Kali ini saya ingin bercerita
pengalaman menginap empat malam di Grand Mercure Hotel Jakarta. Tepatnya di
kawasan Jalan Hayam Wuruk, di seberang
Gajah Mada Plaza. Kebayangkan seperti apa ramai dan panasnya area ini, kan?
Saat menuju hotel ini dari
Bandung, saya sempat salah alamat menuju Mercure Hotel lainnya yang terletak di
jalan yang sama. Mengapa saya pikir di tempat yang salah itu, karena hotel itu
terletak dekat hotel Novotel yang saya tempati sebelumnya dan kebtulan satu
group.
Beruntung kali ini saya mendapat
room untuk sendirian. Bukan apa-apa sih, saya punya beberapa pekerjaan kantor
yang harus saya urus, di luar workshop yang saya sambangi. Perlu sedikit
ketenangan di malam hari, dan istirahat cukup agar paginya bisa fresh.
Saya suka interior kamar yang
modern, tapi kurang suka dengan pemandangan ke luar jendelanya. Eh, ketika
senja dan fajar, ternyata lumayan indah juga pemandangannya. Indah buat difoto
pemandangan langitnya.
Sementara itu kamar mandinya seperti
kebanyakan room hotel kelompok Mercure,
bersekat kaca yang tembus pandang dari tempat tidur. Kalau ada orang jelas
harus ditutup tirainya. Sebenarnya untuk kualitas air, saya kurang begitu suka.
Karena kadang tercium aroma yang kurang saya suka. Entah aroma apa.
Seperti kebanyakan hotel modern
juga, kartu kunci ke kamar juga berfungsi sebagai akses lift. Jadi agak repot
juga kalau ada tamu yang ingin mampir ke kamar. Harus dijemput di lobi. Tapi
untunglah tamunya nggak ada selain teman-teman workshop yang berbeda lantai.
Hal yang saya suka di hotel ini
adalah liftnya yang memiliki pembatas cermin yang refleksinya bikin keren kalau
selfie. Hahaha, dasar narsis.
Di kamar, koneksi wifi nggak bisa
dibilang baik. Saya harus mencari titik tertentu untuk mendapat koneksi via
wifi hotel. Tapi memang begitu sih di kebanyakan hotel Jakarta.
Hal paling saya suka adalah
restonya yang makanannya lumayan variatif, terutama saat sarapan. Saya paling
suka minum jamu yang kebetulan disediakan bersama mbok ayu. Fit rasanya setiap
pagi minum seduham jamu tradisional kunyit.
Sedangkan untuk makan malam dan
makan siang, kalau bosan saya bisa jalan ke luar hotel karena begitu banyak
tempat makan di sekitar hotel. Mau kelas kaki lima sampai restorang tersedia. Mau masakan Eropa sampai oriental ada. Yang penting punya uang.
Maklum deh, kawasannhya memang area bisnis dan niaga. Jadi selalu ramai. Berbeda dengan saat saya menginap di Mercure di Sanur, Bali. Keluar kamar langsung ketemu alam nan asri dan udara segar. Tapi agak jauh untuk beli ini-itu.
Maklum deh, kawasannhya memang area bisnis dan niaga. Jadi selalu ramai. Berbeda dengan saat saya menginap di Mercure di Sanur, Bali. Keluar kamar langsung ketemu alam nan asri dan udara segar. Tapi agak jauh untuk beli ini-itu.
Asiknya, kalau mau jalan-jalan
ada halte busway di depan hotel. Saya sempat kabur sejenak ke Mangga Dua untuk
beli oleh-oleh buat isteri tercinta.
Secara garis besar, kalau untuk
tinggal 1-2 hari sih saya merasa betah tinggal di sini. Srvicenya sesuai dengan
harga dan standar kelasnya. Tapi kalau sampai lebih, dengan view yang agak
membosankan, mungkin sebaiknya ganti kamar atau pindah hotel. Apalagi saya cenderung tidak betah tinggal di hotel yang sekitarnya tidak memiliki tempat bersantai dengan udara segar.
0 komentar:
Post a Comment