Deja Vu
Akhir pekan ini, Mas Widi mengajak
Tio menengok kampung kelahiran Kak Anis—tunangan Mas Widi. Agar ada teman
berlibur, Tio diperbolehkan mengajak sahabatnya, Ibek. Tentu saja, Ibek senang.
Sebab, ia juga belum pernah mengunjungi daerah Lembang yang berada di utara
Kota Bandung.
"Aku sudah dengar, daerah itu
sangat sejuk dan tenang," kata Ibek saat mobil yang dikendarai Mas Widi
mulai melaju.
"Aku malah penasaran pengen
minum susu murni. Dan, kalau malam hari, kita bisa makan jagung bakar empat
rasa," tambah Tio tak mau kalah.
"Empat rasa bagaimana? Rasa
kaldu ayam, rasa baso sapi, rasa ...."
"Bukan begitu, Bek," timpal
Kak Anis menahan senyum. "Jagungnya sebelum dibakar diolesi mentega dulu,
lalu sambal manis yang pedas. Jadi, waktu kita makan jagung bakar itu akan
terasa gurih, asam, manis, dan pedas."
Ibek hanya cengengesan. Kemudian,
mereka mengisi waktu perjalanan dengan main teka-teki. Banyak teka-teki baru
yang dilontarkan Ibek tak dapat dijawab oleh Tio. Seperti ketika Ibek
melontarkan pertanyaan, "Kalau sapi jadi rumput, manusia jadi apa,
ayo?"
"Manusia jadi nasi. Soalnya,
rumput itu makanan sapi, sedangkan nasi itu makanan manusia," jawab Tio
memberikan alasan.
"Salah. Kalau sapi jadi rumput,
manusia jadi pada bingung. Kan, ajaib ada sapi bisa jadi rumput," kilah
Ibek.
Tio garuk-garuk kepala, sedangkan Mas
Widi dan Kak Anis tertawa kecil.
Permainan teka-teki mereka terhenti
ketika Kak Anis mengatakan bahwa mereka sudah memasuki daerah Lembang.
"Wah, benar kata orang. Udaranya
sejuk meski matahari bersinar terang," komentar Ibek sambil memandang
keluar jendela mobil.
"Terang saja sejuk. Mobil kita
kan, pakai AC," celetuk Tio.
"Iya, juga," kata Ibek sambil cekikikan. Matanya terus memperhatikan
pemandangan yang ada. Namun, ketika mobil ke luar dari jalan raya menuju jalan
desa, Ibek tercekat kaget melihat sebuah menara tua di sudut belokan.
"Rasa-rasanya, aku pernah melihat tempat seperti ini," gumamnya.
"Deja vu!" seru Kak Anis.
"Apaan?" Ibek dan Tio
bertanya bareng.
"Deja vu. Itu seruan orang-orang
Prancis kalau melihat sesuatu yang sepertinya pernah mereka lihat. Padahal,
sesungguhnya mereka memang baru pertama kali melihatnya," jelas Mas Widi
sambil terus mengemudikan mobil.
"Kok bisa begitu, Mas?"
tanya Tio penasaran.
"Ya, mungkin dia pernah
melihatnya di teve, di dalam mimpi, atau saat mengkhayal."
"Kalau tak salah, setelah ini
kita akan melewati jembatan," gumam Ibek lagi.
"Jangan sok tahu! Kamu kan, baru
sekali ini kemari," cela Tio.
"Ibek benar. Tuh, di depan
jembatannya," timpal Kak Anis.
Tio terperanjat. Ia memandang Ibek
takjub. "Bagaimana kamu bisa mengetahuinya?" tanyanya kemudian.
"Aku tidak mengerti. Tiba-tiba
saja, aku merasa pernah melihat semuanya."
"Jangan-jangan, kamu sekarang
berubah jadi paranormal. Kamu bisa tahu lebih dulu apa yang akan terjadi,
seperti cerita yang pernah kulihat di teve," ujar Tio sambil memegang bahu
sahabatnya. "Coba, tebak sekarang, kalau besar nanti aku jadi apa?"
Ibek memejamkan mata sebentar.
"Jadi tukang sapu," katanya sambil membuka mata.
Tio langsung melotot. Ibek tertawa
melihat sahabatnya kesal. "Aku bercanda. Sungguh, aku tidak tahu kamu
nanti jadi apa," kata Ibek meredakan kekesalan Tio. "Lagi pula, apa
yang kuketahui tadi, mungkin hanya kebetulan. Aku tidak mau jadi paranormal. Mendingan
jadi orang kaya."
"Yey, kalau begitu sih, semua
juga mau!" rutuk Tio.
Mobil yang mereka tumpangi, akhirnya
sampai di pelataran parkir sebuah rumah yang luas. Mereka segera turun dan
berkenalan dengan kedua orangtua Kak Anis. Pak Wiryanegara, ternyata pemilik
perkebunan palawija yang luas di Lembang. Tio, Mas Widi, dan Ibek menempati
sebuah paviliun yang asri di samping rumah Pak Wiryanegara.
Saat sore tiba, mereka duduk di
beranda sambil menikmati susu murni yang sudah diolah menjadi yoghurt. Kak Anis
juga mengolah susu itu dengan tambahan cokelat agar tidak terlalu asam.
"Rasanya, aku juga sudah pernah
berada di tempat ini. Kak Anis, apakah tidak jauh dari tempat ini ada telaga
kecil dengan bebek Bali yang berenang setiap hari?" tanya Ibek sambil
menghabiskan yoghurtnya.
"Ya, telaga itu memang ada.
Tetapi, bebek Bali yang biasa berenang itu tidak ada lagi. Mungkin, sekitar
lima tahun lalu kamu bisa melihatnya dan ...." Kak Anis memotong
kalimatnya, berpikir beberapa saat.
Tio semakin kagum dengan sahabatnya
yang mempunyai keajaiban.
"Kakak tahu sekarang, apa
sebabnya Ibek seolah pernah datang ke tempat ini," cetus Kak Anis
kemudian. "Kamu pasti suka baca buku cerita, kan? Coba ingat-ingat, apakah
kamu pernah membaca buku cerita yang berjudul Kampung Kami Tercinta?"
Ibek berusaha mengingatnya. "Ya.
Tetapi, sudah lama sekali. Waktu kelas tiga dulu," sahutnya.
Kak Anis tersenyum. "Buku itu ditulis
paman Kak Anis empat tahun lalu. Isi buku cerita itu banyak melukiskan keadaan
desa ini. Termasuk, telaga kecil dengan bebek Balinya. Karena, bebek Bali itu
memang milik paman Kak Anis. Kamu ingat nama pengarangnya? Herdian. Itu nama
samarannya," jelas Kak Anis.
Ibek manggut-manggut. "Ya,
benar. Aku ingat sekarang. Bahkan, aku juga ingat kembali semua bagian cerita
buku itu. Soalnya, buku itu bagus sekali," ujar Ibek.
"Ya, begitulah kerja otak kita.
Dia akan menyimpan ke dalam bagian dari otak yang disebut memori, untuk apa
saja yang kita alami lewat pancaindra kita. Sesekali apa yang disimpan dalam
memori itu keluar tanpa sengaja, seperti yang dialami Ibek hari ini," Mas
Widi membantu menjelaskan.
"Wah, kalau begitu tadi bukan
keajaiban, dong. Kupikir Ibek benar-benar akan jadi paranormal. Kan, hebat
kalau dia bisa jadi orang sakti," gerutu Tio.
"Apalagi kalau aku bisa
menyihir. Akan kusihir kamu jadi bebek Bali!” sambung Ibek.
Semua langsung tertawa. Tio yang
semula kesal, akhirnya ikutan tertawa.
Guci Ajaib Palsu
Oben gembira diajak ikut berlibur ke
kampung orangtua Indra. Sudah lama, ia ingin melihat kampung Indra di daerah
Pantai Selatan. Sebab, Indra selalu bercerita seru mengenai Kampung Cijampang.
Kenyataannya, cerita Indra tidak
berlebihan. Begitu tiba di kampung itu, Oben merasa takjub melihat pemandangan
di depannya. Hamparan laut dengan pasir yang berwarna putih.
“Benar-benar indah!” puji Oben kagum.
“Ya, apalagi kalau kita ke Pantai
Ujung Genteng. Kita bisa melihat taman laut. Bahkan, di sana ada bekas dermaga
tua pada zaman Belanda,” tunjuk Indra.
“Nanti sore kita ke sana, sekalian
melihat matahari tenggelam. Sekarang, kita istirahat dulu sambil minum kelapa
muda.”
“Boleh juga usulmu,” timpal Oben
girang mendengar kata kelapa muda.
Mereka segera beristirahat sambil
menghabiskan air kelapa muda yang dipetik Pak Kusnadi, paman Indra.
“Selain ke pantai, kita bisa main ke
mana lagi?” tanya Oben ingin tahu.
“Kalau mau lihat yang aneh, ayo kita
ke kampung nelayan,” ajak Pak Kusnadi.
“Apanya yang aneh?” tanya Oben.
“Dua hari lalu ada nelayan yang
menemukan guci Cina dari dasar laut. Nelayan itu, kemudian mimpi didatangi
kakek tua dari Cina. Dalam mimpinya, kakek itu berkata bahwa guci tersebut ajaib.
Guci itu bisa mengabulkan permintaan siapa pun, asal memasukkan uang ke dalam
guci itu.”
“Wah, menarik juga. Apa Pak Kus
pernah ke sana?”
“Ah, Pak Kus tidak begitu percaya
dengan cerita seperti itu. Tetapi, orang kampung ini dan kampung lainnya banyak
yang ke sana.”
Oben menoleh ke arah Indra. “Nanti
sore, kita sekalian melihat guci ajaib itu, yuk!” ajak Oben.
“Boleh. Kebetulan letak Pantai Ujung
Genteng tak jauh dari sana. Eh, memangnya kamu percaya pada keajaiban guci Cina
itu?” tanya Indra.
“Tentu saja, tidak. Aku cuma
penasaran ingin melihat guci itu,” ujar Oben.
Pukul empat sore, mereka bergegas
menuju kampung nelayan. Tidak sulit menemukan rumah nelayan pemilik guci ajaib
itu. Banyak orang yang datang ke rumah itu.
“Kalau ingin minta sesuatu, harus
cepat-cepat. Katanya, minggu depan guci itu mau dibeli orang Jakarta,”
terdengar bisik-bisik di antara pengunjung.
Setelah antre cukup lama, Oben dan
Indra akhirnya mendapat giliran. Nelayan pemilik guci agak terkejut melihat
Oben dan Indra. Baru kali ini, ia menerima tamu anak-anak.
“Kami dari Jakarta, Pak. Kami sengaja
datang untuk minta tolong pada guci ajaib,” Oben buru-buru memamerkan uang
sepuluh ribu rupiah di tangannya.
Nelayan itu segera mempersilakan Oben
dan Indra masuk ke sebuah kamar kecil dari bilik bambu. Di sudut kamar itulah,
mereka melihat guci itu. Ukurannya lumayan besar. Sekitar setengah meter
tingginya. Ada lukisan perempuan bermata sipit dengan rumpun-rumpun bambu.
Seperti umumnya lukisan Cina, ada tulisan Cina di antara lukisan itu.
“Ucapkan permintaan kalian, lalu
masukkan uang ke dalam guci itu,” ujar si nelayan.
Oben merogoh sakunya. Namun, ketika
ia mengeluarkan uang, tiba-tiba sesuatu terjatuh dari sakunya. Cling! Benda itu
menggelinding.
“Aduh, cincin warisan Ibu saya!” seru
Oben. Tolong bantu carikan. Di sini gelap. Saya kurang bisa melihat.”
Nelayan itu membantu Oben mencari
cincin. Setelah agak lama, baru lelaki itu menemukannya. Buru-buru, ia
memberikannya kepada Oben.
“Terima kasih, Pak. Oh, iya,
permintaannya sudah saya sebutkan. Uangnya juga sudah dimasukkan tadi.” Oben
lalu mengajak Indra keluar.
Setelah jauh dari rumah itu, Oben
tertawa geli sendiri.
“Mengapa tertawa? Sejak kapan kamu
membawa cincin warisan?” tanya Indra.
“Lucu! Benar-benar lucu! Hahaha …
cincin itu kutemukan tadi di kamar mandi pamanmu. Kupikir, aku harus
meminjamnya sebelum kukembalikan kepada pamanmu. Siapa tahu berguna. Ternyata,
memang berguna …”
“Maksudmu?” Indra makin bingung.
“Sewaktu kalian mencari cincin itu,
aku membaca tulisan Cina di guci itu.”
“Memangnya, kamu mengerti huruf dan
bahasa Cina?”
“Itu bukan huruf dan bahasa Cina.
Setelah kuperhatikan, ternyata itu huruf latin biasa. Namun, dihiasi sehingga
mirip huruf kanji yang dipakai orang Cina. Bahasanya juga bahasa Indonesia.
Kalau mata yang melihatnya kurang teliti, pasti akan menyangka itu huruf dan
bahasa Cina. Makanya, sengaja kujatuhkan cincin ini karena aku perlu waktu lama untuk
membacanya,” papar Oben.
“Memangnya tulisan apa yang tertera
di guci itu?” tanya Indra penasaran.
“Guci buatan Plered, akhir Agustus
2003.”
“Plered? Rasanya aku pernah dengar!”
“Masa lupa, sih? Itu kan nama tempat,
pusat indutri gerabah dan keramik di Jawa Barat yang terkenal. Nah, berarti itu
bukan guci Cina asli. Semua cerita tentang guci ajaib itu juga palsu!” Oben
menggeleng. “Kita harus minta pamanmu melapor ke kantor polisi. Kasihan, banyak
penduduk desa yang tertipu.”
Indra menelan ludah. “Tetapi … kita
kan, mau melihat matahari tenggelam di Pantai Ujung Genteng .…”
“Besok, kan, matahari masih akan
terbit dan tenggelam. Gampang, kita pulang dan laporan dulu sama pamanmu. Ayo!”
paksa Oben.
Indra mengangkat bahu, lalu mengikuti
langkah Oben. Percuma melawan Oben. Kemauannya tidak pernah bisa ditentang
siapa pun. Namun, bagaimanapun Indra bangga memiliki sahabat secerdik Oben.
Melacak Jejak
Nigar kaget melihat kaver Majalah
Bobo terbarunya robek. Terakhir kali, ia melihat Igun yang membacanya. Segera
ia menemui adiknya itu.
“Igun, kenapa kamu robek majalah baru
ini?” Nigar setengah berteriak.
“Tidak sengaja. Tetapi, isinya masih
bisa dibaca kan, Kak!” kilah Igun takut.
“Pokoknya, kamu harus ganti. Kalau
tidak, mobil-mobilan ambulans kamu itu akan kubuang ke sungai,” ancam Nigar
sewot. “Cepat, sekarang juga!”
Nigar keluar kamar Igun dan menunggu
di ruang tengah. Kemudian, dilihatnya Igun ke luar kamar sambil membawa
mobil-mobilan kesayangannya. Nigar tidak mau melihat ke arah Igun, ketika
adiknya menelepon seorang temannya. Bahkan, Nigar pura-pura tidak mendengar
ketika adiknya pamit pergi.
Satu jam Nigar menunggu, Igun belum
juga pulang. Dua jam berlalu. Bahkan, sampai magrib tiba, Igun tidak juga
kembali. Ibu yang biasanya melihat Igun di depan televisi, langsung cemas.
“Coba cari adikmu, Gar!” ujar Ibu
khawatir.
Nigar mematuhi permintaan Ibu.
Diam-diam, Nigar ikut cemas. Dicarinya di setiap rumah teman Igun yang
diketahuinya. Tetapi, setelah berkeliling mengitari kompleks, tidak satu pun
teman Igun yang mengaku bermain dengan Igun. Nigar semakin cemas saja. Namun,
ia sedikit lega saat di perempatan jalan berpapasan dengan Oben, temannya yang
terkenal sebagai detektif kampung. Segera saja ia menceritakan masalahnya
kepada Oben.
Oben tertegun beberapa saat. “Wah,
kalau begitu kita harus melacak jejak adikmu dari rumahmu. Yuk, kita ke rumahmu
dulu!” ajak Oben kemudian.
Nigar menuruti permintaan Oben. Hanya
Ibu yang kebingungan karena Nigar bukan membawa pulang Igun, malah mengajak
Oben.
“Sabar, Bu. Nanti Nigar jelaskan,”
ujar Nigar hati-hati.
Oben meminta Nigar mengulangi lagi
apa yang dilihatnya sebelum adiknya keluar rumah.
“Pokoknya, dia membawa mainan
ambulansnya, menelepon temannya, dan pergi,” begitu kata Nigar.
“Hmmm, jadi sempat memakai telepon
dulu …. Kalau begitu, aku harus tahu … apa di rumah ini ada yang memakai
telepon setelah Igun?” tanya Oben.
Nigar menggeleng. Ibu juga tidak
merasa memakainya. Ayah belum pulang dari kantor, jadi tidak mungkin memakai
telepon itu.
“Syukurlah, kalau memang demikian.
Itu jadi mempermudah kita mencarinya. Bu, saya pinjam teleponnya sebentar,”
Oben minta izin. Ia lalu memijat tombol bertuliskan huruf “R” di telepon.
Sesaat kemudian, terdengar sahutan dari seberang.
“Selamat malam! Maaf, apakah ini
rumah Aca?” tanya Oben langsung.
“Bukan. Salah sambung,” sahut suara
di seberang.
“Tunggu dulu, Om, jangan ditutup.
Saya saudara Igun. Kalau boleh tahu, apakah Igun sedang bermain di sana?”
“Igun? Ooo … teman sekelas Farhan
itu, ya? Ada. Memangnya kenapa?”
“Ibunya mencari-cari sejak sore.
Kalau begitu, tolong jangan beri tahu Igun kami menelepon. Kami akan ke sana
menjemputnya. Di mana alamat rumah Farhan, Om?”
“Jalan Percetakan dua belas.”
“Terima kasih, Om. Selamat malam.”
Oben meletakkan gagang telepon. “Nah, sekarang kita tinggal menjemputnya.
Mudah, kan?”
Nigar menggeleng. “Belum tentu Igun
mau pulang denganku,” kilahnya.
“Ya, itu sudah tugasmu sebagai
kakaknya.”
“Ayolah, temani aku menjemput Igun.”
“Bukan apa-apa, Gar. Aku belum makan
malam, nih. Aku lapar.”
“Itu soal gampang! Nanti, kutraktir
makan nasi goreng Mang Aep kalau berhasil membujuk Igun pulang.” Nigar tahu,
Oben paling suka nasi goreng.
“Oke deh, kalau begitu!” sahut Oben.
Mereka segera bersepeda ke Jalan
Percetakan dua belas.
“Ngomong-ngomong, bagaimana tadi kamu
tahu kalau Igun ada di rumah Farhan?” tanya Nigar ingin tahu.
“Mudah saja. Kamu yang bilang, Igun
menelepon seseorang sebelum pergi. Jadi, kupikir ia pasti pergi ke temannya
itu.”
Nigar manggut-manggut. “Lantas, dari
mana kamu tahu nomor teleponnya?”
“Juga mudah. Selama pesawat teleponmu
itu belum dipakai siapa pun, nomor telepon yang terakhir dihubungi akan
otomatis terekam. Kita dapat menghubungi nomor itu dengan menekan tombol
redial, artinya menghubungi ulang,” papar Oben.
Akhirnya, mereka tiba di rumah
Farhan. Dan, Igun benar ada di situ. Tetapi, seperti yang diduga Nigar, adiknya
ngotot tidak mau pulang.
“Kak Nigar jahat, sih. Mobil ambulans
Igun mau dibuang ke sungai. Igun kan, tidak sengaja merobek sampul Majalah
Bobo-nya,” Igun mengadu kepada Oben.
“Maksud Kakak, biar kamu bertanggung
jawab dengan apa yang kamu lakukan,” sanggah Nigar.
“Pokoknya, Igun tidak mau pulang!”
“Kakak janji tidak akan meminta Igun
menggantikan majalah itu. Juga tidak akan membuang ambulans Igun,” sahut Nigar,
khawatir Igun tidak mau pulang. Kalau Ayah sampai tahu, bisa-bisa ia tidak
boleh main selama sebulan penuh.
Igun tersenyum. “Saksinya, Kak Oben
tuh,” tunjuk Igun. Tak lama kemudian, mereka pamit pulang kepada orangtua
Farhan.
Nigar mengayuh sepedanya sambil
membonceng Igun. Sedangkan Oben dengan sepedanya berbaris di belakangnya sambil
berbicara dengan Igun.
“Igun, kamu sering-sering kabur dari
rumah ya, kalau dimarahi Nigar,” teriak Oben.
“Memangnya kenapa, Kak?” Igun heran.
“Biar aku bisa sering gratis makan
nasi goreng Mang Aep. Cuma kalau kabur, beri tahu aku dulu ke mana perginya ….”
“Hahaha ... itu sih, bukan kabur
namanya!” timpal Nigar.
“Hahaha … nasi goreng! Nasi goreng!”
teriak Oben lantang.
Tetangga yang Aneh
“Kamu tahu, rumah kosong di sebelah
kita sudah ada penghuninya?” tanya Dino kepada adiknya, Arni.
“Iya, tetapi aku belum melihat
mereka. Apa di rumah itu ada anak sebaya kita ya, Kak? Biar bisa jadi teman
kita bermain,” kata Arni sambil mengunyah kacang.
“Untuk itu, kita harus memancingnya.”
“Maksud Kakak?”
“Kita bermain saja di halaman samping
nanti sore. Pasti, dia akan melihat atau mendengar permainan kita. Siapa tahu,
ia tertarik dan mau berkenalan.”
“Benar juga!” Arni segera memikirkan
permainan untuk sore nanti. Akhirnya, keduanya sepakat untuk bermain
bulutangkis.
Untunglah, sore hari angin bertiup
tidak terlalu kencang agar suara mereka sampai ke rumah sebelah. Sebentar
mereka tertawa, lalu bermain lagi.
Sementara itu, sepasang mata milik
seorang gadis kecil memandang ke arah mereka dari kamarnya di lantai atas. Ia
menyingkap sedikit tirai jendela yang menghadap ke samping. Tangannya bergetar.
“Orang di sebelah rumah tidak keluar
juga,” kata Arni perlahan.
“Hm, besok kita main lagi di sini,”
ujar Dino.
Mereka pun kembali ke rumah. Saat
menonton televisi, Ibu datang menghampiri mereka dengan muka kusut.
“Siapa yang tadi memecahkan pot bunga
Ibu di samping rumah?” tanya Ibu sambil mematikan televisi.
Dino dan Arni saling berpandangan,
bingung.
“Kalian berdua tadi bermain di
halaman samping, kan? Nah, mengaku saja, siapa yang memecahkan pot bunga Ibu?”
“Bukan kami, Bu. Kami memang bermain
di samping rumah. Tetapi, tidak sampai memecahkan pot bunga Ibu,” Dino
menjelaskan.
“Kalau begitu, siapa yang
melakukannya? Yang bermain di samping rumah ini, kan cuma kalian!”
“Mungkin, ada kucing yang
menjatuhkannya,” kata Arni.
Ibu terdiam sesat. “Ya, mungkin juga
sih, … Hm, kalau begitu, kalian bantu Ibu membersihkan kotoran pot pecah itu,”
pinta Ibu kemudian.
Dino dan Arni segera ke halaman
samping. Ketika sedang menyapu, Dino menemukan dua batu yang cukup besar dekat
pecahan pot. Tentu, dua batu itu yang memecahkan pot Ibu. Apalagi kalau
dilemparkan dengan tenaga yang kuat, pikir Dino.
Dino segera memberi tahu
kecurigaannya kepada Arni. Selanjutnya, mereka membuat rencana untuk keesokan
harinya.
Seperti yang direncanakan, sore
berikutnya, mereka kembali bermain di samping rumah. Tetapi, sengaja kali ini
mereka lebih ribut daripada kemarin. Pada saat sedang bermain, Ibu muncul
sambil berteriak, “Hati-hati, jangan memecahkan pot bunga Ibu lagi. Kalau
sampai pecah lagi, kalian tidak boleh bermain lagi di situ!”
“Baik, Bu. Kami janji!” sahut
keduanya serempak sambil terus bermain.
Ketika matahari makin terbenam,
mereka menyudahi permainan. Mereka masuk ke rumah sebentar. Tetapi, kemudian mengendap diam-diam, memperhatikan
tembok pembatas halaman samping.
Tidak berapa lama kemudian, tampak
seorang anak lelaki muncul dari balik tembok pagar. Ia lantas berdiri di tembok
pagar. Anak itu melempar batu ke jajaran pot bunga Ibu. Tidak kena! Rupanya, ia
sudah menyiapkan beberapa batu. Namun,, saat akan melempar kedua kalinya, Dino
dan Arni buru-buru keluar dari persembunyiannya.
“Hei! Apa yang kau lakukan!” teriak
keduanya.
Anak lelaki itu kaget. Ia berdiri
limbung. Dan terjatuh ke halaman rumah Dino dan Arni. Meski kesakitan, anak itu
berusaha menaiki pagar tembok. Tetapi, Dino buru-buru menyergapnya. Ibu juga
muncul dari dalam rumah karena mendengar suara ribut.
“Bu, ini orang yang telah memecahkan
pot Ibu kemarin. Ayo, ngaku!”
“Maafkan saya, Bu. Saya ini cuma
pembantu. Saya hanya melakukan perintah Mbak Mita,” kata anak lelaki itu
memelas.
“Mengapa Mbak Mita menyuruhmu
melakukan itu?” tanya Arni kesal.
“Mbak Mita tidak suka melihat kalian
bermain bulutangkis!”
“Kalau tidak suka, dia kan bisa
bilang langsung kepada kami,” sahut Dino.
“Mmm … Mbak Mita tidak bisa kemari.
Dia itu … lumpuh ….”
Ibu, Dino, dan Arni terkejut.
“Sebenarnya, dulu Mbak Mita sangat
suka bulutangkis. Dia malah berharap bisa menggantikan Susi Susanti. Tetapi,
sebulan lalu ia mengalami kecelakaan lalu lintas dan harus kehilangan kakinya.
Mbak Mita sedih karena tidak bisa lagi mengejar cita-citanya. Dan ia membenci
bulutangkis,” papar anak lelaki itu dengan muka sedih.
Ibu, Dino, dan Arni trenyuh.
“Ya, sudahlah, kalau begitu. Kamu
kembali saja. Nanti malam, kami akan berkunjung menemui Mbak Mita. Kami akan
minta maaf karena telah mengganggu ketenangannya,” kata Ibu kemudian.
“Maafkan, aku juga. Namaku Dino, dan
ini adikku, Arni,” kata Dino sambil bersalaman.
“Namaku Acep. Terima kasih. Kalian
ternyata baik sekali.” Acep kemudian pulang. Hups, tentu saja lewat pintu pagar
rumah.
Ketika Dino dan Arni akan kembali ke
rumah, mata mereka sempat memandang ke arah jendela di loteng rumah sebelah.
Tirainya kelihatan sedikit tersingkap. Dino dan Arni melemparkan senyum. Mereka
berharap, Mbak Mita mau menerima uluran persahabatan mereka yang tulus.
Ary dan Arie
Bel tanda istirahat baru berbunyi,
beberapa menit lalu. Tetapi, keributan di kelas enam sudah mulai. Pertengkaran
mulut antara Ary dan Arie. Seperti biasa, masalah nama mereka. Meski ditulis
berbeda, tetapi dibaca sama, yakni Ari.
"Pokoknya, kamu harus mengganti
nama panggilanmu!" seru Ary lantang.
"Kenapa aku yang harus
mengganti? Kenapa bukan kamu?" balik Arie.
"Karena aku lebih dulu sekolah
di sini. Sedangkan kamu anak baru! Lagi pula, panggilan itu cuma pantas buat
anak laki-laki," sambung Ary.
Arie berkacak pinggang.
"Peraturan mana itu?" tantang Arie.
"Peraturannya belum kubuat.
Tetapi, buktinya banyak. Lihat saja, bintang sinetron Ari Wibowo atau Ari
Sihasale itu, semuanya cowok. Pokoknya, mulai besok kamu harus mengganti nama
panggilanmu!" ancam Ary.
"Enak saja! Kamu saja! Nama
panjangmu itu Aryanto Sadewa. Ganti saja menjadi Yanto, Sade, atau Dewa. Kalau
namaku memang Arie Manisha. Jadi, panggilanku memang Arie," Arie
bersikeras.
Anak-anak kelas enam yang melihat
hanya menggelengkan kepala. Sudah dua hari ini, kelas mereka selalu ramai saat
istirahat, sejak kehadiran anak baru bernama Arie. Masalahnya hanya sebuah
nama. Tetapi, keduanya sama-sama keras kepala.
Di luar kelas, anak-anak mulai
mengadu kepada Oben, sang ketua kelas.
"Tidak baik membiarkan mereka
terus bertengkar, Ben," desak Rani.
"Aku juga tidak suka melihat
mereka bertengkar. Hanya kupikir, mereka bisa menyelesaikan masalah
sendiri," sahut Oben.
"Tetapi, kalau sudah begini ...
apa kamu mau diam terus?" desak Puput.
"Aku sudah punya rencana. Mulai
besok pagi, kita jalankan rencana ini," kata Oben. Ia segera memaparkan
rencananya.
Ketika sekolah bubar, seisi kelas
enam sudah memahami rencana itu. Tentu saja, selain Ary dan Arie.
Keesokan paginya, Ary seperti biasa
berangkat dengan sepedanya. Dalam perjalanan, ia menjemput Dika dan Asep.
"Kalian sudah bikin pe-er
matematika?" tanya Ary sambil mengayuh sepeda.
"Sudah. Kamu, Wa?" balik
Dika.
"Dewa, biasanya kamu suka lupa.
Hati-hati, nanti kena hukuman lagi," susul Asep.
"Dewa ...? Kalian memanggilku
Dewa? Heh, pasti kalian sudah kena suap anak baru itu, agar memanggilku
Dewa!"
"Maksudmu, Nisha menyogok kami?
Tidak sama sekali!" kilah Asep.
"Nisha? Jadi, kalian juga
mengganti nama panggilan anak baru itu? Hahaha … ini pasti ulah Oben!"
"Ya, kami sekelas terpaksa
sepakat mengganti nama panggilan kalian. Habis, tak ada yang mau mengalah,
sih," jelas Dika.
"Hmmm, tetapi tak semudah itu.
Aku tidak akan menyahut dengan nama panggilan itu," Ary bersikeras.
"Ayolah ... apa jeleknya sih, nama
panggilan Dewa. Malah, kelihatan lebih gagah untukmu," bujuk Dika.
"Hm, kedengarannya tidak enak
saja .…" Ary mengayuh sepedanya lebih cepat. Ia meninggalkan kedua
temannya itu.
Tiba di kelas, teman yang lain,
ternyata memanggilnya dengan nama Dewa.
Kejanggalan pun dirasakan oleh Arie.
Ia kaget ketika teman-temannya mulai memanggilnya Nisha. Arie tidak berani
protes karena semua teman sekelasnya memanggilnya begitu.
Oben sedikit lega ketika tahu
rencananya berjalan mulus. Tetapi benarkah?
Ternyata, tidak! Tiba-tiba, pada saat
istirahat, seisi kelas enam terkejut melihat Arie menangis sesegukan di
bangkunya.
"Kenapa kamu menangis,
Nisha?" tanya Rani yang sebangku dengannya.
"Aku sedih ... karena ... kalian
memanggilku ... Nisha ...."
"Oh ... itu kami lakukan karena
kau dan Ary selalu bertengkar," jelas Rani.
"Tetapi, aku sedih jika
dipanggil Nisha. Nama panggilan itu membuat aku teringat kepada nenekku.
Dahulu, sebelum pindah ke sini, aku tinggal di Kota Lembang bersama nenekku. Ia
selalu memanggilku Nisha. Tetapi, belum lama ini, nenekku meninggal. Aku merasa
kehilangan dan harus pindah ke sini dengan orangtuaku. Kini, setiap orang
memanggilku dengan nama Nisha ... aku jadi sedih," papar Arie.
Puput dan Rani melirik ke arah Oben.
"Kalau kamu tidak mau dipanggil
dengan nama Nisha, kamu boleh memilih sendiri nama panggilan barumu," usul
Oben kemudian.
"Sungguh? Kalian akan
memanggilku dengan nama yang kusuka?"
"Ya," semua menyahut.
"Cantik. Aku suka nama itu.
Kalian mau memanggilku Cantik, kan?"
Tidak ada yang menyahut. Mereka
menelan ludah.
"Tentu saja," sahut Oben
buru-buru. Ia menahan rasa gelinya di hati. "Mulai sekarang kami akan
memanggilmu Cantik."
Arie kelihatan senang mendengarnya.
"Tunggu dulu! Aku protes!"
Tiba-tiba terdengar suara Ary. "Kalau dia boleh memilih sendiri nama
panggilannya, mengapa aku tidak?"
"Memangnya kamu mau dipanggil
apa?" tanya Oben langsung.
"Raul. Raul Gonzales
Blancho!" Ary menyebut pemain sepak bola favoritnya.
"Huuu …!!! Raul itu putih,
hidungnya mancung, dan ganteng .… Sedangkan kamu ..." Puput menyela.
"Sudah-sudah, biar saja.
Barangkali setelah dipanggil Raul, ia berubah jadi putih, mancung, dan ganteng
..." Oben berusaha menenangkan. "Ada lagi yang mau protes?"
Tak ada yang berani memprotes lagi.
Tak ada lagi keributan tentang nama panggilan di waktu istirahat. Sejak itu,
Ary dan Arie dipanggil dengan nama Cantik dan Raul. Hanya guru-guru yang tetap
memanggil mereka, Ary dan Arie.
WAJAH DI BALIK JENDELA
Odi tengah menyelesaikan tugas
menggambarnya ketika merasa ada yang tak beres di kamarnya. Ia segera
meletakkan pensil gambarnya dan mengamati keadaan kamar. Semua seperti
biasanya. Tetapi, ketika Odi melihat ke jendela kamar, ia baru sadar, kaca nako
belum tertutup sempurna. Angin yang bertiup masuk itulah yang membuat
perasaannya tak tenteram.
Sambil merapatkan kaca nako, Odi
mengamati keadaan di luar. Ia merasa heran melihat daun palem yang tumbuh belum
seberapa tinggi itu bergoyang.
"Tidak mungkin digoyang angin.
Ah, pasti ada kucing yang lewat tadi," pikir Odi menenteramkan hati.
Odi kembali ke meja belajar,
meneruskan pekerjaannya yang belum tuntas. Tetapi beberapa menit kemudian, ia
merasa ingin menoleh sekali lagi ke jendela kamar.
Odi terpekik kaget. Secara spontan,
ia langsung menghamburkan langkahnya keluar kamar menuju kamar Bang Agus di
sebelah kamarnya.
"Ada apa dengan kamu, Di?"
tanya Bang Agus ketika melihat Odi yang tiba-tiba masuk ke kamarnya dengan
wajah pucat pasi.
"Ada hantu ... ah, atau mungkin
.…" Odi gugup.
"Di mana?"
"Di balik jendela kamar. Aku
baru saja melihatnya," jawab Odi.
Bang Agus langsung menuju kamar Odi,
diikuti Odi di belakang. Ia segera menuju jendela dan mengamati keadaan di
luar. Sepi dan tidak ada benda apa pun yang aneh.
"Sebenarnya, apa yang kamu lihat
tadi, Di?" tanya Bang Agus sekali lagi.
"Ada muka yang menempel di kaca
jendela ini. Tetapi, aku tidak begitu jelas melihatnya. Sepertinya, ia memakai
mantel bertopi yang ia tutupkan ke kepalanya," Odi mencoba mengingat apa
yang dilihatnya.
Bang Agus mendengus. "Buktinya
di luar tidak ada apa-apa. Sudahlah, kamu pasti lagi ngelamun yang tidak-tidak
barusan," ujar Bang Agus.
Odi ingin protes. Tetapi,
dipikir-pikir percuma saja. Bang Agus pasti akan tetap mengiranya mengada-ada.
"Tirai jendelanya ditutup saja.
Terus, pintu kamarnya dibuka saja. Nanti, kalau kamu lihat yang aneh-aneh lagi,
teriak saja," kata Bang Agus sambil meninggalkan Odi sendirian.
Odi menurut apa yang dipesan
kakaknya. Kemudian, ia berusaha melupakan kejadian yang baru dialaminya dan
meneruskan pekerjaannya.
Setelah tugas sekolahnya selesai,
seperti biasa, Odi merapikan kamarnya dahulu. Beberapa mainan yang tergeletak
di lantai, dikembalikan ke tempatnya. Dua hari yang lalu, Odi baru saja
merayakan pesta ulang tahunnya. Banyak hadiah mainan, buku, dan benda pajangan
diterimanya, yang kini memenuhi kamarnya.
Ketika kantuk mulai menyerang, Odi
langsung merebahkan diri di tempat tidurnya. Matanya tak mau sedikit pun
melirik ke jendela kamar. Ia ingin segera menceritakan semuanya kepada Ibek,
temannya yang senang memecahkan kejadian-kejadian aneh.
Esok harinya, ketika bertemu Ibek di
sekolah, Odi langsung menceritakan tentang wajah di balik jendela semalam.
"Jangan beri tahu teman-teman.
Nanti, mereka mengira aku pengkhayal dan penakut," kata Odi setelah
mengakhiri ceritanya.
Ibek mengangguk. Ia berpikir
sebentar. "Kupikir hantu itu akan nongol lagi di jendelamu nanti
malam," katanya kemudian.
"Jangan menakut-nakuti
aku."
"Kecuali, kita tahu apa yang
diinginkannya dari dalam kamarmu," sambung Ibek.
"Mungkin, kado-kado itu? Sebelum
ulang tahunku tidak pernah ada yang menggangguku begini."
"Mungkin saja. Tolong catatkan
aku nama-nama orang yang kamu undang, selain teman sekelas kita," pinta
Ibek. Bersamaan dengan itu, bel tanda masuk berbunyi.
Saat istirahat tiba, Ibek mulai
beraksi, menanyakan teman-teman sekelas seputar kado yang diberikan mereka pada
ulang tahun Odi. Tetapi, jawabannya tidak memberikan hal yang berarti bagi
Ibek.
Sepulang sekolah, Ibek sengaja
mendatangi teman-teman Odi lainnya yang diundang ke pesta ulang tahun. Hasilnya
juga, ternyata tak banyak membantu. Kebanyakan dari mereka menjawab sama.
Hadiah yang diberikan kepada Odi, mereka beli di toko ataupun supermarket.
Tidak ada keanehan dari kado-kado mereka. Tidak ada cara, selain menjebak hantu
itu, pikir Ibek.
Malamnya, Ibek sengaja belajar
bersama di rumah Odi. Sesekali mereka memandang ke jendela. Tetapi yang mereka
harapkan tidak muncul juga.
"Rupanya hantu itu takut
terhadapku," bisik Ibek. Tak berapa lama kemudian, ia pamit pulang
meninggalkan rumah Odi.
Sepeninggalan Ibek, Odi kembali
gelisah. Apalagi, Ibek berpesan agar tirai jendela kamarnya dibiarkan terbuka.
Sementara, Odi pura-pura mencari kesibukan di meja belajarnya. Akhirnya, ia
tidak bisa menahan keinginan untuk menoleh ke jendela kamar.
Wajah itu lagi! Odi langsung
berteriak.
Ia lari keluar kamar menuju kamar
Bang Agus. Buru-buru, diseretnya Bang Agus keluar rumah. Di halaman rumah,
tepat di depan kamar Odi, terlihat Ibek tengah bergumul seru mencekal seorang
anak sebayanya yang terus meronta.
"Hentikan. Dia itu Husen. Aku
mengenalnya," seru Bang Agus kemudian.
Ibek melepaskan cekalannya. Husen
langsung berlari menghampiri Bang Agus. Ibek dan Odi sama-sama ternganga ketika
melihat Husen sibuk menggerak-gerakkan tangannya dan anggota tubuh lainnya di
depan Bang Agus. Anak itu rupanya tak dapat bicara.
"Beberapa hari yang lalu, aku
membeli patung kayu yang dijual Husen di pasar untuk kado ulang tahun Odi.
Rupanya, Husen ingin meminjam sebentar patung kayu itu, tetapi sulit menemui
aku. Makanya, dua malam ini, ia terus melihat kamarmu untuk memastikan patung
kayu itu masih ada. Sekarang, coba kamu ambilkan patung itu," pinta Bang
Agus.
Odi berlari ke kamar dan kembali
dengan patung kayu berbentuk kuda di tangannya. Begitu Husen diserahi patung
itu, ia buru-buru merogoh bagian dasar patung. Ada rongga kecil di sana. Dan,
dari dalamnya ia mengambil sebentuk cincin.
"Itu cincin peninggalan
ibunya," jelas Bang Agus setelah Husen mengembalikan patung kuda kepada
Odi. Bang Agus segera meminta mereka saling bersalaman, berkenalan, dan saling
memaafkan. Tak lama kemudian, Husen langsung pulang, disusul Ibek yang bajunya
sedikit terkoyak.
Malam itu, Odi tidur nyenyak tanpa
dibayangi ketakutan. Besok, ia ingin Bang Agus mengajarkannya bahasa isyarat agar
ia juga dapat bicara dengan teman barunya itu.
KASUS NAMA
Ina sedang menyiram bunga di
pekarangan samping rumah. Matanya terus mengamati bunga-bunga yang bermekaran.
Ia terkejut ketika namanya dipanggil-panggil dari seberang pagar yang membatasi
pekarangan rumah sebelah.
"Ina ... Ina ke sini!"
suara itu terdengar lagi. Jelas itu suara anak lelaki. Tetapi, Ina tidak
mengenali suara itu. Ia tahu ada tetangga yang baru pindah ke rumah itu dua
hari lalu.
Ina naik ke atas batu yang menempel
di bawah pagar. Kepalanya menyembul melihat ke pekarangan tetangganya. Seorang anak
laki-laki sebayanya tengah asyik bercanda dengan seekor anak anjing.
"Ayo Ina, lompat!" anak
laki-laki itu menyeru lagi.
Muka Ina langsung pucat. Ia baru
sadar kalau nama yang disebut-sebut anak itu bukan ditujukan kepadanya,
melainkan kepada anak anjing berbulu putih hitam itu.
"Hey!" panggil Ina agak
keras. Anak lelaki itu langsung menatap ke arah Ina. Ia sudah mengetahui
keberadaan Ina sejak tadi. "Aku sarankan padamu, sebaiknya nama anjing itu
kamu ganti."
Anak lelaki itu mengerutkan dahinya.
"Mengapa harus kuganti? Nama itu kan, kedengarannya lucu," sahutnya.
"Tetapi kan, kamu tidak tahu
kalau nama itu sama dengan namaku. Bagaimana kalau sampai teman-temanku
mengetahuinya?"
"Itu urusanmu."
Muka Ina berlipat kesal. Rupanya anak
ini harus dibujuk, pikirnya. "Hey, memangnya kenapa sih, kamu keberatan
mengganti nama anjing itu? Kan, lebih bagus kalau kamu ganti dengan Snowi,
Tintin, atau Skipi," suara Ina agak merayu.
"Tidak bisa. Anjing ini
kenang-kenangan dari sahabatku sebelum pindah ke sini. Ia yang memberi nama
itu. Kalau ia sampai tahu, aku mengganti nama yang ia berikan, nanti aku
dianggap tidak bisa menghargai kenang-kenangan darinya," jelas anak
laki-laki itu.
Mulut Ina terkatup rapat. Kasusnya
jadi semakin buntu.
"Bobi ... Bobi! Sudah sore kamu
belum mandi juga. Nanti Mama pulang baru tahu rasa!" suara teriakan
terdengar bersamaan dengan keluarnya anak perempuan yang umurnya dua tahun di
atas Ina.
Anak lelaki bernama Bobi itu bergegas
meninggalkan pekarangan sambil berteriak, "Ina, ayo kita mandi dulu!"
Ina cuma bisa mendengus kesal.
Kekesalannya terus berlanjut ketika ia di sekolah esok paginya. Tentu hal ini
mengundang tanya teman-temannya. Selama ini, Ina dikenal paling ceria.
"Kamu tidak dikasih uang jajan
sama mamamu, ya?" tanya Idong di waktu istirahat. Tetapi, Ina cuma
menggeleng.
"Terus kenapa?" tanya Wini.
"Aku mau cerita, tetapi kalian
harus janji tidak menertawakannya," Ina memberikan syarat.
Idong, Wini, dan Herman mengangguk.
Setelah menarik napas sebentar, Ina menceritakan semua yang dialaminya kemarin
sore. Dan secara bersamaan, semua terbahak-bahak setelah Ina menghabiskan
ceritanya.
"Kalian kok malah ketawa,
bukannya membantu aku menyelesaikan masalah ini," protes Ina.
Serentak Idong dan Wini terdiam, lalu
mata mereka menatap ke arah Herman. Ia memang dikenal banyak akal. Dari masalah
pertengkaran sampai pencurian di kelas pernah diselesaikannya.
"Aku ada akal untuk
menyelesaikan kasus ini. Ina, kamu tahu nama tetangga barumu itu?"
"Bobi. Aku mendengar kakaknya
menyebut namanya demikian kemarin."
"Bagus. Lantas, di antara kalian
ada yang punya hewan peliharaan di rumah?"
"Aku punya kucing," jawab
Idong.
"Aku punya kelinci," timpal
Wini.
"Ah, itu kurang seru. Begini
saja. Pamanku punya seekor monyet. Kamu tidak takut dengan monyet kan,
Ina?"
"Monyet? Untuk apa?"
"Kalau tidak takut, kita lihat
saja hasilnya nanti sore."
Sekitar pukul empat sore, Bobi tengah
duduk di pekarangan rumahnya sambil memperhatikan anjing kecil di dekatnya. Ia
merasa bosan tinggal di rumah. Kalau saja ia pindah ke sekolah seperti
anak-anak di kompleks ini, tentu ia mudah mendapatkan teman.
"Bobi! Ayo, makan
pisangnya!"
Suara itu terdengar jelas di telinga
Bobi. Datangnya dari seberang pagar rumah. Ia beranjak melihat ke seberang
pagar, penasaran. Dilihatnya, Ina tengah memberi sebuah pisang ke arah monyet
kecil. Mata Bobi langsung membesar seketika.
"Hey, rupanya kamu dendam sama
aku. Kamu pasti sengaja memberi nama monyet itu seperti namaku."
Ina memandang ke arah Bobi.
"Bagaimana aku tahu kalau nama monyet ini sama dengan namamu? Sebagai
orang baru di sini, kamu kan, tidak pernah memperkenalkan diri."
Bobi merasa diserang.
"Lagian, kalau monyet ini tidak
dipanggil Bobi, tidak pernah mau makan. Kasihan kan, kalau dia sampai kurus
kering karena namanya kuganti."
Bobi menyerah kalah. "Baiklah,
tolong ganti nama monyet itu. Kalau kamu mengusahakannya sedikit-dikit, pasti
monyet itu mau mengerti. Dan aku janji mengganti nama anjingku."
"Lho, nanti sahabat lamamu itu
marah."
"Ah, sebenarnya aku kemarin
mengada-ada saja. Anjing itu pemberian pamanku. Nama sebenarnya Skuli. Aku cuma
iseng saja mencari cara agar bisa berkenalan dengan kamu. Kebetulan, aku sering
mendengar namamu disebut-sebut. Tetapi untuk berkenalan langsung denganmu, aku
tidak berani."
Ina manggut-manggut. Ia dapat
memahami apa yang diucapkan Bobi. "Kalau begitu, melompatlah kemari.
Kebetulan, teman-temanku juga ada di sini. Nah, itu Idong, Wini, dan
Herman," ucap Ina ketika teman-temannya muncul dari persembunyian di balik
tembok.
Bobi terkejut, tidak menduga ada
orang lain di antara mereka berdua. Dalam beberapa menit saja, Bobi sudah
bermain akrab dengan mereka. Pertengkarannya dengan Ina tidak pernah diingatnya
lagi.
PAPARAZZI KAMPUNG
Mita mendapat kiriman dari Paman Eko
di Jepang. Sebuah kamera saku otomatis lengkap dengan telenya. Warnanya seperti
pelangi dan bisa dilipat. Bukan alang-kepalang, girangnya Mita mendapat kamera
itu.
"Akhirnya, cita-cita Mita
menjadi paparazzi akan segera terwujud," gumam Mita sambil mengelilingi
ruang tamu.
"Kalau anak perempuan namanya
bukan paparazzi, Kak Mita, tetapi mamarazzi," sela Ugi yang mendapat
kiriman sepatu kelinci.
"Hush, ya, tidak bisa.
Paparazzi, ya paparazzi. Tidak ada mamarazzi, anakrazzi, kakekrazzi, nenekrazzi
.…" timpal Mita.
"Memangnya papalaci itu
apaan?" tanya si bungsu Tio.
“Paparazi itu, wartawan foto yang
suka mencari berita sensasi. Bukan papalaci!”
"Iya, papalaci. Tio kan, masih
cadel."
Mita makin merasa beruntung ketika
Mama memberinya satu rol film untuk dimasukkan ke dalam kamera. "Ingat,
kameranya harus terbuka lensanya," pesan Mama.
"Ini kan, kamera otomatis. Kalau
lensanya tertutup, tidak akan bisa dipencet tombolnya," jelas Mita. Ia
sudah tidak sabar lagi ke luar rumah. Sambil menenteng kamera barunya, Mita
berkeliling di Kampung Cemara.
Wini yang sedang keselek makan bakso
langsung difotonya. Klik! Dodi yang sedang kesakitan kena lempar bola kasti.
Klik! Toto yang sedang diseret ibunya untuk mandi sore. Klik! Andi yang terbirit-birit
dikejar anak anjing. Klik! Lupita dengan sepeda roda tiga adiknya. Klik! Klak!
Kluk! Klok! Tidak terasa, Mita seharian telah menghabiskan satu gulungan film.
Akhirnya, Mita terpaksa membuka
celengannya untuk mencuci dan mencetak film. Tak apa-apa, nanti aku kan
mendapat gantinya, pikir Mita yang sudah punya rencana. Selain itu, ia memang
sudah tidak sabar melihat hasil foto buruannya.
Di rumah, Ugi dan Tio tidak hentinya
tertawa melihat foto-foto yang dipamerkan Mita. Semuanya begitu lucu.
"Lantas, mau dikemanakan
foto-foto ini?" tanya Ugi.
"Tunggu saja besok. Aku akan
menjadi kaya karena foto-foto itu," pikiran Mita melayang jauh.
Besok siang, selepas sekolah Mita
langsung mendatangi teman-teman yang difotonya satu per satu. Hampir semuanya
langsung pucat dan malu melihat hasil foto Mita.
"Jangan takut, aku tidak akan
menunjukkan foto ini kepada orang lain. Pokoknya, aku tunggu sore nanti di
rumah untuk menebus foto ini," kata Mita kemudian.
"Wah, ini namanya
pemerasan," kata Dodi.
"Ih, memangnya baju diperas
segala," timpal Mita tidak memedulikan.
Keruan saja, teman-teman Mita jadi
saling mengunjungi. Kemudian, mereka berkumpul untuk memecahkan persoalan
mereka. Yang jelas, mereka tidak ingin Mita mendapat untung, sedanngkan mereka
mengalami kerugian yang memalukan.
"Kita biarkan saja foto-foto
itu. Jangan ada yang menebusnya. Nanti dia akan mengulanginya lagi," usul
Toto.
"Tetapi, bagaimana kalau fotoku
tersebar kepada anak-anak yang lain?" keluh Wini yang menyadari betapa
jelek wajahnya di foto itu.
"Ya, kita ingatkan teman-teman
yang lain agar tidak melihat foto-foto kita. Diberi tahu saja bahwa mereka juga
nanti akan mendapat giliran," sahut Andi.
Akhirnya, semua bersepakat untuk
tidak menebus foto mereka ke rumah Mita. Sementara, Mita terbengong-bengong di
rumah menunggu kedatangan teman-temannya. Rupanya cita-cita Mita jadi paparazzi
tidak terkabulkan.
Kling … klong! Bel rumah berbunyi.
Mita dengan penuh harap memburu pintu depan. Ia mengintip dari jendela. Mukanya
mendadak pucat ketika mengetahui yang datang, ternyata dua orang lelaki
berseragam polisi. Mita membatalkan niatnya membuka pintu.
"Ma, ada tamu di luar,"
teriak Mita di depan kamar Mama. Ia sendiri kemudian masuk ke dalam kamar.
Mengapa ada polisi datang ke sini? Mita membatin. Jangan-jangan, teman-temannya
melaporkan kegiatannya ke polisi? Ah, masa sih, sampai sejauh itu.
"Mita ... Mita," seru Mama
terdengar dari luar kamar.
Mita bukan keluar kamar, malah masuk
ke kolong tempat tidur. Tubuhnya seperti kian menciut ketika Mama masuk ke
dalam kamar.
"Mita di mana kamu? Itu ada Pak
Polisi mencari kamu. Aduh, sedang apa kamu di kolong ranjang, Mita? Nanti ada
kecoak, lho!" ujar Mama yang menemukan Mita saat berjongkok.
Mendengar Mama menyebut kecoak, Mita
langsung keluar dari kolong ranjang.
"Mau apa Pak Polisi mencari
Mita, Ma?" tanya Mita kemudian.
"Kamu pasti belum mendengar
berita pencurian di rumah Pak Broto kemarin. Nah, Pak Polisi itu sedang
menyelidiki pelakunya. Tadi, Pak Polisi sudah wawancara beberapa orang.
Ternyata, Andi memang melihat ada mobil berhenti di depan rumah Pak Broto.
Tetapi, karena ia sedang dikejar anjing, Andi tidak begitu mengingat persis
mobilnya. Lantas, Andi menyebutkan bahwa kamu juga ada di sana saat itu. Malah,
sempat memotret di sana," tutur Mama.
"Mobil di depan rumah Pak Broto?
Tunggu sebentar … kalau tidak salah, mobil itu terfoto kemarin." Mita
segera memeriksa hasil fotonya kemarin di atas meja. Diambilnya foto saat Andi
dikejar anjing. Di bagian pinggir foto itu, jelas terlihat sebuah mobil
berwarna cokelat dari belakang terparkir di depan rumah Pak Broto. Nomor plat
mobilnya meski kecil masih dapat dilihat. "Ini fotonya, Ma. Biar Mita yang
berikan kepada Pak Polisi."
Mita mengikuti Mama ke ruang tamu.
Kali ini, ia tidak cemas lagi. Malah, Mita memberanikan diri bercerita panjang
lebar mengenai foto hasil bidikannya itu.
"Boleh kami minta foto ini untuk
bahan penyelidikan?" pinta Pak Polisi kemudian.
"Wah, sebenarnya foto ini mau
saya jual, Pak," kata Mita.
"Mita, masa untuk kebaikan mau
kamu jual juga. Biar nanti Mama yang ganti," sela Mama.
Mita tersenyum. "Tidak usah, Ma.
Pak Broto kan, orangnya sering menolong. Mita dengan senang hati juga mau
menolong," timpal Mita kemudian.
Kedua Pak Polisi itu segera pamit.
Mita kembali ke kamarnya dengan hati riang. Biarlah, teman-temannya tidak perlu
menebus foto-foto mereka, Mita berniat memberikannya secara cuma-cuma. Namanya
juga paparazzi kampung. Yang jelas, ia merasa bangga bisa membantu Pak Polisi
menangkap pencuri di rumah Pak Broto.
Hantu Pohon Jamblang
“Kamu sudah dengar kabar hantu pohon
jamblang, Raf?” tanya Dodo dalam perjalanan pulang sekolah.
Rafli menggeleng. ”Bagaimana
ceritanya?” ia balik bertanya, tertarik juga mengetahui kabar aneh itu.
”Aku sendiri dengar dari orang-orang.
Katanya, ada hantu di pohon jamblang sebelum warung Mang Adun,” papar Dodo
bersemangat.
”Memangnya ada yang pernah melihat
hantu itu?”
”Kang Mamat yang melihat. Malam itu,
dia pengen beli obat nyamuk. Tahu-tahu, ada suara aneh dari pohon jamblang itu.
Pas dilihat, ada bayangan menyeramkan. Sebelum dilihat lebih menyeramkan lagi,
Kang Mamat langsung kabur. Ia tak jadi beli obat nyamuk ke warung Mang Adun,
malah ke warung Mang Obi,” tutur Dodo.
”Dan, Kang Mamat langsung bercerita
kepada orang-orang yang ada di warung Mang Obi?”
”Begitulah,” sahut Dodo.
Rafli manggut-manggut. Siang yang
panas membuat langkahnya tergesa-gesa. Kali ini, Rafli tak langsung pulang,
tetapi jalan lurus melihat pohon jamblang tua yang dibicarakan Dodo. Dengan
saksama, Rafli memperhatikan pohon tua yang sering dipetiki buahnya bersama
teman-temannya.
Bisa jadi yang dilihat Kang Maman
bukan hantu. Dia pasti salah lihat, pikir Rafli. Untuk memastikannya, Rafli
memutuskan untuk kembali melihatnya di malam hari.
Meski ada perasaan takut, Rafli
keluar rumah setelah shalat Isya. Kebetulan, ia punya kepentingan membeli
bolpoin ke warung Mang Adun. Dengan berbekal lampu senter besar, Rafli menuju
pohon jamblang itu. Lampu senter pun dinyalakannya begitu sampai. Keberaniannya
timbul begitu saja. Ia menyenter setiap dahan yang melintang.
Tetapi tak ada hal yang aneh!
Rafli bernapas lega. Ia lantas menuju
warung Mang Adun. Biasanya meski malam hari, warung itu masih ramai. Selain
barang yang dijualnya komplet, Mang Adun juga menyediakan bangku panjang untuk
duduk-duduk pelanggannya. Di warungnya, orang juga bisa memesan kopi atau mie
instan rebus.
”Mau tutup, Mang?” tanya Rafli
setelah membeli bolpoin yang diperlukannya.
”Iya. Habis sepi. Sekarang, kalau
malam yang beli cuma dari timur. Yang di barat pada takut ke sini gara-gara
cerita hantu pohon jamblang. Padahal, di timur cuma ada lima rumah,” jawab Mang
Adun lesu.
”Tetapi, saya nggak percaya.
Buktinya, saya masih belanja ke sini. Memangnya, Mang Adun juga pernah lihat
hantu di pohon itu?”
”Seumur hidup, Mamang belum pernah
lihat hantu.”
Rafli mengangguk. Rasa penasarannya
terhadap cerita hantu itu masih menggodanya. Jadi, yang pernah melihat hanya
Kang Mamat, pikirnya.
Rafli segera ke rumah Kang Mamat di
ujung jalan sebelah barat. Umur Kang Mamat mungkin terpaut lima tahun di atas
Rafli. Setelah tamat SMP, ia bekerja di pabrik permen milik Pak Mumu. Saat ini,
entah sudah pulang atau belum Kang Mamat.
Rafli mengetuk pintu rumah Kang
Mamat. Bu Ningsih muncul dengan wajah terkejut ketika melihat tamunya. ”Disuruh
Bapak ke sini, Raf?” tanya Bu Ningsih, ibu Kang Mamat.
”Ah, bukan. Saya mau ketemu Kang
Mamat. Ada perlu sebentar.”
”Belum pulang. Mungkin sebentar lagi.
Ditunggu saja di dalam kalau memang perlu,” ajak Bu Ningsih.
Rafli mengikuti Bu Ningsih masuk dan
duduk di salah satu kursi di ruang tamu. Mata Rafli langsung melihat dua karung
beras dan terigu di sudut ruangan. ”Baru belanja banyak ya, Bu?” tanya Rafli
melanjutkan percakapan.
”Ah, bukan. Itu kiriman dari Mang Obi
untuk Mamat. Katanya sih, hadiah. Tidak tahu hadiah apaan,” jawab Bu Ningsih
polos.
Rafli mengerutkan keningnya. Mang Obi
memberi hadiah untuk Kang Mamat? Wah, ini berita hebat! Semua orang tahu betapa
kikirnya Mang Obi. Belanja di warungnya tidak boleh ditawar. Malah, kurang lima
puluh rupiah saja pasti disuruh pulang. Sebaliknya, kembalian seratus rupiah
akan digantinya dengan permen. Itu sebabnya warung Mang Obi selalu sepi.
Orang-orang baru belanja di warung Mang Obi kalau barang yang akan dibelinya
tidak ada di warung Mang Adun.
Lantas .… Tiba-tiba, Mang Obi berbaik
hati memberi hadiah untuk Kang Maman?
Pikiran Rafli buyar ketika Kang Mamat
mengucapkan salam sambil masuk ke rumah. Ia agak kaget melihat kedatangan
Rafli, juga dua karung di sudut ruangan. Bu Ningsih segera menceritakan perihal
karung itu kepada anaknya.
”Saya disuruh Ayah memanggil Kang
Mamat. Katanya, Kang Mamat diminta menceritakan soal hantu di pohon jamblang
itu kepada Ayah,” ujar Rafli berdusta. Hehehe … boleh, kan? Ini demi kebaikan,
kok!
Kang Mamat tampak pucat. Ia terdiam
lemas beberapa saat. Lalu, ”Sebenarnya, cerita hantu pohon jamblang itu
bohong,” katanya gugup.
Rafli tidak terkejut. Ia sudah
menduganya.
”Saya akan ceritakan semuanya. Tetapi
tolong, jangan sampaikan kepada Pak Lurah,” pinta Kang Mamat sambil
membayangkan wajah angker ayah Rafli yang menjabat Lurah. ”Semua ini rencana
Mang Obi. Ia minta saya menyebarkan kabar soal hantu pohon jamblang itu, biar
orang-orang tidak belanja lagi di warung Mang Adun. Terutama kalau sudah malam.
Saya tergoda karena dijanjikan akan diberi apa yang saya mau. Tetapi, justru
setelah itu, hati saya tidak tenang. Apalagi kalau ingat kebaikan Mang Adun.
Beberapa kali saya dibolehkan ngutang kalau tidak punya uang,” papar Kang
Mamat.
Rafli manggut-manggut. ”Saya tidak
bisa banyak membantu. Tetapi sebaiknya, hadiah dari Mang Obi ini dikembalikan
saja. Besok saya akan usul kepada Ayah agar menebang pohon jamblang itu.
Soalnya, pohon itu memang sudah tua dan rapuh, bisa membahayakan orang yang
lewat kalau tiba-tiba roboh. Jika pohon itu ditebang, cerita hantu pun akan
hilang dengan sendirinya. Orang tidak takut lagi belanja ke warung Mang Adun,”
kata Rafli.
”Begitu, ya?”
”Meski begitu, Kang Rahmat harus
minta maaf sama Mang Adun. Dan urusan ini harus diselesaikan oleh Kang Mamat
sendiri. Kasihan Mang Adun, warungnya jadi sepi gara-gara cerita tak benar Kang
mamat,” tambah Rafli.
”Saya sungguh menyesal,” kata Kang
Mamat lirih. Ya, itulah kalau tak pernah memikirkan akibatnya jika berbuat
jahat pada orang lain.
Topi yang Hilang
Liburan ini, Herdi liburan ke kampung halaman Ilham, teman sebangkunya.
Namun, keduanya agak kesal jika memikirkan Fikri, adik Ilham. Habis, setiap
Herdi dan Ilham pergi, Fikri pasti minta diajak.
”Besok, aku ingin mengajakmu berenang
di sungai. Tetapi, Fikri pasti pengen ikut,” keluh Ilham di malam kedua Herdi
menginap.
”Ajak saja,” saran Herdi.
”Wah, pasti repot. Dia nggak bisa
berenang. Nanti kita harus terus mengawasinya. Tetapi kalau kita larang, pasti
ngadu sama Ayah. Bisa-bisa kita berdua kena marah.” Ilham dia sejenak. ”Ah,
kita pergi siang saja saat dia tidur.”
”Ya, itu ide bagus!” sahut Herdi.
Esok harinya, ketika Fikri tidur
siang, mereka berangkat ke sungai. Matahari bersinar terik, Herdi memakai topi
merah kesayangannya. Begitu tiba di sungai, mereka langsung membuka pakaian dan
menceburkan diri ke sungai.
Sesekali, mereka ke tepi untuk salto.
Atau, naik ke atas pohon jambu klutuk yang banyak tumbuh di pinggir sungai.
Ilham memetik buah jambu yang ranum dan melempar ke Herdi di sungai. Sementara,
beberapa buah jambu yang masih mentah dilemparnya ke arah sekumpulan kambing
yang sedang merumput tanpa ditemani pemiliknya.
Setelah puas berenang, mereka kembali
mengenakan pakaian. ”Ham, kamu lihat topiku, nggak?” tanya Herdi setelah
berpakaian.
”Memangnya kamu simpan di mana tadi?”
tanya Ilham.
”Tadi, aku menggantungnya di ranting
semak ini.”
”Mungkin, tertiup angin dan jatuh di
sekitar sini. Ayo, kita cari!”
Setelah lama mencari, topi itu tak
berhasil mereka temukan. Mereka bingung karena tak tampak seorang pun di
sekitar mereka. Karena hari sudah terlalu sore, Herdi membiarkan topi merahnya
hilang. Mereka memutuskan segera pulang.
Di depan pintu pagar, Herdi dan Ilham
serempak menghentikan langkah. Keduanya terkejut melihat Fikri sedang duduk di
teras memakai topi Herdi.
”Dari mana saja kalian?” tanya Fikri
sambil tersenyum.
Ilham dan Herdi jadi gugup.
”Bagaimana Fikri mendapatkan topiku?”
bisik Herdi pelan.
”Mungkin, dia tadi mengikuti kita.
Lalu, untuk menjebak kita, dia sengaja mengambil topimu diam-diam,” timpal
Ilham.
”Sekarang, apa yang akan kita
lakukan? Kalau dia mengadu pada ayahmu kita berenang di sungai, bisa-bisa kita
kena marah,” Herdi cemas.
”Hanya ada satu jalan ke luar. Kita
harus merayunya untuk diam. Berapa uang yang kamu punya?” tanya Ilham.
”Seribu rupiah.”
”Aku juga. Kurasa itu cukup untuk menutup
mulutnya,” kata Ilham. Ia segera mendekati Fikri. ”Daripada bengong sendirian,
kita makan mie ayam di Bi Jenab, yuk!”
Fikri sangat senang. Begitu tiba di
warung Bi Jenab, dia langsung memesan mie ayam. Ia heran karena Herdi dan Ilham
tidak memesan. Ah, mungkin mereka sudah makan tadi, pikirnya.
”Fik, kami sudah mentraktirmu.
Sekarang, berjanjilah kamu tidak akan mengadu kepada Ayah tentang kepergian
kami tadi,” ucap Ilham saat Fikri menyuapi mie ayamnya.
”Apa yang mau kuadukan kepada Ayah?
Aku sendiri tidak tahu ke mana kalian pergi tadi. Memangnya kalian ke mana sih,
barusan? Kok, aku tidak diajak?”
”Jangan pura-pura. Kalau tidak tahu,
mengapa bisa pakai topi Herdi?” sergah Ilham.
”Oh ... ini. Tadi, begitu bangun
tidur siang, aku langsung ke jalan mencari kalian. Tetapi di tengah jalan, aku
malah bertemu gerombolan kambing. Salah satu kambing itu memakai topi Herdi,
jadi kuambil saja,” jelas Fikri.
Ilham dan Herdi saling berpandangan.
Keduanya ingat sekumpulan kambing di tepi sungai tadi. Rupanya topi itu jatuh
ke salah satu tanduk kambing itu, kemudian ditemukan Fikri.
”Kalau begini, lain kali aku nggak
mau pergi diam-diam lagi,” gumam Herdi. Ia jadi kehilangan uang sakunya,
gara-gara khawatir adiknya membocorkan rahasia.
”Ya, dan kita tak perlu membuang uang
hanya untuk menutupi kesalahan,” tambah Ilham cemberut.
Sementara itu, Fikri terus
menghabiskan mie ayamnya. Dia tidak mengerti dengan kalimat yang diucapkan
Herdi dan Ilham. Ah, yang penting kenyang!
^_^
^_^
Keren-kereeeeen :)
ReplyDelete@Shabrina WS: terima kasih ya.
ReplyDeletebagus-bagus euy. sukaaa :)
ReplyDeleteSebagian ceritanya udah pernah aku baca di bobo lho . . . :-)
ReplyDelete