THR atau Tunjangan Hari Raya
muncul sekitar tahun 1994 lewat Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor
Per-04/Men/1994 Tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja di
Perusahaan. Merujuk pada kebijakan tersebut, maka semua perusahaan wajib
mengeluarkan THR bagi pegawainya. Lantas bagaimana dengan mereka yang bukan
pegawai perusahaan? Penulis misalnya, yang merupakan jenis pekerjaan
freelance.
Saya pernah menjalani hidup
sebagai penulis freelance. Penghasilan saya berdasarkan kreativitas saya
menulis cerpen dan artikel di berbagai media cetak. Merasa tak cukup dengan
penghasilan yang diperoleh, saya pun merambah menulis novel dan skenario sinetron. Alhamdulillah,
penghasilan pun meningkat.
Sebagai penulis, penghasilan
tidak bisa ditentukan jumlahnya secara stabil seperti gaji seorang pegawai.
Terkadang di atas rata-rata ketika karya tulis kita bisa diterbitkan, jatuh
tempo royalti, maupun terlibat proyek penulisan sinetron. Kadang pula sepi
order penulisan, sehingga harus pintar-pintar mengunakan uang yang ada sampai
garuk-garuk kepala walaupun tidak gatal.
Yang paling miris adalah
menjelang lebaran, seorang penulis tidak bisa berharap mendapat THR. Jangankan
THR, bisa dapat honor dai pemuatan tulisan di media saja sudah senang. Pernah
juga sih, ada majalah anak-anak yang memberi saya THR sebesar honor satu
tulisan karena saya terbilang produktif menulis di sana (atau karena saya
tampak harus disantuni … hehehe).
Sesungguhnya setiap penulis bisa
mendapatkan THR setiap kali menjelang lebaran, tapi dalam arti yang berbeda, yakni Tabungan Hari
Raya, bukan Tunjangan. Bagaimana caranya?
Hal pertama yang harus dilakukan
adalah menghitung kebutuhan di hari raya. Kalau masih sendiri, ya hitunglah
untuk diri sendiri. JIka sudah berkeluarga, hitung untuk kepentingan keluarga. Semakin
besar jumlah orang yang ditanggung semakin besar pula yang harus disiapkan.
Umumnya ada tiga pos pengeluaran
terbesar untuk lebaran yang sulit dihindari, yakni mudik, pakaian dan makanan.
Mudik tergantung jaraknya. Semakin jauh otomatis akan semakin besar biayanya.
Kecuali kita mau mencoba mencari beasiswa alias spnsor mudik bersama gratis.
Jika tidak mudik, maka pos ini bisa disimpan di tabungan.
Katakanlah kita memiliki resolusi di hari lebaran nanti untuk melakukan ini itu dan belanja ini itu. Tentunya ada besaran biaya yang bisa kita perkirakan untuk mewujudkannya. Maka, niatkanlah dari seusai
lebaran tahun sebelumnya untuk memiliki uang sebesar itu. Karena niatlah yang
akan memotivasi kita ke langkah berikutnya. Waktunya juga jangan terlalu mepet.
Hal kedua yang harus dilakukan
adalah dengan membuka tabungan. Sebaiknya pisahkan dengan tabungan yang uangnya
bisa diambil setiap saat. Khusus tabungan ini, kartu debitnya disimpan saja.
Setiap kali mendapat honor lebih
besar, langsung sisihkan untuk ditabung di Tabungan Hari Raya. Tinggalkan pola
hidup konsumtif atau gaya hidup yang tidak cocok untuk seorang penulis
freelance. Misalnya saja gonta-ganti gadget.
Hal ketiga adalah menyangkut mental diri sendiri sebagai seorang penulis freelance, yakni istiqomah menjalankan niat. Jangan sampai niat memiliki tabungan hari raya menjadi kendur di tengah jalan. Kecuali ada hal-hal genting yang tidak bisa kita hindari. Ingatlah selalu manfaat saat memiliki tabungan tersendiri menjelang lebaran. Ingat juga resiko yang kita hadapi jika lebaran berkantong cekak. Apalagi jika sudah berkeluarga.
InsyaAllah, pada saat menjelang lebaran, penulis freelance tetap akan memiliki THR dalam bentuk tabungan hari raya. Jadi tidak perlu gigit jari saat mendengar tetangga yang pegawai menerima THR dari kantornya. Resolusi apapun yang akan dilakukan untuk merayakan lebaran bisa diwujdukan. Aamin.
0 komentar:
Post a Comment