa kecilnya di panti. Ia mengamati cowok
yang datang bersama Ludi. Siluet masa lalu, mengungkit kenangan pemilik dagu
dengan gurat luka yang pernah Rara gores dulu.
“Kak … Resnu?” Rara
ragu-ragu sejenak. Tapi, begitu hatinya yakin, ia langsung menggamit tangan
Resnu tanpa sungkan. Rara bahagia banget menemukan sepenggal perjalanan
hidupnya yang hilang. “Masuk yuk, Kak Res! Iiih, gimana ceritanya Kak Resnu
bisa tahu Rara di sini?”
“Ludi yang nggak
sengaja nemuin kita. Lho, kamu nggak ngajak Ludi masuk?” Resnu bingung karena
Rara tak mengacuhkan Ludi. Spontanitas Rara bergayut manja di lengannya pun
membuat rikuh.
“Ah, dia sih, udah
biasa nyelonong. Kalo mau masuk, ya masuk aja!”
Ludi mengikuti suara
hatinya masuk ke rumah, tanpa berpikir lagi. Ia ingin tahu reaksi Rara
berikutnya.
“Kak Ludi mau minum
apa? Masih suka susu cokelat?” tanya Rara sesaat sebelum berteriak memanggil Bi
Uti.
“Kamu masih ingat
minuman kesukaanku. Padahal, kamu masih terlalu kecil waktu itu,” ujar Resnu
kagum.
“Ih, gimana bisa
lupa dengan Kak Resnu? Yang suka ngebelain Rara kalo diganggu Idon, suka
metikin mangga, suka ….”
“Suka bikin kamu
nangis sampai menjerit-jerit,” timpal Resnu. “Lantas, aku ikut nangis karena
dijewer Bunda Ris.”
Keduanya tertawa dan
tertawa. Sesekali, mereka menyeruput susu cokelat buatan Bik Uti. Obrolan tak
juga beranjak dari kenangan masa kecil mereka. Lambat laun Ludi menyadari, ia
berada pada tempat yang salah.
“Ra, gue pamit
duluan. Ada yang mesti gue kerjakan di rumah,” pamit Ludi beringsut pulang.
Tak ada komentar apa-apa dari Rara. Cuma ucapan terima kasih Resnu atas
kebaikan Ludi mempertemukannya dengan Rara.
Dari kamarnya di
balkon rumah, Ludi melihat Resnu pulang agak larut malam diantar Rara. Ludi
yakin, dengan kegembiraan di hati Rara kini, cewek itu akan manis kembali
kepadanya besok pagi.
***
APA yang diharapkan Ludi semalam, ternyata nggak dikabulkan sepenuhnya.
Memang, Rara sudah mau diajak berangkat bareng ke sekolah. Tempat duduk Rara
pun kembali ke asal, di depan meja Ludi. Cuma, Rara masih irit mengeluarkan
kalimat dari mulutnya.
Ludi nggak berani
mengusikya, takut Rara sewot lagi. Yang penting, ia bisa kembali dekat dengan
Rara. Maka, begitu bel pulang sekolah berbunyi, Ludi langsung mendekati Rara,
agar nggak kehilangan jejaknya lagi. Entahlah … ia kini sering merasa tersiksa
bila berjauhan dengan Rara.
“Jadi nanti sore
kita ke pameran buku?” tanya Ludi mengingatkan Rara pada janji empat hari lalu.
“Kayaknya sih nggak,
deh,” jawab Rara tak yakin. Langkahnya semakin cepat memburu pintu gerbang.
Bahkan, Rara harus menubruk beberapa orang.
Ludi terkejut
sewaktu melihat Rara menyeberang jalan, menghampiri seorang cowok dengan mobil
van. Resnu! Rupanya, Rara sudah janjian akan dijemput. Ludi menelan ludahnya.
Ia cuma mengangguk ketika Resnu melambaikan tangan ke arahnya. Sekejap
kemudian, mereka sudah hilang.
Ludi terpaksa pulang
sendirian. Pantas, tadi pagi Rara nggak mau membawa VW-nya. Dia malah ngotot
ingin naik angkot.
Di rumah, Ludi masih
berharap Rara ingat janjinya ke pameran buku bersama. Tapi, hampir larut malam, dari kamarnya Ludi
melihat Rara baru pulang diantar Resnu. Ludi baru tahu ke mana mereka pergi,
ketika bertanya esok paginya.
“Ke Sumedang. Elo
tau kan, dulu gue diangkat dari kota kecil itu!” tukas Rara ketus.
“Tapi, elo bisa
pulang dulu, kan?”
“Elo jangan sok
ngatur, deh! Gue udah minta izin mama sebelumnya. Elo pikir gue nggak tau
aturan?” Rara memang bisa meyakinkan mama bahwa kenangan masa kecilnya nggak
perlu ditutupi lagi.
Ludi terdiam. Ia
nggak mau bertengkar lagi. Apalagi mereka lagi di angkot. Seperti yang diduga
Ludi, pulang sekolah ternyata Rara dijemput Resnu. Itu terulang terus esok,
esok, dan esoknya lagi. Nyaris nggak ada waktu Rara tersisa untuk Ludi. Ludi
jadi menyesal dengan tindakan konyolnya menukar Lulugu Biru.
Padahal, sewaktu
Rara menginjak usia tujuh belas, Ludi sudah berniat menjalin lebih manis lagi
hubungan mereka. Tak ada gadis lain yang memikat hatinya, selain Rara.
Apakah Rara dan
Resnu saling jatuh cinta? Itu nggak mustahil. Apalagi mengingat kebersamaan
mereka yang berlebihan. Bukankah hasrat yang timbul di hati gue juga karena
kebersamaan? Kalo memang demikian, gue harus melupakan hasrat di hati gue.
Asalkan Rara bisa bahagia karenanya, Ludi membatin.
Cuma, sewaktu ia
ngobrol dengan Wibi, kegentaran hatinya kembali terusik.
“Resnu pacaran
dengan Rara? Ah, gue rasa cuma temporal. Yang udah-udah, Resnu nggak pernah
serius dengan cewek lebih dari sebulan,” tutur Wibi datar.
Cerita itu membuat
Ludi gelisah melebihi sebelumnya. Gimana kalo Resnu benar-benar ninggalin Rara?
Gimana kalo hati Rara terluka? Ludi nggak bisa menerima hal itu. Tapi, usaha apa yang bisa dilakukan untuk
mencegahnya? Rara pasti akan bilang Ludi kekanak-kanakan, bila menceritakan
reputasi Resnu yang ia ketahui dari Wibi. Lagi pula, agak sulit membuka
percakapan dengan Rara pada posisi yang tak menguntungkan kini.
Sore sedang hujan,
sewaktu Ludi menemukan satu cara yang ia yakini keberhasilannya. Ia harus
menemui Resnu.
***
RESNU pernah
melakukan kesalahan terhadap Rara di masa kecilnya. Karenanya, ia amat berharap
bisa berjumpa dengan Rara. Tapi begitu pertemuan digariskan Tuhan, Resnu masih
perlu waktu untuk mengakui dosanya.
Kini, di sebuah kafe
yang berdiri di Jalan Dago, Resnu merasa kesempatan itu telah tiba.
“Maafkan aku
sebelumnya, Ra. Aku ingin mengakui kesalahan kecilku dulu. Aku … akulah yang
mencuri salah satu boneka Lulugu biru milikmu. Waktu itu lagi bingung banget
karena merasa sedih bakal kehilangan kamu. Karena aku nggak tahu kenangan apa
yang akan kuperoleh, maka kucuri diam-diam bonekamu,” tutur Resnu hati-hati.
Rara terpana.
Matanya menembus kaca jendela kafe. Di luar hujan turun. Ia ingat, hujan pun
turun sewaktu ia menangis saat salah satu Lulugu Birunya hilang. Rara tak
pernah menyangka bahwa bonekanya itu telah dicuri oleh orang yang telah
dianggapnya sebagai kakak. Ludi yang konyol itu juga mengambil Lulugu Biru,
tapi Ludi tak pernah tahu makna boneka itu bagi Rara. Sementara Resnu tahu,
betapa berartinya boneka itu buat Rara.
“Kamu nggak mau
maafin aku, Ra?”
Selalu perlu waktu
bagi Rara untuk memberi maaf kepada orang lain. Sekalipun itu kepada orang yang
amat dekat dengannya. Rara merasa hidungnya tersumbat tiba-tiba. Ia langsung
pergi ke toilet. Namun, ketika kembali ke tempat duduknya, ia tak menemukan
Resnu. Ada secarik kertas di dekat cangkir kopi susu Resnu.
Ra, aku harus ke
Jakarta. Kuharap, waktu seminggu cukup untuk berpikir dan mau memberiku maaf.
—Resnu—
Resnu mengendarai
kencang mobil van-nya tanpa memedulikan hujan. Ia harus segera konsentrasi pada
rencana pamerannya di Jakarta. Resnu berusaha melupakan sementara, beban yang
mengganjal di hatinya.
Sampai di tempat
indekosnya, Resnu terkejut mendapatkan Ludi menunggu di depan kamar indekosnya.
Ia segera mengajak Ludi ke dalam kamar. Resnu mencoba menebak maksud kedatangan
Ludi, sambil mengganti pakaiannya yang basah.
“Bang Wibi bilang,
Kak Resnu akan ke Jakarta besok. Makanya, aku langsung ke sini,” kata Ludi
langsung.
“Pasti penting. Soal
apa, Di?” tanya Resnu langsung. Pengalamannya mengajarkan, ia tak perlu
menutup-nutupi satu hal.
“Soal Rara.
Tepatnya, soal hubungan Rara dengan Kak Resnu.”
Resnu tersenyum.
Cowok di depannya tampak cukup kuat mental untuk mengutarakan kegelisahannya.
“Kami memang akrab. Tapi, jangan elo salah tafsirkan hubungan kami. Sejak dulu,
kini, dan sampai kapan pun, gue nggak akan mengubah pendirian gue. Gue hanya mengangap
Rara sebagai adik. Nggak pernah lebih,” ucap Resnu kemudian.
Ludi menghela napas.
Ia jadi malu dengan prasangkanya.
“Dan elo, Di? Elo mencintai Rara, kan? Sudah gue baca dari mata elo sejak
pertemuan pertama kita. Sayang, elo terlampau rapuh. Elo kurang mempertegas
sikap dan posisi elo sebagai cowok .… ”
“Kak Resnu tahu itu?” Ludi melupakan tingkat kedewasaan dan pengalaman
Resnu.
“Dari cerita-cerita Rara tentang
elo. Hanya elo yang sering ia ceritakan selama kami berduaan. Sayangnya, elo
nggak nyadar. Rara bukan cuma menginginkan seorang pengawal, melainkan juga
orang yang bisa ngebimbingnya, tanpa gentar dengan kemanjaannya itu. Hal itu
yang diharapkan Rara dari elo. Percaya deh, hanya elo yang ia cintai.” Resnu
berusaha membesarkan hati Ludi.
Ludi berusaha mencerna kalimat Resnu.
Sesungguhnya, Resnu tak sejauh itu tahu perasaan Rara terhadap Ludi.
Tapi, apa salahnya ia membantu Ludi. Paling nggak, menyambung kembali ikatan
mereka yang sempat goyah lantaran kehadirannya. Resnu sadar, Rara memperalatnya
untuk menghukum Ludi, tapi Rara kurang pandai menyembunyikan perasaannnya
sehingga kerap bicara mengenai Ludi di depan Resnu.
Ludi tak bisa membuka mulut. Jadi, betapa bodohnya ia selama ini. Larut
dalam ikatan persahabatan sejak kecil sehingga tak menyadari adanya tuntutan
yang berbeda dalam ikatan tali kasih.
“Ludi, gue minta tolong, serahkan boneka ini kepada Rara. Gue nggak
sempat lagi menemuinya besok.” Tahu-tahu, Resnu menyerahkan sebuah boneka yang
diambilnya dari laci.
“Lho, Lulugu Biru ini kan, udah dikasih ke Rara seminggu lalu?” Ludi
bingung.
“Biar Rara yang nanti jelasin. Heh … elo udah pernah denger dongeng
Lulugu Biru dari Rara?”
Ludi menggeleng.
“Dongeng kompletnya gue nggak terlalu inget. Secara garis besar, itu
kisah tentang seorang putri raja yang diberi hadiah oleh sang Peri Biru.
Hadiahnya sepasang boneka bernama Lulugu Biru. Suatu hari, salah satu bonekanya
hilang. Raja mengadakan sayembara, siapa pun yang menemukan boneka itu, akan
dijadikan pangeran. Ternyata, boneka itu hilang di istal istana. Penjaga kuda
yang memang sahabat sang putri, beruntung menemukan boneka itu. Ia akhirnya
menjadi pangeran ….”
Kisah yang indah, Ludi membatin. Ia jadi ingin segera menyerahkan Lulugu
Biru di tangannya kepada Rara. Dan … menjadi pangeran di sisi Rara!
***
Pangeran Untukku
BEL tanda bubar siswa-siswa SMA TOP sudah berbunyi beberapa menit lalu.
Satu kelas masih berkutat dengan pelajaran tambahan. Sebagian besar siswa sudah
pulang, dan sebagian lagi masih berbetah-betah di sekolah.
“Ema, kamu akan datang ke pesta Ester, kan?” tanya Marlin saat keluar
dari pintu perpustakaan, usai mengembalikan beberapa buku yang dipinjamnya.
“Entahlah,” jawabku singkat. Sejak menerima kartu undangan dari Ester,
aku memang sudah ragu akan memenuhi undangan itu. Ada persyaratan dalam
undangan itu yang nggak bisa kupenuhi. Undangan harus datang bersama
pasangannya.
“Kamu nggak yakin karena nggak punya pasangan, kan? Kita ke lapangan
basket dulu, yuk! Siapa tau Doni bisa ngebantu kamu,” ajak Marlin.
Aku tak menolak. Di sisi lapangan basket, Marlin memanggil Doni. Cowok
itu datang dengan cepat sambil tersenyum. Keringat yang mengalir di lehernya,
mempertegas ketampanannya. Kupikir, alangkah cocoknya pasangan Doni dan Marlin.
Yang satu cantik, satunya lagi seperti Arjuna.
“Kami punya kesulitan. Mungkin kamu bisa bantu, Don. Tentang pesta Ester.
Ema belum punya pasangan buat nemenin dia datang ke sana,” tutur Marlin.
Doni menganggukkan kepalanya sebentar. Ia kemudian berteriak memanggil
salah seorang temannya yang tengah bermain basket. Cowok yang tingginya sedikit
di atas Doni, datang menghampiri.
“Oki, elo belum punya pasangan untuk ke pesta Ester, kan? Kebetulan,
sahabat Marlin juga belum punya pasangan. Oh, iya, kenalkan namanya, Ema!”
Aku mengangguk kecil. Aku sudah tahu nama cowok itu karena cukup populer
di telinga gadis-gadis. Ia juga anggota dream team basket sekolah seperti Doni.
Kabar terakhir yang sampai telingaku, Oki baru putus dari gadisnya.
“Aku belum bisa memberi kepastian, Don. Bagaimana kalau kuberi jawabannya
besok? Pesta itu masih seminggu lagi ini,” sahut Oki sambil menyeka
keringatnya.
“Tak masalah,” timpalku.
Aku dan Marlin segera meninggalkan lapangan basket. Cukup panas juga
udara siang ini. Herannya, Doni dan teman-temannya tetap tahan main basket.
Barangkali itulah yang membuat mereka jago main bola basket karena rajin
latihan.
“Aku nggak akan datang ke pesta Ester kalau kamu nggak datang, Ema,”
gumam Marlin menjelang pintu gerbang sekolah.
“Kamu nggak bisa gitu. Doni akan marah nanti.”
“Makanya, kamu harus mau datang. Eh, itu Ester!” Marlin melambaikan
tangannya ke seberang jalan. Ester menyeberang mendekati kami.
“Marlin, kamu harus membawa Doni ke pestaku nanti. Sekalian ngumumin
bahwa hubunganmu dan Doni serius. Habisnya, udah seminggu pacaran, kamu jarang
terlihat bareng dia di sekolah. Dan … kamu juga harus datang. Aku penasaran
ingin tahu siapa pasanganmu, Grandma,” kata Ester kepadak,u seraya mengibarkan
sisa undangan di tangannya.
Aku cuma tersenyum. Di antara teman sekolahku, cuma Marlin—dan barangkali
Doni—yang memanggil namaku dengan benar. Sisanya, memanggilku dengan julukan
kudapat sejak kelas satu, yakni Grandma alias Nenek!
“Kami akan datang, Ester. Tenang aja. Kamu sendiri akan pasangan dengan
siapa nanti? Alford, Lloyd, Peter ….”
“Hermawan!” Ester memotong kalimat Marlin. “Bukan anak sekolah kita. Ia
teman kuliah abangku di Swiss. Dia jauh lebih segala-galanya dari kunyuk-kunyuk
yang kamu sebutkan tadi. Eh, udah ya. Jemputanku udah datang. Dah, Marlin! Dah,
Grandma!”
Ester masuk ke dalam BMW yang menjemputnya itu dan meninggalkan kami.
“Kamu udah janji pada Ester. Itu berarti, kita harus benar-benar datang,”
kataku kemudian.
“Memang. Pesta ulang tahunnya di Eldorado. Pasti akan ramai. Kamu sendiri
pernah bilang, belum pernah ke pesta ulang tahun teman-teman kita sebelumnya
dan ingin sekali-kali melihatnya.” Marlin mengungkit kalimatku dulu.
“Ya, tapi bukan pesta yang harus dengan pasangan. Kurasa, kalau aku nggak
datang pada pesta Ester, aku bisa melihat pesta ulang tahun teman kita
lainnya.”
“Hm … kita tunggu aja kabar dari Oki besok,” tepis Marlin sambil mencegat
angkutan umum. Kami berpisah karena tujuan kami berlawanan arah. Padahal, aku
masih ingin mengucapkan sebuah kalimat: Kamu baik sekali padaku, Marlin.
***
KETIKA mendengar kabar Oki nggak bisa jadi pasanganku di pesta ulang
tahun Ester, aku nggak merasa sedih ataupun kecewa. Aku sudah menduga
sebelumnya. Mana mungkin salah seorang anggota dream team, mau menjadi pasangan
cewek yang berkacamata dengan bingkai tebal, dengan rambut panjang yang cuma
dikepang tanpa hiasan pita ataupun bando, dan sama sekali nggak populer di
sekolah.
“Tenang, Ma. Aku sudah nyiapin pengganti Oki,” hibur Marlin saat
istirahat. “Semalam, aku udah ngobrol dengan kakakku. Ia kebetulan nggak punya
acara malam Minggu nanti.”
“Kakakmu bersedia? Itu karena, ia belum mengenalku. Kalau ia tahu aku,
pasti ia akan membatalkan kesediaannya itu.”
“Kamu juga belum mengenalnya, kan? Jadi, jangan sembarangan menudingnya
sama seperti Oki. Kakakku baik. Sebagai mahasiswa, meskipun baru tingkat dua,
ia udah bisa berpikir deewasa. Dia dapat menilai gadis yang pantas jadi pasangannya
ke suatu pesta.” Marlin kelihatan agak sewot.
“Maaf, bukan maksudku menuduh kakakmu sejahat itu. Tapi yang jelas, aku
dan kakakmu belum saling mengenal,” kataku buru-buru..
“Bagaimana kalau pulang sekolah nanti, kamu ke rumahku dulu? Hari Selasa
kakakku nggak ada kuliah,” usul Marlin.
Aku mengangguk setuju. Sebenarnya, aku agak khawatir dengan rencana
Marlin. Yang kukhawatirkan, bisa saja kakaknya itu mau memenuhi permintaan
Marlin lantaran setengah dipaksa. Dan itu artinya, kepergian kakak Marlin
denganku nanti nggak tulus. Namun, untuk menolak rencana Marlin, aku nggak
sanggup. Ia pasti sudah setengah mati berupaya mencari pasangan untukku.
Pulang sekolah, aku langsung ke rumah Marlin. Ini kunjungan pertamaku ke
rumahnya. Padahal, kami bersahabat sudah empat bulan, sejak kami duduk sebangku
di kelas dua. Bisa jadi, ini juga untuk pertama kalinya, aku mengunjungi rumah
teman sekolahku.
Sejak dulu, aku memang menutup diri. Setiap ada acara kelas yang
mengharuskan kumpul di rumah salah seorang temanku, aku nggak pernah datang.
Entahlah, aku merasa, kehadiranku tak akan berarti apa-apa. Ada aku ataupun
nggak, semuanya akan berjalan lancar. Begitu pun dengan kegiatan di sekolah. Di
kelas satu, aku cuma ke sekolah untuk belajar. Begitu bel pulang berbunyi, aku
langsung pulang ke rumah.
“Pasti di rumah, banyak sekali cucumu yang harus kamu urus.” Begitu
komentar teman-temanku di kelas satu. Dan, satu per satu, mereka mulai
memanggilku Grandma. Mulanya aku agak risi, tapi lama kelamaan terbiasa juga.
Akan tetapi, sejak mengenal Marlin, sedikit demi sedikit aku mulai
berubah. Dengan segala kebaikannya, Marlin mulai membuka diriku, agar mau
sedikit peduli dengan sekelilingku. Ia beberapa kali mengajakku melihat
pertandingan basket di sekolah, mengajakku ke kantin, dan ngobrol dengan
teman-temanku yang lain.
“Ini kakakku, Ema. Namanya, Budi Sutanto. Aku memanggilnya Kak Budi
tersayang,” ucap Marlin, setelah beberapa menit membiarkan aku duduk sendirian
di ruang tamu. Bersamanya, seorang cowok mendekatiku dan menjabat tanganku.
“N-nama saya Ema ….” Aku agak gugup menyebut namaku sendiri. Sebelum tiba
di rumah Marlin aku sudah berpikir, kalau Marlin sudah secantik bidadari, pasti
kakaknya akan setampan pangeran. Tapi, bayangan yang ada di benakku, ternyata
jauh sekali. Kakak Marlin lebih tampan dari seorang pangeran yang pernah
kubayangkan. Itulah yang membuatku tiba-tiba saja ingin segera pulang dan
menyesal mengenalnya.
“Nah, kalian ngobrol aja dulu. Buat janji, gimana rencana pergi nanti.
Aku mau ganti pakaian dulu.” Marlin meninggalkanku.
Aku jadi ingin tahu, apa yang pantas diucapkan seekor itik buruk rupa
bila bertemu dengan seorang pangeran.
“Marlin banyak cerita tentang kamu. Katanya, kamu cerdas. Kamu sering
mengajarinya pelajaran-pelajaran yang nggak ia ngerti,” kata Kak Budi membuka
percakapan. Ia menatapku lekat-lekat, membuatku makin tak berani melihat
wajahnya.
“Marlin terlalu melebih-lebihkan. Justru Marlin yang baik kepada saya,
Kak Budi. Saya nggak tahu, gimana jadinya kalau Tuhan nggak memperkenalkan
Marlin kepada saya.”
“Yang pasti, kita nggak akan bisa kenalan dan pergi ke pesta ulang tahun
teman kalian itu,” sahut Kak Budi.
“Soal pesta itu, saya nggak keberatan kalau ternyata Kak Budi ingin
membatalkannya,” kataku kemudian.
“Aku sudah janji kepada Marlin. Lagi pula, akan menyenangkan jika pergi
ke sebuah pesta dengan gadis SMA secerdasmu. Atau …, kamu yang keberatan?”
Aku terdiam. Apa yang memberatkanku sekarang? Paling persiapan batin
karena aku yakin, nanti semua mata di pesta akan memandangku aneh.
“Lihat, Grandma ternyata punya seorang cucu yang jadi pangeran!” Begitu
kira-kira komentar mereka.
Dan, aku tentu saja harus siap mendengar itu. Atau, yang lebih
menyakitkan sekalipun. Ketimbang aku harus membuat Marlin kecewa.
“Aku akan menjemputmu pukul tujuh. Pesta itu mulai pukul delapan, kan?
Aku sudah menghitung waktu perjalanan, ditambah kemacetan jalan menuju Eldorado
nanti,” kata Kak Budi lagi.
Aku mengangguk. “Mudah-mudahan, Kak Budi nggak repot karena saya,”
kataku.
Marlin muncul tak lama kemudian. Ia menanyai kakaknya soal rencana ke
pesta itu. Aku memberi tahu bahwa kami sudah membuat janji.
“Bagus. Kalo gitu, beres. Aku juga bisa membuat janji dengan Doni besok.
Oh, iya, gimana kalau pulang sekolah besok, kita cari kado buat pesta ultah
Ester?” ajak Marlin.
“Bisa aja,” jawabku cepat. Dan, aku juga mungkin akan membeli gaun yang
pantas untuk pergi bersama Kak Budi nanti. Belanja bersama Marlin, pasti akan
membantuku memilih mana gaun yang pantas untukku.
***
RABU siang, sepulang sekolah, aku dan Marlin melaksanakan niat belanja
lebih dulu. Aku nggak nyangka, kalau Kak Budi akan menunggu kami di gerbang
sekolah. Dengan mazda putihnya, ia mengantar kami ke BIP. Sebenarnya, itu
keterlaluan. Jarak sekolahku ke Jalan Merdeka, tak sampai dua kilo meter.
“Biar saja Kak Budi mengantar kita. Ia harus terbiasa bersamamu, Ema.
Kamu akan merasa janggal kalau tiba-tiba pergi ke suatu pesta dengan mahkluk
asing, bukan?” gumam Marlin seperti membaca pikiranku.
Tapi, Marlin tak membiarkan kakaknya terus menguntit kami. Menurutnya,
Kak Budi tak boleh tahu gaun apa yang akan kupakai nanti. Kurasa, benar juga
apa yang dikatakan Marlin.
Ada tiga gaun yang kusukai. Marlin membantu menentukan mana gaun yang
terbaik untukkku. Sebuah gaun biru pastel akhirnya kubeli. Sementara, Marlin
membeli gaun dengan warna yang lebih cerah.
Usai belanja, Kak Budi kembali bergabung bersama kami. Sambil menikmati
ayam dan kentang Texas, kami ngobrol banyak sekali. Tepatnya, Kak Budi dan
Marlin berusaha membuatku banyak bercerita karena mulanya aku menjadi pendengar
setia saja.
***
DAN hari ini, sepulang sekolah, untuk pertama kalinya aku mengajak Marlin
ke rumah. Kubawa ia langsung ke kamarku.
“Wah, kamarmu besar sekali! Cuma, seharusnya kamu punya ruang sendiri
untuk buku-bukumu ini, Ema,” komentar Marlin. Ia tersenyum ketika membaca
beberapa buku psikologi populer tentang remaja gaul.
“Aku tertarik membelinya sejak bersahabat denganmu,” kataku.
Sesuai dengan janji, aku mencoba gaun yang kubeli kemarin. Gaun itu pas
untukku, tapi rasanya ada yang janggal ketika aku bercermin.
“Rambutmu lepas dulu, Non. Kamu nggak bisa ke pesta dengan rambut dikepang
begitu. Biarkan rambutmu terurai,” saran Marlin.
“Bagaimana kalau disanggul kecil saja? Rambutku terlalu panjang bila
digerai. Jangan-jangan, nanti aku dikira kuntilanak.”
“Bagaimana kalau dipotong? Jangan terlalu pendek, aku juga tak akan
setuju. Kebetulan, Sabtu siang aku juga punya rencana ke salon.”
Aku berpikir sebentar. Kalau nenek masih ada, pasti ia akan melarang.
Tapi sejak ia meninggal dua bulan lalu, tak ada lagi yang membantu mengurus
rambutku ini. Nenek pasti tak akan marah kalau kupotong rambutku.
“Baiklah,” kataku akhirnya.
“Percayalah, kamu pasti akan kelihatan lebih cantik. Dan, teman-teman
pasti akan iri melihatmu, Ema.”
Benarkah? Benarkah aku menjadi cantik? Ah, bagiku yang terpenting, bisa
menjadi pasangan yang tak terlalu mengecewakan Kak Budi nanti.
Setelah melepas kembali gaunku, aku duduk berdua di atas tempat tidurku
dengan Marlin. Mata Marlin menatap tajam ke arahku. Aku yakin, ada sesuatu yang
ingin diceritakannya.
“Aku ingin menceritakan sesuatu tentang kebaikanku selama ini. Mungkin,
kamu sering menanyakan itu dalam hati,” kata Marlin kemudian.
Aku mengangguk. Marlin tak lantas melanjutkan ceritanya. Ia malah mengeluarkan
selembar foto dari tasnya. Wajah seorang cowok berkacamata dengan gagang hitam
dan tebal, rambutnya tak berbentuk, dan … meskipun aneh, tapi sekilas aku
mengenalnya.
“Ini foto kakaku tiga tahun lalu, waktu ia masih SMA. Teman-teman
sekelasnya memanggil kakakku dengan julukan Gepetto. Kamu tau kan, tukang kayu
yang membuat Pinokio? Dan, tak pernah ada gadis yang mau pergi dengannya pada
suatu pesta kelas. Waktu itu aku masih kelas dua SMP. Kebetulan aku agak
bongsor, jadi aku tak keberatan ketika kakakku minta aku mendampingi ke pesta
yang harus didatanginya itu.”
Marlin diam sejenak menghela napas. Matanya menerawang ke langit-langit.
“Tapi, dasar kakakku terlalu tak acuh dengan penampilannya. Meskipun aku
telah menyarankannya untuk rapi sedikit, ia menolak. Akibatnya, di pesta itu
kakakku diolok-olok habisan. ‘Lihat, Gepetto berhasil mengajak seorang Peri!’
dan lain-lainnya. Dadaku sakit mendengar olok-olok itu. Aku menangis di rumah
dan berjanji untuk mengubah penampilan kakakku.”
Mata Marlin basah oleh emosinya.
“Pada mulanya, aku mengalami kesulitan. Namun, sewaktu diam-diam aku tau
ia mulai naksir salah seorang cewek di sekolahnya, akhirnya ia mau juga
mengubah diri. Kacamatanya diganti, rambutnya dipotong sesuai dengan wajahnya,
dan kuganti majalah ilmiahnya dengan majalah-majalah populer. Waktu itu dunia
seperti terbalik, aku jadi kakaknya dan ia jadi seorang adik yang penurut.”
Dapat kubayangkan seperti apa kejadiannya. Tentu tak jauh seperti yang
kualami.
“Nggak lama kemudian, telepon teman-teman ceweknya mulai berdatangan. Kak
Budi sempat memacari cewek yang ia taksir itu, tapi putus lantaran ternyata
cewek itu cuma menyukai ketampanan kakakku aja. Sampai sekarang, ia belum
pacaran lagi. Bagiku itu tak masalah, asalkan ia nggak kembali seperti Gepetto.
Ya ampun, kamu menangis, Ema!”
Aku menyeka air mata yang jatuh tanpa kurasakan. “Gimana aku nggak
terharu, Marlin? Di depanku kini, ada seorang peri yang nggak cuma baik
terhadap kakaknya, tapi juga sahabatnya. Gimana aku mesti membalasmu kelak?”
“Kalau tak keberatan, cukup dengan memberi respons kepada kakakku. Sejak
mengenalmu dulu, aku sudah menceritakan tentangmu kepadanya. Ia tertarik untuk
berkenalan denganmu. Tapi, kupikir itu belum waktunya. Sampai kemarin-kemarin
ini. Kamu tahu apa komentarnya setelah kita ngobrol di Texas? Katanya, kamu
nggak cerewet, tapi sekali ngomong, benar-benar bermutu. Kakakku memang suka
tipe gadis cerdas sepertimu.”
“Pasti ia banyak menemukan gadis seperti itu di kampusnya,” timpalku
berusaha untuk menahan perasaanku.
“Mungkin aja. Aduh, Ema, apa kamu selalu membiarkan tamumu mati
kehausan?”
Aku tergelak mendengarnya.
***
JANGAN tanya seperti apa perasaanku ketika mematut diri di depan cermin
usai berdandan. Aku jadi tahu seperti apa takjubnya Cinderella ketika Peri Biru
membantunya agar dapat pergi ke pesta istana.
Mama yang melihatku begitu aku keluar kamar, terpana beberapa detik. Ia
seperti pangling pada mulanya.
“Ema! Benarkah ini anakku? Kamu benar-benar berubah, Ema!” Mama
merangkulku hati-hati. Takut membuat gaunku kusut.
Aku menunggu kedatangan Budi di ruang tamu ditemani Mama, dengan cemas.
Setengah jam lalu, Marlin sudah memberi kepastian lewat telepon, kakaknya akan
menjemputku.
Kulalui penantianku dengan mengamati jarum jam dinding. Ketika waktu
menunjukkan pukul tujuh lebih lima menit, kecemasanku berubah bentuk. Batalkah
Budi menjemputku? Aku mencoba bersabar.
Kesabaranku benar-benar berubah ketika lima belas menit kemudian berlalu,
tanpa bunyi bel sekali pun. Mama yang melihat kegelisahanku, lantas meremas
jemariku.
“Bersabarlah, Ema. Barangkali ada sesuatu yang menghambat perjalanannya.
Mama yakin, akan ada seorang pangeran yang datang untukmu malam ini,” hibur
Mama sambil mengelus rambutku.
Mama ternyata benar. Semenit kemudian, bel rumah berbunyi. Aku terkejut
ketika membuka pintu, mendapatkan Kak Budi dalam sosok yang lain. Sisiran
rambutnya berantakan, lengan bajunya kusut bekas digulung, dan mukanya
berpeluh.
“Maaf aku terlambat, Ema. Ban mobilku meletus di tengah jalan. Terpaksa
aku menggantinya lebih dulu. Dasar aku kurang ahli, tanganku sampai belepotan
cuma untuk mendongkrak dan mengganti ban saja,” ucapnya membuatku tersenyum.
Aku memaklumi alasan itu. Kubawa ia ke dalam rumah untuk kukenalkan
kepada mama. Kak Budi sempat pula ke kamar mandi untuk merapikan kembali
dirinya.
Dalam hatiku, mulai kurasakan sesuatu yang tak biasa sejak mendengar
kalimatnya tadi. Ia mau berkorban untukku seperti itu. Sikap yang benar-benar
menyentuhku dan mampu mengubah kekagumanku, yang mulanya kutujukan pada
sosoknya, kini lebih tertuju pada pribadinya.
“Ema, aku bisa minta tolong padamu? Terus terang, sebetulnya aku yang
sedang kesulitan,” ucap Kak Budi sesaat setelah kami berada dalam mobilnya.
“Kak Budi sudah mau menolong saya, masa saya nggak mau, sih? Tentu saja
kalau saya mampu. Boleh saya tahu, apa yang bisa saya bantu?”
“Ada teman kuliahku yang akan bertunangan minggu depan. Dia mengundang
semua temannya, tapi dengan satu syarat. Undangan harus datang dengan pacarnya,
bukan sekadar pasangan bohongan. Bisa saja aku mengajak Marlin, tapi temanku
itu sudah tahu Marlin adikku. Kamu keberatan kalau kujemput malam Minggu depan
sekali lagi? Tentu saja, aku nggak akan mengulangi ketololanku malam ini,
datang terlambat.”
“Baiklah, saya tak keberatan. Bila ternyata Kak Budi menemukan pasangan
untuk ke pesta itu selain saya, saya tak juga keberatan bila kemudian Kak Budi
membatalkannya,” jawabku segera. Aku tak ingin terlalu banyak berharap. Tuhan
sudah mengutus seseorang untuk menjemputku ke pesta malam ini saja, aku sudah
bersyukur.
“Aku nggak akan mengubah ajakanku ini. Kamu mau tahu sebabnya? Lantaran
malam ini, kamu kelihatan cantik sekali!” puji Budi sambil menatapku sekilas.
Aku tak kuasa menahan perasaanku. Pujiannya sanggup membuatku melayang.
Heran, padahal saat Mama mengatakan kalimat serupa tadi, perasaanku tak
terombang-ambing begini? Apa artinya ini, ya?
***
Tarian Ilalang
PIA menikmati sentuhan handuk yang mengusap keringat di lehernya. Sisa
dua hari menjelang pementasan tarinya, membuat Pia berlatih habis-habisan. Ia
nggak mau mengecewakan Tante Min, yang sudah susah payah mencari sponsor untuk
pertunjukkan tarinya.
“Eh, Pi! Di luar ada cowok yang nyari kamu,” ujar Atik mendekati Pia.
“Siapa?” Pia merasa tak punya janji dengan teman cowoknya.
“Katanya, teman kursus bahasa Jerman kamu. Lumayan, keren. Apalagi kalau
ia ke sini pakai BMW,” komentar Atik yang turut menari bersama Pia untuk pentas
lusa.
“Justru aku tertarik dengan kesederhanaan seorang cowok, Tik,” timpal Pia
seraya mengenakan kaos dan jeans-nya, menutupi pakaian senam yang ketat.
“Oh, jadi cowok itu gacoanmu! Tahu gitu, kusambar dulu tadi,” ledek Atik.
Pia tak meladeni. Di depan sanggar, ia menemui cowok yang sudah diduganya.
“Hai, kamu bolos lagi sore ini! Sori ya, ke sini nggak telepon ke HP
dulu. Takut kamunya lagi sibuk.” Sapaan ramah langsung dilontarkan Yugo.
Pia mengangkat bahu. “Habis gimana? Sebenarnya, aku nggak mau
meninggalkan ocehan Frau Nurki. Tapi, meninggalkan jadwal latihan tari ini,
sama saja dengan aku bunuh diri,” kilah Pia.
Yugo menyodorkan beberapa helai kertas ke arah Pia. “Ini, ada tugas dari
Frau Nurki. Sekalian fotokopi materi yang diberikan tadi. Semoga saja,
pertunjukanmu sukses. Kapan, Pi?”
“Malam Minggu. Ini undangan buat kamu. Bareng dengan pacarmu juga nggak
apa-apa.” Pia balas menyodorkan sehelai undangan buat Yugo.
“Masalahnya bukan karena aku nggak punya pacar. Aku nggak ngerti apa-apa
soal balet,” ungkap Yugo sambil menimang undangan Pia.
“Justru itu, kamu harus nonton tarianku,” timpal Pia. Ia memerhatikan
Yugo yang begitu polos. Sosok di depannya, telah begitu menyita seluruh
perasaannya belakangan ini. Dari tiga bulan sekelas kursus bahasa Jerman di
Goethe Institut, Pia memang belum banyak mengenal Yugo. Namun, kesederhanaan
ditambah kebaikannya, membuat Pia ingin Yugo juga mengenal dunia Pia.
“Buatku, pertunjukan balet itu cuma buat kalangan elite, Pi.”
“Jangan begitu. Aku bukan dari kalangan yang kamu sebut itu. Ayolah,
berjanji kamu akan datang ke pertunjukan tarianku!”
Yugo tak mengangguk, tak juga menggeleng. Tapi, senyumnya membuat Pia
bahagia.
***
KEEMPAT balerina itu saling bertautan tangan, sambil berjalan ke bibir
panggung. Kemudian, tubuh mereka membungkuk kompak. Penghormatan kepada
penonton itu ditutup dengan turunnya layar merah di atas panggung. Penonton
yang memenuhi gedung pertunjukan yang tak begitu besar itu, langsung bertepuk
tangan dengan puas.
Di belakang panggung, usai saling berpelukan sesama penari, Pia langsung
digamit Tante Min. Tak henti-hentinya, pemilik sanggar baletnya itu memuji-muji
penampilan Pia.
“Semua puas melihat tarianmu tadi. Coba kalau kamu simpan terus karyamu
itu, kapan orang akan melihat pentas balet yang indah seperti Tarian Ilalang?”
oceh Tante Min terus.
Pia tak menimpali. Perasaannya mendadak cemas ketika Tante Min
menyebutkan nama tariannya.
“Untung kamu mau mengubah pendirianmu, yang dulu nggak mau mementaskan
Tarian Ilalang.”
“Tapi, untuk kali ini saja. Saya mau menari lagi, asal bukan tarian yang
ini.”
Tante Min mengerutkan dahi. Ia melihat ada misteri antara Pia dan Tarian
Ilalang. “Sayang sekali. Padahal, Tuan Hermawan bermaksud memberikan sponsor
pentas baletmu ini ke Jakarta. Beliau ingin tarian ini juga dikenal.”
“Apa Tuan Hermawan datang malam ini?” potong Pia
Tante Min menunduk. “Ada urusan bisnis yang nggak bisa ditinggalkannya,”
jawabnya kemudian sambil mengangkat telapak tangannya.
“Padahal, saya ingin sekali bertemu dengannya,” gumam Pia. Di atas pentas
tadi, ia sudah melihat kursi kosong di bagian depan khusus, diperuntukkan buat
pengusaha kaya yang telah memberikan sponsori pertunjukannya.
Obrolan mereka terusik dengan hadirnya beberapa remaja putri cilik yang
hendak berfoto bersama para penari. Tentu saja Pia harus meladeninya. Sementara
di sudut ruangan, Yugo berusaha menarik perhatian Pia dengan melambaikan
tangannya. Pia yang melihat Yugo, tak bisa berkutik karena kesibukannya. Tapi,
kebahagiaannya kini bertambah lagi, dengan hadirnya Yugo menyaksikan pentas
tariannya.
***
PIA bangun lebih siang dari biasanya. Malam yang meletihkan, membuatnya
nyenyak tidur. Setelah merapikan diri, ia baru memerhatikan ada rangkaian bunga
di kamarnya. Rangkaian bunga yang aneh.
Pia membawa bunga itu ke luar kamar. Ia mencari orang untuk ditanyai,
siapa yang menerima kiriman bunga itu. Mama, papa dan adiknya, sudah pergi
meninggalkan rumah, rekreasi ke Tangkuban Perahu. Tinggal Bik Yem di dapur,
yang baru datang dari pasar.
“Bik, siapa yang mengantar rangkaian bunga ini?” tanya Pia.
“Ya, tukang antar bunga. Bibik kok, yang nerima tadi pagi. Memangnya
kenapa?”
Ya, kenapa? Pia bingung sendiri. Masa cuma gara-gara menerima rangkaian
bunga yang terdiri dari macam-macam bunga ilalang, ia jadi bingung. Pia membawa
rangkaian bunga itu ke kamar. Perasaannya kembali tak keruan ketika melihat
kartu ucapan kecil yang terselip di antara bunga ilalang itu.
Pengintip cilik itu sudah jadi balerina hebat!
Begitu singkat. Tapi, Pia langsung terbawa pada kilas masa lalu. Sepuluh
tahun lalu, saat usianya sembilan tahun Pia pernah diajak orangtuanya berlibur
di sebuah bukit yang indah. Sore hari yang menyenangkan, diisi Pia dengan
mengejar kupu-kupu. Sampai suatu langkah, ia bermain hingga ke padang ilalang
di lembah bukit.
Mata Pia menangkap sosok sebayanya di kejauhan. Yang membuatnya terpana,
sosok itu bergerak indah seperti ditiup angin. Melompat dan berputar ke sana
kemari, tanpa terganggu topi yang menempel di kepalanya.
“Gerak balet yang sempurna,” gumam Pia, meniru kalimat yang sering
dilontarkan Tante Min, bila melihat muridnya yang pandai menari. Ah, padahal
sudah setahun Pia menari dilatih Tante Min. Tapi, kemampuannya jangan dulu
dibandingkan dengan anak itu.
Entah berapa lama Pia memerhatikan anak itu di tempatnya. Lama-lama,
kekagumannya mendesak Pia untuk berjalan mendekati anak yang asyik menari di
antara ilalang itu.
“Aku harus mengenal anak perempuan itu. Siapa tahu aku kemudian bisa
belajar hingga sepandai dia,” gumam Pia sambil mengendap perlahan.
Entah karena sedang sial, tahu-tahu anak itu melihat ke arah Pia. Secepat
kilat, anak itu lari meninggalkan padang ilalang, entah ke mana. Sementara, Pia
menyesal dan merasa konyol punya niat mendekati anak itu. Bukankah dengan
menikmati dari kejauhan pun sudah cukup? Kini, jangankan mengenal, melihat
mukanya pun tak berhasil.
Waktu bergulir begitu cepat. Pia nggak pernah berhasil melihat tarian di
padang ilalang itu lagi. Tapi, ia menyimpan lekat pesona tarian itu. Pia sering
menirukan gerak tarinya dan sedikit demi sedikit, ia menggubah tarian itu
menjadi Tarian Ilalang.
“Aku nggak mau mementaskannya di depan umum,” begitu kata Pia setiap
teman-teman mendesaknya untuk mempublikasikan tariannya itu, tanpa menjelaskan
alasannya. Hingga akhirnya, Tante Min berhasil membujuknya.
Kini, apa yang ditakutkan akhirnya datang. Penari cilik di padang ilalang
itu melihat pentasnya dan tahu, sebagian Tarian Ilalang diambil dari tarian
penari cilik yang memang khas itu dulu.
Aku harus menceritakan semua kepada Tante Min, putus Pia. Ia tak berhasil
menghubungi HP Tante Min hingga memutuskan meninggalkan kamar.
Sanggar begitu sunyi ketika Pia tiba. Tante Min memang meliburkan semua
murid dan pelatihnya hari Minggu ini. Tapi, Pia yakin Tante Min ada di kantornya
ketika melihat mazda putik milik Tante Min diparkir di depan sanggar. Namun,
sebuah sedan lain yang diparkir, membuat heran Pia.
Pia berjalan agak berjingkat mendekati kantor kecil Tante Min. Pintunya
sedikit terbuka. Mungkinkah Tuan Hermawan yang menjadi tamu Tante Min kali ini?
Pia terpaksa menegakkan kupingnya, untuk mendengar suara dari dalam kantor.
Betapa terkejutnya Pia, ketika mendengar suara yang melekat di telinganya.
“Jadi, Pia nggak mau mementaskan tariannya itu ke Jakarta?”
Nggak salah. Itu suara Yugo.
“Bisa Tante bujuk nanti.”
“Terima kasih. Tapi, jangan terlalu dipaksa. Sebenarnya, saya malah sudah
minta papa untuk membiayai tarian Pia itu mengikuti festival di Singapura.
Biarlah, nanti saya bicarakan dengan papa lagi kalau memang Pia nggak mau.”
Suasana hening sejenak. Deru napas Pia berubah cepat.
“Maaf ya, Nak Yugo. Lantas, bagaimana hubungan kalian berdua?” tanya
Tante Min dengan suara merendah.
“Ah, untuk sementara, usahakan agar Tante pura-pura nggak tahu siapa
saya. Bila saatnya tiba nanti, biar saya menjelaskan segalanya ….”
“Maaf, saya mengganggu, Tante Min!” Suara Pia terdengar lantang begitu
mendorong pintu kantor.
Tante Min dan Yugo tersentak melihat kehadiran Pia. Terlebih-lebih Yugo.
Mukanya mendadak pucat pasi.
“Saya nggak nyangka, ada sandiwara
memperalat saya!” kata Pia pedas.
“Pia, duduk dulu. Dengarkan penjelasan Tante ….”
“Nggak, Tante! Saya cuma ingin bicara dengannya,” tunjuk Pia ke arah
Yugo. “Kamu pikir, dengan pura-pura miskin, kamu akan merebut simpatiku? Dan,
usaha kamu memberi sponsor pertunjukan itu, akan berhasil menjebakku! Maaf, aku
nggak pernah tertarik dengan anak-anak orang kaya yang munafik macam kamu!”
“Pia ….”
Pia sudah nggak mendengar kalimat Yugo. Ia menghambur ke luar dengan
gurat luka di hatinya. Dengan taksi, ia meluncur kembali ke rumah. Serangkaian
niat yang direncanakan, berubah menjadi pahit.
“Bik, kalau ada yang mencari saya, bilang nggak ada. Apalagi kalau
laki-laki. Usir saja!” pesan Pia kepada Bik Yem sebelum mengunci diri di kamar.
Semestinya aku sudah mencurigai kepolosan dan kesederhanaannya itu. Hari
gini, mana ada orang yang serbajujur macam itu! isak batin Pia, yang amat
tertekan dengan kepura-puraan Yugo.
***
PIA baru sadar bahwa hatinya bukan cuma disumpeki kepalsuan Yugo, ketika
Bik Yem masuk ke kamar sore harinya. Perempuan setengah baya itu membawa
rangkaian bunga ilalang serupa yang Pia lihat pagi tadi.
Pia buru-buru membaca kertas kecil yang terselip.
Hai pengintip, sebenarnya aku nggak berhak menerormu macam ini. Tapi, aku
ingin bertemu denganmu di panggung pentasmu, malam ini pukul tujuh.
Hati Pia resah. Bagaimanapun, ia telah berbuat curang, dengan menjiplak
tarian anak itu untuk Tarian Ilalang.
Aku tak ingin dicap pengecut. Aku harus menemuinya untuk menjernihkan
segalanya. Bukankah ini juga berarti, aku bisa mengenal anak perempuan itu,
pikir Pia memutuskan.
Pia merasa tak perlu untuk mengonsultasikan masalah ini kepada
orangtuanya, apalagi orang lain. Ia merasa urusan ini harus ditanganinya
sendiri. Pukul tujuh kurang beberapa menit, Pia sudah memasuki lorong gedung
kesenian. Penerangan yang sebenarnya tak perlu dinyalakan bila tak ada
pertunjukan, membuat Pia agak lega.
Di mana dia kini? Apa bukan kerjaan orang iseng? Tiba-tiba, ia merasa
konyol berada di atas panggung. Bagaimana kalau orang itu berniat jahat
mencelakaiku?
Pia menggigit bibirnya. Perlahan, ia mundur ke tepi panggung. Sesuatu
yang menyentuh bahunya, membuat ia menjerit.
“Kamu ….” Pia terbata ketika membalikkan badannya. Pia sudah bermaksud
lari, tapi pergelangan tangannya dicekal erat.
“Maaf, kalau agak kasar, Pi. Tapi, aku ingin kamu mendengar dulu
penjelasanku.” Suara itu terdengar serak.
Pia memandang ke arah Yugo. Rupanya, cowok ini terus membuntutiku, pikir
Pia. Sungguh nggak tahu diri. Pia berusaha melepaskan pegangan erat Yugo.
“Aku lepaskan, asal kamu berjanji mau memaafkanku.” Yugo memandang tajam.
“Baiklah, aku maafkan. Sekarang, lepaskan tanganku!”
“Nggak dengan kalimat ketus begitu. Duduklah di situ!” Yugo membawa Pia
ke bibir panggung. Mereka duduk bersebelahan. Yugo melepaskan cekalan
tangannya.
Pia melirik ke arah Yugo sambil mengusap pergelangan tangannya. Cowok itu
seperti orang yang amat letih. Pia langsung menunduk ketika Yugo menengok ke
arahnya.
“Sungguh, aku merasa tolol dengan cara yang kupilih untuk mendekatimu,”
gumam Yugo dengan mata terarah ke deretan kursi penonton. “Ini semua karena
pengalaman pahit yang pernah kualami. Beberapa kali aku tertarik dengan gadis
cantik, tapi ternyata gadis itu cuma mau kudekati karena kekayaan orangtuaku.”
“Nggak semua seperti itu!” sela Pia tersinggung.
“Ya, kamu salah satunya. Tapi, aku masih sangsi. Kamu bisa saja
menyalahkan sikapku. Tapi, pengalaman pahit dengan gadis-gadis materialistis
yang telah kualami, memang cuma bisa kurasakan sendiri.”
Pia mencerna kalimat Yugo. Barangkali aku memang keliru menilai Yugo,
pikir Pia gamang.
“Salahkah aku kalau jadi begini karena trauma pahit?!” gumam Yugo meninggi.
“Baiklah, aku maklumi kekeliruanmu. Kita baikan lagi.” Pia menjulurkan
telapak tangannya. Ia berharap, ketegangan hatinya segera berakhir. Pia masih
terfokus pada niat kedatangannya semula.
Yugo membalasnya lega. “Terima kasih. Namun, ada hal lain yang harus
kuceritakan kepadamu, Pi,” tambah Yugo.
“Kepura-puraan mana lagi yang kamu tutupi? Baru tiga bulan kita kenalan,
ternyata sudah segudang hal yang perlu kamu jelaskan.”
“Tapi sebelum kuceritakan, aku ingin tahu lebih dulu alasan kedatanganmu
ke tempat ini,” syarat Yugo.
Pia menimang sejenak. “Seorang anak perempuan dari masa lalu,
mengundangku ke sini,” jawab Pia samar.
“Anak perempuan?”
“Ya, kenapa kamu tertawa?” Pia bingung dan mengira ada yang tak beres
dengan Yugo, atau malah dirinya!
“Jadi, selama ini kamu menganggap aku anak perempuan? Pantas papaku dulu
melarangku menari! Sudahlah, jangan kamu kerutkan lagi keningmu. Bisa kusut
nanti.” Yugo menjawil kening Pia.
“Aku sungguh-sungguh nggak mengerti!” Pia tambah khawatir.
Yugo menghabiskan tawanya. “Dengarkan penjelasanku baik-baik, Pi. Waktu
kecil dulu, aku sering ikut kakakku latihan balet privat di rumah. Aku sangat
menyukai gerak-gerakan indah balet. Malah, kakakku merasa tersaingi kalau aku
menari. Tapi, kemudian Papa melarangku
menari. Kayak perempuan, katanya. Aku menurut. Cuma kadang, diam-diam aku
sering menari sendirian kalau sedang jenuh. Seperti ketika kamu intip waktu
itu!”
Pia terbelalak. “Jadi, anak yang menari di padang ilalang itu kamu?! Oh,
nggak bisa kupercayai begitu saja tanpa bukti. Kalau memang anak itu adalah
kamu, tentunya kamu menjadi pebalet yang hebat kini.”
Yugo menggeleng. “Sepulang aku liburan, mobilku kecelakaan. Tumit kananku
retak hingga aku tak bisa menari lagi. Akan terasa linu bila kupaksakan. Tarian
di padang ilalang itu adalah tarianku yang terakhir. Aku nggak pernah menyangka
sama sekali, kalau kemudian kamu menarikan gerakan tari yang pernah kulakukan
dulu. Sebelumnya, diam-diam aku mensponsori tarianmu itu pun, bukan karena aku
tahu tarian itu pernah kutarikan. Sungguh, aku baru menyadari ketika melihat
pentasmu kemarin malam. Setelah itu, aku langsung mengambil kesimpulan, kamulah
anak kecil yang membuatku lari ketakutan karena kupikir hantu.”
“Enak aja!” rutuk Pia. “Lantas, apa maksudmu mengirim rangkaian bunga
itu?”
“Sekadar untuk meyakinkan bahwa kamulah si pengintip itu. Aku juga
berharap, kemudian kamu mengadu padaku. Dengan pura-pura ikut menyelidiki, aku
bisa semakin dekat denganmu.”
“Jangan ngomong soal pura-pura lagi. Aku paling hal benci itu.”
“Oke, aku janji! Aku serius sekarang.” Yugo menatap lekat Pia. “Maukah
kamu menari untukku?”
Pia menggeleng.
“Kenapa?”
“Aku nggak mau nari, kecuali bersamamu,” ucap Pia sambil berdiri.
Lima detik kemudian, mereka sudah menari di atas panggung tanpa penonton.
Nggak terlalu sempurna karena gerakkan Yugo cuma seadanya. Namun, kesunyian
membuat irama di hati mereka menjadi musik indah di dunia selama ini.
***
LipstickDimuat di majalah GADIS
MESKIPUN tinggal di sebelah rumahku, Heni jarang sekali bertandang dan
ngobrol denganku. Sejak putus sekolah gara-gara papanya meninggal, ia boleh
dibilang menjadi gadis kamar lantaran selalu mengurung diri di kamar.
Aku tahu hal itu
dari Yeyen, adiknya yang cuma selisih setahun dengannya. Makanya, aku agak
kaget ketika tiba-tiba Heni nongol, saat aku sedang membaca di kamar.
“Wiwin, sebenarnya
Mita itu masih sekolah nggak, sih? Masa dia seenaknya make barang orang tanpa
izin!” Heni langsung sewot sambil duduk di dekatku.
Jelas aku bertambah heran. “Ceritanya gimana, Hen?”
“Barusan anak nggak
tahu malu itu main di kamar gue, maksudnya mau ketemu Yeyen. Karena tahu diri,
gue keluar kamar, ngebiarin mereka ngobrol. Abis, gue dan Yeyen kan, masih satu
kamar. Nggak lama kemudian, mereka berdua pergi dan gue balik ke kamar. Nggak
tahunya, gue ngeliat lipstik gue tergeletak di atas meja. Kelihatan sekali kalo
habis dipake,” celoteh Heni cepat.
“Kamu yakin, Mita
yang pake lipstikmu? Bukan Yeyen?”
“Yeyen punya lipstik
sendiri, ngapain pake punya gue?”
“Ya, kalo begitu mau
diapain lagi? Nanti kalo ketemu Yeyen, tanya dulu sama dia. Kalo emang Mita
yang pakai, baru kamu tegur baik-baik. Sekarang, kamu lupain aja dulu ….”
“Lupain? Enak aja!
Gue beli lipstik itu susah payah dengan tabungan, eh, itu anak malah main pake
seenaknya. Anak sekolah, tapi kok, nggak punya etika begitu. Menurut gue, ini
adalah tindakan kriminal. Dia udah mencuri milik gue. Gue nggak sudi lagi
melihat mukanya, sebelum dia sujud minta maaf!” rutuk Heni sambil berbalik
meninggalkanku.
Aku menghela napas,
sambil mengingat pertemuanku terakhir dengan Heni dulu. Ia bukan tipe gadis
yang ceriwis dan gampang sewot macam barusan. Heni cukup penyabar dan sangat
pandai. Aku juga menyayangkan ia sampai berhenti sekolah karena di kelas,
akulah rivalnya meraih ranking pertama. Tapi, keluarga Heni memang harus
kehilangan sumber nafkahnya, ketika papanya meninggal karena tertabrak. Heni
mengorbankan sekolahnya demi kelangsungan sekolah empat adiknya.
Hanya. aku tak
menyangka akan terjadi perubahan pada dirinya di kemudian hari.
***
HINGGA beberapa
waktu, aku belum lagi melihat Heni. Namun, ketika aku sedang menyapu halaman
belakang, Heni muncul lagi di hadapanku. Ada cuaca buruk di mukanya.
“Mita make lipstik
curian itu untuk memikat cowok,” lapornya tanpa sepatah kata salam.
“Aku nggak ngerti
maksudmu. Kupikir masalah lipstik itu sudah beres,” timpalku. Ya, rasanya sudah
hampir seminggu berlalu.
Heni menggelengkan
kepala. “Elo tahu Oben, kan?”
“Ya,” sahutku
singkat. Siapa yang nggak kenal anak pak lurah, yang gantengnya selevel dengan
bintang sinetron Andrew White. Di kampungku, selain terkenal karena
ketampanannya, Oben adalah satu-satunya cowok yang berstatus mahasiswa ITB.
“Setelah dari kamar
gue waktu itu, dia pergi sama Yeyen ke rumah Oben, dengan alasan minta
informasi kuliah di Bandung. Nggak tahunya, itu cuma siasat untuk merebut hati
Oben. Sialnya, Oben gampang kerayu. Beberapa hari lalu, gue denger dari Yeyen,
mereka udah sering jalan bareng. Kalo nggak gara-gara pake lipstik gue, belum
pasti dia jadi pacar Oben.”
Aku berusaha menahan
tawa. “Hen, dengarkan aku. Semua gadis di kampung kita ini, pasti pernah
melamun bisa jalan, makan, nonton, dan pacaran sama Oben. Tapi, bukan berarti lamunan
itu harus jadi kenyataan. Kalo Oben memang suka sama Mita, ya biarin aja. Cewek
lain nggak perlu patah hati. Masih banyak cowok di dunia ini. Kesimpulannya,
kamu nggak perlu cemburu karena Mita jadian sama Oben.”
“Cemburu? Buat apa
gue cemburu? Dulu waktu Oben masih kelas tiga dan kita di kelas satu, elo kan
tau sendiri, gimana Oben ngejar-ngejar gue? Pakai kirim-kirim surat segala
lagi, kayak di film kuno,” kenang Heni.
Aku mengangguk
membenarkan. Tapi, itu dulu, waktu Oben masih berpakaian semaunya dan belum
punya status mahasiswa ITB. Lagi pula, waktu itu Heni sedang kesengsem sama
Bobi, anak pengusaha bahan bangunan yang kini sudah bangkrut.
“Apa sih hebatnya
Mita, sampai Oben mau jadi pacarnya? Pasti gara-gara pakai lipstik gue. Huh,
mestinya dia ngaca dulu! Kalo perlu, ngaca di mal yang kacanya gede-gede. Dasar
sok kebagusan!” Heni terus merutuki Mita sambil ngeloyor pergi meninggalkanku.
Aku jadi kasihan
sama Mita yang terus disumpahi Heni. Mita adik kelasku. papanya juga sudah
meninggal, tapi ia punya mama yang bekerja sebagai guru SD. Otaknya, menurut
para guru, lumayan encer. Soal kecantikan, kupikir ia tak kalah cantik dengan
Heni yang dulu. Dulu? Ya, karena sekarang, Heni sudah berubah gemuk dan pucat.
Rambutnya pun kelihatan seperti tak pernah dirapikan. Sahabatku itu memang
sudah sangat jauh berubah.
***
DUA bulan lebih aku nggak melihat Heni. Kupikir, masalah lipstik dan Mita
sudah terhapus dari kepalanya. Sebenarnya, aku ingin minta kepastian dari Yeyen
dan juga Mita, yang kini agak dekat denganku, namun kubatalkan. Aku tak ingin
menyalakan bara yang sudah padam.
Tahu-tahu, Heni
nongol lagi ke kamarku, sambil membawa majalah dan langsung menyodorkan halaman
tengahnya kepadaku.
“Gue denger,
ternyata setelah dari rumah Oben tempo hari itu, Mita minta diantar Yeyen ke
studio foto. Kemudian, foto itu dikirim ke majalah, mengikuti lomba pemilihan
gadis model. Sekarang, fotonya dimuat karena dia masuk unggulan. Coba elo
perhatikan bibirnya! Warna pink itu jelas dari lipstik gue. Rupanya, dia
benar-benar manfaatin barang curian untuk segala rupa,” celoteh Heni
mengejutkanku.
Aku memerhatikan
foto Mita yang terpampang di majalah. Dia kelihatan cantik dengan gaya yang
alami. Soal polesan di bibirnya, aku tak bisa membedakan, apakah benar itu
lipstik Heni atau bukan.
“Dan, sampai
sekarang, tuh anak sama sekali belum ngejelasin soal lipstik itu sama gue,”
sambung Heni.
“Kamu udah nanya
Yeyen belum? Dulu aku kan, nyaranin gitu,” kataku mengingatkan.
“Harusnya dia dong,
yang sadar diri. Udah tau salah, ngapain harus nunggu ditegur segala? Emangnya,
gue petugas hukum?!”
“Bukan gitu, Hen.
Ini kan, demi kebaikanmu juga.”
“Ah, elo emang
pengin ngebela Mita. Sekarang, elo lagi dekat sama Arif, kan? Dan, si Arif itu
kakaknya Mita.”
Aku melotot, mulai
nggak menyukai kata-kata Heni. Tapi untuk balas menyerang, aku tak tega. “Soal
kedekatanku dengan Arif, jangan kamu sangkut pautkan dengan masalahmu,”
sanggahku.
“Kenapa nggak? Elo
emang punya kepentingan mempertahankannya. Hanya gue nyayangin aja karena elo
sampai ngorbanin persahabatan kita. Wiwin dan Arif … selamat untuk elo berdua!”
Aku tak
menggubrisnya karena kuanggap Heni sudah keterlaluan.
“Asal elo tau aja,
dulu Arif juga pernah gue tolak,” gumam Heni sambil meninggalkan kamarku.
Aku nggak peduli.
Dadaku terasa gerah dengan sikap Heni yang sudah di luar batas itu. Mungkin
lain kali, aku harus mengunci kamarku ,agar nggak sembarangan orang bisa
mengusik ketenanganku. Lebih-lebih orang seperti Heni. Entahlah, kupikir
otaknya mulai terganggu karena frustasi. Aku ingat, bagaimana dulu dia
mengatakan dengan lantang akan masuk kuliah di ITB, kemudian mencari pasangan
anak ITB juga.
“Biar kelihatan
keren kalo berkeluarga nanti. Suami-istri sama-sama insinyur!” ungkap Heni
dengan mantap.
***
“ARIF di rumah
sakit, Win. Kecelakaan sewaktu membonceng Mita. Kalo kamu mau membesuknya
sekarang, kita berangkat bareng, yuk!” kata Yeyen di teras rumah.
Tanganku yang masih
memegang gagang pintu, langsung tegang. “Kamu tahu dari siapa, Yen?” tanyaku
panik.
“Barusan aku ke
rumah Mita karena ada janji ketemu. Tapi, kakaknya yang sulung langsung memberi
tahu kabar itu.”
“Baiklah. Aku ikut.
Tunggu sebentar.” Aku langsung balik ke kamar mengganti pakaian. Begitu beres,
aku langsung kembali menemui Yeyen di teras. Kami bergegas mencegat angkot.
“Kamu tahu kejadian
kecelakaan itu bagaimana?” tanyaku setelah duduk di angkot.
“Katanya, Arif
mengantar Mita untuk daftar bimbingan tes. Kamu tahu kan, jalanan dari arah
tempat bimbingan itu menurun tajam. Nah, di turunan itu, mendadak ada orang
nyeberang. Arif berusaha menghindar dan mengerem motornya. Tapi, ternyata
remnya nggak berfungsi. Arif membuang kendali ke kiri, tapi jadinya malah
nyelonong nabrak batu, dan akhirnya terjungkal ke parit batu ….”
Aku dapat menerka
kejadian selanjutnya, meskipun Yeyen kesulitan mencari kalimat untuk
meneruskannya. Kucoba menenangkan perasaanku sambil berdoa. Begitu angkot tiba
di depan rumah sakit, kami turun, lalu setengah berlari menuju ruang informasi.
Kami segera mendapat keterangan tempat perawatan Arif dan Mita.
Tiba di tempat yang
kami cari, terlihat keluarga Arif tengah dirundung kesedihan. Aku menghampiri
mama Arif yang baru mengenalku seminggu lalu.
“Nak Wiwin,
syukurlah segera datang. Arif barusan sadar dan terus memanggil namamu.
Tunggulah sebentar sampai dokter mengizinkan masuk,” tutur Mama Arif sambil
menahan tangisnya.
“Bagaimana dengan
Mita?” tanyaku khawatir.
“Mita … Mita masih
kritis. Doakan saja, agar kita bisa berkumpul lagi.”
Aku mengangguk
dalam. Setelah lama menunggu, dokter akhirnya mengijinkan aku menengok Arif.
Begitu melihat keadaannya, mataku langsung basah. Buru-buru kugenggam
tangannya, sebelum tangisku makin menjadi-jadi.
“Udah dong, jangan
terlalu cemas gitu. Aku nggak apa-apa. Aku udah ngerasa tenang karena kamu
sudah mau ke sini.” Arif justru menghiburku.
“Aku akan terus di
sini selama diperlukan.”
“Jangan bilang gitu.
Kamu kan, mesti sekolah.”
Aku tersenyum dan
menjentik hidungnya yang kusukai.
Arif menghela napas
sebentar. “Sampai sekarang, aku masih bingung kenapa remku tiba-tiba blong.
Padahal sewaktu berangkat, nggak apa-apa. Aku juga merasa, penyeberang jalan
itu seperti sengaja menghalangi motorku,” gumamnya kemudian.
“Jangan berpikir
yang aneh-aneh dulu. Nanti kalo lama sembuhnya, kan gawat. Senewen kalo kita
harus ketemuan terus di rumah sakit.”
Arif tertawa sambil
mengusap punggung lenganku. Tapi aku tahu, pikirannya masih belum tenang.
Mungkin sama sepertiku, ia masih memikirkan keadaan Mita.
Sayangnya, aku nggak
bisa berlama-lama memikirkan keadaan Arif. Aku segera kembali bersama Yeyen. Di
dalam kamar, aku terus berdoa untuk kesembuhan Arif dan Mita. Sampai kemudian,
pintu kamar diketuk dari luar. Wajah Heni kulihat tak lama kemudian.
“Yeyen bilang,
kalian baru dari rumah sakit. Benar?” tanyanya tanpa basa-basi.
“Ya, Yeyen pasti
udah cerita siapa yang kecelakaan. Kalo kamu mau ikut membesuk, besok kita bisa
pergi bersama-sama,” tawarku sambil membiarkan Heni duduk di atas dipanku.
“Ngebesuk siapa? Gue
kan, nggak dekat dengan Arif. Kalo Mita, terus terang, gue masih malas melihat
mukanya. Gue rasa, kecelakaan ini karma atas perbuatannya memakai lipstik gue
dulu. Biar dia tau rasa!"
“Jaga mulutmu,
Heni!” Kesabaranku hilang. “Seharusnya, kamu mendoakan orang yang mendapat
musibah, bukan merutuk.”
“Ngedoain pencuri?
Nggak, ah. Kalo cuma ngedoain pacar baru elo itu sih, gue masih mau.”
Kepalaku terasa
penat. “Aku minta dengan sangat, tinggalkan kamarku secepat mungkin!” hardikku.
Heni nggak menunggu
dua kali perintahku. Ia langsung menghilang dari pandanganku. Aku nggak peduli,
apakah Heni sakit hati atau nggak dengan usiranku. Saat ini aku cuma ingin
menenangkan pikiranku dan berdoa untuk keselamatan Arif bersama Mita.
Ternyata … doaku tak
terkabul sepenuhnya.
Keesokan harinya,
kabar duka sampai juga di telingaku. Mita meninggal dunia. Satu hal yang ingin
buru-buru kulakukan setelah menghadiri pemakaman Mita adalah segera bertemu Heni.
Di kamarnya, aku
mendapatkan Heni dalam keadaan terbaring lemah. Heran, padahal kemarin ia masih
kelihatan bugar.
“Terima kasih, Win,
elo masih mau nengok gue,” kata Heni begitu melihat kedatanganku.
“Terus terang, aku
baru tahu kalau kamu sakit, Hen. Tadinya, aku cuma ingin nyampein permohonan
maaf atas nama Mita karena kesalahannya padamu. Sayangnya, aku selalu lupa
bertanya padanya, apakah ia benar-benar telah memakai lipstikmu tanpa
sepengetahuanmu. Kamu tahu, Mita sudah meninggal, kan?”
Heni mengangguk
lemah. “Soal lipstik itu, gue yang keliru. Semalam, gue baru nanya Yeyen.
Ternyata, memang Yeyen yang dulu memakai lipstik gue. Ia buru-buru waktu itu,
jadi mengira lipstik gue itu punya dia. Seharusnya, gue ikutin kata-kata elo
dulu itu. Tapi, sudahlah ….” Heni kelihatan amat bersalah.
Aku mendongkol dalam
hati. Tapi, melihat kondisi Heni, aku malas berkata-kata lagi. “Cepat sembuh,
Hen,” kataku sambil berpamitan.
Di kamar, aku
merenung sebentar. Kucoba untuk melupakan keburukan Heni. Aku berdoa agar Tuhan
memaafkannya dan Heni bisa segera sembuh.
Seminggu kemudian,
Heni dikabarkan baru sembuh secara fisik dari sakitnya. Tapi, ia kemudian
berubah drastis secara mental!
Kata Yeyen, kini
Heni sering melamun sendirian di depan cermin sambil memegang lipstiknya.
Sesekali, ia mencoreng bibirnya hingga melewati batas. Aku merasa iba
mendengarnya. Apalagi setelah beberapa hari kemudian, aku melihat Heni berjalan
di sekitar turunan tempat kecelakaan yang menewaskan Mita.
Sambil memegang
lipstiknya, Heni berteriak, ”Mita, maafin gue! Mita, maafin gue ….”
Aku jadi berpikir,
mengapa Heni bisa separah itu? Mengapa pula ia jadi sering menyeberangi turunan
itu ketika ada motor yang lewat? Heni juga suka berteriak, ”Hati-hati, Mita!
Remnya blong ….”
***
Bukan Untukku
MASUK ke pelataran gelanggang remaja di sisi Jalan Yos Sudarso, aku
melihat belasan orang sedang berlatih menendang dan memukul. Sesekali mereka
melompat dan berteriak. Kulihat Obet memberiku isyarat agar mengambil tempat
duduk di pojok dan menunggunya sebentar.
Aku memerhatikan sebentar mereka yang sedang berlatih taekwondo di
depanku. Nggak ada yang bisa mencuci mataku. Tapi… ups! Dia pasti bukan Takeshi
Kaneshiro, kan? Mustahil cowok Taiwan berdarah Jepang, yang menghebohkan
perfilman Hongkong itu, tiba-tiba muncul jadi pelatih taekwondo. Pandanganku
terus tertuju pada sosoknya.
“Heh, dari tadi melotot aja gue perhatiin! Siapa yang elo incar?” tanya
Obet, yang nggak kusadari sudah menghampiriku.
“Pelatihmu boleh juga,” jawabku sambil terus melirik ke arah cowok itu.
Astaga! Dia membuka baju seragam taekwondonya dengan cuek di sisi lapangan.
Badannya tegap berisi.
“Bang Herdi? Dia kan, dulunya siswa di sekolah kita juga. Cuma, dia lulus
waktu kita masuk tahun lalu,” jelas Obet sambil menyeka keringat dengan handuk
kecil.
“Uh, coba aku masuk SMA tiga tahun lalu. Pasti sudah kurebut hatinya.”
“Dia hebat, lho! Prestasi taekwondonya udah segudang. Otaknya juga
encer.”
Aku nggak tertarik dengan dua hal itu. Yang jelas, dia terlihat begitu
macho.
“Cewek yang ngejar dia juga banyak.”
“Kalo itu sih, udah bisa kutebak. Bahkan aku yakin, pacarnya sekarang
lebih dari dua,” tambahku.
“Tebakan elo salah. Bang Herdi belum punya cewek. Eh, elo naksir dia?
Biar nanti gue sampein. Kebetulan dalam persiapan menjelang Porda tahun ini,
gue dilatih intensif sama dia. Jadi, gue agak akrab sama dia.”
“Awas, kalo kamu berani macam-macam! Akan kularang mama membuatkan puding
untukmu lagi nanti!” ancamku sengit.
Obet cengengesan. “Gue ke ruang ganti dulu. Elo jadi ke Malibu nggak,
sih?” tanya Obet.
Aku melotot gemas ke arahnya. “Buat apa aku ke sini kalau bukan untuk
itu?! omelku. Obet langsung ke ruang ganti sambil terus cengengesan.
Di sekolah, ia memang sudah janji akan mengantarku membuat beberapa foto
yang akan kukirimkan pada sebuah lomba pemilihan cewek terkece tahun ini di
majlah Galxi Galz. Aku terpaksa menjemputnya dulu ke gelanggang karena sore ini
adalah jadwal Obet latihan taekwondo. Sebenarnya aku bisa pergi tanpa Obet.
Tapi, rasanya aku kurang pede kalau nanti harus bergaya di depan kamera tanpa
diarahkannya. Sebab kuingat-ingat, sejak kecil kalau difoto dengan arahan gaya
Obet, hasilnya selalu bagus.
“Sori, kamu pacarnya Obet?” Suara bariton di sampingku, membuatku nyaris
latah.
“Oh, bukan! Obet cuma teman. Kebetulan dia tetangga saya,” kataku setelah
menenangkan dadaku yang langsung bergemuruh. Entah kapan Bang Herdi hadir di
sebelahku.
“Kirain kamu pacarnya yang lagi ngejemput.”
“Ah, saya cuma disuruh Obet untuk ngelihat ke sini. Katanya, mungkin saya
nanti tertarik ikutan latihan di sini,” kataku berbohong.
Cowok itu langsung manggut-manggut. Sambil tersenyum, ia pamit
meninggalkanku. Aku langsung menghela napas lega. Kemudian, kuingat kalimat
pertama yang dilontarkan padaku tadi. Ow! Apakah itu berarti, ia juga tertarik
padaku? Duh, Tuhan! Maafkan kalo sifat ge-erku muncul. Tapi, semua orang selalu
bilang, aku ini cantik dan mudah membuat cowok jatuh hati. Kalo cowok itu
adalah Bang Herdi, berarti Tuhan telah melimpahkan karunianya sekali lagi
untukku.
***
“MA, boleh kan, Tya ikutan taekwondo kayak Obet?”
Seperti yang kuduga, mata mama terbelalak heran. “Apa Obet yang
memintamu?” tanyanya kemudian. Ia menurunkan majalah yang dibacanya.
Aku menggeleng. “Obet malah nggak tahu keinginan Tya ini,” jawabku.
Mama melepas kacamata bacanya. “Kalo kamu pengin ikutan modeling, les
balet, piano, atau komputer, Mama mengerti. Tapi, kok, kenapa kamu tiba-tiba
tertarik dengan taekwondo?”
Tak mungkin kukatakan alasan yang sebenarnya. “Taekwondo itu kan, bisa
buat olahraga, sekalian belajar bela diri. Biar nanti-nanti kalo ada orang
jahat, Tya bisa menjaga diri. Masa ikut kegiatan yang bermanfaat gitu
dilarang?”
“Mama nggak ngelarang. Tapi, papa pasti nanti protesnya sama Mama. Belum
lagi, Tante Dien yang pengin ngeliat kamu sukses ngikutin jejaknya menjadi
artis. Sayang kan, kalau cuma gara-gara ikutan taekwondo, kulit kamu jadi
terbakar atau badan kamu ada yang terluka?”
Aku mendengus. “Sampai kapan pun, Tya nggak mau jadi artis!” cetusku
sambil pergi.
Mungkin, seperti ini perasaan perempuan-perempuan yang dilarang sekolah
di masa Ibu Kartini dulu. Tapi, aku nggak mau terkukung begitu saja. Tanpa
sepengetahuan mama, aku mengisi formulir pendaftaran untuk latihan taekwondo.
Diam-diam, kuambil uang tabunganku untuk membeli seragam taekwondo. Aku juga
nggak bilang-bilang kepada Obet karena khawatir nggak bisa jaga mulut.
Kamis sore di hari latihan pertamaku, sengaja aku datang lebih awal. Obet
yang datang kemudian, terkejut melihat kehadiranku.
“Tya, apa-apaan sih, elo?” tanyanya heran. “Aha, pasti gara-gara Bang
Herdi, kan?”
“Jangan asal tuduh. Aku sengaja ikutan buat jaga diri, kalo nanti kamu
kumat lagi narikin rambutku.”
“Terserah elo mau bilang apa. Gue sih, nggak mempan dibohongin!” Obet tak
percaya. “Yang penting, asal elo tahan banting aja dilatih Bang Herdi!”
“Oooh, kalau soal itu sih, jangan khawatir. Aku sudah minum multivitamin
tadi, biar kuat ikut latihan ini,” sergahku meyakinkan.
Cuma, keyakinanku langsung goyah ketika Bang Herdi menyuruh semua
muridnya pemanasan, dengan lari mengitari areal gelanggang ini sebanyak dua
puluh kali. Terpaksa kuturuti perintahnya, meskipun Obet sempat memintaku agar
berlari semampuku saja. Tapi… entah pada putaran keberapa, kurasakan tiba-tiba
napasku sesak dan kepalaku berputar. Ufh …. Aku keburu ambruk, sebelum sempat
minta Obet memapahku. Rupanya, Bang Herdi meneruskan latihan.
“Kata Bang Herdi, elo nggak apa-apa. Cuma kecapekan. Minum dulu ini,”
kata Obet setelah aku sadar dan terduduk.
Aku melegakan tenggorokanku dengan sedikit air. Kulihat Bang Herdi
menyuruh murid-muridnya berlatih. Kemudian, ia menghampiriku.
“Hari ini kamu jangan ikut latihan dulu. Fisik kamu belum siap. Tapi,
jangan pulang sebelum Obet selesai latihan. Biar nanti saya yang mengantar
kamu,” kata Bang Herdi penuh perhatian.
“Nggak usah, Bang. Biar Obet aja yang nganterin pulang,” sergahku. Aku
khawatir kalau nanti Bang Herdi sampai menemui mama. Bisa-bisa, usahaku gagal
total.
“Baiklah,” katanya sambil tersenyum. Ia kemudian mengajak Obet untuk
bergabung mengikuti latihannya.
Perasaan hatiku jadi nggak keruan. Antara malu dan senang. Malu, karena
di matanya, aku cuma perempuan yang ketahuan berfisik lemah. Tapi senang,
karena ia mulai menaruh perhatiannya kepadaku. Rasa senangku semakin
berbunga-bunga ketika bubar latihan, ia kembali menghampiriku.
“Kalo memang sungguh-sungguh pengin latihan taekwondo, kamu harus banyak
makan dan olahraga ringan. Ada baiknya kamu periksa dulu ke dokter besok.
Kalo-kalo kamu kurang darah,” pesannya.
“Baik, Bang,” jawabku singkat. Mataku terus mengikutinya sampai ia pergi
dengan motor gedenya. Ia terlihat sangat macho dengan kendaraan itu.
“Bang Herdi, baik sekali ya, Bet.”
“Jangan ge-er dulu. Dia emang perhatian sama siapa aja. Gue malah diminta
ke rumahnya malam ini. Katanya, Bang Herdi pengin ngasih lihat rekaman waktu
bertanding dulu,” sela Obet.
“Oya? Kalo mama nggak melarangku nanti malam, aku boleh ikut, kan?”
“Terserah elo. Asal gue nggak disuruh ngebohong nanti.”
Aku tersenyum senang.
Akan tetapi, malamnya mama melarangku keluar rumah sedetik pun. Aku malah
disuruh istirahat karena mukaku kelihatan pucat. Benar-benar nggak beruntung!
***
PAGINYA di sekolah, aku nggak sabar menemui Obet. Aku ingin mendengar
semua ceritanya tentang Bang Herdi yang ia tahu semalam.
“Gimana kunjunganmu semalam? Apa Bang Herdi sempat menanyaiku?” tanyaku
nggak sabar.
Obet terdiam. Mukanya tiba-tiba ditekuk aneh. Ia nggak menjawab pertanyaanku.
Obet malah menjauhiku. Kelakuan anehnya ini berlanjut sampai pulang sekolah. Ia
pulang lebih dulu tanpa menungguku.
Aku tahu, ada yang salah denganku kalau Obet mendiamkanku begitu. Itu
kebiasaannya sejak kecil. Tapi, aku punya senjata ampuh untuk meredakan perang
dingin ini. Kupaksa mama membuat puding kopyor kesukaan Obet. Begitu puding itu
siap, aku langsung membawanya ke rumah Obet.
Obet sedang duduk di kamarnya ketika aku masuk. Kutaruh puding
kesukaannya di atas meja belajar. Mukanya nggak sekisruh pagi tadi.
“Mama ngirim puding ini buat kamu. Sekalian aku minta maaf karena semalam
aku nggak jadi pergi,” kataku pelan membuka percakapan.
“Elo nggak salah apa-apa kok, Tya.”
“Kalau gitu, boleh dong, tahu sedikit cerita kunjunganmu semalam ke rumah
Bang Herdi?”
Obet menghela napas. Lagi-lagi, mukanya mendadak kusut. Oala! Aku baru
sadar, Obet ternyata nggak suka ditanya soal Bang Herdi. Tapi, kenapa?
“Kamu kayaknya nggak suka kalo kutanya soal Bang Herdi? Kamu cemburu?”
tebakku langsung.
“Bukan itu.”
“Lantas?”
“Gue nggak mau cerita sama elo.”
Aku menekuk bibirku. “Baiklah, kalo memang mau mulai main
rahasia-rahasiaan lagi. Mulai detik ini, aku nggak mau nanya sama kamu lagi.”
Obet menatapku. “Aku takut kamu kecewa, Tya. Karena, ini menyangkut Bang
Herdi yang lagi kamu taksir itu,” jawab Obet menyerah.
“Kenapa dengan Bang Herdi?” Aku malah penasaran.
“Bang Herdi ternyata … bukan cowok sejati. Dia gay ….”
Tap! Rasanya jantungku berhenti berdetak. Apa Obet nggak salah ngomong?
Aku tahu apa itu gay. Teman-teman Tante Dien, nggak sedikit yang seperti itu.
Dan setelah kuamati, mereka kebanyakan punya ciri yang dapat kukenali. Kaum itu
bertingkah sedikit atau banyaknya cenderung feminin. Tapi, Bang Herdi nggak
seperti mereka sedikit pun. Ia sangat, saaangat macho. Jauh dari bayangan yang
ada di pikiranku.
“Gue juga kaget waktu mendengar pengakuannya. Apalagi kemudian, ia
menyatakan keinginannya untuk pacaran dengan gue. Wah, gue langsung kabur saat
ia mau … Tya, jangan paksa gue untuk menceritakan yang lainnya.” Obet memohon
dengan gemetar.
Aku memegang bahu Obet. Bahu yang selama ini kujadikan sandaran tangisku
bila hatiku sedang sedih karena bentrok dengan orangtuaku. Aku nggak ingin bahu
yang tegap ini menjadi rapuh. Aku yakin, kekecewaannya terhadap Bang Herdi
melebihi kecewaku.
“Gue akan berhenti latihan taekwondo. Gue mau ngejauhin Bang Herdi. Gue
kecewa karena selama ini Bang Herdi adalah panutan dalam latihan taekwondo,”
kata Obet emosional.
Pada detik yang sama, aku mulai menyadari makna pertanyaan yang pernah
dilontarkan Bang Herdi tentang hubunganku dengan Obet. Aku juga baru
memerhatikan bahwa Obet meskipun baru kelas satu SMA sepertiku, memang sudah
pantas untuk ditaksir siapa pun. Wajahnya ganteng dan badannya tegap walaupun
mungkin belum setinggi dan sebesar Bang Herdi.
“Aku juga kecewa, Bet. Tapi, Tante Dien pernah bilang, kita harus
menyadari bahwa di dunia ini nggak cuma ada hitam dan putih. Masih ada warna
lainnya, yang diciptakan dengan maksud yang nggak mudah dimengerti,” hiburku
tanpa maksud menceramahinya.
Obet mengangguk. “Tapi, Tya, gue tetap akan berhenti latihan tekwondo,
entah sampai kapan.”
“Aku juga,” timpalku cepat. Untuk saat ini, aku ingin mendukung apa pun
keputusannya. Lagian, kalau aku jadi artis beken nanti, aku nggak mau main film
silat. Jadi, aku nggak perlu latihan taekwondo segala.”
“Kalau gue narikin rambut elo?”
“Aku tarik lagi rambutmu.”
“Kalau ada yang gangguin elo?”
“Tinggal ngadu sama kamu.”
Obet tersenyum sambil menatapku lekat. Itu kebiasaannya jika aku berhasil
menenteramkan hatinya. Namun, kali ini tiba-tiba aku merasakan pesona yang lain
dari senyum dan tatapannya. Ada getaran aneh yang nggak pernah kurasakan
sebelumnya. Aih, tanda-tanda apa lagi sih, ini?
***
Cowok Khayalan
TERHITUNG sudah tiga hari ini, Ria menganggap obrolan Winta dan Diana
menjadi amat membosankan. Tampaknya, mereka sudah nggak peduli lagi, apakah Ria
menyukai obrolan itu atau nggak, lantaran
satiap saat, obrolan mereka tampaknya semakin seru.
“Benar lho, Na. Dion kemarin mulai sering curi-curi pandang ke arah gue.
Bukannya ge-er. Dua kali gue nangkep basah,” kata Winta sambil menelan cendol
hijau kesukaannya.
“Itu berarti, udah deket lagi ama jadian. Kayak waktu gue dengan Restu
tempo hari. Nggak lama setelah dia suka curi pandang, mulai deh, dia ngajak
nonton. Mana film India lagi. Tahu kan, gue paling suka film India. Udah
karcisnya murah, filmnya panjang,” timpal Diana. Tangannya membetulkan letak
kacamatanya.
“Ah, itu sih, otak elo aja yang nggak mau rugi!” sahut Winta. Ia kemudian
melirik Ria yang cuma mengaduk-aduk siomay di depannya. “Elo sendiri gimana?
Elo udah dapet gacoan?”
Ria cuma tersenyum kecil. Matanya menerawang, lalu mengedip-ngedip,
membuat Diana dan Winta penasaran.
“Pokoknya seru dan mengesankan.” Mulut Ria terbuka. Dia sendiri nggak
tahu, bagaimana tiba-tiba bisa mengatakan kalimat itu.
“Seru gimana?” tanya Winta yang tak menyangka Ria akan memberi respons,
lantaran sejak tadi cuma bengong.
Mulut Ria tak segera terbuka. Dipandanginya Winta dan Diana bergantian.
“Begini …. Mmm, kemarin gue kan, ke toko buku, beli diary buat kado ultah nenek
gue. Nah, pas pulangnya, di bus ada cowok cakep. Ya, akhirnya kita kenalan,
deh.”
“Pasti elo duluan yang ngajak kenalan,” tuding Diana.
“Yeee, kok nuduh? Yang jelas, mulanya karena waktu itu gue mau bayar
ongkos, tapi nggak punya receh. Uang gue lima puluh ribuan semua. Untung cowok
di sebelah gue itu ngerti dan mau bayarin gue.”
“Namanya siapa?” tanya Winta dan Diana nyaris berbarengan.
“Namanya …. Mmm … Roy. Ya, Roy. Perhatikan, dari namanya aja, dia bakalan
cocok jadi cowok gue. Ria dan Roy. Cocok, kan?” Mata Ria berbinar. Dia memuji
dirinya sendiri dalam hati karena kali ini bisa membuat dua sahabatnya takjub.
Soal apakah dusta itu akan terbongkar, itu urusan nanti.
Bel istirahat berbunyi. Tiga sahabat itu bergegas menuju kelas, setelah
membayar apa yang mereka makan dan minum selama di kantin. Di sela-sela waktu
belajar, pikiran Ria menerawang, memikirkan rencana obrolan soal cowok
gacoannya. Ya, seenggaknya, dia nggak perlu duduk menjadi pendengar setia saat
di antara sahabatnya.
Pulang sekolah Ria nggak bisa pulang bareng dengan dua sahabatnya. Diana
pulang dengan cowok barunya, Restu. Meskipun Restu menawarinya untuk satu
mobil, Ria menolak. Apa enaknya jadi kambing congek di antara sepasang kekasih.
Sementara itu, Winta masih harus rapat OSIS. Tentu aja cewek itu semangat
karena di sanalah, dia bisal saling curi-curi pandang dengan Dion.
Ria melangkah malas ke halte terdekat. Jam pulang sekolah begini, butuh
perjuangan untuk mendapatkan tempat duduk si atas bus. Makanya, Ria sengaja
memilih bus patas AC. Meskipun mahal, asal sampai. Begitu bus yang ditunggunya
datang, Ria segera naik dan mencari tempat duduk di bagian belakang, biar
gampang turun.
“Hei, ketemu lagi kita! Baru pulang?”
Ria terkejut mendengar sapaan di sebelahnya karena dia baru aja duduk.
Seorang cowok cakep menatapnya sambil tersenyum. Ria mencoba mengingat-ingat
sosok di sebelahnya. Siapa?
“Lupa, ya? Kemarin sore, kita kan, baru kenalan di bus. Namamu Ria dan
aku Roy. Kita kenalan gara-gara kamu nggak punya uang receh untuk bayar bus
kemarin. Ingat?”
Ria menggeser duduknya sedikit menjauh. Roy? Kemarin? Ah, mana mungkin!
Aku kan, cuma berbohong mengatakan hal itu kepada Winta dan Diana pagi tadi.
Lalu, siapa orang ini sebenarnya? Ria kelimpungan.
“Terserah kamu kalo memang nggak mau kenal lagi denganku. Cuma kamu perlu
tahu, aku nggak bisa tidur semalaman. Habis, kamu nggak ngasih tahu nomor HP.
Untung, Tuhan kasihan sama aku. Nggak nyangka, bisa ketemu kamu pulang sekolah
gini.” Roy terus nyerocos.
Ria masih berpikir. Aku nggak bisa diam terus, putusnya dalam hati. “
Maaf, kalo boleh tahu, kamu sendiri masih sekolah, kuliah, atau …”
“Menurut kamu apa? Yang jelas, aku sudah tamat SMA. Apa kamu keberatan
kalo punya pacar bukan anak SMA?”
“Pacar? Kok, ngelantur, sih?”
“Lho, kamu kan, kemarin bilang belum punya pacar. Apa aku kurang ganteng
untuk ukuranmu?”
Ria melirik wajah Roy. Matanya begitu mirip Ethan Hawke. Sama persis
dengan cowok yang diidolakan Ria selama ini. Pantas aja Ria tadi merasa pernah
melihat Roy. Seenggaknya, Ria memang pernah membayangkan punya pacar yang
bertampang macam itu.
“Ria dan Roy. Aku rasa, itu nama pasangan yang cocok, kan?” kata Roy
lagi.
Ria mengerutkan dahi. Kalimat itu sempat diungkapkannya kepada Diana dan
Winta tadi pagi. Ia menghela napas sebentar. Semua ini nggak mungkin
dipikirkan. Jalani aja … jalani aja, bisiknya dalam hati.
“Rumahmu masih jauh?” Roy menyentak Ria.
“Masih dua halte lagi,” jawab Ria setelah melihat ke luar jendela.
“Nanti, ganti naik mikrolet. Sampailah.”
“Boleh aku tahu rumah kamu?”
Ria buru-buru menggeleng.”Kapan-kapan aja. Jangan sekarang,” lanjutnya.
Dia ngeri membayangkan tampang neneknya, kalo sampai melihat ada cowok yang
mengantarnya. Masih menempel di,benaknya ketika Shasa, kakaknya, dulu waktu SMA
pernah diceramahi habis-habisan gara-gara membawa teman cowok ke rumah. Itulah
yang sampai kini membuat Ria ragu untuk pacaran.
***
SEBENARNYA, Ria ingin mengatakan kejadian menakjubkan yang dialaminya,
saat ngobrol di kantin seperti biasanya. Tapi, niat itu diurungkannya karena
yakin dua sahabatnya malah nggak akan pernah memercayainya lagi nanti.
Lagi,pula, Ria sudah bisa menikmati obrolan soal cowok.
Winta berceloteh tentang Dion yang mulai berani mengantarnya pulang
kemarin. Diana memaparkan sifat romantis Restu saat mengajaknya nonton film
India terbaru yang dibintangi Shahrukh Khan dan Preity Zinta. Ria tentu aja
nggak mau kalah, menceritakan hal yang dialaminya kemarin, ditambah sedikit
bumbu biar seru.
“Jadi, dia anak orang kaya? Ah, masa orang kaya bisa dua kali ketemu lagi
naik bus,” timpal Winta usai Ria berceloteh.
“Mobilnya lagi ngadat. Nanti, dia rencananya mau ngejemput sepulang
sekolah. Sekalian ngajak makan-makan.” Bohong Ria kian kumat.
“Kalo begitu, gue nggak langsung pulang, ah nanti. Penasaran pengin lihat
gacoan elo itu,” kata Winta.
“Gue juga. Kenalin, ya!”
Ria gelagapan menanggapinya. Sedetik kemudian, terdengar kalimat
melengking di belakangnya. Mieke dengan gaya yang centil, mendekati tiga
sahabat itu sambil membagi-bagi undangan berbentuk dadu.
“Jangan lupa datang hari Sabtu nanti. Syaratnya, cuma bawa pasangan. Yang
nggak punya pacar, boleh bawa adik atau kakak, asal jangan bawa kambing!” kata
Mieke sebelum meninggalkan meja di sudut kantin itu.
Mereka bertiga buru-buru membaca undangan itu. Diana langsung tersenyum
karena ia yakin kalo Restu akan mau diajaknya ke pesta. Winta hanya komat-kamit
berharap agar Dion nanti akan menawarkan diri menjadi pasangannya, sementara
Ria masih bingung.
“Elo bakal ngajak si Roy, kan?” tanya Diana. Benaknya sudah membayangkan
betapa serunya acara kencan bersama itu nanti.
“Entahlah. Gue nggak tahu, dia
suka pesta atau nggak.”
“Ya, tinggal elo tanya aja nanti. Uh, rasanya gue nggak sabar menunggu
bel pulang. Gimana sih, tampang Roy itu?” kata Winta sambil menyuapkan siomay
ke mulutnya.
Ria cuma meringis. Ia malah berharap waktu berjalan lambat agar bisa
berpikir, alasan apa yang dilontarkannya nanti karena sebenarnya Roy memang
nggak akan pernah datang. Namun, waktu malah berjalan semakin cepat. Dan,
sewaktu bel pulang berbunyi dada Ria berdetak kian keras. Apalagi Winta dan
Diana terus menguntitnya.
Sepuluh menit pertama, Diana dan Winta masih berharap cemas mendampingi
Ria di pintu gerbang. Sepuluh menit berikutnya, perut mereka keroncongan dan
mulai memaki Ria.
“Coba elo telepon dong, ke HP-nya!”
“Udah barusan. Tapi nggak aktif.”
Sepuluh menit kemudian, Winta dan
Diana meninggalkan Ria karena sudah nggak tahan ingin pulang. Cuma Ria yang
tinggal karena dia harus pura-pura tetap menunggu Roy. Dan, tiga menit
kemudian, sebuah corona putih berhenti tepat di depan Ria.
“Roy!” Ria memekik kaget ketika melihat sosok yang keluar dari dalam
mobil. Dia menengok kanan-kiri, siapa tahu Winta dan Diana masih ada. Dengan
demikian, dua sahabatnya bisa segera tahu bahwa ia kini benar-benar sudah punya
gacoan.
“Kupikir, aku terlambat menjemputmu,” kata Roy sambil mendekati Ria.
“Menjemputku?”
“Kamu kemarin membolehkan aku ngejemput kamu sekarang, kan? Dan, jangan
bilang, kamu juga lupa bahwa siang ini aku janji mentraktirmu makan!”
“Nggak, aku ingat itu!” timpal Ria meskipun bingung. Semuanya harus
kujalani, apa adanya! tekad Ria. Dia
segera masuk ke dalam mobil, duduk di sisi Roy.
Ria merasakan saat yang membahagiakan. Inikah yang namanya musim semi?
Pantas, Diana dan Winta selalu bersemangat setiap hari. Seandainya aja nenek
membolehkanku …, Ria membatin.
Saat makan di sebuah restoran Jepang, Ria mengatakan kepada Roy soal
undangan pesta ulang tahun Mieke. “Aku sendiri, sebenarnya nggak gitu suka
pesta. Tapi, dua sahabatku minta supaya aku datang. Gimana menurutmu, Roy?
“Yang namanya diundang, ya harus datang. Aku nggak keberatan menemani
kamu. Berapa hari lagi, sih? Oh, lima hari lagi? Kok, ngundangnya mepet gini?”
“Sebenarnya, undangan lisannya udah dari dua minggu lalu. Oh, iya,
makasih kalo emang kamu mau nganter aku. Tapi aku ….” Ria teringat bayangan
neneknya.
“Kenapa?”
“Nggak apa-apa.” Ria menengok arlojinya. “Sudah kelamaan, nih. Pulang,
yuk.”
Roy mengangguk. Dia mengantar Ria. Tapi, Ria menolak Roy mengantar sampai
depan rumah. Dia meminta Roy menghentikan mobilnya beberapa rumah sebelumnya.
Untung, Roy nggak tersinggung dan mau mengerti.
Ria menemukan neneknya di teras rumah. Dia merasa beruntung karena tadi
Roy nggak mengantarnya ssampai depan rumah. Ria mendekati nenek, lalu memberi
kecupan. Tawa kecil nenek membuat Ria heran.
“Mengapa nggak kamu suruh temanmu mampir dulu?”
“Ah, Nenek. Ria tuh, naik bus.”
“Jangan bohong. Seragammu bersih dan nggak tercium bau rokok serta
keringat, seperti biasanya. Mukamu cerah dan langkahmu seperti yang habis makan
kenyang. Begitu, kan?”
Ria tersipu. Susah memang berbohong pada neneknya. Sekecil apa pun.
“Dia pacarmu?
“Nenek bukannya nggak suka kalo Ria pacaran?”
“Kapan Nenek melarang? Belum pernah.”
“Secara langsung memang belum. Tapi, Ria masih ingat, waktu dulu Nenek
marahin pacar Mbak Shasa. Padahal, Mbak Shasa udah gede.”
Nenek tersenyum memamerkan kempot pipinya. “Jadi, karena itu, kamu takut
pacaran? Waktu itu, Nenek marah sama Shasa bukan karena dia pacaran, bukan pula
karena udah gede atau belum. Tapi, apa pantas Shasa pergi dengan seorang cowok
sampai larut malam dan tanpa pamit? Pantas, nggak?”
Ria menggeleng. Matanya baru terbuka kalo selama ini, sebenarnya neneknya
tidak melarang ia pacaran. Yang penting, asal tahu batas dan aturan!
***
Nggak ada berita yang paling menggembirakan bagi Winta dan Diana, ketika
Ria menyampaikan bahwa ia akan pergi bersama Roy ke pesta Mieke. Berarti, tiga
sahabat itu bisa bepergian bareng, tanpa mengorbankan perasaan satu orang pun.
“Jadi, Roy tuh, kemaren telat ngejemput elo? Ih, gara-gara Winta nggak
sabaran, sih!”
“Yeee, kok, gue sih yang disalahin?”
“Roy ada rencana jemput elo lagi nggak, sih?”
Ria menggeleng. Takut kejadian kemaren terulang lagi. “Lagian, gengsi
banget minta dijemput mulu,” kilah Ria walaupun sebenarnya dia berharap lain.
Ya, pulang sekolahn Ria sengaja naik patas AC lagi. Siapa tau bisa ketemu
dia lagi, harapnya. Pikirannya menerawang, mengingat Roy. Baru dua kali ketemun
Ria merasa ada yang lain di hatinya. Aih, cepet banget, sih?
Mudah-mudahan nanti dia nelepon, harapnya. Ria menyesal HP-nya rusak
karena kerendam cucian tadi pagi.
Waktu berlalu cepatn ketika Ria mengharapkan keajaiban muncul. Tapin
nggak ada telepon dari Roy maupun kemunculan surprise-nya. Ria mendadak merasa
dadanya terhimpit. Sementara, wajah Roy makin melekat di benaknya.
Roy … Roy … Roy …. Kamu di mana, sih?
***
PENYAKIT memang nggak pernah diundang datangnya. Pagi setelah hari yang
dilalui Ria tanpa Roy, Ria terbaring sakit. Entah apa sebabnya. Malah sampai
tiga hari kemudian, Ria masih terbaring sakit. Seperti biasa, Diana dan Winta
kembali menjenguk Ria di siang hari. Sekalian mengabarkan, sebagai tanda
solidaritas, mereka akan membatalkan rencana ke pesta ulang tahun Mieke nanti
malam.
“Gue nggak mungkin ke pesta itu, sementara elo terbaring sakit seperti
ini,” papar Winta.
“Jangan bodoh. Gacoan kalian pasti nggak suka ini. Mereka akan menyumpahi
penyakit gue tambah parah.”
Winta memandang Diana. “Hal ini juga sekalian menunjukkan rasa penyesalan
gue karena selama ini nggak mengerti perasaan elo,” timpal Diana.
“Apa maksud kalian?” tanya Ria. Kepalanya yang pusing semakin bingung.
“Tentang Dion dan Restu. Mestinya kami tahu diri, nggak cerita tentang
mereka di depan elo. Hingga akhirnya elo harus berbohong.”
“Win, sederhanain kalimat elo!”
Winta menghela napas. “Ayolah, Ria, elo harus jujur bahwa elo nggak suka
kalo gue ama Diana bicara soal cowok-cowok itu karena elo nggak punya seorang
cowok yang harus elo bicarain. Lalu, elo ngarang tentang Roy untuk menutupi
kejengkelan elo itu.”
“Pada mulanya memang gue berbohong. Tapi kemudian, dia muncul. Roy memang
ada.”
“Tapi, mana dia? Elo pernah bisa menghadirkannya di depan kami berdua?
Bahkan, sudah tiga hari elo terbaring sakit, dia nggak muncul-muncul!” desak
Winta disusul Diana. Mereka yakin betul, penyakit yang dialami Ria pu,n
gara-gara tekanan nggak punya pasangan untuk datang ke pesta ulang tahun Mieke.
Ria menggigit bibirnya. Pertanyaan itu juga muncul di benaknya. Mengapa
Roy nggak datang-datang juga? Semakin dipikir, kian membuat dirinya tak
berdaya. Ria menggamit tangan Winta. Isaknya terdengar pelan. “Mungkin, dia
sedang ke luar negeri ya, Win,” katanya menghibur diri, sekaligus menjaga agar
tangisnya nggak jatuh.
Diana mengelus rambut Ria. Sejak semula, dia sudah menduga, cerita Ria
tentang Roy cuma isapan jempol belaka. Tapi, ia tak mau menggubris. Cuma, kalo
jadinya Ria seperti ini, tentu aja sebagai sahabat, dia nggak tega.
“Tapi, dia seperti benar-benar ada. Tawanya, ucapannya, dan semuanya
masih kuingat di kepalaku,” sambung Ria.
Diana mengibaskan tangan. “Elo harus lupain itu semua. Barangkali sosok
Roy sebenarnya cuma kekasih fantasi aja. Itu lho, tentu elo masih ingat, waktu
kita kecil dulu punya teman fantasi, yang seolah-olah ada menemani kita saat
sendirian. Kayaknya, si Roy makhluk semacam itu, yang hadir karena tekanan
kesendirian elo, Ria,” ujar Diana mencoba membagi pengetahuan yang dia miliki.
Ria termangu. Mungkin, dua sahabatnya benar. Dia harus melupakan Roy,
yang sesungguhnya nggak pernah ada itu.
“Biar elo nggak ngekhayal lagi, nanti akan gue bantu deh, nyari cowok
buat pasangan elo. Sebut aja, mau Peter, Gino, atau Oding?”
“Win, elo tuh, kalo nawarin orang, seenaknya. Memangnya gampang? Belum
tentu dianya mau sama gue.”
“Ya, namanya juga usaha. Asal jangan Delon aja. Soalnya, gue juga
ngejar-ngejar dia.”
Pintu kamar diketuk sebentar, lalu muncul nenek membawa baki berisi dua
gelas jus segar untuk Winta dan Diana. Nenek juga menyodorkan faksimil.
“Dari Singapura,” kata Nenek sebelum kemudian pergi meninggalkan kamar.
Ria buru-buru membaca kertas surat tersebut.
Dearest Ria,
Maaf, aku nggak bisa memenuhi janji mengantarmu ke pesta ulang tahun itu.
Kami sekeluarga harus segera pergi ke Berlin. Ada keluarga kami yang meninggal
di sana. Surat ini kutulis di pesawat dan kukirim saat transit di Singapur. O,
iya, HP aku ilang kemarin lusa. Jadi, nggak bisa telepon kamu dulu. Tapi, waktu
aku coba hubungin HP kamu pake HP nyokap, kok mailbox mulu? Tetaplah menungguku.
Aku menyayangimu.
Yours,
Roy
Ria terbelalak membaca isi surat di tangannya. Dia buru-buru
menyodorkannya kepada Winta dan Diana. Dua sahabat itu tercengang kaget
melebihi Ria. Jadi, mana yang benar, Roy itu ada atau nggak?
“Elo nggak nyuruh sodara elo di Singapura ngirim surat palsu ini, kan?”
Selidik Winta.
“Gue nggak punya teman atau pun saudara di sana.” Ria menggeleng kuat.
Matanya menerawang ke langit-langit, dengan bibir menyungging senyum.
Kali ini, keyakinan Ria berubah lagi. Bukankah surat itu sudah cukup
membuktikan, Roy kekasihnya, memang benar-benar ada, bukan kekasih bayangan
atau fantasi. Masih adakah yang meragukan hal itu?
***
Padang Sejuta Bunga
“MAAF, apakah Kakak ini mahasiswa?” Suara itu menyadarkan Lunar bahwa di sisinya,
ternyata duduk seorang cewek manis masih dengan seragam abu-abu.
“Ya. Ada apa?” Lunar balik bertanya seraya mengembuskan asap rokoknya
perlahan.
“Mestinya kakak tau, nggak semua
orang suka dengan asap rokok. Apalagi di angkot gini,” ucap cewek itu lurus.
Jantung Lunar berdegup keras. Bayangkan, disindir sedemikian rupa oleh
seorang cewek yang masih berseragam SMA! Sementara, para penumpang angkot
lainnya, tampak mendukung penuh cewek itu.
“Baiklah, aku akan matikan rokokku, asal kamu nyebutin nama komplet dan
panggilanmu.” Lunar memberikan syarat. Baginya, menyerah begitu saja, itu
berarti kekalahan telak.
“Tituk Handayani Giargania. Teman-teman manggil saya Tituk.” Cewek itu
menjawab dengan ekspresi datar. Tak ada tanda-tanda ia sedang berusaha menipu
Lunar.
Seketika itu juga, Lunar menginjak rokok yang baru diisapnya beberapa
kali, dengan sepatu ketsnya. Tituk tersenyum kecil melihat apa yang dilakukan
Lunar.
“Apakah kamu selalu negur setiap orang yang ngerokok di dekatmu?” Lunar
melanjutkan percakapan. Ia nggak mau diam begitu saja. Barangkali dengan
meneruskan percakapan, aku bisa mengibaskan sedikit rasa maluku, pikir Lunar.
“Ya, terutama kalau di tempat umum,” jawab Tituk singkat. Ia nggak
tertarik bicara dengan seorang pria asing di tempat umum. Di sekolah pun, ia
jarang bicara dengan teman-teman cowoknya.
Lunar melihat sebentar keluar kaca. Tujuannya sudah dekat, padahal ia
masih ingin berbincang dengan Tituk. Ada sesuatu yang membuatnya tertarik. Dari
cara Tituk bicara, Lunar bisa mengambil kesimpulan bahwa cewek itu amat cerdas
dan lebih dewasa dari cewek-cewek sebayanya.
“Depan kiri, Mang!” Suara itu keluar dari mulut Lunar, tapi ia mendengar
Tituk meneriakkan kalimat yang sama.
Keduanya ternyata punya tujuan yang sama. Setelah membayar ongkos,
keduanya saling berpandangan sesaat.
“Mau ngeliat pameran lukisan di galeri itu?” tanya Tituk sambil menunjuk
ke sebuah bangunan di depannya. Sebuah spanduk besar menyampaikan pesan bahwa
di dalam galeri itu tengah digelar pameran lukisan tiga pelukis ternama.
“Ya, kamu juga pasti mau ke sana. Kebetulan sekali, kita bisa bareng
ngeliat lukisan-lukisan itu.”
Tituk menggelengkan kepala. Lunar mengira itu penolakan Tituk pada
ajakannya. Tapi, ternyata bukan. Tituk lantas berujar, “Saya datang kemari cuma
untuk ngeliat satu lukisan.”
Mereka melewati pintu masuk bersisian. Namun, langkah Tituk langsung
diayunkan ke tengah ruangan. Ia tidak menyusuri satu per satu ruang pamer yang
ada, seperti pengunjung lainnya. Sampai di depan sebuah lukisan yang berukuran
sedang, ia terpaku. Matanya memandang dalam pada lukisan impresionisme di
depannya.
“Masih banyak lukisan lain yang lebih bagus dari lukisan ini.” Suara
Lunar terdengar di belakang Tituk. Cowok satu ini rupanya terus menguntit.
“Saya cuma tertarik dengan lukisan ini,” kilah Tituk. Sejak dua hari
lalu—hari pembukaan pameran—ia setiap hari datang ke galeri itu memang cuma
untuk melihat satu lukisan.
“Tapi, ini karya yang paling lama dari si pelukisnya. Masih belum matang
kelihatannya. Karya-karya lain yang lebih baru hasil lukisan pelukis yang sama,
menurutku jauh lebih bagus dari komposisi maupun warnanya, dibandingkan ini,”
komentar Lunar panjang.
Tituk kelihatannya tak peduli. “Bagiku, Padang Sejuta Bunga jauh lebih
bagus dari yang mana pun,”gumamnya samar.
“Padang Sejuta Bunga? Maksudmu lukisan ini? Namanya kan, Bunga-bunga?”
sangkal Lunar sambil menunjuk katalog di tangannya.
Tituk tak menanggapi. Matanya memandang dengan penuh kemisteriusan ke
arah lukisan itu. Ia bagai menikmati sesuatu yang tersembunyi di balik lukisan
itu. Sayang, aku tak punya cukup uang untuk memiliki lukisan ini, gumamnya
dalam hati.
“Tituk, kelihatannya kamu benar-benar terpesona dengan lukisan ini. Heh,
kamu akan datang lagi kemari besok, sebelum pameran ini ditutup? Penutupannya
pukul lima sore.” Lunar berusaha mengusik Tituk.
Namun, Tituk tetap tak bergeming. Membuat Lunar cuma bisa menarik napas.
Akhirnya, sambil mengerutkan dahi, Lunar berusaha untuk menikmati lukisan itu
pula.
***
HARI ini waktu terakhir pameran lukisan tiga pelukis ternama itu. Tituk
sudah sejak kemarin berencana kembali melihat Padang Sejuta Bunga. Tadinya ia
ingin langsung pulang sekolah seperti biasa, tapi ternyata rencana itu berubah.
Mama hari ini akan pulang terlambat dari kantornya. Itu artinya, Tituk
harus menggantikan tugas mama. Ia harus memastikan bahwa adik-adiknya tetap
melakukan kegiatan rutin yang harus mereka lakukan. Arif pergi ke tempat les
Bahasa Inggris-nya dan Uta tidur siang. Ditambah lagi, beberapa urusan rumah
yang memang menjadi tugasnya.
Pukul empat sore, Tituk baru bisa keluar rumah setelah mama kembali dari
kantornya.
Mudah-mudahan aku bisa melihat lukisan it,u tanpa diusik siapa pun seperti
kemarin, harap Tituk dalam perjalanan. Siapa cowok kemarin itu? Ia kuliah di
Jurusan Perminyakan ITB. Itu yang disebutkannya saat bincang-bincang sebentar
di luar galeri. Lunar? Kalau nggak salah, ia menyebut namanya begitu. Aneh,
konyol rasanya kalau mengingatnya. Mahasiswa perminyakan tentunya tak ada
hubungannya dengan seni lukis. Tapi, ia tahu begitu banyak tentang lukisan.
Sampai di galeri, waktu yang tersedia untuknya tinggal lima belas menit.
Terlihat beberapa panitia tengah sibuk melepas beberapa piranti pameran. Dada
Tituk mendadak cemas, dan betapa terkejutnya ketika ia sampai di ruang tengah
galeri.
Padang Sejuta Bunga nggak ada di tempatnya.
“Maaf, lukisan yang biasa ditempatkan di sana masih bisa saya lihat
sebentar?” tanya Tituk kepada seseorang yang ditemuinya di sudut ruangan.
“Lukisan Bunga-bunga? Lukisan itu sudah dibeli dan diambil oleh
pembelinya tadi siang.” Jawaban yang menyentak hati Tituk.
Pupus sudah sesuatu yang diharapkannya menyembul manis di hatinya.
Kenangan itu tak akan pernah dinikmatinya lagi. Padahal semalaman, Tituk sudah
berdoa, lukisan itu jangan sampai dibeli siapa pun, sampai kapan pun. Sampai ia
mampu membelinya.
“Hei, kamu datang juga! Kita bisa meneruskan obrolan yang kemarin ….”
Suara Lunar mengejutkan Tituk.
“Maaf, saya harus segera pulang,” kilah Tituk.
“Masih ada beberapa menit untuk menikmati lukisan yang tersisa di sini,”
tahan Lunar.
“Kalau saja lukisan yang saya suka masih ada, tentu saya mau berada di
sini lebih lama lagi.”
“Padang Sejuta Bunga? Sejam yang lalu aku datang, lukisan itu sudah nggak
ada di tempatnya. Tapi, masih ada lukisan bagus lainnya yang bisa kamu lihat.”
Lunar berusaha menahan Tituk. Ia nggak puas dengan pertemuan kemarin. Mestikah
hari ini dilalui dengan pertemuan yang singkat pula? Padahal, tak ada lagi
pameran lukisan yang bisa mempertemukannya dengan Tituk.
“Nggak, saya nggak tertarik. Kalau Kakak ….”
“Aku sudah memberi tahu namaku kemarin. Kamu nggak boleh memanggilku
Kakak. Aku kan, bukan kakakmu,” potong Lunar.
Tituk tersenyum. Lunar menikmati senyum itu. Ada sejuta pesona yang
memikat hati Lunar. Apalagi tanpa seragam sekolahnya, sosok Tituk benar-benar
jelmaan dari mimpi Lunar, akan cewek yang diidamkannya.
“Kalau Kak Lunar memang ingin menikmati lukisan yang ada di sini, silakan
saja,” ralat Tituk segera.
Lunar menggeleng. “Aku juga mau pulang. Keberatan kalau aku
mengantarkanmu lebih dulu? Kebetulan, kali ini aku nggak naik angkot. Maksudku,
ada teman yang mau meminjami aku mobilnya,” ajak Lunar halus.
Tituk cuma mempertimbangkannya sebentar. Lunar nggak terlihat seperti
orang jahat dan ia pun harus buru-buru tiba di rumah. “Baik, aku tak
keberatan,” jawab Tituk kemudian.
Sore itu, untuk pertama kalinya, Lunar mengantar seorang cewek yang
diidamkannya. Ini langkah baik untuk suatu pendekatan yang memang telah
direncanakannya. Apalagi Tituk kemudian berkata sambil tersenyum, “Jangan
sungkan untuk datang kemari.”
“Kapan biasanya kamu senggang?” tanya Lunar mencari kepastian.
“Kapan saja, saya bukan aktivis sekolah. Tapi biar enak, sebaiknya sore.”
Belum pernah Tituk mengundang seorang cowok main ke rumahnya, untuk basa-basi
sekalipun.
Great! Rasanya, seribu jalan sudah terbuka bagi Lunar, untuk mengetuk
pintu hati Tituk.
***
DUA minggu berlalu tanpa dapat dibendung. Lunar sudah empat kali
mengunjungi rumah Tituk. Saling mengenal sedikit demi sedikit, untuk mengetahui
sejauh mana kecocokkan dirinya. Meskipun Lunar sudah yakin ia tak kan salah
pilih, toh untuk sebuah pendekatan, hal itu perlu juga dilakukan.
Sore ini, Lunar sudah berencana untuk kunjungan yang kelima. Pulang
kuliah Termodinamika, Lunar langsung ke tempat tinggal Tituk. Suasana tak biasa
menyambutnya saat memasuki halaman rumah itu. Lunar segera menekan bel rumah di
sisi pintu.
Si bungsu Uta membukakan pintu untuk Lunar. Mukanya kelihatan mendung.
“Kak Tituk ada, Uta?” tanya Lunar sambil menjawil dagu Uta.
“Kak Tituk ke Rumah Sakit Al-Islam sama Kak Arif. Tadi pesan, Kak Tituk
nggak bisa menemui Kak Lunar sore ini.”
“Siapa yang sakit?”
“Mama pingsan tadi pagi. Katanya, harus diopname di rumah sakit. Kak
Tituk masih di rumah sakit.”
“Uta ikut Kakak ke rumah sakit menengok mama, yuk!” ajak Lunar kemudian.
“Uta diminta jaga rumah.”
“Nggak apa-apa. Kita kunci saja.”
Beberapa menit kemudian, mereka sudah dalam perjalanan menuju rumah
sakit. Tanpa kesulitan, mereka dapat menemukan Tituk yang tengah duduk di sisi
mamanya. Ia kelihatan terkejut mengetahui kedatangan Lunar.
“Lever mama terserang virus. Saya khawatir sekali sewaktu Dokter memberi
tahu penyakit mama,” ucap Tituk setelah Lunar mengajak bicara di lorong rumah
sakit. “Mestinya, saya nggak membiarkan mama kerja terlalu letih.”
“Kamu sudah berupaya, Tuk. Dengan menjaga adik-adikmu dan membantu
pekerjaan di rumah, artinya kamu sudah berusaha membantu mama,” hibur Lunar.
Lunar tahu, Mama Tituk bekerja sebagai asisten manajer pemasaran asuransi.
Dalam upayanya menjual polis asuransi kepada kliennya, tentu saja mama Tituk
harus ulet.
“Saya takut sekali kehilangan mama,” kata Tituk bertambah lirih.
Lunar memahami sekali kesedihan Tituk. Wanita yang tengah berbaring tak
jauh darinya itu, dijadikan pegangan oleh tiga anaknya yang belum siap untuk
dilepas begitu saja.
“Apa kamu akan menghubungi papamu, Tuk?” tanya Lunar mengingatkan. Pada
pertemuannya yang lalu, Tituk sempat mengisahkan sedikit perihal perceraian
orangtuanya lima tahun lalu. Cuma itu yang ia ketahui.
Tituk menggeleng. “Kak Lunar belum tahu, bagaimana kisah selengkapnya
perceraian mama dan papa. Dulu, saya memang baru kelas enam SD. Tapi saya
mengerti bahwa papalah yang salah dalam perceraian itu. Papa menikah diam-diam
dengan seorang wanita, sementara Uta masih berumur lima tahun waktu itu. Papa
memberitahukan pernikahannya sebulan kemudian. Tentu saja mama marah. Itulah
sebabnya, mama memilih cerai dan membawa kami bertiga ke Bandung, meninggalkan
kota Jakarta,” tutur Tituk dengan mata menerawang. Ia gagal untuk bicara tanpa
melibatkan perasaannya.
“Tak usah kamu paksakan untuk bercerita, bila itu hanya membuatmu sedih,
Tuk,” potong Lunar tak enak meskipun batinnya berharap sebaliknya. Ia berharap,
dengan kesediaan Tituk berbagi cerita, dukanya akan terhapus.
“Tak apa-apa. Ini berhubungan erat dengan pertanyaan yang sering Kak
Lunar lontarkan perihal lukisan Padang Sejuta Bunga itu. Papalah yang
melukisnya. Lukisan itu adalah yang terakhir saat papa masih bersama kami. Saya
masih ingat, betapa harmonisnya kami waktu itu. Kami melukis lukisan itu
bertiga dan tak menduga sama sekali, bila tiga bulan kemudian, mama akan
bercerai dengan papa. Saya memang membenci papa, tapi terkadang merindukannya.
Dengan memandangi lukisan Padang Sejuta Bunga pada pameran tempo hari itu, saya
bisa menghalau sejanak kerinduan saya ….” Tituk menghela napasnya pendek. Air
matanya menetes tanpa terasa.
Ingin rasanya Lunar menghapus air mata itu. Namun, yang bisa dilakukannya
cuma memberikan sapu tangannya kepada Tituk. Tiba-tiba, Lunar menyadari bahwa
cewek yang di hadapannya masih berusia lebih sedikit dari tujuh belas tahun.
Kedewasaan yang timbul lantaran tempaan keras dalam hidupnya, luntur disapu air
matanya.
“Kamu bisa menghubungi papamu kalau mau, Tuk,” usul Lunar.
“Itu nggak akan berarti apa-apa. Sejak perceraian itu, papa nggak pernah
berusaha menemui kami. Mama sendiri menganggap hal itu tak masalah,” tolak
Tituk.
Keduanya terdiam sejenak. Sementara, Tituk menyadari keanehan atas apa
yang telah dilakukannya. Ia tak mengenal jauh siapa Lunar. Yang ia tahu, Lunar
adalah mahasiswa Jurusan Perminyakan ITB, sementara orangtuanya adalah
pengusaha sukses di Surabaya.
Mungkin karena ia terlalu baik bagiku sehingga aku tak ragu lagi padanya.
Atau, barangkali aku memang memerlukan seorang cowok yang mau melibatkan
emosinya, mendengar dukaku, sebagai abang, sebagai….
“Terima kasih atas kepercayaanmu terhadapku, Tuk. Bila tak keberatan,
izinkan aku ikut menanggung dukamu,” kata Lunar kemudian.
Tituk mengerutkan kening mendengar kalimat samar itu.
“Kita bisa memulainya, dengan berdoa untuk kesehatan mamamu,” lanjut
Lunar buru-buru.
Tituk mengangguk. Ia tak keberatan ketika Lunar merangkul bahunya,
membawanya menemui mama yang terbaring sakit.
***
KEKUATAN tubuh mama Tituk ternyata luar biasa. Setelah sepuluh hari
diopname, dokter langsung menyatakan, ia boleh kembali ke rumah. Padahal
biasanya, butuh waktu lebih dari tiga minggu untuk merawat pasien dari serangan
virus keparat itu.
“Bagaimana Mama nggak cepat sembuh, bila kalian tak henti-hentinya
berdoa,” ucap mama sewaktu hari terakhir di rumah sakit.
Itu sebabnya, Tituk memutuskan untuk membuat acara syukuran kecil-kecilan
kesembuhan mamanya, keesokan harinya. Sejak pulang sekolah, ia sudah
menyibukkan diri di dapur, ditemani kedua adiknya.
“Hari ini Kak Lunar akan datang, kan?” tanya Arif di tengah kesibukannya.
“Ya, tapi Kak Lunar harus kuliah dulu,” jawab Tituk. Sepuluh hari ia
lewati hari-harinya bersama Lunar, saat mama di rumah sakit. Ia sudah tahu
banyak tentang cowok itu. Perkenalan yang mendalam itu, sayangnya tak sampai
memberi tahu ada apa di balik kebaikannya selama ini. Semoga bukan pamrih yang
memberatkanku, Tituk membatin.
“Kak Lunar baik ya, Kak Tituk,” sahut Uta yang bertugas memotongi sayuran
untuk urap.
“Untung Kak Lunar jadi pacar Kak Tituk. Nanti kalau Uta sudah besar, mau
cari pacar yang sebaik Kak Lunar.”
Tituk terperangah. Jadi, adiknya mengira ia dan Lunar pacaran. Sama
seperti yang diduga mama semalam.
“Nggak, Ma, nggak ada hubungan khusus antara kami berdua. Barangkali
kebaikan Kak Lunar pada Tituk, semata-mata karena ia menganggap Tituk sebagai
adiknya. Kak Lunar kan, anak bungsu di keluarganya,” kilah Tituk semalam.
“Barangkali dugaanmu benar. Tapi, mama nggak keberatan seandainya pun
kemudian, kalian menjadi sepasang kekasih. Kamu mencintainya, kan?”
Tituk tak menjawab. Ia tak tahu perasaan di hatinya. Barangkali lewat
pendar-pendar yang begitu dirasakan Tituk, ,ama bisa menemukan jawabannya.
Bukankah begitu pula mama selama ini?
“Heh, melamun! Nanti, nasi kuningnya kalau sampai hangus, harus kamu
habiskan sendiri!” Suara di belakang Tituk mengejutkannya. Ternyata, Lunar yang
datang.
“Datang-datang malah bikin orang kaget. Sudah menemui mama di kamar?”
“Belum. Nanti saja denganmu. Sekarang, bisakah kamu tinggalkan sebentar
dapur ini? Aku ingin memperlihatkan sesuatu padamu,” pinta Lunar berharap.
“Tentu saja bisa. Asal jangan terlalu lama,” syarat Tituk. Keduanya
kemudian berjalan meninggalkan dapur menuju halaman rumah.
Lunar ternyata datang dengan mazda putihnya. Ia segera membuka pintu
belakang mobilnya. Diambilnya sebuah lukisan yang tak dibungkus. Betapa
terkejutnya Tituk ketika mengetahui lukisan itu.
“Padang Sejuta Bunga! Bagaimana Kak Lunar bisa mendapatkannya?” tanya
Tituk terkejut.
“Tanpa sepengetahuanmum aku membelinya dari pameran itu. Aku memang ingin
memberikannya kepadamu karena aku melihat betapa besar sorot matamu ingin
memiliki lukisan itu. Tapi, tentu saja tak lucu kalau aku memberikannya begitu
saja padamu, tanpa saling mengenal,” jawab Lunar. Dibiarkannya Tituk mengamati
lukisan itu. “Ambillah untukmu.”
“Tapi, Kak Lunar….”
“Jangan menolak. Aku tak akan kemari lagi kalau kamu menolaknya,” ancam
Lunar.
“Terima kasih. Tapi ….”
“Nggak ada tapi-tapian. Terima saja lukisan itu. Cuma harus kamu ingat,
jangan jadikan lukisan itu monumen dukamu. Meskipun aku tahu, ada kisah sedih
di balik lukisan itu. Dan, biar pun aku bukan pelukisnya, jadikan lukisan itu
sebagai kenangan dari awal perkenalan kita dulu. Juga tanda bahwa … aku
menyayangimu,” cetus Lunar.
Lukisan Padang Sejuta Bunga nyaris lepas dari tangan Tituk, ketika
mendengar ujung kalimat Lunar. Ia berusaha untuk menenangan perasaannya.
“Kak Lunar mau tahu apa yang ingin saya katakan tadi? Dalam pameran itu,
saya pernah berikrar di depan lukisan ini, saya akan mengabdi kepada siapa pun
yang mau memberikan lukisan ini,” ungkap Tituk.
Giliran Lunar yang terperangah. Tapi, ia kemudian buru-buru berkata,
“Mengapa nggak dari dulu kamu katakan ikrarmu itu? Aku kan, nggak perlu
capek-capek menunggu lama untuk jadi kekasihmu!”
Tituk tersenyum. Pandangannya beralih pada lukisan di tangannya. Lunar
ikut menikmati di sisi Tituk. Lunar baru menyadari sekarang bahwa lukisan itu
benar-benar indah. Sementara, Tituk mulai merasakan sesuatu yang lain sewaktu
memandangi lukisan itu. Perasaan keduanya terwakili oleh lukisan bunga-bunga di
depan mereka.
Cukup lama mereka bergeming. Sampai kemudian, terdengar teriakan Arif dan
Uta di pintu rumah. “Kak Lunar! Kak Tituk! Jangan pacaran aja, dong! Nasi
kuningnya hangus, tuh!”
***
Daniel Bola
LANGKAH kaki Fey begitu ringan. Mulutnya bersenandung kecil tak menentu.
Menciptakan irama yang mewakili suasana hatinya. Tentu saja pemandangan ini
menarik perhatian Rien, teman sekamar indekosnya.
“Kelihatannya girang banget, Fey? Kayak habis ketemu cowok paling keren
se- dunia,” komentar Rien usai Fey meletakkan tas kuliahnya.
“Memang. Ah, tapi sebenarnya, nggak keren-keren banget, sih. Cuma … ya,
cowok itu memang tipe yang gue cari-cari selama ini. Nggak nyangka, belum satu
bulan ngerasain kuliah, udah ketemu yang gue mau. Benar-benar nggak rugi pindah
ke Bandung,” timpal Fey panjang.
“Oh, iya?!” Rien tertarik melanjutkan obrolan. “Ketemu di mana?”
“Anak Fikom juga, satu angkatan. Cuma lain jurusan. Dia anak Jurnalistik.
Tapi semester ini, jurusan dia dan jurusan gue kelasnya masih digabung.”
“Ih, apa enaknya nyari cowok yang satu kelas dan satu angkatan? Mau
ngapa-ngapain, pasti selalu diawasi. Gue sih, yang satu kampus aja sudah ogah.”
“Iya, tapi akibatnya nggak laku-laku, kan?”
Rien memonyongkan bibir. “Eh, ngomong-ngomong, siapa gacoan elo itu?”
“Daniel Bola … eh, jangan ketawa dulu. Itu cuma sebutan untuk membedakan
dia dengan Daniel satu lagi di jurusannya.”
“Lantas kok, ditambahin Bola segala? Orangnya bunder kayak bola, gitu?”
“Ati-ati kalo ngomong!” sewot Fey. “Sebutan itu gara-gara dia gila ….”
“Gila?”
“Kalo masih motong ucapan gue sekali lagi, nggak akan gue terusin, nih!”
ancam Fey kesal.
“Oke!” Rien membuat gerakkan seolah mengunci bibirnya.
“Gila yang gue maksud bukan sedeng, tapi ia gila bola. Maksudnya, ia
paling suka sama yang namanya sepak bola. Cowok satu ini agak unik. Di antara
teman-teman sejurusannya, dialah yang paling jarang ngomong. Tapi kalau sudah
soal bola, wah, dialah yang paling ….”
“Gila!”
“Rien!!!”
***
DANIEL menapaki koridor kampus sendirian. Matanya menatap sejenak ke arah
papan pengumuman. Di sana, tertempel selembar kertas karton berisi nama-nama
orang yang terpilih dalam kesebelasan fakultasnya, untuk mengikuti Piala
Rektor.
“Kamu kepilih, kan?”
Daniel menoleh mendengar suara tanya di belakangnya. Cewek itu ….
“Iya, Fey. Imam kemarin ngajak gue. Ya, gue terima aja,” kata Daniel
kemudian.
“Kapan pertandingan pertamanya?” tanya Fey lagi.
“Mungkin lusa. Elo suka nonton bola?” Daniel balik bertanya.
“Iya,” jawab Fey singkat.
Daniel tersenyum. Ada lesung yang agak panjang di pipinya. “Hebat. Jarang
lho, cewek yang suka nonton bola.”
“Ah, yang main bola pun, sekarang udah banyak, Niel,” kilah Fey.
Daniel tersenyum lagi. Fey nggak pernah melewatkan pemandangan yang satu
ini. Cowok di depannya itu kerap kali membuat dadanya berasa lain.
“Eh, Niel, elo ingat nggak, beberapa waktu lalu ketika cerpen gue ada
yang dimuat, elo minta ditraktir? Kebetulan, honor cerpen itu udah ditransfer.”
Fey mengalihkan pembicaraan.
“Ah, itu …. Waktu itu, gue cuma main-main, lagi,” ujar Daniel yang tabu
ditraktir cewek.
“Tapi, serius pun, gue nggak keberatan. Kapan elo ada waktu ditraktir?”
“Terserah yang traktir aja deh, kalo gitu. Tapi, besok gue mesti latihan
pertandingan lusa ….”
“Nah, lusanya aja, abis elo tanding,” potong Fey.
“Iya, kalau memang itu mau elo, Fey.”
Fey tersenyum senang. Usahanya untuk membuat dirinya lebih dekat dengan
Daniel sudah berhasil. Dan, langkah selanjutnya tinggal dipikirkan sehingga
cowok lugu itu mengerti bahwa ada gadis yang mendambakannya.
***
FEY mengambil jaket hitamnya. Sweter saja nggak cukup untuk menghadapi
udara di luar yang terasa dingin nanti.
“Fey, elo mau ke mana mendung-mendung gini?” tanya Rien begitu masuk
kamar.
“Kan, udah gue bilang dari kemarin, hari ini gue mau nonton pertandingan
sepak bola,” jawab Fey.
Rien tertawa sambil memegang perutnya menahan geli. “Nonton bola?! Gue
pikirn kemarin elo main-main waktu bilang gitu. Ckckck …, gandrung sih
gandrung, tapi jangan jadi ikutan gila gitu dong, Fey!”
“Namanya juga usaha, boleh dong, ngelakuin apa aja,” sahut Fey tak acuh.
“Iya, iya. Heh, ngomong-ngomong, elo udah selidiki dia udah punya
gandengan belum? Nanti capek-capek usaha, nggak tahunya gebetan elo itu udah
punya pacar. Bisa gigit jari elo, Fey.”
“Informan gue udah ngasih tahu, Daniel nggak punya dan belum pernah punya
pacar. Doain aja, biar gue jadi pacar pertama dan yang terakhirnya …. Eh, udah
ah. Gue mesti buru-buru berangkat. Nggak lucu kan, kalau gue sampai sana, dia
udah nyetak gol banyak untuk gue,” putus Fey.
“Uh, ge-ernya!” rutuk Rien.
Fey nggak peduli lagi. Ia terus melangkah meninggalkan tempat indekosnya.
Langit yang mendung, sama sekali nggak menggeser niatnya untuk pergi ke
lapangan Uni di Jalan Karapitan. Fey yakin, mendung di langit bakal menjadi
cerah, begitu ia melihat Daniel nanti.
Tiba di tujuan, Fey langsung mengedarkan matanya mencari orang yang
dikenal dari kampusnya. Nggak jauh dari pintu masuk, ia melihat beberapa teman
cowoknya menggerombol. Segera dihampirinya gerombolan itu.
“Kok, belum pada masuk?” tanya Fey heran.
“Nanti aja kalau udah main. Sendirian aja, Fey?” tanya Tio.
“Iya. Kamu lihat Daniel? Maksudku Daniel Bola.”
“Dia kan, main. Tentu aja sudah di dalam. Ada apa? Wah, mencurigakan
nih!”
Fey enggan menimpali. Ia bergegas masuk ke Stadion Uni yang nggak begitu
besar itu. Benar saja, di sisi lapangan, ia melihat kesebelasan kampusnya sudah
siap bermain. Ada Daniel di antara rombongan itu. Fey mencoba berteriak sambil
melambaikan tangannya ke arah Daniel. Berhasil! Cowok itu melihat dan kemudian
berlari mendekati Fey.
“Datang juga elo, Fey,” sapa Daniel. “Sendirian?”
“Lebih enak sendiri,” timpal Fey. Uh, nggak tahukah cowok ini kalau
kedatangan gue ini semata-mata untuknya? “Jangan lupa, buat gol yang banyak
untuk gue, ya!”
“Kayaknya susah, Fey. Aku kebagian di back, bukan striker. Jadi nggak
mungkin.”
Fey cuma manggut-manggut. Ia sama sekali tak mengerti kata-kata yang
dimaksud Daniel. “Pokoknya, mainlah yang bagus,” pinta Fey kemudian.
Daniel menganggukan kepala. Sedetik kemudian, ia sudah berlari ke tengah
lapangan. Pertandingan dimulai. Kali ini, kesebelasan Komunikasi melawan
anak-anak Psikologi. Fey sudah mendengar, tim lawan kali ini nggak begitu
hebat.
“Di Psikologi kan jarang cowok, jadi susah cari pemain yang bagus.”
Taufik menjelaskannya tadi pagi di kampus.
Fey berusaha menikmati pertandingan di depannya. Tapi, sia-sia saja.
Matanya bukan tertuju ke arah bola, tapi selalu pada sosok cowok itu. Hingga
pertandingan usai, Fey baru sadar kalau kesebelasannya menang 5 – 0.
Fey bergegas meninggalkan tempat duduknya. Ia berusaha mendekati
kerumunan kesebelasan Fikom. Mereka masih tampak bersuka cita.
“Selamat ya, Niel. Wah, kalau nggak ada elo, mungkin penjaga gawangnya
udah kebobolan beberapa kali.” Fey memberi selamat. “Jadi kan, gue traktir
sekarang?”
“Astaga! Gue lupa punya janji sama elo hari ini. Duh, gue juga lupa
ngasih tau elo kalau anak-anak cowok udah janjian mau ngadain makan-makan kalo
menangin pertandingan ini.” Daniel menepuk dahinya.
Fey menarik napas panjang. Ada kekecewaan di hatinya.
“Tapi, jangan khawatir deh, Fey. Nanti malam, elo ada acara ke luar apa
nggak? Kalau nggak, biar gue ke tempat indekos elo.”
Seketika mata Fey terbelalak. Nggak salah dengarkah dia? Daniel mau ke
tempat indekosnya nanti malam? Nanti malam … dan nanti malam adalah malam Minggu.
Oh, apakah ini artinya ia ….
“Oke, gue tunggu, lho!” sahut Fey mantap.
“Oh, iya, kamu udah pernah nulis alamat indekos elo di buku ijo gue waktu
orientasi dulu, kan?”
“Iya,” jawab Fey. Malah komplet dengan nomor HP segala, Fey membatin.
“Ya, sampai jumpa!”
***
KERIBUTAN tercipta di kamar Fey. Rien terus mengusik Fey yang tengah
mempersiapkan diri untuk kedatangan Daniel.
“Lipstik elo ketebalan tuh, Fey,” komentar Rien.
“Gue nggak pakai, kok!”
“Oh, ya? Wah, kalau gitu, yang merah-merah di bibir elo apa?”
Fey melihat ke cermin. Nggak ada apa-apa. Ia baru sadar, Rien telah
mengerjainya ketika sahabatnya itu tertawa ngakak.
“Eit, jangan marah! Nanti muka elo kusut. Si Bola itu bisa-bisa langsung
kabur.”
“Udah deh, pergi sana! Ngeganggu aja!” hardik Fey. Ia melirik jam
bekernya. Sudah pukul tujuh lewat. Hm, jam berapa Daniel akan datang, ya? Cowok
itu nggak menyebutkan jam yang pasti. Fey memutuskan ke ruang tengah.
Di ruang tengah untung sepi. Beberapa anak indekos sudah pergi ke luar
beberapa menit lalu. Fey berusaha bersabar sambil membuka-buka majalah. Tapi
sampai ia habis membaca lima artikel, Daniel belum juga muncul. Fey meletakkan
majalahnya dan menghidupkan televisi.
Setengah hati Fey memasang matanya. Saat menekan remote mengganti saluran
televisi, ternyata Fey menangkap siaran langsung pertandingan sepak bola antara
Persib dan Persija. Fey jadi tambah teringat Daniel. Kesebelasan favorit Daniel
adalah Persib.
Heh, jangan-jangan ….
Ringtone HP Fey berbuyi. Fey kaget ketika langsung mendengar suara sapaan
milik Daniel di seberang sana.
“Ya, gue Fey. Gue udah nungguin elo nih, dari tadi,” sahut Fey langsung.
“Oh, lagi-lagi gue lupa. Hari ini ada pertandingan sepak bola di teve.
Gue nggak bisa ninggalin, Fey. Tadinya gue mau tetap ke sana abis pertandingan.
Tapi, pasti udah kemalaman. Gimana kalo besok aja …. Halo! Fey … Fey!”
Nggak ada sahutan dari Fey. Ia sudah meletakkan HPnya begitu merasa
kekecewaan di dadanya memuncak. Seketika itu, Fey langsung bertekad untuk
melupakan cowok itu malam ini juga.
Nggak ada lagi yang namanya Daniel di dalam hatinya. Ya, Daniel Bola.
Buat apa terlalu mengharapkan cowok itu? Ya, buat apa kalau cuma bikin makan
hati? Dan, hatiku ini tak lebih berharga dari bola? Fey berteriak dalam hati.
***
Selubung Gurat Hati
PELUIT time out dibunyikan wasit di sisi lapangan. Pertandingan basket
itu terhenti sejenak. Klub Rajawali yang menempati sisi kanan, terlihat agak
tegang. Mereka sudah memimpin angka sejak awal pertandingan, namun klub lawan
kini mulai mengejar.
“Arlan, kamu diganti dulu sama Cali!” Pelatih yang keringatnya hampir
menyamai para pemain itu, memberikan instruksi sesuai dengan yang
direncanakannya.
Arlan mengangguk. Ia mengambil tempat duduk di barisan untuk pemain
cadangan. Matanya terarah ke sudut tribun penonton. Mencari sosok yang
memorak-porandakan konsentarasi bertandingnya tadi.
Cewek berambut panjang dengan blus biru itu, tak ada lagi di tempatnya.
“Permainanmu kacau sekali, Lan,” komentar Mas Aji, yang tahu-tahu sudah
duduk di sebelah Arlan. Ia agak senewen melihat permainan muridnya tadi.
Tembakan three point yang biasa dihasilkan, semuanya gagal.
“Janji deh, nanti kalo dipasang lagi, nggak bakalan kayak tadi,” timpal
Arlan. Ia meneguk sebagian air mineral miliknya.
“Pamit sebentar mau ke belakang ya, Mas.”
Pelatih itu cuma mengangguk sambil tetap memandang ke tengah lapangan.
Pertandingan kian seru.
Arlan berjalan cepat. Yang ditujunya bukan kamar kecil. Ia malah menembus
pintu ke luar. Matanya terus mencari-cari cewek yang dilihatnya di tribun tadi.
Kalo ia menghilang dari tribun itu, mestinya ia pergi ke luar.
“Arlan! Kamu bukannya lagi bertanding? Kok, di luar, sih?” Suara tanya
itu mengejutkan Arlan. Seorang cewek manis berambut sebahu mendekatinya.
“Aku lagi nggak kepake dulu. Ya, keluar cari angin sebentar kan, nggak
dilarang. Bagaimana rapat senatnya tadi?” Arlan teringat kesibukan Ratri sore
ini.
“Agak tersendat dibandingkan sebelumnya. Makanya aku telat datang ke
mari,” jawab Ratri. Ia menjajari langkah Arlan ke dalam gelanggang olahraga.
“Kamu duduk di sini saja. Biar nggak susah aku nyari kamu nanti. Eh, mau
nunggu sampai aku pulang, kan?” tanya Arlan sambil membiarkan Ratri duduk di
barisan paling depan.
“Iya. Asal kamu main bagus!” Ratri tersenyum.
Arlan kembali ke bangku cadangan, bergabung dengan tim lainnya. Baru
sepuluh menit kemudian, ia sudah dipanggil lagi untuk mengisi lapangan. Sebuah
tembakan three point diciptanya semenit kemudian.
Ratri terpekik girang melihat aksi Arlan. Matanya terus melekat pada
sosok cowok itu. Bukan pada permainan basket, yang sebenarnya memang tak pernah
ia sukai.
***
DUDUK di taman kecil depan perpustakaan kampus, kerap dilakukan Arlan
bila tak tahu apa yang harus dikerjakannya, sambil menunggu kuliah berikutnya.
Mengedarkan pandangan sambil melamun, memang jadi keasyikan tersendiri buatnya.
Nggak jarang, matanya tertumbuk pada sosok cewek cantik. Tapi, hatinya
buru-buru menyisihkan hasrat yang kemudian timbul. Sebuah nama pada masa lalu,
telah menciptakan kenangan yang menggurat di hatinya ….
Maharani menjadi siswa baru kelas dua. Ia langsung populer dengan
kecantikannya. Ditambah lagi dengan mobil mewah yang bergantian
mengantar-jemputnya. Banyak cowok berusahan mendekati, tapi semua harus puas
dengan mimpi mereka saja, tanpa berhasil mewujudkannya. Sementara, sebagian
dari mereka, mimpi pun sudah tak berani, termasuk Arlan yang duduk di belakang
Rani.
Sampai suatu siang sepulang sekolah, sewaktu Arlan hendak menghidupkan
motornya ….
“Arlan, mau nolong aku nggak?” Suara Rani mengejutkannya.
“Asal aku sanggup.”
“Aku harus buru-buru ke rumah. Tapi, jemputanku belum datang juga. Aku
….”
“Mengantarmu dengan motorku ini? Apa kamu nggak risi?”
“Sudahlah. Mau apa nggak?”
Arlan langsung menyambar helm yang tergantung di stang motor di
sebelahnya. Ia menyodorkan helm itu kepada Rani. “Ayolah. Tapi kalo kamu masuk
angin, aku nggak tanggung.” Arlan menghidupkan motornya dan membiarkan
membonceng.
Ternyata, itu menjadi sebuah awal dari jalinan manis antara mereka.
Beberapa kali Rani dbonceng Arlan. Sampai akhirnya, Arlan merasa perlu
mengungkapkan isi hatinya.
“Kamu mau jadi pacarku, Ran?” tanya Arlan sehabis mengajak Rani
menyaksikan pertandingan basket antarkelas.
Rani mengangguk dan tersenum. “Tapi dengan syarat, kamu jangan sampai
datang ke rumahku,” katanya kemudian.
“Kenapa?”
“Papa melarangku pacaran.”
“Backstreet juga okelah!” angguk Arlan mantap. Siapa tahu waktu mengubah
hal itu.
Tapi, waktu tak pernah memberi kesempatan untuk mengubah hubungan mereka
menjadi lebih baik. Lima bulan berlalu, tetap saja mereka harus pacaran
umpet-umpetan. Bahkanh tiba-tiba, waktu mengubahnya menjadi amat pahit.
Arlan membonceng Rani sepulang sekolah. Dan, kecelakaan yang tak pernah
diinginkan siapa pun itu terjadi. Arlan mengalami luka gores di tangan dan
kaki. Tapi, Rani sampai gegar otak.
Langit buat Arlan benar-benar runtuh kemudian. Rani menghilang entah ke
mana. Usaha yang dilakukannya, cuma membuat panjang kepedihannya.
Rani ….
Arlan tersentak dari lamunannya. Sekelebat ia melihat bayangan punggung
seorang cewek. Ia berambut panjang. Dan, gaun biru yang dipakai itu, sama
persis dengan gaun yang dibelikan Arlan pada hari ulang tahun Rani yang ke
tujuh belas.
Arlan berlari mengejar sosok itu ke dalam perpustakaan. Tapi, di pintu
masuk, langkahnya tertahan.
“Arlan, aku cari-cari kamu dari tadi.” Ratri langsung mendekatinya.
“Bagaimana dengan final invitasi antarklub itu?”
“Jadi besok malam. Kamu mau nonton?”
“Kebetulan nggak ada kegiatan. Sudah makan siang? Ke Gelael, yuk! Lapar,
nih.”
Arlan menurut saja. Sulit untuk menolak setiap ajakan Ratri. Cewek ini
memang seperti hampir kebanyakan anak orang berada. Semua kemauannya harus
dipenuhi. Meskipun Ratri berusaha menutupinya dengan berorganisasi di senat,
sifat manja itu amat dirasakan Arlan. Tapi, lepas dari itu semua, Arlan
lagi-lagi harus bersyukur bisa dekat dengan cewek yang diincar banyak temannya.
Seperti dulu, seperti Rani ….
Arlan mendesah mengingat nama itu. Dan, siapakah cewek bergaun biru itu?
“Kamu kelihatan gelisah, Lan,” kata Ratri.
“Nggak apa-apa,” sembunyi Arlan.
“Sungguh?”
“Sungguh.” Arlan menatap bola mata Ratri agar lebih meyakinkan. Dan,
hatinya senantiasa bergetar usai menatap binar bola mata itu. Binar itu mirip
sekali dengan milik Rani.
Mereka masuk ke dalam lancer merah Ratri. Sambil menghidupkan mesin,
Ratri berujar, “Dulu kamu pernah cerita SMA kamu. SMA Lima, kan?”
“Iya. Lumayan ngetop di Bandung sini. Kalo di Jakarta, barangkali bisa
disamain dengan SMA kamu itu.”
“Biasanya, sekolah ngetop pada cakep-cakep ceweknya,” lanjut Ratri
“Memang.”
“Masa sih, kamu benar-benar nggak punya pacar di sana?”
Arlan tak menjawab. Ia memang selalu berupaya merahasiakan jalinan
cintanya dengan Rani.
“Pasti kamu pernah patah hati ya, sampai akhirnya kebawa ke masa kuliah.
Patah hati sih, boleh aja. Asal jangan jadi dingin, Lan.”
“Dingin?”
“Lho, kamu nggak ngerasa kalo kamu tuh, cowok yang dingin? Nggak pernah
ngobrol dengan siapa pun di kampus, selain aku. Mainnya aja cuma sendirian di
taman perpustakaan.”
Arlan cuma tersenyum. Ia yakin, Ratri tengah memancingnya untuk cerita
soal masa lalunya. Sudah sering Arlan membaca gelagat itu. Belum, belum tiba
saat untuk itu semua, Arlan membatin.
***
NGGAK tahu, sampai berapa lama lagi aku bisa bertahan begini. Mencari,
menunggu, mengejar bayanganmu, yang hilang entah ke mana. Sementara, sisi
hatiku telah hampa begitu lama. Akankah kamu salahkan aku, bila saat ini sebuah
nama hadir mengisi kehampaan itu? Tidakkah kamu akan merutukku tak setia dan
mengutukku agar mengalami luka itu lagi?
Kalo saja nggak kulihat lagi kelebat bayangmu belakangan ini, aku sudah
memasukkan namanya pada hari-hariku. Dan, bila bayangmu itu tak juga dapat
kuraih, akan kuakhiri penantianku ini ….
Arlan menutup buku catatannya. Buku yang isinya melulu tentang Rani dan
sejuta harapan yang menggurat di hatinya. Hampir dua tahun penantian itu
terjadi.
Ia beranjak untuk bersiap ke gelanggang olahraga. Rani …. Ratri …. Nama
itu terus mengiringi desah napasnya. Satu sisi hatinya ingin, agar Arlan segera
memberi kepastian kepada Ratri tentang hubungan yang mereka jalin. Sementara,
sisi lain hatinya justru ingin mempertahankan kasih Rani.
Briefing yang diberikan pelatih menjelang pertandingan final invitasi
antarklub bola basket se-Bandung, nyaris tak digubris Arlan. Begitu masuk ke
sisi lapangan, matanya langsung mengitari tribun penonton.
“Nyari pacar elo, Lan?” usik si jangkung, Oki.
“Sembarangan. Ratri bukan pacar gue,” kilah Arlan.
“Tapi, setia banget, ya. Cuma kali ini, kayaknya dia telat lagi.”
Arlan Cuma nyengir. Bangku yang biasa diduduki Ratri, sudah diisi orang lain.
Tapi, bangku di sudut lain itu masih kosong. Tempat favorit Rani bila
menyaksikan Arlan bertanding.
Priiit ….
Peluit wasit berbunyi untuk memanggil peserta. Arlan bersama timnya
langsung memenuhi lapangan. Rebutan bola segera dimulai, seiring tiupan peluit.
Lawan kali ini cukup tangguh. Lima menit pertama, nyaris dilalui Arlan
hanya dengan mengoper bola. Baru kemudian, akhirnya ia mendapat bola tanpa
dihadang. Ada kesempatan untuk menciptakan three point. Cuma, saat bola itu
diangkat, mata Arlan menangkap sosok cewek bergaun biru di tempat duduk kosong
itu. Tempat yang sama diduduki cewek itu, saat babak penyisihan lalu.
Lemparan bola Arlan tak sampai ring. Untungnya sempat diraih Tio. Tapi,
peluit wasit berbunyi lantaran pelatih klub Rajawali meminta time out.
“Konsentrasimu kacau sekali, Lan!” hardik Mas Aji saat timnya mendekat.
“Sori, Mas. Diganti dulu, deh,” usul Arlan.
“Pacarnya belum datang sih, Mas,” celetuk Tio.
Mas Aji setuju. Ia memanggil Alford yang tingginya 185 sentimeter.
Pertandingan dimulai lagi.
Arlan langsung mengarahkan pandangannya ke tribun penonton di
seberangnya. Agak sulit juga untuk menyidiki wajah cewek yang masih terduduk di
sana itu. Apalagi wajahnya menunduk, seolah tahu sedang diamati Arlan.
Cewek itu beringsut ke pinggir dan berjalan cepat meninggalkan tempat
duduknya. Arlan refleks berdiri.
“Mas, saya pamit ke belakang sebentar,” izin Arlan.
“Dasar beser! Baru main beberapa menit!”
Arlan bergegas mengayunkan langkahnya. Cewek itu pasti ke luar. Siapakah
dia? Ranikah? Mengapa begitu misterius?
Sampai di ambang pintu ke luar, Arlan masih sempat menangkap kelebat
bayangan cewek itu menuju tempat parkir mobil. Arlan menyusul. Tapi, napasnya
tertahan sewaktu melihat cewek itu meluncur dengan katana biru.
“Arlan!” Suara khas itu mengejutkan Arlan.
Ratri baru hendak keluar dari lancernya.
“Jangan turun. Antar aku!” Arlan langsung menyerbu masuk ke dalam mobil.
Suatu kebetulan yang menguntungkan.
“Ada apa ini?” Ratri bingung melihat Arlan panik.
“Kamu lihat escudo tadi, kan? Tolong disusul!”
“Orang di dalam mobil itu beberapa kali menguntitku. Aku penasaran.
Kurasa kita belok kiri, Rat. Nah, itu mobilnya!” Arlan mengarahkan jarinya ke
depan, nyaris menembus kaca.
Mobil yang mereka kejar melaju kian kencang, masuk ke jalan agak besar.
Ratri membelokkan mobilnya tiba-tiba. Arlan tercengang.
“Kenapa membelok, Rat?” tanya Arlan.
Ratri tak menjawab. Ia malah membawa mobilnya ke jalan yang agak sepi,
sampai akhirnya ke pelataran parkir sebuah kompleks pemakaman umum. Suasana
hening menyergap mereka.
“Ada yang ingin kuutarakan kepadamu, Lan. Barangkali aku terlalu lancang
….” Ratri menggantung kalimatnya, menunggu reaksi Arlan.
Mengetahui Arlan hanya membisu, Ratri keluar dari mobil. Tubuhnya lantas
bersandar pada badan mobil. Arlan dihinggapi sejuta tanya. Belum terpecahkan
persoalan yang satu, sudah muncul soal lainnya.
“Barangkali aku harus menceritakannya dari pertama kepadamu.” Ratri
membuka mulutnya lagi. “Dimulai dari perkenalan kita. Terus terang, kamu
langsung menyita perhatianku begitu kukenal. Tapi tentu saja, aku punya batasan
untuk mengungkapkan perasaanku itu.”
Arlan merasakan hal itu.
“Cara yang kulakukan untuk menarik perhatianmu, kupikir sudah tepat. Tapi
rupanya, ada selubung misteri yang menutupi hatimu. Segala upaya kulakukan
untuk memancingmu, tapi kamu seperti enggan membukanya. Katakanlah, kenapa,
Lan?”
“A … aku … aku tak bisa menceritakannya ….”
“Kurasa kini memang tak perlu lagi, Lan. Waktu yang membelaku
memberitahukan itu semua. Satu bulan lalu, aku main ke tempat om-ku. Kutempati
bekas kamar sepupuku. Tanpa sengaja, aku menemukan tempat rahasia menyimpan
buku harian sepupuku itu, Lan. Isinya banyak bertutur tentangmu dan cerita
cinta rahasia kalian berdua ….”
“Rani? Dia sepupumu?! Di mana dia sekarang?”
“Setahun yang lalu, dia telah meninggalkan kita.” Nada suara Ratri
melemah.
Arlan mendongakkan kepalanya ke langit. Gara-gara kecelakaan itukah?
“Kamu tak perlu merutuki dirimu sendiri, Lan. Tanpa kamu ketahui,
sebenarnya kesehatan Rani memang rapuh. Itu sebabnya, papanya amat ketat
mengawasi. Ada kanker di otaknya. Dulu pernah dioperasi di Belanda, tapi
kemudian tumbuh lagi. Operasinya yang kedua gagal.”
Arlan menahan air mata yang hampa ke luar.
“Setelah tahu itu semua, aku masih bersabar diri, Lan. Aku ingin satu
bentuk kejujuran darimu. Sebagai orang yang dekat, tadinya kupikir kamu mau
mengungkapkan itu semua. Tapi, harapanku sia-sia. Dan, itu menimbulkan ide gila
untuk menganggumu ….”
“Cewek bergaun biru itu?”
“Ya, cewek itu bagian dari permainanku. Tapi ternyata, aku tak sanggup
untuk terus mempermainkanmu. Tuntutan untuk jujur kepadamu amat menyiksaku.”
Ratri berupaya untuk tetap tegar mengeluarkan kata-katanya.
“Kamu ….”
“Apa pun pandanganmu padaku saat ini, akan kuterima. Tapi, beri aku
kesempatan untuk mengantarkanmu melihat makam Rani.” Ratri mulai tak kuat
menahan isaknya. Ia tahu risiko apa yang paling berat yang akan diterimanya.
Bisa saja Arlan membencinya, lantas menjauhinya tanpa secuil maaf.
Tanpa diduga, Arlan malah merengkuh Ratri ke pelukannya. Tentu saja, isak
Ratri makin tak terbendung. Ia tumpahkan gundah yang mengganjal perasaannya
selama ini.
“Aku yang salah, Ratri. Aku bukan cuma nggak jujur pada hatiku sendiri.
Aku telah mendustai banyak hal. Kesalahanku amat banyak. Aku harus menebus
sakit hati yang kubuat padamu. Aku … aku mencintaimu, Ratri. Sesungguhnya,
perasaan itu timbul sudah lama. Tapi, aku terlalu takut menghadapi risiko. Aku
takut, gurat luka yang ada di hatiku menganga lagi,” tutur Arlan sambil
mengusap uraian rambut Ratri.
Ratri mengangkat mukanya. Jarinya menghapus air mata yang masih ke luar.
“Sebaiknya, kita segera ke makam Rani. Berdoa sejenak di makamnya, barangkali
akan menenteramkan hati kita berdua. Lagi pula, kamu kan, harus kembali
bergabung dengan timmu itu,” kata Ratri kemudian.
Arlan terperangah. Ia baru menyadari, dirinya masih memakai kostum klub
basketnya. Segera dirangkulnya bahu Ratri dengan tangan kanannya.
“Ayolah, kita bergegas. Mudah-mudahan, aku masih sempat membuat three
point. Tembakan itu akan kubuat spesial untukmu,” ucap Arlan dengan kelegaan
yang tiada tara. Entah ke mana larinya selubung yang menutup rapat hatinya.
Entah ke mana hilangnya gurat luka itu.
***
Kidung Camar Pulang
BADAI dan kabut yang berbaur, membuat suasana kian mencekam. Vita
berusaha menerobos tantangan alam itu hanya dengan lampu senter kabutnya. Ia
nggak peduli air hujan yang sudah menyelusup flanelnya, melewati raincoat
kuningnya. Ia harus buru-buru sampai ke arah suara ribut di lembah gunung yang
ditapakinya.
“Vita, syukur elo sampai juga! Kita harus segera membawanya turun.” Arief
menunjuk seorang peserta pendidikan dan latihan dasar yang terbaring.
Bibir cowok itu tampak kelu. Sesekali bergetar, seperti hendak
meneriakkan kesakitannya. Vita langsung menggigit bibirnya sewaktu memeriksa
perut cowok itu yang membiru. Ternyata ia tak cuma dehidrasi, tapi juga infeksi
lambung.
“Cepat bawa turun! Seharusnya, kalian nggak perlu menunggu komando gue!
Cepat!” Vita berteriak lantang.
Tenggorokkannya yang kering kehausan, membuat Vita terjaga dari tidurnya.
Rupanya, bayangan itu telah membuat keringatnya keluar berlebihan. Diliriknya
sebentar jam beker di atas meja. Sebentar lagi pukul enam pagi. Vita mengusap
rambutnya ke belakang. Diteguknya air putih yang biasa ia siapkan di atas meja.
Masih agak malas Vita meninggalkan kamar. Ia memandang sederatan foto yang
memadati dinding kamar.
Matahari terbenam di pantai selatan, sunrise di puncak Gunung Slamet,
kawah putih Gunung Patuha, sampai riak Danau Segara Anakan di Rinjani. Semua
menjalin keindahan di balik petualangan yang dilakukan Vita.
Mana mungkin gue ninggalin ini semua, Vita membatin.
“Mbak Vit, ada telepon!” Teriak lantang dan ketukan pintu yang dilakukan
Deza, memaksa Vita segera meninggalkan kamarnya.
“Lain kali nggak perlu teriak-teriak begitu, Za!” hardik Vita kesal.
“Kirain Mbak Vita masih tidur.”
Vita bergegas ke ruang tengah, setelah sekali lagi memelototi adiknya.
Diambilnya gagang telepon yang diletakkan di atas meja kecil.
“Vita di sini. Dengan siapa, nih?” sapa Vita seperti biasanya.
“Yola. Ada berita penting, Vit. Kayaknya, kami nggak bisa ngajak elo ke
Pantai Pangumbahan lusa.” Suara Yola terdengar ragu.
“Kenapa? Jangan mentang-mentang gue kena skorsing kampus, lantas kalian
jauhi. Acara kali ini di luar kegiatan klub kita, kan?” sewot Vita.
“Semalam, Rob datang ke markas. Ia nggak ngizinin kita-kita ngajak elo.”
“Kenapa? Apa alasannya?”
“Ia nggak jelasin apa-apa. Sebaiknya, elo temui Rob aja. Sudah ya, Vit!”
Yola buru-buru meletakkan horn teleponnya. Ia nggak mau kebagian getah atas
kesewotan Vita.
Usai mengembalikan gagang telepon ke tempatnya, Vita langsung menutup
mukanya dengan telapak tangan. Ia masih belum mengerti dengan rentetan kejadian
yang tak menyenangkan hatinya.
Diawali saat ia menjabat komandan lapangan pendidikan dan latihan dasar
pada kelompok pecinta alam di kampusnya bulan lalu. Vita tak menyangka, cobaan
yang harus dihadapinya begitu berat. Salah seorang peserta meninggal akibat
dehidrasi dan infeksi lambung saat berada di medan. Peristiwa itu membuat
rektorat menskoring ketua panitia dan komandan lapangan selama satu semester.
Buntutnya, papa dan mama, yang memang sejak semula tak mengizinkan Vita menjadi
petualang, membuat pilihan untuknya, tetap berpetualang atau tak pernah
menginjak lagi rumah ini.
“Maaf, Teman-teman, kali ini gue benar-benar akan berhenti. Ini keputusan
orang tua gue, kecuali gue bisa menawarnya suatu saat nanti,” cetus Vita di
depan teman-teman klubnya, tiga minggu lalu.
“Gue nggak pernah percaya pada burung camar yang bilang bakal berhenti
terbang, padahal belum seluruh pantai ia jelajahi,” celetuk Dion, si rambut
gondrong.
Vita cuma mengangkat bahu. Ternyata, apa yang dikatakan Dion tak keliru.
Ia tak betah melewati hari-harinya begitu saja, tanpa cerita-cerita
petualangan. Maka, saat ia mendengar beberapa temannya akan memburu matahari
tenggelam di Pantai Ujung Genteng, lantas membantu pelepasan penyu ke laut di
daerah Pangumbahan, ia buru-buru mendaftarkan diri dalam rombongan.
Dan, kini Rob menghalanginya.
“Mbak Vita, minggu depan aku pinjam peralatan hiking-nya, ya!” Suara Deza
membuat kepala Vita terdongak.
“Buat apa? Kamu pengin ikut-ikutan kakakmu ini? Memangnya sudah punya
izin dari papa dan mama? Mendingan kamu sibuk dalam organisasi kayak mereka.
Mereka nggak pernah suka anaknya naik gunung atau nyusurin pantai!” Mulut Vita
terkunci mendadak. Ia baru sadar, Mama sedang berdiri di dekatnya sewaktu Deza
mengedipkan mata.
“Mama dengar kamu akan jalan-jalan lagi,” ucap Mama sambil duduk di dekat
Vita. Kalau pada hari Minggu pakaiannya serapi itu, sudah bisa ditebak Vita.
Pasti mama akan pergi dengan papa ke pertemuan suatu yayasan sosial.
“Pasti dari Rob?” terka Vita.
“Semalam, waktu kamu dan Deza ke bioskop sampai larut malam, Rob datang
ke sini. Ia menunggu kamu cukup lama,” tutur mama.
Dan, selama menunggu kedatanganku, Mama mencekoki Rob dengan banyak hal,
tebak Vita dalam hati. Dapat dibayangkan bagaimana cara Mama membujuk Rob agar
membantu Vita menjauhi gunung. Mama dengan lihai memilih kalimat, cara agar Rob
bisa mati-matian mencegah Vita pergi ke Pantai Pangumbahan.
“Rob anak yang baik. Mama senang kamu akrab dengannya. Ia juga
merencanakan untuk menghentikan hobinya naik gunung dan semacamnya itu.”
Vita terhenyak. Nggak percaya. Bagaimana mungkin si Macan Gunung itu
berikrar sedemikian rupa? Apa komentar anggota klub pecinta alam yang lain di
kampusnya, bila mendengar hal ini? Pasti mama telah menghasut Rob
habis-habisan!
“Lho, mau ke mana kamu?” tanya mama melihat Vita yang sedang diajak
bicara, malah berdiri. Padahal, ada satu hal yang teramat penting yang masih
ingin disampaikan kepada Vita.
“Vita mau menemui Rob, Ma.”
“Rob janji akan ke sini siang ini.”
“Vita ingin menemuinya pagi ini juga!” tegas Vita.
***
“SELAMAT pagi, Vit!”
Vita cuma terdiam di ambang pintu kamar indekos Rob. Ia pandangi pundak
kukuh di depannya. Mestinya, sejak setengah tahun lalu, ia sudah bisa bersandar
di pundak itu, bila hatinya galau seperti saat ini. Tapi, Vita masih riskan
melakukannya.
“Masuklah. Gue ke rumah semalam,” ujar Rob.
“Sebelum atau setelah elo datang ke markas, memaksa teman-teman melarang
gue pergi bareng mereka?” tanya Vita setelah duduk di salah satu kursi.
“Gue lakuin itu untuk kebaikan kita semua,” jelas Rob. Ditatapnya mata
tegar gadis di depannya. Mata seekor camar.
“Elo terlalu berlebihan, Rob. Gue pikir itu percuma. Gue tetap akan
pergi.”
“Sekalipun nyokap nggak kasih izin?”
“Gue nggak akan minta izin,” sahut Vita.
“Terserah elo kalau memang demikian. Gue tetap megang amanah nyokap elo.
Karena elo tetap bersikeras melanggar ikrar elo dulu, jangan salahin kalo gue
ninggalin elo,” ancam Rob datar.
“Rob!” Vita tak percaya kalimat itu akan dilontarkan Rob. Pengorbanan
cinta dan hobi Rob untuknya benar-benar mengada-ada, seperti keputusan pemuda
cengeng belasan tahun.
“Gunung, pantai, camar … semua pun akan gue tinggalin,” susul Rob samar.
Ia menyembunyikan alasan kuat yang mendorongnya mengucapkan semua itu.
Satu-satunya yang ia inginkan, Vita mengurungkan niatnya kembali berpetualang.
Vita berdiri buru-buru. Sebelum meninggalkan kamar Rob, ia masih sempat
berkata, “Baik, Rob, kalau itu keputusan elo. Gue hargai. Tapi gue harap, elo
nggak nyesel dengan keputusan yang tergesa-gesa itu!”
Entah berapa kerikil yang ditendang Vita dalam perjalanan pulang ke
rumah.
***
MASIH terlalu gelap sebenarnya untuk keluar tenda. Vita yang mulanya
ingin mengawali pagi ini dengan menapaki pantai taman laut Ujung Genteng,
memilih tempat lain di sebelah barat. Didudukinya bibir dermaga kecil Belanda
yang tinggal puing-puing.
Angin pagi yang berembus membuat Vita menyipitkan matanya. Mata yang
masih lelah karena semalam ia tak cukup tidur.
Tadi malam untuk kedua kalinya, tidur Vita menyajikan ulang peristiwa
satu bulan yang lalu. Ia bangun dari tidurnya dan menafsirkan maksud alam
mengulangi mimpi itu.
Apakah ini semata-mata karena kegelisahanku? Vita membatin. Karena aku
telah melanggar ikrarku sendiri? Karena Rob meninggalkan aku?
Sejujurnya, Vita memang nggak tenang sejak keberangkatan kemarin subuh.
Berangkat dari rumah, ia membawa beban batin atas pelanggaran ikrar yang
dibuatnya sendiri. Vita belum tahu, apakah mama dan papa akan mengusirnya,
begitu mereka tahu putrinya kembali berpetualang.
Lalu … Rob. Teman-temannya seperti tahu kejadian yang dialaminya bersama
Rob. Mereka memandang Vita dengan mata menyalahkan. Vita sudah berusaha
meyakinkan teman-temannya bahwa mereka harus menghargai keputusannya.
“Pokoknya, kalian nggak perlu pusing-pusing mikirin gue dan Rob. Soal Rob
kemudian berhenti berpetualang, itu juga urusannya. Siapa tahu itu cuma gertak
sambalnya. Kita semua tahu kan, gimana gilanya ia naik gunung. Dan, soal gue
sendiri, kalau ada apa-apa yang terjadi dengan gue, gue akan tanggung sendiri.
Nggak perlu kalian merasa bersalah,” tutur Vita panjang lebar.
Vita cuma yakin, ia tak akan apa-apa pergi tanpa Rob. Walaupun kemudian
pada perjalanan, ia baru menyadari bahwa ia merasa kehilangan seseorang yang
selalu menemaninya berpetualang. Mati-matian ia menepis perasaan kehilangannya.
Vita memandang sekeliling pantai. Ia berharap, perjalanannya kali ini tak
diganggu beban apa-apa lagi. Dihirupnya udara pantai segar. Matahari mulai
menebarkan cahayanya, menyibak keindahan pantai.
Vita ingin sekali sesekali membawa mama-papa ke pantai atau gunung. Agar
mereka dapat mengerti alasan Vita menyukai gunung dan pantai. Keindahan alam
itu tak bisa ia bawa ke rumahnya cuma dengan foto belaka.
Dilihatnya di kejauhan, Dion dan Akuy tengah membawa kakap merah hasil
belian dari nelayan. Vita bermaksud meninggalkan dermaga menuju taman laut.
Tapi mendadak, Akur menyodorkan HP-nya. Rupanya, sinyal portal yang dipakai
Akur lumayan kuat juga.
“Vit, elo harus pulang!” suara Rob.
“Kenapa? Gue baru sehari.” Vita bingung.
“Mama meninggalkan kita kemarin sore ….”
***
“TERUSKAN saja petualanganmu, Vit. Lupakan larangan mama. Sesaat sebelum
pergi, mama sudah menyadari kekeliruannya melarangmu berpetualang. Papa juga
tak berhak melarangmu.”
Itu kalimat yang dilontarkan papa saat menyambut kepulangan Vita ke
rumah. Hati Vita semakin giris karena kalimat itu terus membayanginya saat ia
bersimpuh di makam mama.
“Maafkan Vita, Ma,” Vita bergumam dengan mata basah. Tangisnya sudah
habis dalam perjalanan pulang. Ia merasa ada setumpuk dosa yang menghimpitnya.
Bagaimana mungkin, putri satu-satunya melewati upacara pemakaman yang sakral
itu.
“Nggak usah nangis, Vit,” pinta Rob halus. Ia memberi kekuatan pada Vita
dengan genggaman tangannya.
“Kenapa elo nggak segera nyeritain soal penyakit Mama kalo elo emang udah
tau, Rob?” sesal Vita tanpa maksud menyudutkan Rob.
“Mama yang minta gue nggak ngasih tau. Mama nggak ingin kelihatan lemah di
depan elo. Gue pikir, ketegarannya menurun pada elo, Vit.”
Vita termangu. Siapa yang menyangka jantung mama sudah rapuh, padahal
sehari-hari ia tampak sehat dan penuh aktivitas. Kalau saja tahu sebelumnya,
Vita akan terus berada di sisi mama.
“Elo akan meneruskan petualangan elo itu, Vit?” usik Rob.
Vita menggeleng. “Gue bisa ninggalin hobi gue itu, asal elo janji nggak
ninggalin gue, Rob,” kata Vita.
“Gue janji!”
Tanpa ragu-ragu, Vita menyandarkan kepalanya di bahu Rob. Sejak pagi tadi
di Pantai Ujung Genteng, ia menyadari betapa berartinya bahu Rob saat
kegalauannya hadir. Pada sosok Rob, Vita akan membawa akhir semua
petualangannya.
Vita dan Rob meninggalkan makam yang masih gembur itu. Senja telah larut
ditelan malam. Vita berdoa dalam-dalam agar dukanya turut larut bersama senja.
***
Perjalanan Hati
KANTIN cukup semarak saat istirahat. Bangku-bangku sesak, malah banyak
yang berdiri. Untung Berry udah nempatin pojok kantin, semenit setelah bel
istirahat berbunyi.
“Udah, jangan diliatin mulu! Ina nggak akan nyamperin kalo cuma dipelototin gitu.” Lia memanasi
Berry setelah menyeruput minuman ringannya. Ia tahu, cowok di dekatnya itu
tengah memburu cewek berambut sebahu yang memang populer di sekolahnya.
“Trus, gue mesti ngapain?” Berry terpancing. Matanya terus mengarah ke
depan kantin.
“Ya, samperin dong! Langsung tanya, dia udah punya partner ke pesta
ultahnya Muren belum.”
“Kalo belum?”
“Bego! Ya, tawarin diri elo nganter dan jemput dia. Tuh, dia udah mau
balik ke kelasnya.”
“Bayarin gue dulu, ya!” Berry beranjak dari duduknya. Ia bergegas
mendekati cewek manis itu. Untung Ina cuma balik sendirian. “Ina! Tunggu
sebentar!”
Ina menoleh khas. Pesonanya membuat Berry nyaris melupakan apa yang akan
diutarakannya.
“Kamu diundang ke ultah Muren, kan? Udah ada yang jemput kamu belum?”
“Belum. Memangnya kenapa?”
“Aku jemput ke rumahmu, ya,” ujar Berry. Pada saat bersamaan, Berry baru
sadar betapa nekatnya ia. Berani-beraninya mengajak cewek pujaan banyak cowok
di sekolahnya.
Ina menimbang sebentar. Tak ada ruginya pergi ke pesta ulang tahun dengan
cowok yang mirip Delon ini. Anggukan kepala Ina membuat Berry lega.
“Tapi kalo bisa, nanti sore kamu telepon aku dulu untuk ngasih kepastian
jadi atau nggak. Oke? Ini nomor HP-ku.” Ina menyerahkan kartu nama mini yang
hanya bertuliskan nama dan nomor HP-nya.
“Sip!” Berry mengangguk. Ia langsung berlari girang begitu Ina
meninggalkannya. Buru-buru dihampirinya Lia yang telah menyemangatinya tadi.
“Gimana?” tanya Lia langsung. Tapi dari cengiran Berry, ia sudah menduga
jawabannya.
“Elo emang hebat. Sini, biar gue traktir. Apa yang elo makan tadi?” Berry
berlagak mengeluarkan dompet parasutnya.
“Udah gue bayar, Kunyuk!” rutuk Lia yang kian kesal lantaran Berry terus
menerus cengar-cengir.
“Sekarang, giliran elo yang gue bantu cari partner. Tinggal pilih dengan
siapa. Heru, Idon, Nana ….?”
Lia menggeleng. “ Elo kan tau, gue nggak suka datang ke pesta.”
“Ayolah, kali ini aja!” desak Berry.
Lia tetap menggeleng. Kalo pun ia mengangguk, cowok yang dipilihnya
adalah Berry.
***
BERRY turun dari angkot. Kemudian, ditapakinya jalan kompleks menuju
rumahnya. Masih cukup jauh. Mestinya, ia tak perlu jalan lagi begitu naik kelas
dua. Tapi, lantaran kakaknya gagal menembus perguruan tinggi negeri, dan harus
masuk universitas swasta, jatah uang membeli kendaraan, dialihkan untuk biaya
kuliah kakaknya dulu.
“Berry rela kok, Mbak. Pokoknya, asal Mbak Putty bisa kuliah dulu, jalan
kaki buat Berry nggak masalah,” ujar Berry dulu. Rasa sayangnya kepada Putty
membuat ia rela berkorban. Toh, itu tak akan memakan waktu lama.
Di depan pintu pagar, Berry melihat motor bebek terparkir. Ia mengerutkan
dahi. Sudah dua kali ia melihat motor bebek itu. Pemiliknya seorang cowok
senior di kampus Putty. Augie namanya. Saat Berry membuka pintu rumah,
dilihatnya Putty tengah asyik ngobrol dengan Augie.
“Hey, Ber! Baru pulang?” Augie berusaha bersikap ramah.
Berry cuma mengangguk sekadarnya. Ia berjalan lurus ke kamarnya.
Dihempaskannya langsung tubuhnya ke atas tempat tidur. Helaan panjang membuka
lamunannya.
Mengapa Augie yang datang? Ke mana Mas Budi, Ian, Sam, atau cowok lainnya?
Pokoknya, bukan cowok yang datang ke sini cuma dengan motor bebek, Berry
membatin. Apakah Mbak Putty sudah berubah? Bukankah sebelum lulus SMA, ia tak
pernah mau menemui cowok yang datang tanpa mobil?
Putty teramat agung untuk dibonceng motor bebek. Kecantikan Putty
mestinya disertai oleh cowok tampan bermobil. Itu yang diketahui Berry
sebelumnya. Ada untungnya buat Berry juga. Sesekali, ia bisa meminjam kendaraan
cowok-cowok yang memburu kakaknya. Coba kalo yang datang siang ini Sam. Berry
pasti boleh memilih, mau pinjam civic atau mazda untuk menjemput Ina nanti
malam.
“Berry,” pintu kamar terkuak bersamaan dengan suara Putty, “kamu belum
ganti seragam?”
“Nanti. Ada apa, Mbak?”
“Kelakuanmu tadi. Kenapa? Sudah dua kali kamu bersikap nggak sopan kalo
Augie ke sini.” Putty langsung terbuka seperti biasanya.
Berry menghela pendek napasnya. “Mbak udah tahu jawabannya,” kata Berry
kemudian.
“Kamu nggak menyukai Augie? Kenapa? Karena dia datang cuma dengan motor
bebek? Ayolah, Ber, mana yang kamu suka? Kakakmu yang materialistis atau
kakakmu yang pacaran dengan cinta sejatinya?” Putty menjebak Berry.
“Memilih pacar yang bermobil, belum tentu materialistis, Mbak. Seperti
Mbak dulu, dengan yang lain juga benar-benar cinta, kan?”
Putty mengangkat bahu. “Nggak seperti saat dengan Augie sekarang. Waktu
di SMA, lebih banyak disebabkan tak ingin kalah dengan yang lain saja. Tapi
setelah kenal Augie, ia banyak mengubah hal-hal buruk pada diri kakakmu ini.”
Berry menyesal membiarkan kakaknya meneruskan kuliah di universitas itu.
Padahal, dulu Berry berharap, cowok-cowok yang memburu Putty akan lebih
kaya-kaya lagi. Bukankah fakultas elite yang dimasuki kakaknya banyak dijejali
orang-orang berduit?
“Aku sih, rela aja kalo harus putus dengan Augie kalo kamu
menghendakinya. Tapi, alasannya harus jelas!” tambah Putty sambil menatap tajam
adiknya. “Nah, sekarang, ngomongin soal cewek yang akan kamu ajak ke pesta
nanti malam. Jadi kamu ngajak Lia?”
Perasaan Berry berubah. Ia menggeleng sambil tersenyum. “Bukan Lia. Dia
nggak suka pesta-pestaan. Tapi, cewek yang kuajak lebih cantik. Namanya Ina.
Cuma, jemputnya pakai apa ya, Mbak? Kalo Sam nggak kuliah ke luar negeri, enak
bisa pinjam satu mobilnya.”
“Kalo memang nggak ada kendaraan, ya nggak usah maksain. Kan, ada taksi,”
usul Putty. Kendaraan satu-satunya yang ada di rumah, hanyalah taft milik
kantor papa. Tapi, nggak mungkin Berry mau membawa mobil berplat merah itu ke
pesta ulang tahun temannya.
“Mudah-mudahan Ina mau diajak naik taksi.”
“Cewekmu itu bukan cewek materialistis, kan?”
“Mudah-mudahan,” harap Berry lagi.
***
SELEPAS magrib, Berry sudah bersiap untuk pergi. Sore saat menelepon
tadi, ia sudah memberi kepastian akan menjemput Ina pukul tujuh.
“Kamu tunggu bentar dulu, Ber. Augie mau ke sini. Kamu bisa pinjam ….”
“Bebeknya itu? Ina bisa pingsan begitu tahu aku ngejemput dia dengan
motor,” potong Berry langsung. “Lagian, aku udah telanjur telepon taksinya.”
Putty tak berkutik. Sebenarnya, ia ingin sekali membantu Berry. Ini boleh
dibilang kencan pertama adiknya itu. Putty ingin adiknya benar-benar menikmati
kencan pertamanya. Tapi apa daya, Putty sudah bertekad nggak menjadikan adiknya
cowok yang memanjakan pacarnya kelak dengan materi. Seperti yang dialaminya,
cinta yang dilandasi materi cuma sesaat umurnya.
Lima menit kemudian, Berry terbang dengan taksi menuju rumah Ina. Gerbang
rumah besar terbuka otomatis, saat taksi yang ditumpanginya sampai didepannya.
Ternyata, Ina sudah menunggunya di teras rumah.
“Hai, In! Aku belum telat, kan?”
“Belum,” jawab Ina singkat. Ia masih terpana dengan kedatangan Berry yang
diantar taksi. “Ber, taksinya suruh balik aja!”
“Kenapa? Kita ke pesta Muren dengan taksi ini, kok! Tapi, oke-lah!” Berry
akhirnya menurut. Ia membayar argo taksi dan membatalkan rencana pergi ke pesta
Muren dengan taksi itu. Barangkali Ina punya ide lain. Misalnya, meminjamkan
salah satu mobil yang terparkir di garasinya.
“Kamu tunggu bentar. Aku ngambil HP dulu.” Ina melangkah meninggalkan
Berry. Belum ada tiga menit, ia sudah balik lagi. “Untung Handi belum pergi.
Lima menit lagi, ia ke sini ngejemput kita.”
“Kita?”
“Nggak apa-apa, kan?”
Berry cuma mengangguk. Sepuluh menit kemudian, Berry merutuki dirinya
yang sial di bangku belakang crown yang dikendarai Handi. Berry merasa jadi
pecundang. Ia tahu siapa Handi. Cowok itu rival beratnya merebut hati Ina. Dan
sekarang, di depan matanya, ia menyaksikan cowok itu duduk bersanding dengan
Ina.
Semakin jauh dari rumah Ina, himpitan di dada Berry semakin keras. Mau
ditaruh ke mana muka gue setiba di pesta Muren nanti? Berry membatin. Sudah
banyak teman-temannya yang tahu, ia akan datang bersama Ina. Berdua, tanpa
Handi.
“Han, sori, aku turun di sini saja,” tahu-tahu mulut Berry berkata
lantaran ia hapal wilayah yang ada di luar jendela.
“Lho, nggak jadi ke pesta Muren?”
“Kepalaku mendadak pusing.”
“Ya udah, kami antar dulu aja ke rumahmu,” usul Ina.
“Nggak usah. Rumahku dekat di sini, kok.” Berry buru-buru keluar begitu
mobil berhenti. Ia memandang sekelilingnya. Rumahnya amat jauh dari tempat itu.
Yang dekat justru rumah Lia.
Berry terpaku sebentar saat melihat jimny hijau di depan rumah Lia.
Dilihatnya juga, Heru keluar dari rumah Lia dengan tampang lesu. Cowok itu
kemudian melarikan jimnynya dengan kencang.
Tekad Berry semakin kuat untuk memasuki rumah Lia. Ia segera menerobos
pagar dan mengetuk pintu rumah sambil mengucapkan salam.
Sebuah tatapan kaget menyambut Berry saat pintu terbuka. Kedatangan Berry
benar-benar kejutan buat Lia. Bukankah seharusnya dia pergi dengan Ina?
“Heh, ganggu nggak, nih?” sapa Berry.
“Nggak.” Lia masih kaget.
“Gue pikir, gue bakal elo usir kayak Heru tadi.”
“Dia kelewat nekat. Padahal di sekolah tadi, udah gue bilang nggak akan
pergi ke pesta Muren. Dan elo, kenapa kemari?” Lia ikut duduk seperti Berry di
kursi rotan yang berderet di teras.
“Karena gue ingin kemari.”
“Itu bukan jawaban.”
Berry menghela napas. Menceritakan peristiwa yang baru dialaminya, sama
aja ngebiarin dirinya diolok-olok Lia habis-habisan nanti.
“Ya udah, nggak cerita juga nggak masalah. Gosip yang bakal gue denger
hari Senin nanti pasti seru.” Lia berujar.
“Jadi, elo mau percaya dengan gosip?”
“Habis, cerita dari sumber aslinya nggak gue tau, gimana gue bisa milih
mana yang bisa kupercaya?” serang balik Lia.
Berry termenung. Akhirnya, keluar juga cerita sial yang dialaminya secara
kronologis. Tanpa bumbu. Berry sudah siap kalo diakhir cerita, Lia kemudian
menertawakannya. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Lia cuma menggigit
bibirnya, sambil menatap aneh ke arah Berry.
“Jangan menatap gue seperti itu, dong! Elo pikir, gue akan frustasi cuma
diperlakukan begitu? Nggak bakal!” sergah Berry.
“Gue yang salah. Mestinya, gue
nggak beri elo ide konyol waktu di kantin.”
“Semua udah telanjur. Lagian, gue kelewatan juga. Mestinya, nggak gue
turutin nafsu gue. Bisa pergi ke pesta Muren berdua dengan Ina, sebenarnya cuma
ingin memenuhi hasrat berkompetisi dengan cowok-cowok di sekolah kita.”
“Jadi, bukan karena kamu ingin pacaran dengannya?”
“Kalo bisa jadi pacar gue, ya, bagus. Tapi rasanya sih, nggak mungkin.
Cewek yang jadi pacar gue, harus seperti kakak gue saat ini,” cetus Berry.
“Wah, pasti susah. Kakak elo kan, cantik banget.”
“Bukan soal cantiknya. Kakak gue sekarang udah berubah, nggak kayak waktu
SMA dulu. Dia nggak materialisits lagi. Biar pacarnya cuma pake motor bebek,
tapi karena cinta sejati, ya jadi, deh,” tutur Berry ngelantur.
Lia tersenyum. Bila itu yang diinginkan Berry, seharusnya sudah
ditemukannya cewek itu sejak dulu.
“Dan, gue baru aja sadar, siapa cewek yang gue cari,” lanjut Berry.
“Siapa?” Lia penasaran.
“Tunggu aja seminggu lagi.”
“Seminggu?” Lia mengulang. Ya, ampun! Lama banget!
***
HARI Minggu, Berry bangun lebih cepat dari biasanya. Semalaman ia sulit
tidur. Bukan lantaran peristiwa yang menginjak hatinya itu. Berry telah
menyadari bahwa semua itu semata-mata hanya karena ketololannya sendiri.
Berry mengangkat HP-nya. Ditekannya tombol-tombol di HP-nya. Tak lama
kemudian, terdengar suara sapa di seberang.
“Hai, Lia! Ini gue,” sahut Berry yang hapal betul suara Lia.
“Oh, elo. Ada apa, Ber?”
“Semalaman gue nggak bisa tidur. Kayaknya, gue nggak akan menunda rahasia
itu selama satu minggu. Cukup satu malam.”
Lia tak menyahut. Semalam pun ia jadi sulit tidur. Nama yang dirahasiakan
Berry itu sungguh-sungguh menyiksa keingintahuannya.
“Sudah, nggak usah pura-pura, Lia. Elo tau kan, orang yang gue maksud?”
“Gimana gue bisa tahu?”
“Emangnya elo nggak ngerasain?”
“Ngerasain apa? Ayo, jangan sampai gue banting HP gue!” ancam Lia.
“Nggg …. ngerasain getaran aneh saat dengan gue.”
“Hah! Gue … elo … gue?”
Berry menutup HP-nya. Ia ingin buru-buru terbang ke rumah Lia. Ingin
ditegaskannya sekali lagi perasaannya.
***
Bukan Saatnya
MENDAPATKAN cinta Herdin adalah sesuatu yang amat membahagiakan bagi
Atrin. Selama dua tahun di SMP, Atrin memendam keberanian mengisyaratkan
perasaannya karena Herdin begitu populer dengan ketampanannya. Ia juga
memutuskan untuk mengubur cintanya, ketika ternyata mereka kemudian mendapatkan
SMA yang berbeda.
“Kalo emang dia jodoh kamu, nggak akan lari ke mana-mana deh, Trin,”
hibur Iren, sahabat kentar Atrin. Ternyata, ucapan Iren benar!
Setahun kemudian, Atrin mendatangi pesta pernikahan kerabat mama di Hotel
Mulia. Siapa sangka Atrin bakal bertemu kembal dengan Herdin yang kian
memesona. Dan, siapa sangka pula, kalau Herdin juga terpesona oleh penampilan
Atrin yang kini jauh berubah. Setelah seminggu pendekatan melalui telepon,
akhirnya Atrin berhasil mendapatkan cinta Herdin. Pangeran impiannya.
Tapi, sudah tiga hari ini, Herdin seperti ditelan bumi. Mulanya, Atrin
mendiamkan karena ia sendiri sedang sibuk mempersiapkan pesta ulang tahun
ketujuh belas Iren di akhir pekan nanti. Lama-kelamaan rasa rindu Atrin tak
berbendung dan kemudian berubah menjadi kecemasa,n ketika ia tak berhasil
bicara dengan Herdin di telepon.
“Sebaiknya, kamu langsung temui di rumahnya aja, Trin,” saran Iren
setelah Atrin mengadukan segalanya. “Mungkin dia sakit. Karena takut kamu
ketularan, ia ngehindar. Ya, namanya juga sayang. Jangan dulu berprasangka yang
bukan-bukan!”
Atrin menuruti saran sahabatnya itu. Napasnya terasa lega ketika akhirnya
ia mendapatkan Herdin tengah duduk di teras rumahnya. Dan, ia kelihatan sedang
nggak sakit, meskipun sikapnya terasa amat dingin.
“Ada apa sebenarnya, Her? Apa aku telah berbuat salah tanpa kuketahui?”
selidik Atrin setelah mengunci mulutnya beberapa saat.
Herdin menggeleng malas.
“Lantas? Ayolah, Herdin. Kamu kok, nggak menghargai kedatanganku?”
Herdin memandang Atrin. “Aku lagi nggak kepengin ketemu kamu dulu,” kata
Herdin kemudian.
Atrin kaget mendengarnya. “Kenapa?” sergah Atrin.
“Aku nggak bisa ngejelasin sama kamu sekarang.”
Atrin mendengus sambil berdiri. “Baiklah, kalo kamu emang udah bosan.
Mungkin, kamu juga nggak peduli dengan aku lagi. Aku … pamit pulang,” ucap
Atrin sambil berjalan pelan meninggalkan Herdin. Ia begitu berharap Herdin
mencegahnya. Tapi, sampai pintu pagar, tak ada tanda-tanda Herdin bereaksi.
Atrin pun langsung mempercepat langkahnya dengan dada sesak dan mata sembap.
***
“KAMU nggak bisa diam doang gitu dong, Trin! Kamu harus ngebales
perlakuannya. Jangan mentang-mentang dia ganteng, terus bisa bilang bosan
ketemu kamu seenaknya!” sungut Iren dengan nada tinggi.
Atrin masih menahan isaknya di atas tempat tidur Iren. “Terus aku harus
gimana?” tanya Atrin bingung.
“Minta kepastian sama dia, mau diterusin atau putus!”
“Pu … putus? Aku belum siap kalo harus putus dari Herdin.”
“Kenapa nggak siap? Dia udah nyakitin hati kamu. Atau … karena
kegantengannya? Oala, Trin, kalau kamu buka mata kamu lebih lebar, di sekolah
kita tuh, banyak yang lebih ganteng dari Herdin. Kamu tinggal pilih aja, biar
aku yang ngatur kencannya di pesta ulang tahunku nanti. Gimana?” usul Iren
bersemangat.
Atrin mengangkat bahu. Ia nggak memungkiri kalau jatuh hati pada Herdin
lantaran cowok itu punya wajah ganteng. Tapi, bukan cuma wajah yang membuat
Atrin berusaha mempertahankan cintanya. Ada sesuatu di balik itu semua.
“Gimana kalo aku jodohin kamu dengan Reza? Dia ganteng dan bintang iklan
walaupun cuma figuran. Atau Robert? Made? Joko? Obun? Oh, jangan! Yang satu itu
cadangan, kalau Rivan memutuskan hubungan denganku.”
“Aku mau pulang dulu, Ren. Aku nggak jadi nemenin kamu ke Mangga Dua sore
ini. Sori, ya!” Atrin bergegas menuju rumahnya yang cuma terpisah satu blok.
Di kamar, ia langsung membayangkan hari-hari berkesan yang dilaluinya
bersama Herdin. Sebelum ini, urusan cintanya dengan Herdin berjalan mulus.
Nggak pernah ada pertengkaran sekecil apa pun karena Herdin nggak pernah
menuntut yang macam-macam. Makanya, Atrin kelimpungan menghadapi konflik
cintanya saat ini.
Ringtone HP Atrin berbunyi.
“Halo, dengan Atrin?” tanya suara di seberang.
“Ya. Siapa, nih?” balik Atrin pangling
“Aduh, sama teman sebangku SMP sendiri lupa. Ini gue, Sherly, yang
sekarang di SMA Tujuh belas. Satu sekolah dengan Herdin.”
“Sherly! Aduh, apa kabar? Tumben! Di mana kamu sekarang?”
“Lagi makan di Kelapa Gading. Gue cuma pengin nanya nih, bukannya mau
usil. Gimana hubungan elo dengan Herdin sekarang?”
“Baik,” bohong Atrin. “Memangnya kenapa?”
“Sekali lagi, sori banget nih, Trin. Gue cuma penasaran. Soalnya, di
sekolah Herdin akrab lagi dengan Eva, mantan pacarnya sebelum hubungan dengan
elo. Dan, barusan gue mergokin mereka di mal. Lengket banget. Gue ngasih tahu
ini karena gue khawatir sama elo, kalau selama ini Herdin ngebohongin elo. Halo
… masih di sana kan, Trin?”
“Ya, terima kasih atas infonya. Ngomong-ngomong, kamu nanti datang ke
ulang tahun Iren kan, Sher?” Atrin mengalihkan pembicaraan.
“Datang, dong. Kita ketemu nanti di sana, ya! Dadah!” Sherly mengakhiri
pembicaraannya.
Atrin termangu setelah mematikan HP. Sekilas wajah indo Eva berkelebat di
benaknya. Gadis berdarah Belanda yang sekali pernah bertemu dengannya di sebuah
pesta teman Herdin itu, mengusik hatinya. Herdin pernah mengatakan putus dengan
Eva karena mereka beda keyakinan. Gimana kalau kini keyakinan mereka sama? Eva
punya kans lebih besar meraih kembali hati Herdin karena mereka satu sekolah.
Tiba-tiba, Atrin merasa muak membayangkan wajah Herdin. Benar kata Iren,
ia harus segera melupakan Herdin.
***
ATRIN menghalau bayang Herdin dengan menyibukkan diri membantu persiapan
pesta ulang tahun Iren yang tinggal sehari lagi. Mulai konsumsi, dekorasi,
susunan acara, sampai ikut milih gaun yang akan dipakai Iren.
Di saat sibuk itulah, HP Atrin berbunyi. Nomor HP yang tertera di layar
HP-ya tak dikenali Atrin.
“Ini dengan Atrin? Aku Eva, teman Herdin. Bisa ngobrol sebentar?”
Atrin mendengus. “Ya, silakan aja. Tapi, nggak usah sebut-sebut nama
Herdin.” Ia memberikan syarat.
“Nggak mungkin, Trin. Justru ini tentang Herdin.”
“Kalau gitu, lain kali aja kita ngobrolnya. Aku lagi sibuk.”
“Kalo memang kamu keberatan ngobrol, aku bisa mengerti. Tapi tolong,
nanti kalau Herdin menemuimu, biarkan dia ngejelasin semua yang terjadi
beberapa hari belakangan ini ….”
“Selamat sore!”
Klik! Atrin mematikan HP-nya dengan perasaan galau. Oh, jadi Herdin ingin
menemuiku, Atrin membatin. Carilah sampai dapat.
“Dari siapa, Trin?” Selidik Iren setelah menangkap muka kusut pada wajah
Atrin.
“Orang iseng. Eh, malam ini aku nginap di sini buat ngeberesin semua.”
“Asal jangan bangun kesiangan aja. Kamu kan, harus pulang dulu buat pake
seragam dan ngambil tas ke sekolah.”
“Beres. Gampang diatur.” Atrin berusaha menyibukkan dirinya lagi.
Sekitar pukul delapan malam ketika mereka berada di kamar, mama Iren
menyampaikan kabar yang nggak ingin didengar Atrin. “Di luar ada Herdin pengin
ketemu kamu, Trin.”
Atrin memandang penuh harap ke arah Iren. “Tolong bilangin, aku nggak
pengin ketemu dia lagi,” pinta Atrin.
“Beneran, nih? Nggak nyesel?” Iren segera beranjak. Agak lama ia
meninggalkan Atrin, dan kembali dengan kedua telapak tangan terbuka. “Sori, aku
nggak bisa ngusir dia. Sebaiknya, kamu temui dia secepatnya.”
“Kamu ini gimana? Rasanya, di kupingku masih nempel kalimatmu yang
memintaku menjauhi Herdin.”
“Itu karena aku salah paham menilai dia. Ayolah, kamu nggak mau Herdin
kuajak ke kamar ini, kan?” paksa Iren. “Kenapa masih diam? Takut?”
“Siapa bilang?” Atrin berdiri karena gengsi. Ia meninggalkan Iren dan
menemui Herdin dengan perasaan tak keruan. Cowok itu masih menunggu Atrin di
teras.
“Trims, kamu masih mau menemuiku. Sebelumnya, aku minta maaf atas sikapku
belakangan ini,” sapa Herdin sedikit rikuh. Tapi, kerinduannya pada mata bening
itu, membuatnya berani mengatasi keadaan.
“Nggak ada yang perlu dimaafin. Kamu nggak salah. Aku yang nggak tahu
diri berharap kamu tetap setia.” Atrin berusaha bersikap datar.
“Nggak, Trin. Aku ngaku salah. Aku nyembunyiin sesuatu darimu.”
“Eva?”
Herdin mengangguk. “Rupanya, kabar itu sampai juga padamu. Kuharap, kamu
mau mendengar penjelasanku agar nggak salah mengerti.”
“Apa lagi? Kamu kembali dengan dia lagi? Kurasa itu cukup jelas. Dan,
bagiku satu orang hanya ada satu cinta. Jadi, biarlah aku yang ngalah.”
“Justru itu yang keliru dan ingin kujelaskan. Aku nggak bermaksud
meninggalkanmu untuk balik lagi ke cintaku yang lama. Sama sekali bukan begitu.
Aku masih mencintaimu, Atrin.” Herdin berusaha memegang jemari Atrin. Namun,
Atrin menepisnya.
Herdin mendesah. Bagaimanapun, ia harus menceritakan semua yang terjadi
kepada Atrin. “Semua berawal ketika Eva memberitahuku bahwa ia terserang kanker
di otaknya ….” Herdin sengaja menggantung kalimatnya.
Atrin bereaksi dengan menutup mulutnya. Hatinya melunak mendengar kalimat
itu.
“Sebagai orang yang pernah dekat dengannya, aku merasa prihatin dengan
keadaannya. Eva memintaku balik lagi padanya, tapi aku menolak lantaran masih
mencintai kamu. Lalu, Eva meringankan permintaannya. Ia menginginkan aku
menemaninya pada hari-hari terakhirnya, sebelum ia pergi ke Belanda selamanya
untuk terapi pengobatan di sana. Mulanya, aku nggak nyanggupin juga. Karena aku
pikir, hari-hariku kini hanya milik kamu, Trin. Tapi, Eva terus memohon dan
mengatakan akan meminta izin langsung padamu ….”
“Dia nggak pernah melakukan itu,” potong Atrin.
“Aku yang melarangnya. Aku nggak mau ia hadir di antara kita dengan
sepengetahuanmu karena khawatir kamu nanti salah pengertian terhadapku.
Makanya, aku menyanggupi permintaannya dan melarangnya memberitahumu. Selama
beberapa hari kami bersama-sama, lama-lama aku merasa bersalah padamu. Makanya,
ketika kamu datang menemuiku, aku memintamu untuk meninggalkanku karena aku
sedang galau menyembunyikan rahasia itu. Saat itu aku hanya berpikir, bukan
saatnya aku mengungkapkan semuanya kepadamu.”
Atrin memegang telapak tangan Herdin. “Sudahlah, Her. Aku sekarang mulai
ngerti. Kalau kedekatanmu dengan Eva bukan karena cinta, kamu nggak perlu
ngerasa bersalah dan nyembunyiin dariku,” ucap Atrin. Perlahan, rasa cemburunya
surut.
“Ya, itulah kesalahanku dari awal ….”
“Sebelum ini, kamu kan, nggak pernah berbuat salah. Aku rasa wajar kalau
sesekali kita berbuat salah. Mungkin di saat lain, giliran aku yang bikin
kesalahan.”
“Jadi, kamu memaafkan kesalahanku?” Herdin menghendaki kepastian.
“Asal kamu mau mempertemukan aku dengan Eva.” Atrin memberi syarat.
“Kalau begitu, aku nggak akan pernah mendapatkan maaf darimu. Eva sudah
berangkat ke Belanda sore tadi. Dan, ia menitipkan salam untukmu….”
“Kamu nggak sedih ditinggal pergi?”
“Aku lebih sedih, kalau kamu nggak mau memaafkan aku sekarang juga.”
Atrin tersenyum sambil memandangi raut wajah Herdin. “Her, kamu tahu
nggak, kalau aku mencintai kamu, bukan cuma karena kamu ganteng. Tapi juga
karena hati kamu baiiiiiik sekali,” kata Atrin kemudian sambil menunjuk dada
Herdin.
“Jangan memuji dulu. Kamu belum memaafkan aku,” sergah Herdin.
“Aku yang seharusnya minta maaf karena sempat berpikir yang bukan-bukan,
setelah kamu minta aku nggak menemuimu dulu. Semestinya, aku segera mengabulkan
karena selama ini, kamu nggak pernah meminta apa-apa dariku. Kalau kamu mau
tahu, Iren malah sempat berencana menjodohkan aku besok, di pesta ulang
tahunnya, dengan …. Auw! Herdin, lepaskan!”
Herdin buru-buru melepaskan cubitan di ujung hidung mancung Atrin.
Rasanya, sudah lama ia nggak melakukan kebiasaannya itu. Malah, Herdin sempat
berpikir, Atrin tak akan pernah mau menemuinya lagi. Tapi, bukan saatnya ia
kini berprasangka seperti itu lagi. Mereka masih saling mencintai.
***
Biar Cinta Berkata
BENK Yuwono. Nama itu tercetak jelas di antara deretan nama orang-orang
yang diterima dalam Seleksi Penerimaan Mahasiswa baru. Mestinya, ia gembira
seperti yang lain.
“Cuma di pilihan kedua, Nan,” gumam Benk seraya melipat koran di
lengannya.
“Itu masih untung kan, Benk? Masih bisa melewati SPMB yang bikin frustasi
banyak orang,” hibur Naneng.
“Tapi, itu artinya kita akan berpisah. Kamu di Bandung, sementara aku di
Yogya. Cukup jauh. Kapan kamu akan berangkat ke Bandung?”
“Kata Mbak Rien, biasanya registrasi di ITB harus secepatnya. Jadi, ada
kemungkinan besok.” Agak ragu ia menjawabnya. Ia tahu bagaimana gamangnya
perasaan Benk saat ini.
“Aku ikut.”
“Kamu juga kan, harus ke Yogya secepatnya.” Naneng berusaha mengingatkan.
Benk menggeleng. “Mendingan aku cari universitas lain di Bandung aja.
Biar di swasta juga. Aku nggak akan membiarkanmu berpisah dariku, sementara
cowok-cowok ITB yang kegerahan, akan berlomba merebutmu.”
Naneng tak tahu harus berkata apa kepada Benk. Perasaanya mengatakan, apa
yang diputuskan Benk itu keliru. Tapi, ia tak tahu bagaimana mengungkapkannya.
Cuma, sesampai di rumah, ia menumpahkan segalanya kepada kakaknya.
“Seperti itukah Benk? Jadi, dia nggak mau kuliah di Ekonomi Gajah Mada?
Keterlaluan!” rutuk Rien. Dua tahun lalu, ia sampai nangis seharian, gara-gara
gagal kuliah di jurusan yang kini mestinya dimasuki Benk.
“Dia nggak konsekuen dengan apa yang dipilihnya. Mestinya, kalau ia
memang nggak ingin kuliah di sana, ya jangan dipilih!” lanjut Rien. “Entah
berapa orang yang memakinya, kalau sampai tahu Benk menyia-nyiakan kesempatan
yang didapat.”
“Salahku juga, Mbak. Mestinya, aku milih Bandung juga untuk pilihan
kedua, jadi Benk nggak milih Yogya. Sekarang, aku keterima di ITB, pilihan
pertama kami, sementara Benk keterima di Yogya, pilihan kedua kami.”
“Kamu nggak salah. Pilihanmu itu kan, karena memang sesuai dengan
keinginanmu, sementara Benk cuma ikut-ikutan.”
“Ah, bukan itu, bukan itu yang meresahkanku,” gumam Naneng. Aku tak akan
membiarkanmu berpisah dariku, sementara cowok-cowok ITB yang kegerahan, akan
berlomba merebutmu. Kalimat itu mengganggu kisi hatinya. Bukan cuma soal
konsekuensi pada pilihan, tapi lebih dari itu. Soal kepercayaan hati.
“Kamu nggak bisa mendiamkannya, Nan. Tapi ….” Rien pasrah. Ia tahu
seperti apa sifat adiknya. Sejak kecil, Naneng memang tak banyak bicara.
Pertentangan apa pun yang ada di hatinya, tak pernah disanggah.
Itu sebabnya, Rien sempat cemas ketika masa-masa SMA, saat biasanya para
gadis saling berlomba tampil selincah mungkin, Naneng tetap tak berubah. Ia
khawatir, adiknya tak menikmati musim semi masa SMA. Toh, ternyata
kekhawatirannya pupus, tatkala beberapa hari setelah ujian akhir tiga bulan
lalu, adiknya bercerita tentang cowok bernama Benk.
“Dia baik, Mbak. Aku sudah perhatiin sejak lama. Tapi kan, nggak mungkin
kalo bilang duluan. Eh, nggak tahunya, kemarin ia bilang pengin pacaran
denganku. Kayaknya, cinta itu ajaib, ya, Mbak. Bisa ngomong dari hati ke hati.”
Ya, itu dulu, saat masih ada keajaiban cinta. Tapi, apa sekarang ia masih
akan terus memendam segalanya. Berharap penuh cinta yang menyampaikan segala
yang ada di hatinya, kata batin Rien.
***
“MESTINYA kampus ini jadi milik kita,” gumam Benk saat melangkah memasuki
gerbang kampus ITB. Udara pagi Kota Bandung yang sejuk, membuat ia terpaksa
menarik rapat jaketnya.
“Kamu bisa datang ke kampus ini kapan aja. Nggak ada larangannya, kan?”
sahut Naneng.
“Tahun depan, aku ikut SPMB lagi dan harus tembus ke sini!” tekad Benk,
seraya menatap lekat salah satu gedung beratap sirap tak jauh darinya.
Naneng tersenyum mendengarnya.
“Jadi, aku bisa terus bersamamu. Konyol nggak sih, keinginanku?” tanya
Benk ingin tahu. Pagi tadi, Tante Ratni, tempat ia menumpang di Bandung, sempat
berkomentar begitu saat Benk mengutarakan rencananya kuliah di Bandung, melepas
hasil SPMB-nya.
“Aku juga senang bisa bersamamu, tapi nggak keberatan kalo harus
berjauhan. Yang penting, hati kita,” sahut Naneng samar.
“Tapi, biasanya berjauhan itu gampang pisahnya. Kamu ingat Mas Dino dan
Mbak Anti, kan? Abangku putus pacaran gara-gara Mbak Anti ngegaet cowok
Filipina waktu sekolah di sana.”
“Tergantung orangnya juga,” timpal Naneng. Ia ingat Mbak Rien yang awet
dengan Mas Andri. Padahal, mereka pacaran jarak jauh, Jakarta-Padang.
“Aku lebih suka yang paling aman.”
Naneng tak menimpali lagi. Mereka sudah mendekati gedung serbaguna,
tempat registrasi mahasiswa baru. Tampak sekali wajah-wajah suka cita memasuki
gedung itu. Sementara, Benk kian gelisah saja melihat sebagian besar calon
mahasiswa di sekitarnya adalah cowok. Meskipun yakin ia masih jauh lebih keren
dibandingkan mereka, perasaan cemasnya sebagai cowok yang baru memiliki kekasih
tiga bulan, tetap saja muncul.
“Aku tunggu di sini, ya, Nan,” kata Benk lantaran sungkan untuk mengantar
terus ke dalam.
Naneng mengangguk dan meninggalkan Benk sendirian.
Benk memilih duduk di salah satu bangku beton. Memandangi bangunan di
depannya, membuat hatinya kian miris. Akhirnya, ia menenggelamkan diri membaca
koran yang sempat dibelinya tadi.
“Hai, Dewi!”
“Hai juga, Arni!”
Benk sedikit terusik mendengar suara dua orang cewek di dekatnya. Ia
pikir mereka akan menjauh, tapi keduanya malah duduk tak jauh darinya.
“Elo keterima di sini, kan? Di mana?” tanya yang berambut panjang
digerai.
“Kimia. Gue denger, cowok elo
masuk Sipil. Nah, ya, ketahuan elo ke sini ngebela-belain nganterin doi,”
timpal gadis yang bernama Arni sambil membetulkan kacamatanya. “Elo sendiri
keterima di mana?”
“Ekonomi, Gajah Mada. Gue baru ke Yogya pakai bus nanti malam. Ya,
mumpung masih ada waktu untuk berduaan, makanya sekarang nempel terus.”
Kuping Benk agak terangkat. Jadi, gadis berambut panjang itu senasib
denganku, pikirnya. Ah, toh ia tak jadi mengambilnya, jadi tak mungkin bertemu
lagi nanti.
“Gue denger, cowoknya Sita juga keterima di Gajah Mada,” ucap Arni
merembet pada yang lain.
“Nurdin? Iya, Jurusan Komunikasi Massa. Tapi nggak diambil. Katanya sih,
gara-gara Sita dapat di Jurnalistik Padjajaran, sementara Indra juga masuk
Jurnalisitik. Elo juga tahu kan, Indra ngejar-ngejar Sita dari dulu. Nah,
kabarnya Nurdin ngeri kalau sampai Sita digaet Indra ….”
“Gila! Nggak nyangka Nurdin serapuh itu.”
“Setuju! Cowok apaan kayak gitu? Semalam gue ditelepon Diana, sahabat
dekat Sita. Kabarnya, Sita malah nekat mau mutusin Nurdin.”
“Aku ngedukung keputusan Sita. Apa yang dilakuin Nurdin, sama saja
artinya dengan nggak percaya dengan Sita. Lha, kalau pacaran tapi nggak saling
memercayai, apalagi yang mesti diagungkan?”
“Kalau buat aku dan Doni, boleh dibilang, kepercayaan itu modal utama.
Itu sebabnya, aku rela kuliah di Yogya, dan Doni rela pacaran jarak jauh
denganku. Bandung-Yogya kan, nggak nyampe seabad. Apalagi hari gini, gitu lho!
Ada HP, bisa SMS-an kapan aja. Mau curhat, tinggal kirim e-mail, trus bisa
chatting lagi ….”
Keduanya tertawa. Lalu, mereka mengganti topik yang tidak lagi menarik
perhatian Benk. Kini, giliran hati Benk yang berkecamuk, mengingat-ingat
kalimat yang dilontarkan dua cewek itu.
Barangkali, yang ada dalam hati Naneng pun demikian. Aku seorang cowok
yang rapuh, penakut. Cuma, Naneng tak mengatakannya langsung kepadaku. Dan,
rasanya aku mesti bersyukur kepada Naneng, yang tetap mau menerimaku di
sisiny,a sampai detik ini. Mungkinkah aku mengubah segalanya sebelum terlambat?
Sampai Naneng kemudian muncul, Benk mulai dapat menenteramkan hatinya.
“Jadi kita keluar masuk universitas swasta hari ini? Tapi kayaknya,
meskipun cuma cari info pendaftaran, sehari nggak bakalan cukup,” kata Naneng
mengingatkan Benk.
Benk menggeleng. “Nggak usah, deh. Aku nggak bakalan kuliah di sini. Aku
pilih di Yogya aja,” ujar Benk. Rasanya, ia ingin mencium pipi Naneng, yang
matanya tiba-tiba berubah penuh binar ceria.
***
DUA bulan berlalu.
Benk menapaki jalan sejuk kampus Bulak Sumur. Di sisinya, berjalan cewek
berambut panjang. Beberapa orang yang melihat, menyangka mereka sepasang
kekasih.
“Sungguh, Dew, elo nggak pernah merasa ngeliat gue sebelum di Yogya?”
Benk mengulangi kalimat yang dilontarkannya setengah menit lalu.
“Betulan. Kalau sebelum di sini gue ketemu elo, barangkali gue nggak akan
pacaran dengan Doni. Elo lebih segalanya-galanya dibandingin dengan cowok gue
yang di ITB,” timpal Dewi.
“Jangan suka ngebanding-bandingin. Ingat lho, modal utama kalian pacaran
adalah kepercayaan. Jangan khianati kepercayaan Doni elo itu!”
Dewi terperangah. Hanya sedikit ia bicara soal prinsip pacarannya. Dan,
ia teramat ingat ….
“Astaga! Apa elo cowok yang duduk di dekat gue dan Arni waktu masa
registrasi ITB? Ya, gue yakin, elo cowok yang pura-pura baca koran, tapi
nguping pembicaraan gue. Gue sempat melirik sekilas. Oalaaa, kenapa elo baru
ngasih tahu sekarang?”
“Kemarin, gue baru dapat e-mail dari Naneng. Ia mengingatkan gue supaya
berterima kasih sama elo.”
“Atas apa?”
“Sori, yang ini nggak bisa gue ceritain! Bahkan, kepada pacar gue
sekalipun.”
“Sialan! Kalau gitu, gue pisah, deh! Gue ada janji dengan dosen wali,”
ucap Dewi sambil membelok.
Benk kemudian mengingat kembali isi e-mail dari Naneng, yang dibacanya
berulang kali semalam.
Dear Benk,
Sekarang, aku udah ngerti sepenuhnya. apa arti kecemasan kamu dulu pada
perpisahan kita. Kupikir, dulu karena
kamu nggak percaya lagi sama aku. Tapi, alasan itu emang nggak terbukti.
Kamu ingat senior yang nyoba ngedeketin aku? Ternyata, sikap diamku
diartikan lain. Ia malah makin berani. Akhirnya, kemarin aku nekat, menolaknya
terus terang. Kuceritakan panjang lebar tentangmu, sekalian kutunjukkan foto
kita berdua. Eh, dia malah melecehkan, pacaran jarak jauh model kita nggak
bakalan langgeng. Lantas, kukatakan aja prinsip pacaran yang pernah kamu
katakan kepadaku, kepercayaan adalah modal utama kita. Setelah itu, ia pergi
dan nggak berani nongol di depanku lagi.
Aku nggak mengerti, sejak kamu katakan prinsipmu itu, aku semakin rindu
untuk bertemu denganmu. Mudah-mudahan malam Minggu nanti, kamu nggak ada
kegiatan, terus kita bisa chatting. Seenggaknya, itu bisa mengobati sedikit
rinduku.
Salam Rindu,
Naneng
***
Nyala Lilin Putih
“OM, Tia pulang dulu, ya. Jangan lupa, besok malam harus datang!”
Om Darwis yang duduk di kursi sutradara, hanya mengangguk. Sebenarnya, ia
tengah bersemangat menyelesaikan sinetron yang sedang digarapnya. Tapi, Tiara
adalah seorang bintang. Ia sudah berpesan sejak kemarin bahwa hari ini hanya
bisa syuting sampai sore. Sedangkan besok, ia ingin libur karena malamnya akan
menggelar pesta ulang tahun ketujuh belas. Om Darwis nggak bisa berbuat apa-apa
terhadap bintangnya itu.
Tiara berjalan menuju BMW hitam, yang diparkir tak jauh dari lokasi
syuting. Mang Sanip langsung membukakan pintu untuknya.
“Langsung pulang, Non?” tanya Mang Sanip sambil menyalakan mesin mobil.
“Antar saya dulu ke rumah lama. Saya pengin ketemu Rosi dan Bobi,” jawab
Tiara. Ia ingin memastikan, kedua sahabat masa kecilnya itu datang ke pesta
ulang tahunnya besok.
Mang Sanip menjalankan mobil dengan kecepatan yang sudah dihapalnya.
Tiara nggak suka ia mengemudi terlalu lambat atau pun terlalu ngebut.
Di kursi belakang, Tiara melemparkan lamunannya jauh ke belakang. Masa
kecil yang suram. Bahkan, untuk sebuah pesta kecil ulang tahunnya pun, mama
nggak bisa menyelenggarakannya. Padahal, setelah Tiara menghadiri pesta ulang
tahun Rima, ia ingin sekali mengundang teman-temannya ke rumah dan bertepuk
tangan semuanya, setelah ia meniup lilin ulang tahun.
“Bikin aja pesta ulang tahun yang sederhana,” usul Rosi.
“Yang diundang, nggak usah banyak-banyak,” tambah Bobi.
Tiara memandang kedua kakak-beradik di depannya. “Tapi, aku nggak punya
uang,” timpalnya kemudian.
Rosi dan Bobi berpandangan. “Pokoknya, besok ulang tahun kamu kita
rayakan. Nggak usah bingung-bingung,” kata Bobi kemudian.
Besok sorenya, Rosi dan Bobi mengajak Tiara ke halaman belakang. Di bawah
pohon nangka, mereka duduk di tanah. Bobi mengeluarkan lima batang lilin putih,
yang kemudian dipotongnya menjadi dua bagian. Sementara, Rosi mengeluarkan
permen dan kacang kulit dari kantong plastik. Sepuluh batang lilin itu kemudian
dinyalakan di atas tanah.
“Sekarang, kamu tiup lilinnya. Jangan lupa, minta sesuatu di dalam hati,”
seru Bobi.
Dengan girangnya, Tiara menuruti permintaan Bobi. Suara tepuk tangan
kemudian terdengar ,dan bersamaan pula suara Bobi dan Rosi melantunkan lagu
“Selamat Ulang Tahun”. Mereka kemudian menghabiskan permen dan kacang kulit.
Terakhir, Tiara sengaja menyanyikan sebuah lagu untuk kedua tamunya.
“Boleh kutahu, apa yang kamu minta tadi ketika meniup lilin?” usik Bobi
ketika pesta kecil itu berakhir.
“Aku nggak bisa memberi tahu kamu. Nanti nggak akan dikabulkan,” elak
Tiara.
Bobi mendengus kesal.
Tiara tertawa geli. Dan, ia terus menyimpan rahasia itu sampai sekarang.
Pada saatnya nanti, Tiara berjanji akan membukanya.
Mobil yang dikendarai Mang Sanip, berhenti di dekat sebuah gang kecil.
“Perlu diantar, Non?” tanya Mang Sanip.
“Nggak usah. Tolong tunggu aja, mungkin agak lama.”
Tiara melangkah memasuki gang. Inilah kampung halamannya.
Setahun lalu, Tiara masih tinggal di kawasan ini. Sampai ketika,
diam-diam Bobi mendaftarkannya pada pemilihan model sampul sebuah majalah
remaja. Tiara terpaksa mengikuti petunjuk Bobi ketika fotonya muncul sebagai
unggulan, dan bahkan akhirnya, ia harus mengikuti penggojlokan pada babak
final. Meskipun cuma juara dua, rupanya itu merupakan bekal yang berarti
untuknya merambah ke dunia yang berbeda.
Satu bulan kemudian, ia menandatangani kontrak sinetron. Belum
ditayangkan sinetronnya, ia mendapatkan kontrak dari sebuah produk sampo
sebagai bintang iklan. Yang terhebat, Tiara terpilih sebagai satu-satunya model
cewek Asia oleh sebuah produk jeans ternama di dunia.
Semua itu telah mengubah dunianya. Ia lantas memutuskan untuk pindah ke
tempat yang lebih asri bersama keluarganya. Namun, sedikit pun Tiara nggak
pernah melupakan masa lalunya.
Tiara berhenti sebentar di depan sebuah rumah kayu yang dulu pernah
ditempatinya. Kemudian, ia masuk ke dalam rumah sebelahnya. Sudah menjadi
kebiasaannya, masuk ke rumah itu tanpa mengucapkan salam.
“Eh, ada bintang beken nyasar ke rumah kita!” Teriakan suara Rosi
terdengar nyaring begitu melihat kedatangan Tiara.
Tiga orang yang ada di ruang tamu, langsung berebut memberi tempat untuk
Tiara.
“Bobi kok, nggak kelihatan?” tanya Tiara.
“Ada di kamar. Belakangan ini, kerjanya cuma bertapa. Mungkin, biar masuk
SPMB nanti.”
Tiara langsung berjalan ke dalam. Ia mengetuk pintu kamar Bobi, yang
langsung terbuka tak lama kemudian. Nyaris Tiara tertawa lepas, ketika melihat
rambut Bobi dipotong model jabriknya Delon.
“Rupanya, kamu udah jadi cowok trendi sekarang!” komentar Tiara. Ia
menggamit lengan Bobi dan menyeretnya ke ruang depan, bergabung dengan Rosi,
Ibu dan Pak Rusli.
“Pokoknya, semua yang ada di rumah ini, nggak boleh ada yang absen
besok.”
“Kami sih, pasti hadir. Nggak tahu Bobi, tuh. Katanya, bingung mau ngasih
kado apa,” sahut Bu Rusli.
“Bawain aja kacang kulit sama permen kayak dulu,” timpal Rosi.
“Ide bagus. Sekalian sama lilin putihnya,” Tiara melirik ke arah Bobi.
Tapi, tak ada reaksi.
Percakapan berlangsung terus. Lama-lama, Tiara menyadari, Bobi memang tak
mau membuka mulutnya sama sekali. “Ada apa sih, dengan Bobi? Kok, diam melulu
dari tadi?” usik Tiara.
“Lagi stres kali. Biarin aja. Kalo mau jadi pengusaha, kan harus belajar
stres.”
HP Tiara berbunyi. Setelah bicara sebentar, Tiara kemudian terpaksa pamit
karena harus kembali ke rumah. Rosi mengantarnya sampai mulut gang.
“Sekarang, abangku memang berubah. Dia paling benci kalo di teve ada
iklan kamu, Ti. Bahkan, kalo dulu getol nonton sinetron kamu, sekarang belum
apa-apa, semalaman nggak ada di rumah,” ucap Rosi ketika hendak berpisah.
Tiara mengangguk. Mungkin kesalahan ada pada dirinya. Dan, ia berjanji
akan membenahi dirinya.
***
MALAM pesta ulang tahun Tiara begitu meriah. Tiara tampil seperti
bidadari yang diutus para dewa. Dibalut sutra putih dengan potongan sederhana,
Tiara tampak bersahaja. Ia memang sengaja tampil tak terlalu glamor di
pestanya. Ia ingin menunjukkan kepada tamunya, kepribadiannya jauh menarik
daripada atribut yang menempel pada dirinya.
Tidak lelah Tiara menyalami dan melempar senyum kepada tamu-tamunya.
Senyumnya kian mengembang, ketika keluarga Bu Rusli datang menghampirinya. Rosi
kelihatan ceria didampingin pacarnya. Tapi, di mana Bobi?
“Bobi nggak ikut bareng, Ros?’ tanya Tiara berbisik kepada Rosi.
“Bilangnya mau nyusul. Habis pas mau berangkat tadi, dia belum siap-siap.
Jadi kami tinggal aja.”
Tiara menarik napas pelan. Diliriknya arloji bertahtakan berlian di
pergelangan tangannya. Acara puncak masih sekitar setengah jam lagi. Ia
langsung menerobos deretan tamu. Lewat pintu samping gedung megah itu, Tiara
menyelinap ke luar dan langsung menuju mobil kesayangannya. Ia mengendarai
sendiri mobilnya dan memacunya dengan kecepatan di atas biasanya.
Tiara tahu, Bobi pasti nggak akan datang ke pestanya. Entah apa alasan
Bobi memperlakukan Tiara seperti itu. Tapi Tiara yakin, ia harus bicara empat
mata dengan cowok itu, malam ini juga.
Tiara memarkirkan mobilnya tak jauh dari mulut gang. Ia merasa perlu
menguncinya dengan hati-hati. Beberapa orang di sepanjang gang menyapanya. Langkahnya
amat tergesa-gesa hingga nyaris tak menggubris tegur sapa beberapa orang yang
dilewatinya. Tangannya langsung membuka pintu rumah Bobi begitu sampai. Nggak
dikunci. Berarti, Bobi masih ada di rumahnya. Namun, sewaktu Tiara membuka
kamar Bobi, ia tak menemukan sosok Bobi.
Tiara terpana sebentar di dalam kamar Bobi. Begitu banyak gambar dirinya
memenuhi dinding kamar Bobi. Sadar akan tujuannya, Tiara buru-buru menerobos ke
belakang rumah. Didapatinya Bobi tengah duduk di bawah pohon nangka. Sementara,
di dekatnya beberapa batang liling menyala, sebagian padam tertiup angin malam
“Bobi, kenapa kamu nggak mau ke pestaku?”
Bobi terperanjat mendengar suara itu. Setelah melihat sebentar, ia
tertunduk dalam. Tangannya sibuk menyalakan lilin putih yang padam
“Kita harus membicarakannya, Bob. Kamu jangan membuat aku serbasalah
gini,” desak Tiara seraya duduk di samping Bobi.
“Aku memang nggak ingin datang ke pestamu. Kulakukan untuk menjaga
perasaan dan hatiku sendiri.”
“Menjaga dari apa?”
“Dari mimpi-mimpi yang terlalu mengawang.”
“Sederhanakan kalimatmu. Aku nggak ngerti.”
“Dari dirimu. Kamu semakin jauh ke atas langit. Kamu adalah bintang
sekarang, yang tak mungkin lagi kudekati.”
“Jangan aneh gitu. Lihatlah ke arahku. Aku masih di bumi. Duduk pun
sekarang aku masih di tanah. Baiklah, aku ngerti yang kamu maksud. Aku memang
sudah berbeda dengan yang dulu. Tapi, aku nggak pernah ngelupain sedikit pun
gimana aku dulu. Aku masih sering main ke sini. Heh, bukankah dulu kamu yang
justru membukakan pintu bagiku menuju ke dunia yang berbeda ini?”
Bobi memandang ke arah Tiara. Ia seperti melihat bidadari impian hatinya.
“Aku juga memahami perasaanmu, Bob. Tapi, kenapa kamu nggak pernah mau memahami
perasaanku? Aku ini cewek. Seperti yang lainnya, aku cuma bisa menunggu
ungkapan perasaan seseorang. Termasuk … perasaanmu terhadapku yang sebenarnya.”
Bobi terpengarah. “Aku ….”
“Jangan kamu katakan kalo memang sulit. Tapi, sikapmu yang berubah belakangan
ini, meyakinkanku bahwa kita ternyata menyimpan perasaan yang sama. Tadinya,
aku ingin mendesakmu pada pesta ulang tahunku. Aku ingin mengumumkan tentang
hubungan kita di depan orang banyak. Dan, itu masih bisa kita lakukan, kalo
kamu mau ikut denganku sekarang.” Tiara berdiri menunggu reaksi Bobi.
Tapi, Bobi malah menarik telapak tangan Tiara, untuk kembali duduk di
dekatnya. “Kamu nggak pengin kita rayain dulu ulang tahunmu berdua? Tiuplah
nyala lilin putih ini, seperti yang dulu pernah kamu lakukan. Jangan lupa,
untuk mengajukan permintaan dalam hati,” pinta Bobi.
Tiara tersenyum. Ia menuruti apa yang dipinta Bobi.
“Boleh kutahu, apa yang kamu pinta tadi?” tanya Bobi kemudian, setelah
lilin-lilin putih itu padam.
“Masih sama dengan yang dulu pernah kupinta.”
“Dulu, kamu nggak mau mengatakannya.”
“Aku minta agar Rosi bisa menjadi saudaraku dan kamu menjadi pendampingku
kelak. Itulah yang kupinta dulu. Ya, sejak dul,u aku memang sudah punya pikiran
konyol, kamulah calon suamiku. Kamulah yang menjadi pangeran dalam setiap
lamunanku. Aku nggak pernah mengharapkan cowok lain, kecuali kamu, Bob.”
“Sudah, sudah. Ayo, kita berangkat! Kamu terus membuatku
melayang-layang.”
Tiara tertawa pelan. Berdua mereka berjalan menuju pesta lain yang lebih
besar. Sementara di langit, bintang-bintang dan rembulan berlomba menerangi
kebahagiaan cinta mereka.
***
Kalo Bulan Jatuh Cinta
LANGKAH Maya kian cepat menapaki tangga menuju kelasnya, begitu mendengar
bel tanda istirahat usai. Ia tak ingin Bu Nurky masuk kelas sebelum dirinya.
Selain itu, ia harus menyempatkan diri menginterogasi Wulan.
“Heh, kemana aja kamu selama istirahat?” Maya langsung sewot karena Wulan
ternyata sudah duduk di bangkunya.
Wulan cuma tersenyum.
“Di kantin, anak-anak pada nanyain. Dodo nagih novel silat yang kamu
pinjem, Idang nagih sebotol Fanta lantaran kamu kalah taruhan atas pertandingan
bola semalam di teve, terus… aduh, siapa lagi, ya? Heh, malah cengengesan!”
“Lagian, elo kok, mau-maunya ngapalin pesen orang? Biar aja mereka nagih langsung,”
timpal Wulan.
“Begitu, ya? Terus, ke mana aja kamu selama dua hari ini? Setiap bunyi
bel istirahat, kamu langsung ngilang.”
“Ke perpustakaan.”
Maya terbelalak. “Apa nggak salah, tuh? Di sana kan, seumur-umur nggak
akan kamu temuin novel silat, Wul! Kapan kamu terakhir minum obat, sih?”
“Lho, memangnya perpustakaan cuma buat baca-baca. Nggak ….”
“Terus ngobrol dengan cowok? Hayooo, siapa dia?”
Wulan merasa dirinya terancam. Diliriknya pintu kelas. Aduh, moga-moga Bu
Nurky cepat datang. Nah, benar kan. “Ssst, Bu Nurky dateng, tuh!” bisik Wulan
buru-buru.
Maya kesal. Mulutnya komat-kamit tanpa suara. Ia belum puas kalau
pertanyaannya tak dijawab. Apalagi, agaknya dugaannya kali ini benar. Ya, soal
cowok. Ia bisa menangkapnya dari sorot mata Wulan.
Oh, ini benar-benar berita. Si Iwul alias Wulan alias Rembulan Giargina,
sedang jatuh cinta. Tapi … berita itu belum cukup informasinya, tanpa diketahui
siapa cowok yang ditaksir Wulan. Akan kuselidiki, biar tahu rasa Wulan.
Hihihi….
“Maya, kenapa kamu cengar-cengir? Kamu ngetawain baju baru Ibu, ya?” Di
depan, Bu Nurky sewot begitu melihat mimik muka Maya. Ia memang selalu
mengawasi dua gadis badung di kelas ini.
“Nggak kok, Bu. Baju Ibu bagus. Ngomong-ngomong, beli di Tanah Abang ya,
Bu? Abis, mirip dengan punya tetangga saya.”
“Sembarangan kamu!” Bu Nurky menghardik. Mukanya pucat. Ia bingung karena
sudah lima orang menebak dengan jitu, tempat ia membeli baju itu. Karena kesal,
ia langsung menyuruh murid-muridnya ulangan mendadak. Biar tau rasa!
Tapi, Wulan nggak protes seperti biasanya. Malah, tumben-tumbennya dia
mengumpulkan lebih dulu kertas ulangannya, tanpa lebih dulu menyebarkan ke
teman-teman cowok di sekitarnya. Maya gemas karena ia baru mengisi separuh soal
di depannya.
Sampai bel bubar pelajaran sosiologi, Maya cuma menjawab empat soal esai
dari sepuluh yang diberikan. Pelajaran beriktunya, ia sama sekali nggak menegur
Wulan.
Begitu bel pulang berbunyi, Maya langsung keluar lebih dulu. Dia
mengambil tempat untuk menguntit Wulan. Diperhatikan sobatnya yang berambut ala
vokalis Roxette itu, berjalan ke depan laboratorium kimia. Heh, mau apa anak
sosial ke sana? Lima menit kemudian, dari dalam laboratorium, keluar para
penghuninya. Wulan dihampiri seorang cowok cakep. Maya tak begitu kenal
dengannya karena ia yakin cowok itu jarang nongkrong di kantin, jarang
menyentuh lapangan basket, dan … bukankah dia Ibnu? Cowok yang suka
disebut-sebut teman-teman cewek di kelasnya karena wajahnya yang menggemaskan
kayak bayi.
Jadi, Wulan naksir Ibnu?
Maya buru-buru berbalik menuju kantin. Beberapa sobat kentalnya, seperti
biasa, masih nongkrong di sana mengganggu anak-anak kelas satu. “Heh, dengar
nih, aku punya berita penting. Aku tahu sekarang, kenapa si Iwul jadi lain. Dia
ternyata lagi kasmaran dengan Ibnu, anak fisika itu.” Maya langsung
bertetetoet.
“Yang benar? Nggak mungkin Iwul naksir Ibnu. Maksud gue, Ibnu kan, cowok
….”
“Don, jangan gitu sama teman. Tomboi-tomboi juga, Wulan masih normal,
kok!” bela Maya.
“Dengan penampilannya yang macam gitu? Gue rasa, semua orang sependapat
dengan gue,” timpal Dodong. Yang lain langsung manggut.
“Gue pikir, malah dia pacaran sama elo,” timpal Ijul.
“Kalian benar-benar keterlaluan!”
“Bukan gitu. Kalau tahu Iwul masih selera dengan cowok, dari dulu udah
gue pacarin,” tambah Ijul.
Maya memonyongkan mulutnya. Ia berbalik karena respons yang diharapkan
dari teman-tamannya berbeda. Dalam kendaraan, Maya jadi memikirkan Wulan.
Kalimat yang dilontarkan teman-temannya soal Wulan, jadi pikirannya.
Wulan memang tomboi. Tidak hanya dari penampilannya, tapi juga
perilakunya. Cewek itu cuma punya teman cewek, Maya. Selebihnya, lelaki. Wulan
lebih suka nongkrong di kantin sekolah atau ke lapangan basket daripada
ngerumpi dengan teman-teman sejenisnya. Wulan nggak suka majalah cewek.
Suaranya berat, dengan tawa yang terbahak. Terkadang malah Maya lupa, kalau
teman jailnya itu bukan cewek.
Tapi, Maya tahu benar, Wulan masih normal, nggak seperti yang dituduhkan
teman-temannya.
***
KEESOKAN harinya, cerita tentang Wulan dan Ibnu menjadi berita utama di
SMA VIT. Entah siapa yang menyebarluaskan, dan lebih parah lagi,
menambah-nambahkan. Semua menyudutkan Wulan. Maya mengerti kalau kalimat
nyinyir itu keluar dari para rival Wulan.
“Gimana bisa si Wulan pacaran dengan Ibnu? Dia kan, nggak beres.”
“Alaaa, paling buat nutupin keenggakberesannya.”
“Tapi kok Ibnu mau, ya?”
“Semodern-modernnya dunia, dukun masih banyak, Non!”
Maya cuma menelan ludah, mendengar mulut-mulut usil itu di tangga
sekolah. Wulan juga pasti mendengar omongan usil itu. Mudah-mudahan dia nggak
ngamuk.
Di dalam kelas, raut muka Wulan nggak terlihat kisruh.
“Kamu udah dengar omongan orang di luar, Wul?”
Wulan mengangguk. “Biar aja. Kafilah akan tetap berlalu, meskipun anjing
menggonggong.”
“Kamu nggak bisa cuek gitu, Wul. Kalau kamu memang serius dengan dia,
kamu harus perhatikan itu.”
“Maksud elo, gue harus ngehajar mereka?”
“Bukan mereka, tapi kamu. Kamu harus mulai sedikit memerhatikanmu
sendiri. Sori ya, Wul, terutama perilaku dan penampilanmu. Setelah aku
pikir-pikir, ada salahnya juga mengabaikan omongan orang, terutama yang bernada
kritis,” papar Maya.
Wulan mendelik. “Kok, elo jadi serius gini, May?”
“Aku cuma membayangkan, kalau hal ini aku yang mengalaminya, betapa
sakitnya pasti. Apalagi kalau tudingan itu datang dari mulut teman-teman kita.”
“Tudingan apa?”
“Bahwa kamu … mustahil menyukai cowok ….”
Wulan terbelalak. “Gue belum denger yang itu! Siapa yang ngomong gitu?
Biar gue hajar!”
“Tuh, kan. Kalau kamu begitu, orang makin curiga. Seperti yang aku
bilang, ada baiknya kalau kamu yang melakukan perubahan.”
Wulan mendengus. “Elo yakin, ini akan berhasil?”
“Tentu aja. Dan, aku yakin, Ibnu akan makin menyukaimu. Kamu serius kan,
dengannya?”
Wulan tersenyum. Maya sudah tiga kali gonta-ganti cowok, ia pasti tahu
jawabannya.
***
WULAN akhirnya menyadari juga kalimat Maya. Ia memang nggak bisa
terlampau mengacuhkan kata-kata orang. Bahwa, orang menilai orang lain dari
kulitnya, memang selalu terjadi di mana-mana. Dan, ia nggak pengin hal itu
sampai berlarut-larut. Bagaimana kalau tudingan-tudingan itu sampai ke telinga
mamanya?
Wulan melakukan perubahan. Kendati perlahan, tapi amat terasa. Hari
pertama, ia mulai menjauhi berlama-lama di kantin. Kemudian, mengurangi
tawanya. Berikutnya, ia membuat tatanan rambutnya lebih modis. Dan seterusnya.
Sejauh ini Ibnu memberikan respons positif.
“Kamu tambah cantik, Wul!” puji Ibnu pada hari ketujuh mereka pacaran.
Mereka merayakannya di KFC sepulang sekolah.
Wulan tersipu.
“Nanti malam, aku mau ngajak kamu ke rumahku. Aku ingin mengenalkanmu
kepada orang rumah.”
“Sungguh? Secepat ini?”
Ibnu mengangguk. Bulu halus di atas bibirnya membuat pesona sendiri buat
Wulan. Tapi, sedetik kemudian, ada perubahan di mukanya. Wulan menangkap sebuah
kegelisahan pada Ibnu. Sebelum Wulan sempat menanyakan, sebuah suara berat
terdengar dari belakangnya.
“Eh, di sini rupanya.” Cowok yang umurnya sekitar tiga tahun di atasnya
itu, menyapa Ibnu.
“Iya. Ng … kenalin. Ini kakak sepupuku, Raka. Ini Wulan ….”
“Pacar baru Ibnu,” tambah Wulan.
“Sori nih, keburu-buru. Ibnu, tolong bilang sama nyokap, aku di rumah
sepanjang hari ini.” Raka langsung pergi, tanpa menunggu kalimat lagi dari Ibnu
dan Wulan.
Wulan nggak peduli. Mungkin, dia terburu-buru. Wulan melirik Ibnu. Cowok
itu agaknya masih gelisah. Kenapa?
“Aku harus buru-buru pulang, Wul.
Nggak apa-apa, kan?”
Wulan mengangguk. Mereka meninggalkan KFC. Setelah Ibnu mengantarnya
sampai depan rumah, Wulan buru-buru masuk ke kamar. Pikirannya langsung tertuju
pada persiapan untuk acara nanti malam.
Gue nggak mau mengecewakan Ibnu, Wulan membatin.
***
IBNU mengangkat mukanya. Wajah Raka di depannya masih datar. Belum ada
satu kalimat pun yang keluar dari mulutnya. Ibnu berharap, hal ini akan segera
beres.
“Jadi, elo ngedeketin Wulan cuma buat pura-pura? Untuk nutupin keadaan
elo di mata mama sama papamu? Emangnya, nggak kepikiran ujungnya nanti? Gimana
kalau Wulan ternyata benar-benar mencintai kamu?”
“Tadinya, Ibnu nggak berpikir sampai ke situ. Kirain, Wulan … sama
seperti kita. Penampilan dan perilaku dia, selama ini sudah Ibnu amatin.
Makanya, Ibnu berani deketin dia. Tapi setelah dideketin, baru ketahuan, dia
ternyata normal. Rencana untuk berkompromi dengannya gagal. Tapi, Ibnu masih
ngebutuhin dia, untuk menutupi kecurigaan orang rumah.” Ibnu ingat bagaimana
kata-kata nyinyir Mama, ketika menemukan foto Raka di dompetnya. Untung, saat
itu Ibnu bisa berdusta.
“Terserah. Gue sebenarnya seneng-seneng aja, kalo elo memang bisa
sungguh-sungguh bisa mencintainya. Bercinta dengan normal. Nggak seperti
hubungan kita saat ini. Tapi, bukan dengan kepura-puraan yang melibatkan
perasaan orang lain.” Raka berusaha berbicara sedewasa mungkin. Ia sendiri
sebenarnya sudah menguntit Ibnu beberapa hari ini. Dan, betapa kagetnya ia,
ketika tahu Ibnu—yang bukan saudara sepupunya itu—tengah berusaha menggaet
seorang cewek di sekolahnya. Ada perasaan cemburu bergelora.
Ibnu tersedak. Ia nggak mau ditinggal Raka, seseorang yang memberikan
kasih yang diimpikannya. Nggak mau, kendati ia tahu hal itu nggak wajar. Dan
Wulan, belum benar-benar mampu singgah di hatinya.
“Lakukanlah yang menurutmu terbaik saat ini juga,” kata Raka sambil
menunjuk HP di dekat Ibnu.
Tanpa ragu, Ibnu menelepon Wulan.
“Halo, Ibnu! Udah siap, nih. Kapan gue dijemput?”
“Wulan … aku harus bilang … aku nggak jadi mengajakmu ke rumah. Dan,
mengenai hubungan kita … sebaiknya berakhir sampai di sini aja.” Ibnu sadar,
kalimatnya akan menyakiti hati Wulan. Tapi bagaimanapun, ia harus
mengatakannya. Lebih cepat lebih baik bagi Wulan dan dirinya.
“Ibnu, elo nggak bercanda, kan? Ini … ini terlalu singkat. Kenapa, Ibnu?
Ada yang salah dengan gue?”
“Bukan … bukan kamu yang salah. Aku yang salah. Tapi, aku belum bisa
ngomong sekarang. Aku belum siap…”
Wulan mematikan HP-nya. Berjam-jam ia nggak sabar menunggu datangnya
malam, dan ketika saatnya datang, justru kabar buruk yang ia terima. Wulan
menengadahkan kepalanya, memandang langit dari jendela kamar. Rembulan termangu
di atas sana. Wulan benar-benar belum siap untuk patah hati.
***
sukaaaaa...paling sukaaa yang peri2kuuu kereen bangeet bhaii
ReplyDeleteMakasih Bhai udah share tulisannya. Asyik banget.
ReplyDeleteterima kasih Ichen
ReplyDeletesama-sama. terima kasih udah berkunjung dan memberi komentar @Yas Marina
ReplyDeleteSip banget! Alur nya gk gmpg di tebak. Byk blajar dari sini. Mkasih ya om :)
ReplyDeleteiya. sama-sama @ano
ReplyDelete