Pagi itu saya menapaki Jalan Laksda Adisucipto KM6,5, Yogyakarta,
dengan perut lapar belum sarapan. Tujuan
saya Eastparc Hotel sudah di depan mata. Tapi sebuah kedai pecel dengan
sejumlah motor dan mobil yang parkir di depannya membuat arah langkah saya
berubah.
Saya menghampiri kedai Pecel Pincuk Gumilang itu, dan
ternyata di dalamnya lumayan ramai. Mungkin sekitar 12 orang sedang asyik makan
di kedai yang tak seberapa luas. Seorang ibu duduk di jongko melayani sejumlah
pembeli, baik yang dibawa pulang maupun makan di tempat.
Saya harus bersabar menunggu sekitar sepuluh menit karena
rata-rata yang membeli untuk dibawa pulang minimal memesan tiga bungkus.
Bayangkan jika satu pesanan menghabiskan waktu 1,5 menit saja.
Waktu sepuluh menit saya pakai untuk melihat pesanan
sejumlah pembeli. Akhirnya saya tahu lauk untuk teman pecalnya. Ketika saya
iliran ditanya, saya pesan nasi pecal ditambah telur dadar dan empal.
Ibu yang melayani dengan cekatan memenuhi pesanan saya. Manakan
disajikan di atas tatakan anyaman bambu dan beralas daun pisang. Suka sekali
dengan penyajian yang tradisional ini. Begitu terhidang, saya langsung
menyantapnya.
Saya merasa bagian yang terenak dari nasi pecel ini adalah
bumbu pecelnya. Selain itu empal dan
peyeknya juga melengkapi kelezatan kuliner ini. Pembeli juga bisa memilih
minuman di sini, tapi saya pilih teh manis dingin saja.
Pak Wawan, 49 tahun, pemilik kedai ini mengaku sudah membuka
usahanya hampir enam tahun. Setiap hari dia membuka kedainya mulai pukul enam
pagi hingga duabelas siang. “Rata-rata pembeli di sini sudah umur duapuluhlima
tahun ke atas. Jarang anak muda mampir.
Kecuali yang mengantar atau diajak orangtuanya,” kata Pak wawan.
Dalam sehari Pak Wawan mampu menjual hingga 200-250 porsi
dengan harga perporsi tergantung pesanan. Porsi saya yang lebih dari komplet
termasuk es teh manis dihargai Rp20.000. Silakan hitung omsetnya setiap hari.
Jika melihat Pak Wawan selalu menyapa ramah pelanggan yang
turun dari mobil, motor maupun jalan kaki, tampak rata-rata sudah dikenalnya. “Kebanyakan
yang datang ke sini memang pelanggan sejak bertahun-tahun,” jelasnya.
Pak Wawan mengungkapkan rahasia kelezatan nasi pecelnya. “Rahasianya,
bumbunya kami buat sendiri. Bumbunya memang ala Blitar, tapi sudah disesuaikan
dengan lidah orang Jogja. Sebab kalau bumbu asli Blitar itu pedas sekali, dan
orang Jogja kurang suka,” tandasnya.
0 komentar:
Post a Comment