Salah satu lokasi wisata yang ingin saya datangi ketika bepergian ke Makassar, Sulawesi Selatan, adalah benteng Fort Rotterdam. Alasannya? Ya penasaran aja sama yang namanya benteng bekas peninggalan masa silam.
Setelah turun di depannya dengan menggunakan becak dari hotel, saya langsung mauk ke gerbang yang dijaga tiga orang. Saya diminta masuk ke pos tiket. Tak ada penejlasan saya harus bayar berapa. Petugas hanya minta uang bayaran seikhlasnya. Menurut saya agak aneh juga ya. Nanti bagaimana menghitung uang masuk ke kas dan bagaimana cara menghitung potongan pajaknya untuk negara. Apalagi saya nggak dikasih karcis apapun setelah membayar Rp20.000.
Barulah ketika masuk ke bagian museumnya dan ditagih uang tiket, saya mendapat tiket dengan harga yang pasti. Okelah, saya nggak mau ribet juga soal tiket nggak jelas itu. Saya berusaha menikmati suasana benteng yang kerap disebut Benteng Ujung Pandang ini di bawa sengatan matahari yang bikin saya terus berkeringat dan kehausan
Saya mulai naik ke bagian atas benteng dan melihat reruntuhan yang saya tidak bisa bayangkan bagaimana bentuk aslinya. Benar-benar reruntuhan. Dan saya baru bisa dapat gambaran begitu brwosing di Internet.
Fort Rotterdam adalah sebuah benteng peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo. Letak benteng ini berada di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Benteng ini dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-9 yang bernama I manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' kallonna. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros.
Benteng Ujung Pandang ini berbentuk seperti seekor penyu yang hendak merangkak turun ke lautan. Dari segi bentuknya sangat jelas filosofi Kerajaan Gowa, bahwa penyu dapat hidup di darat maupun di laut. Begitu pun dengan Kerajaan Gowa yang berjaya di daratan maupun di lautan.
Nama asli benteng ini adalah Benteng Ujung Pandang, biasa juga orang Gowa-Makassar menyebut benteng ini dengan sebutan Benteng Panyyua yang merupakan markas pasukan katak Kerajaan Gowa. Kerajaan Gowa-Tallo akhirnya menandatangani perjanjian Bungayya yang salah satu pasalnya mewajibkan Kerajaan Gowa untuk menyerahkan benteng ini kepada Belanda. Pada saat Belanda menempati benteng ini, nama Benteng Ujung Pandang diubah menjadi Fort Rotterdam. Cornelis Speelman sengaja memilih nama Fort Rotterdam untuk mengenang daerah kelahirannya di Belanda. Benteng ini kemudian digunakan oleh Belanda sebagai pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur.
Di kompleks Benteng Ujung Pandang kini terdapat Museum La Galigo yang di dalamnya terdapat banyak referensi mengenai sejarah kebesaran Makassar (Gowa-Tallo) dan daerah-daerah lainnya yang ada di Sulawesi Selatan. Sebagian besar gedung benteng ini masih utuh dan menjadi salah satu objek wisata di Kota Makassar
Setelah mengitari renruntuhan benteng sambil membaca sejarah, saya masuk ke dua museum yang ada di dua sayap. Museumnya lebih banyak menceritakan sejarah dan seni budaya di tanah Sulawesi selatan. Jadi mau tahu tentang budaya Toraja atau Bugis juga ada di sini. Mau masuk ke museum yang bernama Museum La Galigo ini harus membayar lagi Rp5000. Siap-siap saya buka sepatu dan sandal bila ingin masuk ke dalam.
Untuk yang senang foto-foto bareng, lokasi museum ini sangat indah sebagai latar. Apalagi datang pada sore hari.
Care ke benteng ini gampang sekali. Dar manapun, mintalah antar ke Pantai Losari karena lokasinya berada di dekat kawasan Pantai Losari.
0 komentar:
Post a Comment