Setiap acara dinas, ada dua jenis
cara makan jika menginap di hotel. Ada yang makan pagi saja, ada yang dari
sarapan sampai makan malam harus di hotel. Saya sebanrnya cenderung makan pagi
saja yang di hotel. Seperti ketika dinas ke Mataram, Lombok. Dengan begitu saya
bias wisata kuliner khas Lombok tapi takut kekenyangan.
Alam itu saya diajak teman saya
yang pernah kuliah di Mataram, Subhan, untuk mampir ke kawasan Jalan Udayana. Saya
melihat sisi kanan dan kiri jalan dipenuhi cahaya remang-remang lilin dan juga
kedai-kedai kaki lima makanan. Sekilas
seperti kawasan orang mojok. Dan memang saya melihat beberapa di antaranya.
Kami akhirnya berhenti masih di sisi badan jalan.
Terpaksa karena tak ada tempat parkir. Sepetrinya semua juga begitu. Kami
berhenti tak jauh dari air mancur bercahaya sehingga tak terlalu remang-remang.
Ngapain coba cowok berempat ke tempat remang-remang … hahahaha.
Kami akhirnya mengambil tempat
duduk lesehan. Ya, karena memang semuanya lesehan, di alam terbuka, di halaman
berumput milik kota. Nggak kebayang deh kalau tiba-tiba gerimis atau hujan. Tak
lama kemudian seorang pria datang menanykan pesanan. Kami memutuskan untuk
memesan sate bulayak, ada yang sate ayam, sate sapi, dan campur. Saya pilih
sate ayam karena lebih cocok.
Man, penjual sate bulayak, mengaku sudah lima tahun. “Di
sini biasanya paling ramai kalau malam Minggu,” katanya sambil membakar sate
pesanan saya.
Tak lama kemudian pesanan kami mampir di meja. Tusukan
daging satenya nyaris tak berbeda dengan sate ayam umumnya. Yang membedakan
mungkin bmbu satenya. Kata Man, bumbunya dibuat dari kacang kedelai yang
disangrai dan ditumbuk. Tapi menurut lidah saya sih masih ada rasa kacang
tanah. Bisa saja dicampur. Oh, iya ada potongan jeruk nipis yang bisa diperas
ke bumbu.
Nah, kemudian saya mencomot bulayak yang menjadi cirri khasnya.
Bulayak ini sejenis lontong khas Lombok. Tapi dibungkus berbeda, bukan dengan
daun pisang. Kata Subhan, pembungkusnya dari daun lontar. Mungkin benar, karena saya
tidak bisa membedakan dengan daun kelapa. Saya pernah menemukan lontong jenis
ini tapi ukurannya lebih kecil dan ada kacang kedelai di dalamnya.
Saya dikasih tahu untuk membuka bulayak jangan langsung
seluruhnya. Cukup seperempat dulu, lalu dicocolkan ke bumbu sate, baru
memakannya … rasanya memang berbeda dengan lontong sate yang dipotong-potong
lebih dulu. Nah, baru kemudian melahap
daging sate. Sedikit repot karena harus berganti megang bulayak dan sate.
Mungkin kalau tangan kanan pegang bulayak dan tangan kiri pegang sate lebih
praktis. Tapi kan memegang makanan dengan tangan kiri itu sulit.
Disertai angin kota Mataram,
di bawah langit berbintang, serta suara gemercik air mancur, akhirnya
saya bisa menghabiskan satu porsi sate ayam, tapi bulayaknya bersisa dua dari lima bungkus. Perut terlalu kenyang soalnya.
Untuk yang belum pernah mencobanya, kalau ke Lombok carilah
kawasan ini. Sensasinya berbeda makan sate bulayak di remang-remang begini.
Bahkan untuk motret makanannya pun harus pakai flash. Dan pastinya, satu
porsinya nggak mahal-mahal amat. Masih jauh di bandingkan seporsi ayam goreng
Amerika.
^_^
0 komentar:
Post a Comment