Salah satu efek jadi blogger adalah kemanapun saya pergi akan mencari obyek wisata terdekat untuk ditulis. Salah satunya adalah ketika saya harus mengikuti workshop literasi anak di Novotel Hotel, Jalan Gajah Mada, Jakarta, pada 13-16 Oktober 2014. Hanya beberapa langkah dari lobi hotel tersebut, saya melihat sebuah cagar budaya Candra Naya yang langsung menyedot perhatian saya untuk mendatanginya.
Semula saya mengira bangunan bergaya Tiongkok itu adalah vihara atau kelenteng. Ternyata, bekas rumah Major Khow Kim An, pemimpin masyarakat Tionghoa di Jakarta pada masa kolonial Belanda pada 1910-1916. Sebagian menyebutkan bangunan tersebut dibangunan oleh ayah Major Khow Kim An yakni Khow Teng Tjoan. Tapi ada juga yang menyebutnya bangunan itu sudah berdiri sejak masa kakeknya yakni Khow Tian Sek.
Sekitar tahun 1990-an saya sering ke daerah Kota dan melihatnya nyaris seperti bangunan lusuh. Lalu pada tahun 2000-an saya melewatinya dengan penuh khawatir karena mulai berdiri kerangka-kerangka tinggi di sekitarnya. saya berharap penuh bangunan dengan atap melengkung itu tidak dihancurkan. Sedihnya, saya malah mendengar bangunan yang memiliki struktur atap tou-kung itu malah akan dipindahkan ke Taman Mini. Untungnya tidak jadi.
Bila masuk dari bagian depan kita bisa melihat papan nama bangunan itu tertulis Candra Naya. Dalam bahasa Sanskerta yang saya tahu, Chandra berarti bulan, Naya berarti baru (lawannya: purana berarti lama). Ingin tahu sejarah lengkap Candra Naya, silakan baca informasi di dinding kanan, sementara tentang sang Major ada di sebelah kiri.
Begitu masuk ke dalam saya seperti terlontar ke masa lalu, tepatnya bangunan di kawasan Pecinan era Jakarta bernama Batavia. Mungkin karena terpampang beberapa foto tentang masa lalu, juga aksara kanji Tiongkok.
Berdasarkan informasi yang tertera, Khouw Kim An lahir di Batavia pada 5 Juni 1879. Ia fasih berbahasa negeri Kincir Angin meskipun dididik di sekolah Hokkien. Khouw Kim An menjadi salah satu pendiri Tiong Hwa Hwe Kwan Jakarta yang berdiri pada 1900, dan pada 1905 ia diberi pangkat letnan oleh Belanda.
Pada 1908 Khouw Kim An dipromosi menjadi kapten, dan kemudian naik lagi menjadi mayor pada 1910. Karena itulah Candra Naya dulu disebut sebagai Rumah Mayor.
Khouw Kim An sempat tinggal di Bogor sebelum menempati rumah warisan ayahnya itu pada 1934. Selain sebagai pengusaha, Khouw Kim An juga menjadi pemegang saham Bataviaasche Bank.
Pada masa pendudukan tentara Jepang, Khouw Kim An ditawan dan meninggal di kamp konsetrasi Jepang pada 13 Februari 1945. Ia dimakamkan di dekat kompleks pemakaman keluar Khouw di Jati Petamburan.
Diperkirakan, jika bukan dibangun pada tahun kelinci 1867 oleh Khouw Tjeng Tjoan, maka Candra Naya dibangun Khouw Tian Sek pada tahun kelinci 1807 untuk menyambut kelahiran puteranya pada 1808.
Perkiraan dibangunnya Candra Naya pada tahun kelinci itu berasal dari adanya sebuah lukisan di dalam gedung dengan tulisan dalam bahasa Cina dengan karakter Han yang berarti “Pada musim gugur di tahun kelinci”
Menurut petugas kebersihan yang saya tanya, selain sebagai tempat pameran, bangunan ini ini juga kadang dijadikan tempat pertunjukan Wayang Potehi.
Sekitar 1946 berdiri Sin Ming Hui (Perkumpulan Sinar Baru) dan menyewa gedung Candra Naya ini sebagai pusat kegiatannya. Diantara kegiatan yang dilakukan perkumpulan ini adalah mendirikan klinik yang kemudian berkembang menjadi Rumah Sakit Sumber Waras.
Di tempat ini juga pernah digelar kejuaraan bulutangkis pertama yang diadakan Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia, kompetisi bilyar dan angkat berat pertama di Jakarta, serta sebagai tempat belajar seni beladiri kung fu.
Candra Naya juga pernah digunakan sebagai tempat pendidikan oleh Sin Ming Hui dari mulai jenjang SD, SMP, SMA, dan kemudian berkembang dengan adanya Universitas Tarumanegara. Para fotografer juga pernah menggunakan gedung ini sebagai tempat mereka berkumpul.
Pada 1965, Sin Ming Hui berganti nama menjadi “Perkoempoelan Sosial Tjandra Naja” atas saran Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa. Dari tahun 1960-an hingga 1970-an Candra Naya menjadi tempat pesta pernikahan kaum kelas atas.
Hal yang membuat saya betah di dalam Candra Naya adalah sejumlah kaligrafi Cina berisi kalimat-kalimat positif. Selain itu juga terdapat hiasan dinding berwujud panglima perang dan puteri-puteri cantik Tiongkok. Tak ketinggalan lukisan Dewi Kwan Im dan sederet topeng karakter yang saya tidak kenal tapi membuat saya terhanyut suasana. Rasanya tidak bosan menikmatinya. Sayang, karena informasi yang kurang dalam bahasa Indonesia, banyak hal yang saya tidak mengerti.
Candra Naya tidak hanya dikenal di dalam negeri, namun juga dikenal di kawasan regional Asia Tenggara dan internasional. Candara Naya merupakan bagian terpadu dari Green Central City, superblock yang dibangun oleh PT Bumi Perkasa Permai.
Setelah kembali ke masa kini begitu ke luar Candra Naya, saya pun menyesuaikan diri di sayap kanan Candra Naya. Di sana terdapat caffe Oey yang menyajikan aneka hidangan peranakan.
Menyenangkan juga bisa mampir ke Candra Naya di sela kesibukan mengikuti workshop. Betul seperti kata penulis traveling Agustinus Wibowo,” Traveling tidak harus pergi jauh.” Bahkan hanya beberapa langkah dari lobi hotel menginap.
follow me: @bennyrhamdani_
follow me: @bennyrhamdani_
0 komentar:
Post a Comment