Traveling ke pelbagai kota di Indonesia kurang afdol jika tak mencapai masjid bersejarah di dalamnya. Hal itu saya lakukan ketika ke Pontianak, Kalimantan Barat. Mengunjungi Masjid Jami atau lebih dikenal dengan nama Masjid Sultan Syarif Abdurrahman sungguh melengkapi perjalanan saya di Kota Khatulistiwa ini.
Jaraknya dairi Istana Kdriyah tak begitu jauh. Dari pertigaan, istana harus belok ke kiri, sedangkan masjid tua ini berjalan ke kanan. Saya harus melewati jembatan anak Sungai Landak. Sesaat saya terpesona dengan jajaran perahu kecil yang tertambat di pinggiran sungai.
Melewati jembatan, masjid sudah terlihat. Begitu pula Sungai Kapuas nan ramai.Sempat tergoda untuk menuju pinggira Kapuas, tapi suara azan ashar berkumandang. Saya pun masuk ke masjid yang sebagian besar materinya adalah kayu belian. Tampak kokoh meskipun bukan dari beton. Jejak sejarah pun masih tampak, tak seperti masjid-masjid lama yang begitu direnovasi tak menyisakan bekas sejarahnya sama sekali.
Inisiatif majid ini sama dengan pendiri Kota Pontianak, yakni Syarif Abdurrahman Alkadrie, keturunan Arab, anak Al Habib Husein, penyebar agama Islam dari Jawa. Al Habib Husein datang ke Kerajaan Matan pada 1733 Masehi. Al Habib menikahiputri Raja Matan (kini Kabupaten Ketapang) Sultan Kamaludin, bernama Nyai Tua. Dari pernikahan tersebut kemudian lahirlah Syarif Abdurrahman Alkadrie, yang meneruskan jejak ayahnya menyiarkan agama Islam.
Syarif Abdurrahman bersafari dari Mempawah menyusuri sungai Kapuas. Rombongan Abdurrahman sampai di muara persimpangan Sungai Kapuas dan Sungai Landak pada 23 Oktober 1771. Kemudian mereka membuka hutan di dekat muara itu untuk dijadikan daerah permukiman baru. Abdurrahman mendirikan sebuah kerajaan baru Pontianak. Ia pun membangun masjid dan istana untuk sultan.
Saya menaiki lantai masjid setinggi setengah meter dari tanah. Konon, dulu tingginya mencapai dua meter. Dan kolongnya saat ini sudah dicor agar masjid tidak terus turun ke tanah. Saat masuk ke dalam masjid suasana sejuk terasa karena dinding masjid kebanyakan adalah jendela-jendela yang bisa dibuka.
Saya melihat pilar-pilar dengan diameter sekitar setengah meter. Tampak agung. Saat menuju ke tempat wudlu, barulah saya merasakan kembali suasana modern. Kembali masuk ke masjid lagi, saya merasa terlempar ke masa lalu kembali.
Sepintas saya melihat mimbar masjid yang seperti bagian geladak kapal. Unik juga. Dan saya pun ikut bersujud dengan jamaah lainnya, menunaikan shalat ashar berjamaah. Berdebar rasanya saat sujud karena membayangkan rasanya shalat di masjid ini pada masa lampau. Seusai shalat saya merasa lebih tenang dan bahagia. Akhirnya, bisa juga bersujud di masjid yang bersejarah ini.
0 komentar:
Post a Comment